Pagi hari, Ibu mengetuk kamarku sambil memanggil namaku. Hari ini, adalah hari pertamaku masuk sekolah.
“Iya, Bu, sebentar …,” kataku, baru saja terbangun dari tidur karena suara Ibu memanggil namaku dari luar kamar.
Kemudian, Aku langsung bangkit dari ranjang tidurku dan langsung berjalan sempoyongan membuka pintu kamarku.
“Huaaahhh … Bu, aku masih mengantuk, nih …,” kataku sambil mengucek mata.
“Hei … hari ini ‘kan, hari pertama kamu masuk sekolah. Semangat, dong …,” kata Ibu. “Iya, Bu … tapi aku masih mengantuk, nih. Sebentar lagi deh, ya?” tanyaku pada Ibu. “Eh, tidak bisa, dong … yah sudah, ayo kita mandi dulu,” kata Ibu sambil mengelus rambutku.Mengiyakan perkataan Ibu, lalu Ibu membawaku menuruni tangga dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, Aku langsung bergegas memakai seragam sekolahku, yang diberikan oleh Ibu. Saat sedang memakai seragam, aku bertanya pada Ibu,
“Bu, kenapa sih aku harus sekolah?”
“Eh, bukankah kamu pernah mengatakan, kalau kamu ingin memiliki banyak teman?Nah, kamu akan menemukan banyak sekali teman, ketika kamu masuk sekolah nanti,” jawab Ibu sambil membantuku memakaikan seragam sekolah.Aku hanya terdiam mendengar jawaban Ibu. Lalu, setelah selesai memakai seragam sekolah, Ibu membawaku berjalan menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan, Kak Melly menyambut kedatanganku.
“Pagi, Massika … wah, kamu tampak bersemangat sekali hari ini,” kata Kak Melly sedikit tersenyum padaku.
“Kalau tidak karena Ibu, Aku sama sekali tidak berniat sekolah hari ini, kak …,” kataku pada Kak Melly.Lalu, kami pun menikmati sarapan pagi bersama. Tidak ada hal yang menarik untuk dibahas pada saat itu. Jadi, kami memilih untuk fokus ke sarapan saja. Setelah selesai, Ibu dan kak Melly bergegas membersihkan meja makan. Ibu menyuruhku, untuk menunggu diluar rumah. Setelah itu, aku, Ibu dan kak Melly, masuk ke dalam mobil, dan kami pun berangkat menuju sekolahku bersama-sama.
***
Suara lonceng sekolah berbunyi, menandakan untuk semua murid masuk ke kelas. Bersamaan dengan itu, Aku tiba di depan sekolah bersama dengan Ibu dan Kak Melly menggunakan mobil.
“Sayang, Ibu harus mengantarkan Kak Melly pergi bekerja, nih … kamu masuk sendirian ke sekolah, ya. Tidak apa-apa, ‘kan?” tanya Ibu padaku.
Aku hanya menganggukkan kepala pada Ibu, tanpa menjawab sepatah katapun. Setelah berpamitan pada Ibu dan Kak Melly, Aku keluar dari mobil dan langsung berjalan masuk ke sekolah.
“Mohon perhatiannya, untuk para murid baru dipersilahkan untuk berbaris di lapangan,” kata seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah guru di sekolah itu.
Mendengar itu, para murid baru bersama dengan orang tua mereka, bergegas berkumpul ke tengah lapangan sekolah. Aku yang hanya seorang diri sambil menyandang tas merahku, mengikuti mereka berkumpul. Guru itu menyampaikan beberapa kata sambutan, menyambut kami semua selaku murid baru di sekolah itu. Setelah selesai, para murid baru di minta untuk masuk ke kelas masing-masing, sesuai arahan Guru itu. Sesampainya di kelas,
Gedebuk!
Seseorang mendorongku hingga tersungkur ke lantai. Dengan perasaan marah, Aku mengangkat tubuhku dan langsung berjalan menghampiri orang itu.
“Heh! Apa-apaan, kamu!” sentakku sambil sedikit mendorongnya.
“Eh, maaf ya … barisan kursi ini khusus untuk para murid laki-laki. Murid perempuan bisa pindah kesebelah sana,” jawabnya dengan santai.Zahir, murid laki-laki yang terbilang tampan untuk seusianya. Orang tua Zahir telah berpisah sejak dirinya lahir. Sejak kecil, dia di rawat dan di besarkan oleh neneknya. Tanpa belaian kasih sayang dari orang tua, membuatnya menjadi sedikit nakal.
“Aku duluan yang menemukan kursi ini, kenapa tidak kamu saja yang pindah?” tanyaku padanya.
“Kamu tidak mendengar perkataanku tadi? Barisan kursi ini untuk murid laki-laki! Perempuan duduknya di sebelah sana, paham tidak!” sentaknya padaku. “Ma-maaf, benar yang dikatakan, Zahir. Murid perempuan duduknya di sebelah sana. Kebetulan, ada sebuah kursi kosong di sebelah kursiku.”Dia bernama Alya. Seorang perempuan berkacamata yang mempunyai sifat pemalu. Meskipun begitu, Aku harus berterima kasih padanya. Berkat dirinya, Aku bisa mendapatkan tempat duduk.
Dengan berat hati, Aku harus merelakan tempat duduk yang harusnya menjadi milikku, kini dimiliki oleh orang lain. Aku mengikuti Alya, pindah ke barisan tempat duduk di sebelah. Kemudian, tepat setelah Aku dan Alya duduk, Bu guru tiba di kelas.
