Clara duduk di mejanya, menatap layar komputernya dengan pandangan kosong. Email dari Kieran itu masih terbuka di layar, subjek yang singkat dan penuh arti: 'Pertemuan Pribadi - Kieran Damaris.' Sesuatu di dalam dirinya terasa berbeda kali ini.
Selama dua tahun bekerja di bawah Kieran, Clara sudah terbiasa dengan rapat-rapat rutin, instruksi yang jelas, dan peranannya yang lebih banyak di belakang layar. Tetapi hari ini, ada yang mengusik. Ada ketegangan yang lebih dalam. Tugas-tugas hariannya selalu datang dengan tumpukan file dan jadwal yang padat. Mengatur rapat, mempersiapkan laporan, menyaring email, itu adalah rutinitas yang sudah sangat dikuasainya. Namun, memimpin proyek besar yang melibatkan seluruh tim? Itu sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan. Clara menatap email itu lagi. "Saya ingin kamu memimpin proyek besar ini," kata Kieran dalam pesan singkatnya. Perasaan cemas mulai merayap dalam dirinya. Clara tahu bahwa ini adalah kesempatan yang besar, kesempatan untuk menunjukkan potensinya. Tetapi, di sisi lain, perasaan takut mulai menguasainya. 'Apakah saya benar-benar siap untuk ini?' Di ruang rapat beberapa jam kemudian, tatapan Kieran yang tajam kembali menghantui pikirannya. Kieran sudah duduk di kursinya, dengan ekspresi serius yang selalu dia kenakan saat rapat. Begitu Clara masuk, dia merasa seperti ada tekanan yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Kieran tidak langsung berkata apa-apa. Dia hanya menatapnya, menunggu Clara berbicara. "Clara," Kieran akhirnya memulai, suaranya seperti biasa—tenang dan penuh wibawa. "Saya ingin kamu memimpin proyek besar ini. Saya percaya kamu bisa." Clara merasa pipinya memanas. "P-pemimpin? Saya... saya tidak yakin jika saya siap untuk itu, Pak." Kieran hanya mengamati, matanya tetap tajam. "Jangan meragukan dirimu sendiri. Kamu sudah bekerja di sini cukup lama. Saya tahu kamu bisa." Clara menelan ludah. 'Saya sudah bekerja di sini cukup lama, tapi bukan berarti saya siap memimpin proyek besar ini.' Dalam dua tahun terakhir, dia telah melihat betapa beratnya tanggung jawab seorang pemimpin. Semua keputusan besar, semua tekanan—semua itu harus dihadapi sendirian. Dan saya takut gagal.' "Pak... ini terlalu besar bagi saya," kata Clara, suara bergetar. "Saya tidak ingin mengecewakan Anda." Kieran mengerutkan kening, namun tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Clara, seolah menunggu lebih banyak penjelasan. Clara merasakan perasaan tidak layak itu semakin menguat—seperti ada suara di dalam dirinya yang mengatakan bahwa dia hanya pantas berada di belakang layar, bukan di depan. 'Saya hanya seorang asisten. Saya bukan pemimpin.' "Kamu tidak akan tahu sampai kamu mencoba," kata Kieran akhirnya, suaranya lebih lembut, namun tetap tegas. "Saya percaya padamu, Clara." Clara mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan. "Baik, Pak. Saya akan coba." Ketika rapat berakhir dan Kieran meninggalkan ruangan, Clara tetap duduk di kursinya, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja diucapkan. Dia merasa seperti ada beban besar yang diletakkan di pundaknya. 'Apa yang akan terjadi jika saya gagal?' Perasaan itu terus menghantuinya. Namun, satu hal yang pasti—kesempatan ini tidak datang dua kali. 