Clara duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang memantulkan cahaya putih yang dingin. Pekerjaan menumpuk di mejanya, tetapi pikirannya jauh dari spreadsheet dan laporan yang harus diselesaikan. Tatapan matanya kosong, fokusnya terbagi antara pekerjaan yang harus segera selesai dan perasaan yang semakin menguasai dirinya. 'Apa yang saya lakukan?' Clara menggosok wajahnya dengan telapak tangan, mencoba untuk mengusir rasa cemas yang menggelayuti dirinya. Proyek besar yang diberikan oleh Kieran adalah kesempatan emas yang tidak bisa disia-siakan. Namun, semakin dia tenggelam dalam pekerjaan, semakin terasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya yang mengintai di balik semua itu—perasaan yang berkembang untuk Kieran. Clara menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. 'Ini bukan waktu untuk itu.' Dia harus tetap fokus, menyelesaikan laporan yang harus diserahkan minggu depan. Namun, di balik pikirannya yang berputar-putar, ada
Clara duduk di ruang kerjanya, menghadap layar komputer yang penuh dengan angka-angka dan laporan yang harus segera diselesaikan. Namun, meskipun semuanya tampak seperti pekerjaan biasa, perasaan yang menggelayuti dirinya semakin sulit untuk dihindari. Apa yang terjadi pada saya?' Clara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 'Kenapa rasanya semakin sulit untuk fokus?' Dia sudah berusaha keras untuk menekan perasaan itu, untuk tetap menjaga jarak profesional dengan Kieran. Namun, setiap kali mereka berbicara, setiap kali Kieran memberikan arahan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang terasa begitu jelas. Tatapan matanya yang tajam, kata-kata yang penuh harapan, bahkan senyum tipis yang terkadang muncul di wajahnya—semua itu membuat Clara merasa semakin terperangkap. ' 'Apakah ini hanya perasaan saya, atau apakah ada sesuatu yang lebih?' Clara menghela napas panjang dan kembali menatap laporan yang harus diselesaikannya. 'Ini bukan waktunya untuk berpikir t
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan pekerjaan di mejanya. Hari itu, tugasnya semakin berat. Namun, meskipun dia mencoba fokus pada laporan yang harus diselesaikan, pikirannya terus melayang. 'Kieran.' Perasaan itu semakin kuat dan semakin sulit untuk diabaikan. Setiap kali dia memikirkan Kieran, ada campuran perasaan—rasa hormat yang mendalam, ketertarikan yang semakin besar, dan kebingungan yang tak terucapkan. 'Kenapa saya harus merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri. 'Saya seharusnya bisa mengendalikan diri.' Tapi semakin lama dia bekerja dengan Kieran, semakin dia merasa terperangkap. Setiap kali mereka berbicara, setiap kali mereka bertemu, ada ketegangan yang tak bisa dihindari. Clara berusaha keras untuk tetap profesional, tetapi perasaan itu semakin kuat, semakin menguasai dirinya. Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan yang menyelimuti ruang kerjanya. Sebuah pesan dari Kieran. "Clara, kita perlu bertemu lagi setel
Clara berjalan dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya menuju ruang kerjanya. Hari ini, semua terasa seperti tantangan. Setiap detik yang berlalu semakin menguatkan perasaan yang telah dia coba untuk tekan. 'Perasaan itu semakin sulit untuk dihindari.' Setiap kali dia bertemu dengan Kieran, setiap kali mereka berbicara tentang pekerjaan, ada sesuatu yang lebih—sesuatu yang melampaui batas profesional yang selama ini mereka jaga. 'Kenapa saya merasa seperti ini?' Clara bertanya pada dirinya sendiri, berusaha mencari jawaban yang tidak kunjung datang. 'Saya harus bisa mengendalikan diri. Ini hanya pekerjaan.' Namun, meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada laporan dan tugas yang ada di mejanya, Clara tahu bahwa ada hal yang lebih besar yang harus dihadapi. Perasaan yang semakin kuat terhadap Kieran tidak bisa lagi disangkal. Setiap tatapan, setiap senyum yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa semakin terperangkap. 'Apa yang akan terjadi jika sa