***
Kelas pun dimulai dengan perkenalan oleh Bu guru itu. Selesai itu, kami selaku murid baru di persilahkan untuk maju ke depan kelas, memperkenalkan diri masing-masing secara bergantian. Perkenalan dimulai dari pihak laki-laki terlebih dahulu. Berjalan dengan sedikit mendongakkan kepala, Zahir maju ke depan kelas dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi.
“Selamat pagi semua, namaku, Zahir … terima kasih,” ucap Zahir.
“Sudah, begitu saja? Tidak ada yang ingin di sampaikan lagi?” tanya Bu guru. “Tidak ada, hanya itu saja, Bu,” jawab Zahir, berdiri sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. “Yah sudah, terima kasih, Zahir … silahkan kembali ke tempat dudukmu.”Tanpa menjawab perkataan dari Bu guru, Zahir langsung berjalan menuju tempat duduknya dengan santai. Pandanganku mengikuti langkah kaki Zahir sampai ke tempat duduknya.
“Ih, apaan sih, tuh anak … sombong banget!” gumamku, sambil menatap tajam kearah Zahir.
Kemudian, perkenalan dilanjutkan. Murid laki-laki bergantian maju ke depan kelas dan memperkenalkan diri mereka. Setelah selesai, kini giliran murid perempuan yang akan memperkenalkan diri ke depan kelas. Aku mendapat giliran pertama untuk maju ke depan kelas.
“Selamat pagi, teman-teman … namaku, Massika. Aku tinggal bersama dengan kakak dan ibuku. Rumahku tak jauh dari sekolah ini. Hobiku, bermain dengan hujan,” kataku, dengan penuh semangat.
“Hahaha … bermain dengan hujan? Hati-hati, nanti di sambar petir, loh …,” sorak Zahir, mengejekku.Sontak, murid-murid lain ikut mentertawaiku. Aku hanya bisa menunduk karena malu, tanpa bisa mengatakan sepatah katapun. Jantungku serasa ingin copot pada saat itu. Rasanya, ingin sekali segera menyelesaikan perkenalan itu. Namun, tak ingin kalah dari Zahir, aku menarik nafas panjang dan kembali mengangkat kepalaku.
“Permisi, Zahir … masing-masing murid sudah di berikan kesempatan untuk memperkenalkan diri, loh. Jika kamu tidak bisa memperkenalkan diri dengan baik, setidaknya jangan mengganggu orang lain, dong? Jika di pikir-pikir, masih jauh lebih baik cara perkenalanku tadi, dibandingkan dirimu yang sama sekali tidak jelas asal-usulnya, hahaha …,” kataku, tersenyum menyeringai kearah Zahir.
Kemenangan di pihakku. Kini, kekalahan menghantui pikiran Zahir. Menundukkan kepala adalah pilihan terbaik yang dilakukannya untuk saat ini, Tertawa ejekkan menembus masuk ke telinga Zahir. Rasa dendam timbul di hatinya. Namun apalah daya, dia hanya bisa mengepalkan kedua telapak tangannya dengan kuat, sambil menahan rasa malu. Bu guru mencoba melerai dengan memintaku untuk menyudahi perkenalan dan kembali ke tempat duduk. Dengan senang hati, Aku menuruti perintah Bu guru. Berjalan kembali menuju tempat dudukku, di iringi senyuman kemenangan tergambar di wajahku.
Tampak dari kejauhan, Zahir masih saja menundukkan kepala sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Aku semakin merasa puas melihatnya seperti itu. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan, setelah apa yang ku lakukan pada Zahir. “Sialan! Berani-beraninya, dia mempermalukanku seperti ini. Awas saja, akan ku balas perbuatanmu!” gumam Zahir, sambil mengepalkan kedua tangannya semakin kuat.Sekarang, pandangan mata tidak lagi terpusat pada Zahir. Melainkan, para murid sekelasku kembali memperhatikan Bu guru yang tengah berdiri di depan kelas. Bu guru berkata, hanya perkenalan saja untuk pertemuan pertama ini. Kemungkinan besok, baru lah pelajaran pertama kami dimulai. Sesaat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi. “Baiklah, perkenalan kita cukup sampai disini dulu, ya … sekarang, kalian boleh pulang,” kata Bu guru.Para murid berbaris dan secara bergantian bersalaman dengan Bu guru. Lalu, para murid berl
Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya. “Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya. “Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan. “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku. “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat. “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”Merasa kasihan pada
Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil. Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar. “Kak, Alya pergi kemana?
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Jam dinding kelasku menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Pelajaran telah usai dan Dosenku berjalan meninggalkan kelas. “Huaaahhh … selesai juga akhirnya. Setelah ini, aku bisa pulang dan tidur sepuasnya, hore …,” kataku kegirangan sambil menyusun buku-buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. “Wah, enak banget kamu, ya … selesai kuliah bisa langsung tidur. Sedangkan aku, langsung berangkat kerja demi membayar biaya kuliahku,” sahut Alya yang tengah duduk disampingku. “Lho, kamu kerja? Dimana, Al?” tanyaku pada Alya. “Aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari kampus ini, Massika. Yah, berangkat dengan jalan kaki saja juga sudah sampai, kok,” jawab Alya. “Wah, enaknya … aku malah ingin bekerja seperti kamu, memiliki penghasilan dan membayar uang kuliah sendiri, tapi …, Kak Melly ti
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur