Catelyn masih sibuk merogoh tas saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.
“Oh! Maaf, saya—” ucapnya refleks, namun kata itu terhenti begitu saja di tenggorokannya saat ia mendongak.
Wajah yang begitu ia kenal dan hampir seminggu ini sempat ‘menghilang’, terpampang di hadapannya: Nielson.
Bukan saja Catelyn terkejut karena menabrak lelaki itu, namun juga penampilan lelaki itu yang tampak berbeda.
Jauh dari sosok yang dulu selalu tampil rapi, percaya diri, dan angkuh.
Wajahnya sedikit lebih tirus, seolah kehilangan bobot tubuhnya dalam waktu singkat.
Rambutnya acak-acakan, tak lagi tersisir rapi seperti biasanya, dan kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, tak disetrika, dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka.
Tak ada dasi mahal, tak ada jam tangan mewah yang biasanya mencolok di pergelangan tangannya. Bahkan ekspresi khas Nielson—senyum licin penuh percaya diri—hilang dari wajahnya,
“$9,500?” Nielson melotot. “Apa kau serius? Mobil ini aku beli $18,000 tiga tahun lalu!”“Aku percaya,” balas Dash tenang. “Tapi mobil turun nilai. Apalagi dengan cacat fisik dan fitur rusak, plus sudah lewat 80 ribu mil. Kalau ada catatan servis lengkap, mungkin bisa naik seribu dolar, tapi…”Nielson menghela napas panjang, wajahnya pucat. “Terserah. Aku butuh uangnya sekarang.”Dash mengangguk, “Kita bisa langsung transfer ke rekeningmu.”Nielson hanya mengangguk, menatap mobilnya sekali lagi.Ia mengusap bagian atas kap, seolah mengucapkan perpisahan. “Kau lambang keberhasilan-ku... Tapi sekarang, bahkan kau pun harus aku lepas.”Langkahnya berat saat meninggalkan area itu. Nielson tidak langsung pulang ke apartemen.Sebaliknya, ia berjalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju halte.Angin sore berembus, membuat rambutnya yang tak lagi tertata rapi, kian berantakan.Hampir seminggu ini, ia sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya, pura-pura sedang menangani urusan keluarga.Nyatanya,
Langit Denver siang itu tampak cerah, tapi angin musim semi yang menyelinap lewat celah jendela besar kantin kantor Aurora Development Group membawa udara dingin yang menggelitik kulit.Gedung kaca pencakar langit itu memantulkan cahaya matahari dengan kilau dingin, kontras dengan kehangatan kantin yang dipenuhi suara riuh para pegawai.Di sudut ruangan, Catelyn duduk.Gadis bermata hazel itu masih memegang gelas plastik berisi lemon tea yang sudah setengah dingin.Di depannya, piring makan siang yang tadi ia nikmati telah kosong, hanya tersisa serpihan kecil roti lapis dan beberapa lembar tisu yang terlipat rapi.Namun pandangannya tidak tertuju pada apa pun di sekelilingnya.Ia hanya menatap lurus ke meja, sesekali menggulirkan ibu jarinya pada ponsel yang ia biarkan menyala di atas meja.Pesan terakhir dari Ethan dua hari lalu masih terbuka.Singkat. Sopan. Seperti pesan dari seseorang yang berusaha tetap hadir, namun pikira
Malam menjatuhkan dirinya dengan tenang di atas kota, menyelimuti bangunan-bangunan tinggi dengan bayang-bayang kelelahan.Di salah satu apartemen yang bertengger di lantai tujuh, lampu temaram menerangi ruang makan sederhana.Aroma sup krim hangat masih menggantung di udara, namun wanita muda yang duduk di meja bundar itu justru menatap makan malamnya dengan tatapan kosong.Catelyn Adams, dengan rambut panjang bergelombang yang menjuntai ke pundaknya, memainkan sendok di piring, tak menyentuh makanan itu sama sekali.Matanya yang berwarna hazel tampak sayu, seakan beban hari ini tak sekadar soal berita Nielson di ADG, tapi juga sesuatu yang menggigit pelan-pelan dari dalam dadanya—perasaan yang tak ia izinkan tumbuh, tapi sudah telanjur berakar.“Hhh...” Ia menghela napas, kemudian bangkit.Digerakkan oleh rutinitas lebih dari keinginan, ia meraih gelasnya yang hampir kosong dan membawanya ke wastafel.Air mengalir,
Pukul lima pagi.Langit di Denver masih gelap, hanya sedikit cahaya remang menelusup lewat celah tirai apartemen mungil itu.Hening.Tak ada suara selain detak jam dinding dan desah napas dua manusia yang terdampar di tengah kehangatan yang tak terencana.Ethan Wayne membuka matanya perlahan.Kesadarannya perlahan menyusun kembali potongan-potongan memori semalam.Wajahnya masih bersandar pada sesuatu yang lembut—dan saat ia mendongak sedikit, jantungnya nyaris berhenti.Catelyn.Gadis itu duduk bersandar di sisi sofa, tertidur dengan posisi kepala sedikit menunduk, sementara tubuhnya menopang kepala Ethan di atas pangkuannya.Rambut panjang bergelombangnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya lembut, tenang, damai—dan begitu tulus.Ethan buru-buru bangkit dengan hati-hati, agar tak membangunkannya.Tapi matanya langsung menatap gadis itu dengan pandangan yang penuh penyesalan dan kelembutan.Ia m
Catelyn mengerjapkan mata. “Mr. Thomson? Aku?”Staf itu mengangguk. “Iya. Kamu. Aku hanya menyampaikan pesan dari saja. Kepala departemen menyebut namamu langsung. Katanya segera.”Catelyn sempat membeku. “Ada apa?”“Entahlah. Aku sendiri tak tahu,” kata staf itu sambil mengangkat bahu. “Tapi aku barusan naik dari lantai dua. Beliau minta kamu datang sekarang.”Detak jantung Catelyn tiba-tiba berdentum tak karuan.Jari-jarinya refleks merapikan rambut dan menyusun berkas seadanya. Pikirannya melompat-lompat antara panik, heran, dan takut.Apa ia membuat kesalahan?Atau ada proyek yang ia salah input?Atau ia bakal dikeluarkan?Ia berdiri, lututnya sedikit goyah, namun ia menguatkan diri.Karyawan di sekitarnya mulai menoleh, sebagian melirik penasaran.Langkah Catelyn menuju lift terasa lebih berat dari biasanya, tapi juga seperti digiring oleh sesuatu yang ia tak bisa tolak.Di dalam lift, ia memeja
Langkah kaki Catelyn terdengar menggema lembut di sepanjang koridor.Cahaya matahari siang menjelang sore menyusup dari jendela-jendela tinggi, memantul di lantai marmer yang bersih dan dingin. Tubuhnya masih terasa ringan, seolah ia melayang di udara.Baru saja ia keluar dari ruang meeting lantai dua—dan kejutan masih belum sepenuhnya meresap ke dalam pikirannya.Ia ditunjuk. Ia. Catelyn Adams.Untuk mewakili departemen dalam presentasi minggu depan di hadapan klien besar dari Luxterra Properties Chicago.Jantungnya masih berdetak cepat, antara gugup dan euforia. Pipinya merona tak tertahan, matanya bersinar terang.Minggu depan bukan sekadar rapat biasa. Itu langkah penting—langkah penentu—yang bisa mengubah statusnya dari anak magang menjadi bagian resmi dari ADG.Robert Thomson sendiri yang mengatakan itu padanya tadi. Jika presentasinya berhasil, Catelyn tidak perlu menunggu setengah tahun untuk diangkat.Ia hampir tak percaya. Tangannya bahkan masih sedikit gemetar saat menyentu
Ruangan itu masih menyisakan aroma kulit dari sofa baru dan kayu mengilat dari meja kerja yang belum lama ditempati.Dindingnya bersih, dengan pigura-pigura sertifikat dan sketsa perencanaan kota yang seolah menjadi simbol kredibilitas.Padahal, sebagian besar tidak lebih dari dekorasi kosong.Nielson Stokes bersandar di kursi kulit hitam yang belum ada seminggu menjejakkan ke lantai kantor itu.Tangannya bermain-main dengan pulpen metalik yang berkilau terkena sinar sore dari jendela.Senyum tipis memulas wajahnya—senyum kemenangan.Jabatan kepala Departemen Urban Planning kini resmi menjadi miliknya, hasil dari negosiasi cerdik dengan direktur utama, Tim Beckett.Tentu saja bukan karena prestasi.Tapi karena sesuatu yang lebih bernilai: ide konsep Catelyn Adams, yang menjadi alat tukar utama. Jabatan kepala departemen, dan sekian persen hasil penjualan konsep itu.Nielson menarik napas panjang, puas.Namun kesenangan itu segera memudar ketika bayangan dari rapat dua puluh menit lalu
"ARGHHH!!"Nielson menjerit kesakitan, terhuyung jatuh ke lantai, memegangi anggota tubuh yang kini nyeri luar biasa terkena hantaman meja yang meluncur tepat mengenai kakinya.Matanya membelalak marah dan menoleh dengan geram. "SIAPA YANG BERANI—"Kata-katanya terhenti ketika pandangannya bertemu dengan sosok pria yang berdiri di ambang pintu, menarik kaki. Sosok itu begitu memukau, auranya memenuhi ruangan dengan wibawa yang tak terbantahkan. Tinggi, gagah, dengan jas yang tersusun sempurna di tubuhnya yang atletis. Matanya biru tajam, seolah bisa menembus pikiran siapa pun yang bertemu tatap dengannya.Tampangnya yang dingin dan berkelas, berpadu dengan tatapan meremehkan yang kini tertuju pada Nielson. Meski ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, tekanan keberadaannya saja sudah cukup untuk membuat ruangan terasa mencekam.Nielson menegang. Ia bisa menduga, bahwa pria bermata biru itulah yang menendang m
“Segera, Tuan.”Rodney mengambil earpiece dari dalam sakunya, menempelkan perangkat itu ke telinganya.Dengan suara singkat dan efisien, ia mengaktifkan saluran komunikasi yang langsung terhubung dengan Axel.“Unit Dua, laporan posisi target.”Suara Axel terdengar dari earpiece, jernih dan tanpa jeda. ‘Target mulai jogging sejak pukul 06.30, rute biasa di taman City Park. Saat ini, ia sedang berada di dalam minimarket Lawson di blok C-12. Membeli beberapa kebutuhan rumah tangga. Saya memperkirakan, setelah ini ia akan menuju Everett’s Bakery di Downtown untuk bekerja, seperti biasa.’Rodney mengangguk tipis sambil menatap Ethan, lalu bertanya lagi, “Status alat komunikasi target?”‘Ponsel tidak terdeteksi. Kemungkinan besar ia tinggalkan di apartemen.’“Copy that.”Rodney menutup komunikasi lalu menoleh pada Ethan.“Nona Adams baik-baik saja, Sir. Masih menjalani rutinitas seperti biasa. Jogging, belanja kebutuhan, dan kemungkinan akan segera bersiap ke Everett’s Bakery, seperti biasa
Ia adalah Arion Ellworth.Sepupu ipar Ethan Wayne, yang juga mantan CEO dari AE Group ―entitas bisnis raksasa yang sejajar dengan Wayne Group― yang juga meninggalkan warisannya, dan hanya fokus pada Triton Land miliknya sendiri.Pria beraura dominan itu berjalan masuk tanpa berkata sepatah kata pun, namun sorot matanya berbicara lebih dari cukup.Ia berdiri tepat di hadapan Ethan dan memandangi Aveline―balita cantik yang masih nyaman di gendongan pria lain. Rahangnya mengeras.“Berikan,” ucapnya singkat.Ethan mengangkat tangan satu-satu. “Whoa, lihat siapa ini… Dadda datang, Ivy!”Seketika, Arion mengambil bayi tiga tahun itu dari pelukan Ethan, sangat hati-hati namun dengan kecepatan yang jelas menunjukkan kekesalan.Bayi perempuan yang dipanggil Ave itu tampak ingin protes, namun langsung tenang saat berada di pelukan ayah kandungnya.Tak lama kemudian, seorang wanita cantik bermata zamrud, masuk dari balkon kecil kamar itu, menutup pintu kaca dan terkekeh pelan melihat ekspresi Ar
Langkah kaki Catelyn menggema di koridor panjang berlapis marmer putih dan cahaya lembut dari lampu gantung kristal.Axel yang awal tadi ada beberapa meter di belakang Catelyn, menghentikan langkah saat melihat gadis itu berbalik dan kini berjalan menuju arahnya.Gadis itu berjalan cepat, hampir berlari, dengan sepasang mata hazelnya yang berkaca-kaca, berkilat dalam redupnya cahaya sore yang menelusup dari jendela panjang di sisi kanan koridor.Gaun rajut berwarna coklat muda yang membalut tubuhnya melambai tertiup gerakan tergesa, dan tas tangan mungilnya bergoyang keras seiring lengannya yang memegang kantong kertas, bergerak gugup.Ia menengadah sejenak, mencoba menahan emosi yang mendesak di balik kelopak mata.Suara itu masih terngiang—suara balita perempuan yang memanggil Ethan dengan “Daddy”. Senyuman Ethan yang berbeda ketika menatap perempuan itu. Dan interaksi mereka.Sesaat kemudian ketika tiba di depan pintu lift di ujung lorong, langkah Catelyn terhenti.Tangannya gemeta
St. Louis.Cahaya lampu gantung berpendar redup, menyoroti meja kayu tua yang permukaannya penuh dengan peta, dokumen rahasia, dan foto-foto satelit hitam-putih.Di tengah ruangan yang diselimuti bau logam dan asap cerutu yang menggantung di udara, seorang pria duduk membelakangi pintu.Sosoknya tinggi, berselimut mantel hitam panjang, dan hanya siluet kepalanya yang tampak dalam pantulan cahaya muram.Langkah kaki terdengar menggema di sepanjang lorong batu sebelum akhirnya berhenti di ambang pintu besi.Pintu itu berdecit pelan saat dibuka, dan seorang pria berseragam hitam masuk, menundukkan kepala hormat."Bos," ucapnya, suara rendah namun terkontrol. "Kami menemukan pergerakan terbaru dari Ethan Wayne."Sosok misterius itu tidak menoleh. Hanya jari-jarinya yang bergerak pelan, mengetuk-ngetuk lengan kursi seolah memberi isyarat agar si pelapor melanjutkan."Belakangan ini dia sering berada di Denver, Colorado. Awalnya kami
Axel tetap dengan wajah datarnya menjawab, “Saya pengawal. Tugas saya memastikan semua berjalan aman.”“Apa kau bercanda? Menguping bukan bagian dari SOP,” sergah Jared.“Keamanan mental majikan juga bagian dari tugas saya,” balas Axel dengan sangat tenang, walaupun matanya sedikit menyipit, berusaha mendengar lebih jelas.Kembali ke dalam ruangan.Catelyn akhirnya menarik diri perlahan dari pelukan Ethan. Wajahnya masih merah, tapi sorot matanya mulai menunjukkan kembalinya akal sehat.“Aku belum memaafkanmu,” katanya tegas.Ethan mengangguk pelan. “Aku tahu. Aku tidak meminta kau memaafkan sekarang. Tapi… aku ingin memperbaiki semuanya.”Catelyn menghela napas. Ia berdiri, menoleh menuju pintu—dan mendapati beberapa siluet dengan posisi mencurigakan.Alisnya langsung mengernyit. Ia melangkah cepat, membuka pintu dengan tiba-tiba.CRAK!Tiga
Tangis Catelyn belum juga reda.Tubuhnya menunduk, memeluk Ethan erat seakan takut pria itu menghilang begitu saja.Wajahnya tenggelam di lekuk leher Ethan yang masih terasa hangat—kehangatan yang entah membuatnya lega atau semakin takut kehilangan.Entah berapa lama ia membeku di posisi itu―dengan bibir terisak yang terus bergetar menyentuh leher Ethan, sampai...“Oh shit! Dia bangkit di tempat yang salah!” ujar Owen spontan tanpa sadar.Catelyn mengerutkan kening, bingung. Lalu perlahan mengangkat wajahnya—dan tepat saat itulah matanya terhenti pada tonjolan mencurigakan di area vital Ethan.Gadis itu membeku.Bibirnya sedikit terbuka.Napas tercekat.Mata hazelnya melebar.Itu... apa... serius?Tonjolan itu begitu nyata, begitu agung, menjulang meski terbungkus selimut putih rumah sakit. Bahkan dalam keterkejutan, wajah polos Catelyn seketika merona.Sebagai gadis yang tak terbiasa dengan ‘pemandangan’ seperti itu, pikirannya langsung kosong.Panas mengalir sampai ke telinganya.D
Langit Denver tampak menggantung kelabu, seperti mencerminkan hati yang kini diliputi badai kecemasan.Di dalam taksi yang melaju membelah lalu lintas siang yang ramai, Catelyn Adams duduk kaku dengan jemari saling menggenggam erat di atas pangkuannya.Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Waktu berjalan terlalu lambat, padahal dadanya berdegup terlalu cepat.Axel membuntuti dari belakang dengan motor sport hitam berplat diplomatik, tapi kehadirannya tak memberi ketenangan.Catelyn menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang semakin berat. Namun pikirannya tak bisa berhenti memutar ulang semua kenangan—tentang Ethan Wayne.Tentang pria yang ia kira hanyalah sosok santai penyuka kopi hitam dan roti kismis dengan penghasilan rata-rata.Tentang senyumnya yang ramah, caranya memperlakukan Catelyn penuh hormat, dan kelembutan.Tatapan kedua mata birunya yang selalu hangat.Tentang perhatian-perhatiannya yang selalu nyata. Kata-kata penyemangat yang selalu diberikan
Malam telah jatuh sempurna di langit Denver.Axel berdiri di seberang jalan, tepat di depan bangunan apartemen tua berlantai sekian yang dinding luarnya dipenuhi lumut dan cat mengelupas.Virginia Village memang bukan lingkungan yang mewah. Tapi di sinilah nona Adams—Catelyn—memilih tinggal sekarang. Jauh dari kehidupan nyaman yang dulu sempat disentuhnya saat tinggal di apartemen menengah yang dibeli Ethan Wayne.Ia menunggu dalam diam, memastikan lampu lorong menyala, suara pintu ditutup, dan langkah kaki di tangga perlahan lenyap. Barulah Axel menarik napas panjang, menurunkan hoodie dari kepalanya dan mengeluarkan earpiece kecil dari saku jaket kulit hitamnya yang masih berembun.Sambil menekuk leher dan memutar pundak, ia menekan tombol kecil di sisi earpiece.“Axel to Command. Confirm location. Do you copy?” ucapnya pelan namun jelas.Sebuah jeda. Lalu suara berat yang familiar terdengar di telinganya.‘Rodney here. Status?’Rodney adalah ketua tim pengawal pribadi Ethan Wayne. A
Catelyn keluar dari Everett’s Bakery dengan kantong kertas berisi croissant dan satu slice tart lemon menggantung ringan di tangannya.Ia berjalan dengan langkah ringan, hingga suara langkah samar—yang bukan berasal dari sepatunya—membuat langkahnya terhenti.Bahunya menegang. Sekilas ia menoleh, namun tak melihat siapa pun.Langkahnya bergegas. Jalan kecil itu terlalu sepi. Dan detak jantungnya mulai berdebar keras, memunculkan bayangan lama—saat ia pernah diikuti seseorang di beberapa waktu lalu.Helaan napasnya makin cepat. Ketika ia berbelok dan menunggu di balik dinding.Catelyn tak berpikir dua kali, saat mendengar langkah mendekat―jelas seperti mengikuti dirinya, ia langsung setengah melompat dan mengarahkan semprotan merica ke arah penguntit itu.Sret!Tangannya dengan refleks menyemprotkan pepper spray ke arah sosok itu sambil melangkah mundur panik.Namun sosok tersebut bergerak dengan ketangkasan luar biasa—kepalanya menunduk ke kiri, menghindar sebelum semprotan itu mengen