Clara duduk di ruang kerjanya, matanya menatap layar komputer yang penuh dengan laporan dan data yang harus segera diselesaikan. Namun, meskipun tugas-tugas itu menumpuk di mejanya, pikirannya tidak bisa berhenti berputar pada satu hal—Kieran. 'Kenapa saya terus memikirkan dia?' Clara bertanya-tanya pada dirinya sendiri. 'Apa yang terjadi padaku?' Meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan, setiap kali dia melihat Kieran, perasaan itu semakin kuat. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap tatapan yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. 'Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?' Clara tidak tahu jawabannya, tetapi yang dia tahu adalah semakin lama dia berusaha untuk menjaga jarak, semakin perasaan itu semakin sulit untuk ditekan. 'Saya harus mengendalikan diri,' Clara memutuskan, meskipun suara di dalam hatinya terus berteriak bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. 'Ini bukan waktu u
Clara berdiri di depan cermin di ruang kerjanya, menatap refleksinya dengan mata yang kosong. Hari itu, perasaannya terasa lebih berat dari sebelumnya. 'Apa yang saya lakukan?' Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban atas kebingungannya. 'Apa yang sebenarnya saya rasakan terhadap Kieran?' Setiap kali dia berada di dekat Kieran, perasaan yang semakin kuat itu semakin sulit untuk dihindari. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap tatapan yang dia berikan, semakin membuat Clara merasa terperangkap dalam perasaan yang tak terucapkan. Apa yang sebenarnya saya rasakan?' Clara bertanya pada dirinya sendiri, tetapi jawabannya tak kunjung datang. 'Saya harus bisa mengendalikan diri,' Clara memutuskan, meskipun suara di dalam hatinya terus berteriak bahwa dia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. 'Ini bukan waktu untuk perasaan. Ini tentang pekerjaan.' Namun, meskipun dia berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaan, perasaan itu semakin mendalam. Ponselnya berbunyi
Clara duduk di ruang kerjanya, matanya menatap layar komputer yang kosong. Pekerjaan yang menumpuk di mejanya seolah tak ada artinya dibandingkan dengan kerumitan perasaan yang tengah menguasainya. 'Apa yang harus saya lakukan?' Pikirannya berputar-putar, mencoba mencari jawaban yang tak kunjung datang. Kata-kata Kieran masih terus terngiang di kepalanya. “Saya tertarik padamu, Clara. Lebih dari sekadar pekerjaan. Saya ingin tahu apakah kamu merasakan hal yang sama.” Meskipun dia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan, Clara tahu bahwa hatinya tidak bisa lagi disembunyikan. 'Saya tidak bisa terus mengabaikan ini.' Perasaan yang semakin kuat terhadap Kieran terus menggema di dalam dirinya, dan semakin dia mencoba untuk menahannya, semakin perasaan itu menguasainya. 'Tapi bagaimana dengan pekerjaan saya?' Clara bertanya pada dirinya sendiri. 'Apa yang akan terjadi jika saya memilih untuk mengikuti perasaan ini?' Ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang menyelimuti
Hari itu, Clara merasa seperti dunia di sekitarnya berputar lebih cepat dari biasanya. Setiap detik, setiap langkah, seolah mengingatkannya pada keputusan besar yang harus segera dia buat. 'Apa yang saya harus lakukan?' Perasaan itu semakin kuat, semakin tak terhindarkan. Tatapan Kieran yang penuh perhatian dan kata-kata yang semakin mendalam hanya menambah kebingungannya. 'Saya harus fokus pada pekerjaan.' Clara berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tetapi semakin ia berusaha untuk menekan perasaan itu, semakin perasaan itu menguasainya. 'Apa yang akan terjadi jika saya memilih untuk mengikuti perasaan ini? Apa yang akan terjadi pada karier saya?' Ponselnya berbunyi, memecah keheningan yang menyelimuti ruang kerjanya. Sebuah pesan singkat dari Kieran. "Clara, kita perlu berbicara lagi. Saya ingin tahu keputusanmu. Bisakah kita bertemu setelah jam kerja?" Clara menatap pesan itu, merasa detak jantungnya semakin cepat. 'Keputusan saya?' Setiap kata yang keluar dari