'Saya harus mencobanya.' Clara duduk di mejanya, jari-jarinya terhenti di atas keyboard, matanya menatap layar yang kini tampak kabur. Ketegangan yang mengalir di dalam dirinya seolah semakin kuat seiring berjalannya waktu. Kieran Damaris telah memberinya tanggung jawab besar, lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. Memimpin proyek besar? Itu bukanlah sesuatu yang bisa ia lakukan dengan mudah. Tapi di sisi lain, dia tahu ini adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Dia memalingkan pandangannya dari layar komputer, menatap pemandangan kota yang terlihat dari jendela ruang kerjanya. Gedung pencakar langit, lalu lintas yang sibuk, dan langit biru yang hampir tak terlihat di balik tumpukan awan. Semua itu tampak begitu jauh. 'Begitu jauh dari rasa cemas yang menggerogoti dirinya.' Dia memijat pelipisnya. 'Kenapa aku merasa begitu takut?' Dalam dua tahun bekerja di bawah Kieran, Clara sudah terbiasa dengan beban pekerjaan yang datang dengan cepat dan sering kali mendesak. Mengatur jadwal, menjawab telepon, menyiapkan dokumen, semuanya sudah menjadi rutinitas. Namun, memimpin tim? Mengambil keputusan besar yang bisa memengaruhi seluruh perusahaan? Itu adalah dunia yang jauh lebih besar daripada yang bisa ia bayangkan. Sebuah suara keras terdengar dari luar ruangannya, suara pintu yang terbuka dan langkah kaki yang mantap. Clara menoleh, dan jantungnya langsung berdebar lebih cepat. Kieran. Langkahnya yang pasti terdengar jelas bahkan sebelum ia muncul di ambang pintu. Clara berusaha untuk tetap tenang, menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap layar komputernya. Namun, saat Kieran masuk ke ruangan, atmosfer langsung berubah. Ada ketegangan yang bisa dirasakan di udara. Kieran, dengan tubuh tegap dan wajah yang sulit dibaca, berdiri di depan meja Clara. "Clara," suaranya datar, namun ada nada yang sedikit berbeda—lebih lembut, lebih intens dari biasanya. "Apakah kamu sudah mempersiapkan laporan untuk proyek besar ini?" Clara menatapnya, mencoba menutupi rasa gugupnya dengan sebuah senyuman yang dipaksakan. "Ya, Pak. Semua sudah siap." Suaranya terdengar sedikit lebih tinggi dari biasanya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia benar-benar siap. Kieran mengangguk pelan, namun matanya tetap menatap Clara dengan intens. "Bagus. Saya ingin proyek ini berjalan sempurna. Dan saya ingin kamu memimpin tim riset ini." Clara merasa seolah seluruh dunia berhenti sejenak. 'Memimpin?' Suara itu bergema dalam pikirannya. 'Saya?' "Pak...," Clara menelan ludah, mencoba untuk tidak memperlihatkan betapa terkejutnya dia. "Saya... saya tidak yakin saya siap untuk itu." Kieran tetap diam, memandangi Clara dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ada jeda yang panjang, terlalu panjang bagi Clara. 'Apakah dia kecewa dengan saya? Apakah dia merasa saya tidak mampu?' Rasa cemas itu semakin menggerogoti dirinya, dan dia bisa merasakan pipinya mulai memanas, cemas apakah Kieran bisa melihat kegugupannya yang semakin jelas. "Clara," suara Kieran akhirnya memecah keheningan. "Kamu sudah bekerja di sini cukup lama. Kamu tahu betul bagaimana cara menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik." Ia beralih ke dokumen yang terletak di atas meja Clara, mengambil beberapa lembar laporan yang sudah dipersiapkan. "Saya percaya kamu bisa melakukannya." Clara menatap Kieran, bibirnya sedikit terkatup. 'Kamu percaya padaku?' Bagaimana mungkin? Dia hanya seorang asisten, bukan seorang pemimpin. Selama ini, perannya hanya sebagai pendukung—mengatur jadwal, menyaring email, memastikan semuanya berjalan lancar. 'Tapi memimpin proyek besar?' Itu bukan sesuatu yang bisa ia lakukan dengan mudah. "Kami bekerja bersama, Clara," lanjut Kieran dengan nada yang lebih lembut, namun tetap penuh kepastian. "Saya tidak akan membiarkanmu sendirian. Kamu akan mendapatkan dukungan penuh." Clara mengangguk, meskipun rasa ragu dan cemas masih melingkupi pikirannya. 'Dukungan penuh? Tapi apakah saya benar-benar siap?' Perasaan tidak layak itu semakin menguasai dirinya. Dia merasa seolah-olah dunia akan mengamatinya, menilai setiap langkah yang dia ambil. Jika dia gagal, semua orang—terutama Kieran—akan melihatnya sebagai kegagalan. 'Dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa saya tanggung.' Namun, Kieran tampaknya tidak melihat keraguan itu. Dia melangkah ke arah pintu, menoleh ke belakang dan menatap Clara dengan senyum tipis yang sulit diartikan. "Saya berharap kamu bisa mengambil kendali, Clara. Saya percaya padamu." Clara hanya bisa mengangguk dengan kaku, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tetap profesional. 'Saya harus melakukannya. Saya harus menunjukkan bahwa saya bisa.' Setelah Kieran meninggalkan ruangan, Clara duduk kembali di kursinya, mencoba untuk meredakan ketegangan yang masih menguasai tubuhnya. Tangannya sedikit gemetar saat dia memegang pena, matanya menatap dokumen yang ada di meja. 'Proyek besar ini. Saya akan memimpin tim riset. Saya harus melakukannya.' Namun, di dalam dirinya, perasaan itu tetap ada. Perasaan cemas dan tidak yakin. 'Apa yang akan terjadi jika saya gagal?' Pertanyaan itu terus berputar di pikirannya, seperti bayangan gelap yang tak bisa dihindari. Clara menatap pemandangan kota dari jendela, mencoba menenangkan diri. Tetapi, semakin dia berpikir, semakin kuat perasaan bahwa ini adalah titik balik dalam kariernya—sesuatu yang akan mengubah arah hidupnya, entah itu menjadi peluang besar atau kegagalan yang menghancurkan. 'Saya harus melakukannya. Untuk diri saya sendiri.' Meskipun ketakutan itu terus mengguncang, Clara tahu satu hal: kesempatan ini tidak datang dua kali. 'Saya harus membuktikan bahwa saya bisa.'Clara berdiri di depan jendela ruang kerjanya, memandang kota yang sibuk di bawah sana. Udara pagi terasa lebih dingin dari biasanya, meskipun musim panas sudah mulai mendekat. Tapi itu bukan cuaca yang membuat Clara merasa kedinginan. Pekerjaan. Proyek besar yang diberikan Kieran terus menghantui pikirannya. Setiap detik, setiap pikiran, semuanya berputar di sekitar satu kalimat yang diucapkan oleh Kieran: "Saya ingin kamu memimpin proyek besar ini." Clara menarik napas dalam-dalam dan berbalik, kembali ke mejanya. Tumpukan dokumen dan laporan menanti untuk diselesaikan, tetapi hari ini, segala sesuatunya terasa berbeda. Ada tekanan yang lebih berat daripada biasanya. "Harus bagaimana?" Dia memandangi layar komputernya yang terhampar penuh dengan spreadsheet dan jadwal yang harus dipenuhi. Namun, pikirannya lebih tertuju pada tatapan Kieran yang penuh penilaian, dan kata-kata yang tak bisa ia lupakan. Kieran Damaris, CEO yang selalu tampak tenang dan menguasai segalanya.
Pagi itu, Clara merasa seperti seluruh dunia ada di atas pundaknya. Udara di luar jendela terlihat cerah, tapi di dalam ruang kerjanya, perasaan cemas yang menguasai dirinya begitu berat. 'Proyek ini.' 'Memimpin tim riset.' Semuanya terasa begitu besar. Terlalu besar untuknya. Sejak pertemuan dengan Kieran kemarin, Clara tidak bisa berhenti memikirkan kata-katanya. "Kamu punya potensi lebih." "Saya percaya padamu." Kata-kata itu mengiang dalam kepala Clara, tetapi semakin ia berpikir, semakin dia merasa seperti sedang berjalan di atas tali yang rapuh. Di satu sisi, ada rasa bangga karena Kieran mempercayainya. Tetapi di sisi lain, ada ketakutan yang tak bisa dia hindari—takut gagal, takut tidak memenuhi harapan, dan yang terburuk, takut mengecewakan Kieran. Clara menatap layar komputernya, mencoba untuk fokus pada dokumen yang terhampar di depan mata. Proyek ini adalah peluang besar, tetapi juga tantangan yang menakutkan. Ia harus memimpin tim yang terdiri dari orang-oran
Pagi itu, Clara merasa seolah-olah dunia berjalan lebih cepat dari yang bisa dia kejar. Setelah rapat kemarin dengan Kieran, perasaan yang membebani dirinya belum juga menghilang. Kata-kata Kieran tentang bagaimana dia "memiliki potensi besar" dan "bisa melakukannya" terus terngiang-ngiang di kepala Clara. Namun, meskipun kata-kata itu memberikan dorongan, ada sesuatu yang lain yang semakin menyelimuti dirinya. *Perasaan itu.* Perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan. Clara mengatur napasnya dan mencoba untuk fokus pada pekerjaannya. Hari ini, dia memiliki lebih banyak laporan yang harus diselesaikan sebelum rapat besar dengan tim riset. Namun, semakin lama dia duduk di depan komputernya, semakin ia merasakan perasaan lain yang mengusik dirinya. Setiap kali dia memikirkan proyek besar ini, jantungnya mulai berdebar lebih cepat. Bukan hanya karena tanggung jawab yang berat, tetapi karena ada satu sosok yang selalu muncul dalam pikirannya—Kieran. *Kenap
Hari-hari setelah pertemuan dengan Kieran semakin terasa panjang bagi Clara. Setiap kali dia memasuki ruang kerjanya, ada perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan. Ketegangan antara dia dan Kieran semakin menguat. Setiap pertemuan, setiap percakapan, terasa lebih intens dari sebelumnya. Clara tahu bahwa hubungan mereka sudah berubah, tetapi dia belum siap untuk menghadapi kenyataan bahwa perasaan ini lebih dari sekadar rasa profesionalisme. Pagi itu, Clara duduk di kursinya, menatap layar laptopnya yang penuh dengan spreadsheet dan laporan. 'Saya harus fokus,' pikirnya. 'Ini bukan saatnya untuk berpikir tentang Kieran.' Namun, semakin dia mencoba untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan, semakin perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali dia menatap layar, pikirannya selalu kembali kepada Kieran—kepercayaan yang diberikan padanya, kata-kata yang terus berputar di kepala Clara, dan yang terpenting, tatapan mata Kieran yang penuh perhatian, yang selalu membuat
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang memantulkan cahaya putih yang dingin. Pekerjaan menumpuk di mejanya, tetapi pikirannya jauh dari spreadsheet dan laporan yang harus diselesaikan. Tatapan matanya kosong, fokusnya terbagi antara pekerjaan yang harus segera selesai dan perasaan yang semakin menguasai dirinya. 'Apa yang saya lakukan?' Clara menggosok wajahnya dengan telapak tangan, mencoba untuk mengusir rasa cemas yang menggelayuti dirinya. Proyek besar yang diberikan oleh Kieran adalah kesempatan emas yang tidak bisa disia-siakan. Namun, semakin dia tenggelam dalam pekerjaan, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya yang mengintai di balik semua itu—perasaan yang berkembang untuk Kieran. Clara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. 'Ini bukan waktu untuk itu.' Dia harus tetap fokus, menyelesaikan laporan yang harus diserahkan minggu depan. Namun, di balik pikirannya yang berputar-putar, ada
Clara duduk di ruang kerjanya, menghadap layar komputer yang penuh dengan angka-angka dan laporan yang harus segera diselesaikan. Namun, meskipun semuanya tampak seperti pekerjaan biasa, perasaan yang menggelayuti dirinya semakin sulit untuk dihindari. Apa yang terjadi pada saya?' Clara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 'Kenapa rasanya semakin sulit untuk fokus?' Dia sudah berusaha keras untuk menekan perasaan itu, untuk tetap menjaga jarak profesional dengan Kieran. Namun, setiap kali mereka berbicara, setiap kali Kieran memberikan arahan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang terasa begitu jelas. Tatapan matanya yang tajam, kata-kata yang penuh harapan, bahkan senyum tipis yang terkadang muncul di wajahnya—semua itu membuat Clara merasa semakin terperangkap. ' 'Apakah ini hanya perasaan saya, atau apakah ada sesuatu yang lebih?' Clara menghela napas panjang dan kembali menatap laporan yang harus diselesaikannya. 'Ini bukan waktunya untuk berpikir t
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan pekerjaan di mejanya. Hari itu, tugasnya semakin berat. Namun, meskipun dia mencoba fokus pada laporan yang harus diselesaikan, pikirannya terus melayang. 'Kieran.' Perasaan itu semakin kuat dan semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali dia memikirkan Kieran, ada campuran perasaan—rasa hormat yang mendalam, ketertarikan yang semakin besar, dan kebingungan yang tak terucapkan. 'Kenapa saya harus merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri. 'Saya seharusnya bisa mengendalikan diri.' Tapi semakin lama dia bekerja dengan Kieran, semakin dia merasa terperangkap. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang tak bisa dihindari. Clara berusaha keras untuk tetap profesional, tetapi perasaan itu semakin kuat, semakin menguasai dirinya. Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan yang menyelimuti ruang kerjanya. Sebuah pesan dari Kieran. "Clara, kita perlu bertemu lagi setel
Clara berjalan dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya menuju ruang kerjanya. Hari ini, semua terasa seperti tantangan. Setiap detik yang berlalu semakin menguatkan perasaan yang telah dia coba untuk tekan. 'Perasaan itu semakin sulit untuk dihindari.' Setiap kali dia bertemu dengan Kieran, setiap kali mereka berbicara tentang pekerjaan, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang melampaui batas profesional yang selama ini mereka jaga. 'Kenapa saya merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban yang tidak kunjung datang. 'Saya harus bisa mengendalikan diri. Ini hanya pekerjaan.' Namun, meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada laporan dan tugas yang ada di mejanya, Clara tahu bahwa ada hal yang lebih besar yang harus dihadapi. Perasaan yang semakin kuat terhadap Kieran tidak bisa lagi disangkal. Setiap tatapan, setiap senyum yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa semakin terperangkap. 'Apa yang akan terjadi jika sa
Langit pagi masih berwarna abu-abu ketika helikopter milik UN Special Biothreat Taskforce mendarat di dek kapal riset Aquila. Kapal ini tidak biasa—bukan sekadar laboratorium terapung, tapi pusat komando rahasia yang dikerahkan untuk menyelidiki jejak terakhir Leviathan di sebuah pulau kecil di dekat perairan Filipina Selatan.Clara menuruni tangga helikopter bersama Nathaniel dan Kieran. Angin laut menyentak rambut mereka, dan aroma garam bercampur bensin solar menyengat tajam. Mereka disambut oleh seorang pria berkacamata dengan wajah penuh luka bakar setengah pipi kiri—Dr. Elmo Takashi, ahli genetika yang dulu bekerja untuk Leviathan dan kini menjadi saksi penting sekaligus pemandu dalam misi ini."Pulau ini tidak ada di peta resmi," kata Takashi pelan. "Tapi saya tahu, mereka menyebutnya ‘Pulau Hening’. Di sana... eksperimen tahap terakhir dilakukan. Bukan hanya virus. Tapi juga eksperimen penggabungan organik dan sistem saraf AI."Kieran mencibir. “Mereka ingin menciptakan hi
Fajar menyingsing perlahan ketika mobil taktis PBB menderu menjauhi dermaga tua. Di dalamnya, Kieran duduk berdampingan dengan Clara—kedua mata mereka memantulkan sinar remang lampu kabin. Di depan, Nathaniel mengawasi borgol di pergelangan tangan Victor Arman yang duduk di kursi belakang, tubuhnya terbungkus mantel panjang.Clara menengadah, menarik napas dalam. “Kita berhasil… tapi ini baru permulaan.”Kieran mengangguk tanpa bicara. Bayangan malam terakhir terus menghantui—detik ketika ia memutuskan untuk tidak menghabisi ayahnya, dan saat pintu rahasia terbuka untuk pertama kali. Kini, tanggung jawab baru menanti: Victor harus diadili, dan jaringan Leviathan yang tersisa harus dilenyapkan.— Sidang Kilat PertamaBeberapa jam kemudian, di ruang sidang darurat PBB, juri internasional berkumpul. Clara dan tim hukum menyiapkan stage: bukti forensik, rekaman duel, sampel biologis, dan pengakuan Victor sendiri. Ketika hakim ketua mengetuk palu, Victor berdiri—wajahnya tenang, meski d
Kegelapan pagi itu masih menggantung ketika Kieran membuka pintu kamar belakang rumah tua. Ia menatap Clara dan Nathaniel yang menunggunya di ruang kerja; mata Nathaniel masih basah oleh kesedihan, sedangkan Clara meraih tangannya dengan teguh. “Kita tidak punya banyak waktu,” ujar Kieran pelan—suara yang jauh lebih tenang daripada detak jantungnya. “Ayahku tidak akan menunggu.”Nathaniel mengangguk. “Aku sudah menyiapkan akses ke lorong bawah tanah—jalur rahasia yang dulu kami gunakan untuk mengangkut barang. Dari situ kita bisa menyusup ke markas Leviathan.” Ia meraih peta usang yang sudah ditandai beberapa titik; salah satunya tempat Victor Arman biasanya menonton operasi—ruang kendali pusat.Clara menarik napas. “Sebelum kita bergerak, aku mau tahu: apa rencana kita jika kita bertemu dia?”Kieran menatap sekilas foto tua yang menempel di dinding—Victor muda menatapnya penuh harap. “Aku tidak datang untuk membunuhnya,” gumamnya. “Aku datang untuk mengakhiri warisan kegelapan in
Langit pagi itu mendung, seakan alam pun ikut merasakan tekanan yang menggelayuti hati Clara. Di balik jendela kamar hotel tua yang mereka tempati untuk bersembunyi, ia menatap jalanan yang sepi. Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir dengan Kieran dan Nathaniel, dan selama itu pula ia hidup dalam ketegangan yang menggigit.Nathaniel duduk di kursi dekat pintu, menyusun lembaran-lembaran dokumen yang dicuri dari markas musuh mereka. Wajahnya serius, kerutan di dahinya menunjukkan beban berat yang ia pikul. Sementara itu, Kieran berdiri di dekat meja kecil, jari-jarinya mengetik cepat di layar tablet yang terkoneksi dengan sistem jaringan rahasia mereka.Clara akhirnya bersuara. "Sampai kapan kita akan terus bersembunyi?"Kieran tak langsung menjawab. Nathaniel menoleh lebih dulu, tatapannya tajam namun mengandung kelembutan. "Sampai kita tahu siapa yang bisa kita percaya. Dan siapa yang benar-benar ingin membunuhmu."Clara menggertakkan gigi, mencoba menahan kemarahan da
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda. Matahari yang menyelinap lewat jendela kaca besar di ruang tengah seolah enggan mengusik ketegangan yang sedang menggantung di udara. Clara duduk sendirian di meja makan, jemarinya menggenggam secangkir kopi yang sudah dingin. Tatapannya kosong, pikirannya mengembara entah ke mana.Sudah tiga hari sejak Kieran menghilang setelah pertemuan rahasia itu. Tidak ada pesan, tidak ada kabar, hanya keheningan yang menusuk. Clara mencoba menghubungi orang-orang dekat Kieran, namun semuanya diam, seperti sudah mendapat instruksi untuk tidak membuka mulut.Clara bangkit dari kursinya dan berjalan ke balkon. Angin pagi menyentuh wajahnya lembut, tapi tak cukup untuk meredakan kekhawatiran yang terus menumpuk dalam dadanya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Dari nomor tak dikenal.“Kalau kau ingin tahu di mana Kieran, datanglah sendiri. Jangan ajak siapa pun. Lokasi sudah dikirim.”Pesan itu disertai koordinat. Clara menatap layar ponsel, hatinya be
