Kamar itu luas dan mewah, mencerminkan status pemiliknya.
Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal yang elegan memancarkan cahaya hangat ke seluruh ruangan.
Tempat tidur king-size dengan headboard berbahan kulit mahal berada di tengah ruangan, lengkap dengan seprai linen premium berwarna abu-abu tua. Di sisi tempat tidur, terdapat meja kecil dengan lampu baca modern.
Di satu sudut ruangan, ada area kerja dengan meja kayu mahoni yang kokoh, dipadukan dengan kursi kulit hitam yang tampak nyaman.
Dinding di belakang meja dihiasi rak buku built-in berisi koleksi buku dan beberapa pajangan eksklusif.
Jendela besar yang hampir menutupi satu sisi dinding memberikan pemandangan kota Madison di malam hari, dengan tirai yang sedikit terbuka.
Ethan menutup berkas yang sedari tadi ia pelajari, merapikannya dengan satu gerakan sebelum meletakkannya di atas meja. Ia berdiri dari kursinya, meregangkan tubuh sebentar, lalu berbalik hendak menuju ka
Beberapa hari terakhir, Catelyn merasa hidupnya tidak tenang.Nielson terus menghubunginya tanpa henti.Jika ia mengabaikan panggilan dan pesan pria itu, Nielson akan menghubunginya lagi dan lagi—seakan tidak mengenal kata menyerah. Bahkan setelah Catelyn memblokir nomornya kemarin, pria itu kembali mengganggunya menggunakan nomor lain.Hari ini, saat ia sedang bekerja di Everett’s Delight, toko kue milik Brian Everett, gangguan itu masih berlanjut.Ponselnya kembali bergetar di meja kasir. Nama tidak dikenal muncul di layar, tapi Catelyn sudah hafal. Ini pasti Nielson lagi. Dengan gerakan cepat dan penuh kesal, ia menekan tombol decline.“Ugh…” Catelyn mengusap wajahnya dengan frustasi.Brian, pria muda pemilik toko, yang sedang duduk santai di meja dekat dapur, memperhatikannya.“Ada apa, Cat?” tanyanya sambil menyesap kopi.Catelyn mendesah panjang. “Orang menyebalkan.”Brian mengangkat alis. “Pacar lama yang susah move on?” godanya.Catelyn menatapnya sekilas dengan ekspresi tak pe
Catelyn terkesiap saat berbalik.“Kau…”Sosok pria tinggi dengan tatapan santai namun penuh pandangan merendahkan itu berdiri di hadapannya.Nielson.Langkah Catelyn tertahan, jantungnya berdegup kencang, bukan karena terkejut, tapi karena rasa kesal yang mendidih di dadanya."Bagaimana kau tahu aku bekerja di sini?" tanyanya dengan nada tajam, matanya menyipit penuh ketidaksukaan.Nielson menyeringai kecil, memasukkan tangannya ke saku celana seolah pertanyaan itu hanyalah suatu kekonyolan baginya. "Tempat tinggalmu saja aku tahu, Catelyn. Apalagi hanya mencari tahu di mana kau bekerja. Itu bukan hal yang sulit."Catelyn mengepalkan tangannya erat.Ia tidak ingin berdebat dengan pria ini lebih lama. Langkahnya segera beranjak, mencoba melewati Nielson, namun pria itu dengan mudah menghalangi jalannya."Menyingkir, Nielson," ucap Catelyn tajam, ekspresinya penuh kebencian.Rahangnya mengeras, matanya menatap pria itu dengan jijik. Ia benar-benar tidak suka dengan kelakuan Nielson yang
Catelyn terbangun dengan kepala berat dan wajah yang sama sekali jauh dari segar.Ia mengerang pelan, lalu menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Semalaman ia nyaris tak bisa tidur.Semua gara-gara Nielson.Lelaki brengsek itu kembali menipunya. Ia bilang sudah menghapus semua foto-foto vulgarnya, tapi ternyata tidak.Catelyn menghela napas panjang, lalu mengacak rambutnya dengan frustrasi. Kenapa ia selalu saja dipermainkan oleh pria itu?Pada akhirnya, ia terpaksa menyetujui permintaan Nielson untuk membuatkan proposal lain—pengembangan dari proposal sebelumnya yang ia buat.Sungguh memuakkan.Dan kali ini, Nielson bahkan tidak memberinya apa pun. Tak ada bayaran, tak ada imbalan. Hanya ancaman keparat itu."Aku harus keluar dari semua ini," gumamnya pada diri sendiri. Tapi bagaimana caranya?Tidak ada waktu untuk memikirkannya sekarang. Ia harus bersiap untuk bekerja.Di Everett’s Bakery.Catelyn berdiri di belakang kasir, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Tatapannya k
Ruangan itu sempit—hanya cukup untuk satu rak dan satu orang berdiri di dalamnya. Tapi kini, dua orang berada di sana, berdempetan tanpa jarak.Tubuh mereka menempel erat.Catelyn merasakan napas Ethan yang hangat di atas kepalanya. Tubuhnya sendiri sedikit terdorong ke dada pria itu, sementara Ethan bersandar ke rak di belakangnya.Dengan ragu, kepala Catelyn mendongak dan matanya bertemu dengan iris biru Ethan.Tatapan Ethan begitu dalam, menawan, dengan kilatan yang sulit diartikan. Tenang, tapi menghanyutkan.Sejenak, Catelyn terbuai.Wajah Ethan begitu dekat… Rahangnya yang tegas, hidungnya yang lurus, bibirnya yang tampak begitu—Astaga, apa yang sedang kupikirkan?!Catelyn segera menoleh ke samping, berusaha mengabaikan detak jantungnya yang kini berdebar tak karuan.“Apa ini tempat favoritmu untuk bersembunyi?” Suara rendah Ethan terdengar pelan dan sensual di telinga Catelyn.
Nielson duduk di meja makan apartemennya, menikmati hidangan yang tersaji.Ibunya, Mrs. Stokes, dengan penuh kasih menuangkan sup hangat ke dalam mangkuknya.“Kau harus makan lebih banyak, Nielson. Lihat ini, aku buatkan makanan favoritmu,” ucapnya penuh semangat.Nielson menyendok supnya dengan santai, sementara ibunya mulai membahas hal yang lebih penting baginya.“Kapan kau akan melamar Molly Beckett? Dia itu gadis yang tepat untukmu, kau tahu?” Mrs. Stokes meletakkan sendoknya dan menatap putranya dengan harapan besar.Nielson mengangkat bahu. “Tenang saja, Bu. Semua ada waktunya.”“Tapi jangan terlalu lama! Kalau kau menikahinya, kita bisa segera masuk kalangan atas. Aku bahkan mulai memiliki beberapa teman dari kelas sosial yang lebih tinggi di apartemen ini. Mereka sangat menyenangkan, dan kita harus menjaga citra.”Nielson menyeringai dan menyandarkan punggungnya ke kursi. “Sebentar lagi, Bu. Tak lama lagi aku akan menjadi pimpinan proyek. Setelah itu, jabatan manajer sudah pa
Nielson mondar-mandir di kamarnya, langkahnya cepat dan penuh ketegangan.Dadanya naik turun, rahangnya mengatup rapat. Sesekali, ia meraih ponselnya dari meja, menatap layar dengan frustrasi.Tidak ada balasan.Tidak ada tanda-tanda pesan dibaca.Panggilan yang ia lakukan sekian kali pun tak kunjung dijawab.“Brengsek!” gumamnya sambil mengetik pesan lagi dengan gerakan kasar.[Catelyn, angkat teleponku. Ini penting!]Ia menunggu beberapa detik. Tak ada respons. Jempolnya kembali bergerak.[Jangan pura-pura sibuk. Aku tahu kau pasti melihat pesanku!]Masih tak ada reaksi.Nielson menggeretakkan giginya, lalu dengan kasar melemparkan ponselnya ke kasur. “Sialan!” bentaknya.Ia mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengendalikan emosinya.Pikirannya terus berputar—presentasi di ADG tinggal lusa, dan ia sama sekali tidak tahu isi pengembangan dari proposal itu!S
Catelyn menatap dengan heran dan sedikit waspada ke arah Rolls-Royce Phantom hitam yang berhenti tepat di depannya itu.Hujan masih turun deras, menciptakan suara ritmis di atas atap halte.Sebelum sempat berpikir lebih jauh, jendela mobil perlahan turun, memperlihatkan sosok di baliknya.“Catelyn, masuk.” Suara yang mulai familiar itu terdengar jelas di tengah suara hujan yang mengguyur jalanan.Catelyn membelalakkan mata. Ethan?Pria itu duduk di balik kemudi, wajahnya tenang namun ada sedikit urgensi dalam suaranya. "Cepat masuk, sebelum kau semakin basah kuyup," katanya lagi.Catelyn sempat bingung beberapa detik, tatapannya berpindah dari Ethan ke mobil mewah itu, lalu kembali ke Ethan.Apa benar itu Ethan? Tapi mengapa Ethan membawa mobil seperti ini?Namun, udara malam semakin dingin, dan baju serta rambutnya sudah cukup basah.Akhirnya, ia membuka pintu dan masuk ke dalam mobil, tubuhnya sedikit mengg
Pria itu menatap Ethan dengan curiga. “Oh? Apakah dia mabuk?” tanyanya dengan nada waspada.Ethan, yang masih menggendong Catelyn, tersenyum kecil. “Tidak. Dia hanya tertidur kelelahan.”Pria tua itu memandangi Ethan lebih lama, seolah menilai apakah pria tampan bermata biru ini berniat baik atau sebaliknya.“Kamu siapanya?” tanyanya akhirnya.Ethan pun menjawab tenang, “Saya temannya. Kebetulan tadi kehujanan, jadi saya mengantarnya pulang.”Pria tua itu menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangguk, mungkin terkesan dengan ketulusan dalam mata biru Ethan."Dia tinggal di lantai dua, unit 212."Ethan mengangguk sopan. "Terima kasih."Namun, saat ia bersiap naik tangga, pria tua itu bertanya lagi.“Kau punya kuncinya?”Ethan mengerutkan kening. Tentu saja tidak. Ia menggeleng.Pria tua itu, yang ternyata adalah pengurus apartemen terse
Catelyn mengerjapkan mata. “Mr. Thomson? Aku?”Staf itu mengangguk. “Iya. Kamu. Aku hanya menyampaikan pesan dari saja. Kepala departemen menyebut namamu langsung. Katanya segera.”Catelyn sempat membeku. “Ada apa?”“Entahlah. Aku sendiri tak tahu,” kata staf itu sambil mengangkat bahu. “Tapi aku barusan naik dari lantai dua. Beliau minta kamu datang sekarang.”Detak jantung Catelyn tiba-tiba berdentum tak karuan.Jari-jarinya refleks merapikan rambut dan menyusun berkas seadanya. Pikirannya melompat-lompat antara panik, heran, dan takut.Apa ia membuat kesalahan?Atau ada proyek yang ia salah input?Atau ia bakal dikeluarkan?Ia berdiri, lututnya sedikit goyah, namun ia menguatkan diri.Karyawan di sekitarnya mulai menoleh, sebagian melirik penasaran.Langkah Catelyn menuju lift terasa lebih berat dari biasanya, tapi juga seperti digiring oleh sesuatu yang ia tak bisa tolak.Di dalam lift, ia memeja
Pukul lima pagi.Langit di Denver masih gelap, hanya sedikit cahaya remang menelusup lewat celah tirai apartemen mungil itu.Hening.Tak ada suara selain detak jam dinding dan desah napas dua manusia yang terdampar di tengah kehangatan yang tak terencana.Ethan Wayne membuka matanya perlahan.Kesadarannya perlahan menyusun kembali potongan-potongan memori semalam.Wajahnya masih bersandar pada sesuatu yang lembut—dan saat ia mendongak sedikit, jantungnya nyaris berhenti.Catelyn.Gadis itu duduk bersandar di sisi sofa, tertidur dengan posisi kepala sedikit menunduk, sementara tubuhnya menopang kepala Ethan di atas pangkuannya.Rambut panjang bergelombangnya jatuh menutupi sebagian wajah, napasnya lembut, tenang, damai—dan begitu tulus.Ethan buru-buru bangkit dengan hati-hati, agar tak membangunkannya.Tapi matanya langsung menatap gadis itu dengan pandangan yang penuh penyesalan dan kelembutan.Ia m
Malam menjatuhkan dirinya dengan tenang di atas kota, menyelimuti bangunan-bangunan tinggi dengan bayang-bayang kelelahan.Di salah satu apartemen yang bertengger di lantai tujuh, lampu temaram menerangi ruang makan sederhana.Aroma sup krim hangat masih menggantung di udara, namun wanita muda yang duduk di meja bundar itu justru menatap makan malamnya dengan tatapan kosong.Catelyn Adams, dengan rambut panjang bergelombang yang menjuntai ke pundaknya, memainkan sendok di piring, tak menyentuh makanan itu sama sekali.Matanya yang berwarna hazel tampak sayu, seakan beban hari ini tak sekadar soal berita Nielson di ADG, tapi juga sesuatu yang menggigit pelan-pelan dari dalam dadanya—perasaan yang tak ia izinkan tumbuh, tapi sudah telanjur berakar.“Hhh...” Ia menghela napas, kemudian bangkit.Digerakkan oleh rutinitas lebih dari keinginan, ia meraih gelasnya yang hampir kosong dan membawanya ke wastafel.Air mengalir,
Langit Denver siang itu tampak cerah, tapi angin musim semi yang menyelinap lewat celah jendela besar kantin kantor Aurora Development Group membawa udara dingin yang menggelitik kulit.Gedung kaca pencakar langit itu memantulkan cahaya matahari dengan kilau dingin, kontras dengan kehangatan kantin yang dipenuhi suara riuh para pegawai.Di sudut ruangan, Catelyn duduk.Gadis bermata hazel itu masih memegang gelas plastik berisi lemon tea yang sudah setengah dingin.Di depannya, piring makan siang yang tadi ia nikmati telah kosong, hanya tersisa serpihan kecil roti lapis dan beberapa lembar tisu yang terlipat rapi.Namun pandangannya tidak tertuju pada apa pun di sekelilingnya.Ia hanya menatap lurus ke meja, sesekali menggulirkan ibu jarinya pada ponsel yang ia biarkan menyala di atas meja.Pesan terakhir dari Ethan dua hari lalu masih terbuka.Singkat. Sopan. Seperti pesan dari seseorang yang berusaha tetap hadir, namun pikira
“$9,500?” Nielson melotot. “Apa kau serius? Mobil ini aku beli $18,000 tiga tahun lalu!”“Aku percaya,” balas Dash tenang. “Tapi mobil turun nilai. Apalagi dengan cacat fisik dan fitur rusak, plus sudah lewat 80 ribu mil. Kalau ada catatan servis lengkap, mungkin bisa naik seribu dolar, tapi…”Nielson menghela napas panjang, wajahnya pucat. “Terserah. Aku butuh uangnya sekarang.”Dash mengangguk, “Kita bisa langsung transfer ke rekeningmu.”Nielson hanya mengangguk, menatap mobilnya sekali lagi.Ia mengusap bagian atas kap, seolah mengucapkan perpisahan. “Kau lambang keberhasilan-ku... Tapi sekarang, bahkan kau pun harus aku lepas.”Langkahnya berat saat meninggalkan area itu. Nielson tidak langsung pulang ke apartemen.Sebaliknya, ia berjalan kaki menyusuri jalanan kecil menuju halte.Angin sore berembus, membuat rambutnya yang tak lagi tertata rapi, kian berantakan.Hampir seminggu ini, ia sengaja mengambil cuti dari pekerjaannya, pura-pura sedang menangani urusan keluarga.Nyatanya
Catelyn masih sibuk merogoh tas saat tubuhnya bertabrakan dengan seseorang.“Oh! Maaf, saya—” ucapnya refleks, namun kata itu terhenti begitu saja di tenggorokannya saat ia mendongak.Wajah yang begitu ia kenal dan hampir seminggu ini sempat ‘menghilang’, terpampang di hadapannya: Nielson.Bukan saja Catelyn terkejut karena menabrak lelaki itu, namun juga penampilan lelaki itu yang tampak berbeda.Jauh dari sosok yang dulu selalu tampil rapi, percaya diri, dan angkuh.Wajahnya sedikit lebih tirus, seolah kehilangan bobot tubuhnya dalam waktu singkat.Rambutnya acak-acakan, tak lagi tersisir rapi seperti biasanya, dan kemeja putih yang dikenakannya tampak kusut, tak disetrika, dengan kancing atas yang dibiarkan terbuka.Tak ada dasi mahal, tak ada jam tangan mewah yang biasanya mencolok di pergelangan tangannya. Bahkan ekspresi khas Nielson—senyum licin penuh percaya diri—hilang dari wajahnya,
“Daniel dipindahkan ke departemen Project Evaluation & Site Strategy mulai minggu ini,” kata Howard pada seorang staf senior wanita, menghentikan langkah Catelyn yang baru saja kembali dari ruang arsip.Gadis itu membalikkan badan, kedua alisnya berkerut. Ia melangkah mendekati Howard.“Dipindahkan?” ulangnya dengan suara pelan, terdengar kaget. “Apakah karena hari itu? Karena dia keracunan dan tidak bisa datang presentasi?”Nada khawatir itu muncul begitu saja, tak bisa disembunyikan.Baru saja ia menengok Daniel di rumah sakit Sabtu lalu, tiba-tiba ia mendengar hal ini dari Howard, beberapa hari setelahnya.Ia ingat betul hari Jumat lalu, bagaimana Howard tampak cemas dan ketika Daniel tiba-tiba sakit. Dan saat itu, tanpa persiapan matang, ia—seorang anak magang—didorong maju ke ruang presentasi sebagai pengganti.Howard menggeleng cepat, lalu menyilangkan tangan di depan dada, suaranya tenang, “Bukan, bukan karena itu. Justru sebaliknya, Daniel mendapat promosi. Dia dipercaya untuk
Robert Thomson tampak pucat.Kemejanya sedikit kusut, dan dasi di lehernya terasa jauh lebih mencekik dari biasanya. Ia berkali-kali menyeka keringat yang mengalir dari pelipis dengan sapu tangan, sementara langkah kakinya terus mengikuti sosok pria di depannya yang berjalan cepat namun penuh kontrol.Cole Reid, asisten pribadi sang CEO, memimpin langkah dengan tubuh tegap, setelan hitamnya jatuh sempurna, dan wajahnya datar tanpa ekspresi.Keduanya tengah menuju lift khusus yang hanya bisa diakses dengan kartu prioritas—menuju lantai Presidential Suite di Hotel Four Seasons.Robert masih berusaha mengatur napasnya saat akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Suaranya pelan, hampir tertelan denting musik ambient dari lorong hotel."Ada sesuatu yang saya lakukan… salah?" gumamnya gugup. "Kenapa saya dipanggil secara pribadi oleh CEO?"Cole menatap ke depan, tidak berhenti sejenak pun."Anda akan tahu sendiri, Pak Thomso
Sabtu siang di Denver datang dengan langit yang bening dan udara hangat yang menenangkan.Dari kejauhan, gedung rumah sakit terlihat menjulang tenang, dikelilingi oleh pepohonan yang mulai menua warnanya menyambut awal musim gugur. Suasana di dalam rumah sakit terasa kontras—sunyi, steril, namun tidak kehilangan kehangatan.Catelyn berjalan melewati koridor lantai tiga dengan langkah ringan.Ia mengenakan sweater lembut warna sage, celana panjang krem, dan sepatu flat. Di tangannya, sebuket bunga krisan putih serta tas kertas berisi sup ayam bening hangat dan sebotol minuman elektrolit—menu ringan yang dipilihnya hati-hati untuk seseorang yang baru saja mengalami keracunan makanan.Pintu kamar 307 terbuka sebagian. Catelyn mengetuk pelan sebelum mendorongnya.Daniel Hunter, pria berambut gelap dengan wajah cukup tampan yang biasanya tenang dan tajam, kini tampak lebih pucat. Tapi senyumnya merekah hangat begitu melihat siapa yang datang