Pagi itu, Clara berdiri di jendela kantornya, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Suara hiruk-pikuk kota terdengar samar dari bawah, namun seolah tak menyentuhnya. 'Pikirannya terfokus pada satu hal—Kieran.' Ada perasaan yang semakin tidak bisa dia abaikan, perasaan yang tumbuh di antara mereka berdua yang semakin kuat, meskipun hubungan mereka terikat oleh banyak hal. Namun, 'seiring berjalannya waktu, Clara mulai menyadari bahwa ketegangan di antara mereka lebih dari sekadar pekerjaan.'Ada perasaan yang saling menjerat, seperti benang yang semakin mengikat tanpa ada jalan untuk melepaskannya. Kieran... meskipun terlihat tegas dan profesional, Clara bisa merasakan bahwa ia juga terperangkap dalam dilema yang sama. Akhir-akhir ini, Kieran semakin sering menghindar. Entah karena pekerjaan yang menumpuk atau karena ia mulai merasakan tekanan besar, Clara tak tahu pasti. Namun, ada satu hal yang ia sadari: hubungan mereka semakin penuh dengan ketegangan yang tidak mudah dijel
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Clara duduk di meja kerjanya, matanya tertuju pada layar komputer, namun pikirannya jauh melayang. 'Kekecewaan, kebingungan, dan harapan'—semua bercampur jadi satu, membelit pikirannya tanpa henti. Sejak pertemuan dengan Arman kemarin, ada sesuatu yang tak bisa ia lupakan. 'Proyek ini, hubungan mereka, semuanya kini terasa semakin rumit.'Ia mengambil secangkir kopi, merenung sejenak. Suara klakson mobil dari luar gedung mulai terdengar, tapi Clara seolah tak mendengarnya. Hanya ada satu hal yang memenuhi pikirannya: 'Kieran'. Setelah pertemuan mereka kemarin, Clara merasa ada sesuatu yang tidak terungkap. Kieran tampaknya lebih cemas dari sebelumnya, dan meskipun ia berusaha untuk tetap tenang, ada perasaan tidak pasti yang tetap mengganjal.“Clara,” suara Kieran yang tiba-tiba mengganggu lamunannya, membuat Clara tersentak. Kieran berdiri di ambang pintu ruangannya, dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. “Bisakah kita bi
Sore itu, Clara duduk di meja kerjanya, matanya menerawang kosong ke arah layar komputer. Pekerjaan yang tertunda dan rapat yang tak ada habisnya semakin menggerogoti pikirannya. Namun, meskipun tubuhnya lelah, ada perasaan lain yang lebih mendalam yang memenuhi dadanya. 'Rasa takut akan apa yang belum diketahui, dan sekaligus harapan akan apa yang bisa terjadi jika mereka berdua tetap berdiri bersama.'Clara menarik napas panjang, menyandarkan punggungnya di kursi. 'Ia tahu, kini tak ada lagi jalan mundur'. Hubungan mereka telah berubah—lebih rumit, lebih emosional, dan tentu saja lebih berisiko. Tapi juga lebih hidup, lebih nyata.Kieran, di sisi lain, sedang sibuk dengan tumpukan dokumen di ruang kerjanya. Meskipun jarak antara mereka ada di ruang yang berbeda, Clara bisa merasakan bagaimana Kieran pun merasakan ketegangan yang sama. Mereka berdua tidak bisa lagi hanya fokus pada proyek ini, mereka berdua tak bisa lagi berpura-pura.Dalam setiap langkah mereka, ada beban yang
Pagi itu, Clara terbangun dengan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah dunia luar dan segala hal yang biasanya mengalir dengan ritme yang teratur, kini terasa asing. Ia menatap langit biru yang tampak cerah dari jendela kamarnya, tetapi dalam dadanya, ada sesuatu yang mengganjal. 'Apakah yang terjadi dengan perasaannya?'Apakah mungkin hubungan antara dirinya dan Kieran bisa berlangsung meski mereka berada dalam lingkungan profesional yang penuh dengan ambiguitas?Clara menghempaskan selimut dari tubuhnya, merasakan dinginnya udara pagi yang masuk ke dalam ruangan. Saat ia berdiri, kakinya terasa sedikit lemah. Ada banyak hal yang mengisi kepalanya. Semua keputusan yang diambil sebelumnya seolah berputar-putar dalam pikirannya, dan setiap detiknya ia semakin merasa terpojok antara 'perasaan pribadi' dan 'tanggung jawab profesional'.Akhirnya, Clara menatap layar ponselnya. Ada satu pesan dari Kieran yang baru masuk beberapa menit yang lalu. Tanpa ragu, ia membuk
Clara duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang masih menyala. Waktu seakan melambat, dan suara ketikan jarinya di atas keyboard terdengar semakin pelan, seolah mengikuti irama pikirannya yang ragu-ragu. Pikirannya kembali melayang pada pertemuan singkat dengan Kieran tadi pagi. Meskipun mereka tampak bekerja sama dengan baik, ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan lagi. 'Keterikatan mereka semakin dalam', begitu pula dengan kebingungannya.Satu minggu lagi, Arman, klien utama mereka, akan datang untuk memeriksa hasil akhirnya. Semua yang telah mereka kerjakan—segala upaya keras, stres, dan waktu yang dihabiskan—akan diuji dalam pertemuan itu. Hasilnya bisa membawa mereka menuju kesuksesan besar, atau justru menghancurkan segala yang telah mereka bangun. Dan Clara tahu betul bahwa 'perasaan yang tak terucapkan di antara dirinya dan Kieran' semakin menambah ketegangan yang sudah mencekam.Selama ini, Clara selalu berusaha menjaga profesionalitasnya. Namun, setelah m
Pagi itu, Clara bangun dengan perasaan campur aduk. Setelah melalui beberapa hari yang penuh ketegangan, dia merasa seolah ada sebuah titik terang yang akhirnya mulai terlihat di ujung jalan. Proyek besar mereka yang sempat terancam kini mulai menunjukkan hasil. Namun, dalam diri Clara, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pekerjaan yang harus diselesaikan. 'Perasaan yang telah lama tertahan'—rindu, kekhawatiran, dan juga cinta yang semakin tumbuh—semakin menguat.Kieran, pria yang selama ini menjadi partner sekaligus bos yang ia hormati, kini tak hanya menjadi rekan dalam pekerjaan, tapi juga seseorang yang selalu ada di benaknya, tak peduli seberapa banyak pekerjaan yang harus mereka tuntaskan. Clara merasa hubungan mereka semakin rumit, namun di satu sisi, semakin indah dan penuh arti.Ketika Clara tiba di kantor, dia mendapati Kieran sudah ada di ruang kerjanya, memandangi layar komputer dengan se
Keesokan harinya, suasana di kantor terasa lebih ringan. Proyek yang semula menumpuk dengan tuntutan dan deadline yang menekan kini tampak memiliki sedikit ruang untuk bernapas. Clara merasa ada angin segar yang menyelimuti hati dan pikirannya. 'Mereka berhasil mendapatkan kesempatan kedua.'Arman telah setuju untuk memberi waktu tambahan, dan itu berarti mereka memiliki peluang untuk menyelesaikan semuanya dengan lebih baik.Namun, meskipun hal itu membawa sedikit kelegaan, Clara tahu bahwa mereka tidak boleh lengah. Waktu yang mereka miliki sangat terbatas. Mereka hanya punya waktu lima hari untuk memperbaiki semua yang telah gagal dan meyakinkan Arman bahwa mereka mampu mengatasi segala tantangan. Meskipun demikian, Clara merasa sedikit tenang karena Kieran selalu ada di sisinya.Pagi itu, Clara masuk ke ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan. Ponselnya bergetar, dan dia
Clara terbangun dengan perasaan berat di dadanya. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia merasa seolah ada banyak hal yang harus ia hadapi, tapi tak tahu harus memulainya dari mana. Proyek yang mereka kerjakan semakin mendekati titik akhir, tetapi setiap keputusan yang mereka ambil terasa semakin mempengaruhi bukan hanya pekerjaan, tapi juga perasaan mereka satu sama lain.Sesaat, Clara teringat kata-kata Kieran beberapa hari yang lalu. “Aku janji, kita akan melewati ini bersama. Kita akan cari cara untuk menghadapi Arman. Tapi kita juga harus mulai berani jujur pada diri kita sendiri, pada perasaan kita. Kita harus bicara lebih banyak, Clara.”Perasaan yang sama datang lagi—keraguan, ketakutan, tapi juga cinta yang begitu kuat. Apakah mereka benar-benar siap untuk menghadapi tantangan besar ini? Apakah mereka masih bisa melangkah bersama, atau proyek ini justru akan membawa mereka semakin jauh te
Malam itu, Clara tidak bisa tidur. Pikirannya berputar, mengingat pertemuan tadi siang dengan Arman. Beberapa hari terakhir terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Setiap detik yang berlalu, Clara merasa ada ketegangan yang semakin besar mengelilingi mereka. Proyek ini yang semula menjadi harapan, kini justru menjadi beban yang menekan batinnya. Ia duduk di balkon apartemennya, menghadap langit malam yang gelap. Hanya suara angin yang terdengar, dan sesekali mobil melintas di jalanan yang jauh. Namun, semua itu tidak mengurangi rasa cemas yang menghimpitnya. 'Apakah mereka akan mampu menyelesaikan semua ini?' Tanya Clara dalam hati. Beberapa kali, Clara mencoba menghubungi Kieran, tetapi teleponnya tidak diangkat. Mungkin, pria itu juga sedang terjebak dalam kekhawatiran yang sama. Kieran, dengan segala ket