Kabut tebal menutupi dermaga tua di pinggiran kota, hanya diterangi lampu kapal yang bergoyang pelan di atas air. Kieran dan Clara berdiri di ujung dermaga, mengenakan pakaian gelap dan peralatan intelijen lengkap. Di antara tumpukan kontainer berkarat, mereka tahu itulah sarang terakhir organisasi bayangan—pusat koordinasi distribusi senjata biologis yang gagal mereka bongkar.Clara menekan tombol di alat komunikasi: “Ari, status?”“Semua saluran aman, sensor gerak dan termal sudah aktif. Drone patroli berputar di atas, memperingatkan setiap pergerakan darah panas di atas dek,” jawab Ari. Kieran mengangguk, memeriksa peta holografik di tangannya. “Rute masuk lewat selokan saluran pembuangan di sebelah timur. Liora seharusnya ada di ruang kontrol atas, ruangan kaca yang menghadap dermaga. Dia tahu kita akan datang—jadi waspadai jebakan.”— Mencuri Malam —Mereka merayap melalui pintu baja kecil di ujung selokan, suara air menetes bergema di lorong beton. Setengah berlari, setengah
Hujan turun deras malam itu. Langit kelabu seakan menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar sedang menanti Clara dan Kieran. Mereka duduk berdampingan di dalam mobil hitam yang terparkir di ujung jalan, tak jauh dari markas tersembunyi organisasi yang selama ini menghantui hidup Kieran.“Kamu yakin ingin melakukannya malam ini?” tanya Clara pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam suara rintik hujan di kaca depan.Kieran menoleh padanya. Mata pria itu menunjukkan tekad, tapi juga ada kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. “Kalau kita menunggu lebih lama, mereka akan bergerak lebih dulu. Dan kita tak akan sempat menyelamatkan apa pun.”Clara mengangguk, menggenggam tangan Kieran erat. “Kalau begitu, kita hadapi ini bersama.”Kieran menatap jemari mereka yang saling menggenggam, lalu mencium punggung tangan Clara dengan lembut. “Apa pun yang terjadi nanti, aku ingin kamu tahu… aku mencintaimu. Dan aku tidak menyesal telah membawamu sejauh ini.”Clara tersenyum, meski hatinya be
Fajar keemasan menembus jendela aula pengadilan, menyinari wajah-wajah tegang yang masih terpaku menanti putusan. Clara berdiri di samping Kieran, Nadia, Marina, dan sejumlah saksi ahli, masing‑masing menyimpan harap bahwa seluruh rangkaian kejadian akan mendapatkan keadilan.— Pembacaan Putusan —Hakim mengetuk palu dengan suara mantap. “Setelah mempertimbangkan seluruh bukti dan kesaksian, Pengadilan Internasional menyatakan terdakwa—mantan pejabat X, CEO perusahaan farmasi bayangan, serta ilmuwan utama—bersalah atas tuduhan penggunaan senjata biologis, pengkhianatan,""dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Semua terdakwa dijatuhi hukuman penjara maksimal dan denda besar, serta aset mereka disita penuh untuk kompensasi korban.”Kerumunan meledak dalam tepuk tangan tertahan; beberapa delegasi saling menyalami, mata Clara berkaca-kaca karena lega. Kieran memeluknya sebentar, menegaskan, “Kebenaran menang.”— Pembebasan dan Pemulihan —Di luar gedung, tim Karbon menyaksikan Belanda—mar
Kabut pagi masih menyelimuti jalanan ketika tim Karbon bersiap meninggalkan safehouse untuk menuju gedung Pengadilan Internasional. Rombongan mobil taktis meluncur perlahan, menyusuri jalan raya yang kini dijaga ketat pasukan PBB dan Europol. Di dalam mobil paling depan, Clara menatap cermin spion—melihat bayang-bayang pepohonan yang terangkat sejenak oleh lampu sorot lalu kendaraan rombongan. Ia menarik napas dalam, lalu menegaskan di hatinya: ini hari paling krusial.— Panggung Sidang Puncak —Di aula sidang, kursi-kursi tersusun rapi—barisan saksi ahli, delegasi negara, dan kerumunan jurnalis internasional sudah berkumpul. Clara melangkah mantap ke podium, di tangan kiri terdapat berkas dakwaan biologis yang tebal sekali. Di layar besar, grafis tentang rencana penyebaran virus, rekaman teknisi, hingga hasil uji lab independen semua menanti untuk diputar.Hakim ketua mengetuk palu, menandai dimulainya babak baru: dakwaan senjata biologis dan kejahatan kemanusiaan. Suara Clara m