Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil.
Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar.
“Kak, Alya pergi kemana? Mengapa sampai sekarang, dia tidak kembali juga?” tanyaku pada Kak Melly yang tengah duduk bersama orang asing, yang sama sekali tak ku kenal di ruang makan.
“Hmm … tidak tahu, Massika. Malam tadi, ada seorang anak laki-laki yang datang ke rumah kita. Dia mengatakan, kalau dia ingin menjemput Alya,” jawab Kak Melly.Aku menganggukkan kepala mengiyakan perkataannya. Lalu, aku menarik kursi dan mendudukkan tubuhku di atasnya, dan meminta di ambilkan piring serta nasi dan lauk pada Kak Melly. Setelah itu, aku pun memakan nasi serta lauk itu, bersama dengan Kak Melly dan yang lainnya.
“Mengapa kamu bangun lebih awal hari ini, Massika?” tanya Kak Melly padaku.
“Tidak apa-apa, Kak … aku ‘kan harus pergi ke sekolah hari ini,” jawabku singkat. “Kakak sudah mengatakan kepada gurumu, kalau kamu tidak masuk sekolah hari ini. Jadi, kamu …,” “Tidak, Kak, aku ingin pergi ke sekolah,” potong ku. “Eh, tapi, Massika …,” “Tidak apa-apa, Kak … saat berada di sekolah, aku jauh merasa lebih baik dari pada berada di rumah tanpa ibu,” potong ku.Kak Melly, tak bisa berkata apa-apa. Dia hanya menghela nafas dan mengelus rambutku saja. Tak ada pilihan lain, Kak Melly akhirnya mengizinkanku untuk pergi ke sekolah. Dia berkata, “Yah sudah, setelah makan, kamu mandi dan bersiap-siap. Nanti, Kakak yang akan mengantarkanmu berangkat pergi ke sekolah.”
“Loh, kakak ingin mengantarkanku pergi sekolah menggunakan apa?” tanyaku pada Kak Melly, bingung mendengar perkataannya.
“Oh iya, mobil kita ‘kan …,” “Tidak apa-apa, Kak, aku bisa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Lagi pula, aku sudah berjanji pada Alya, untuk berangkat ke sekolah bersama,” potong ku. “Hufffttt … yah sudah kalau begitu.” Kak Melly mengakhiri percakapan. Dia tak tahu lagi harus mengatakan apa pada saat itu.Setelah selesai makan, aku pamit untuk kembali ke kamar, mengambil handuk milikku dan langsung bergegas pergi ke kamar mandi.
Cebur!
“Bbbrrrrr … Bu, dingin banget air ….”
Seketika, perkataanku terhenti. Setiap pagi, ibu selalu ikut masuk ke kamar mandi, memandikanku dan mengeringkan seluruh tubuhku menggunakan handuk, setelah selesai mandi. Ketika tubuhku menggigil terkena air, aku selalu memeluk ibu, agar rasa dingin yang ada di tubuhku menghilang. Namun, ketika aku berbalik arah, yang ku temui hanyalah dinding kamar mandi, bak mandi serta keran air yang mengalirkan air ke dalam bak mandi.
Aku kembali mandi dan bergegas menyelesaikannya. Setelah selesai, aku langsung keluar dari kamar mandi dan langsung kembali ke kamar. Selesai berpakaian, aku turun dari kamar, berpamitan pada Kak Melly dan orang-orang yang tengah duduk bersama di ruang makan, lalu aku berjalan keluar rumah dan berangkat pergi ke sekolah.
***
Udara segar menusuk penciumanku. Angin berhembus pelan disambut dengan kicauan burung-burung mengiringi langkahku. Tak ada seorang pun yang melintasi jalanan itu. Hanya ada diriku seorang diri, di temani suara ibu yang masih terngiang jelas di telingaku. Aku berbohong pada Kak Melly, tentang perjanjianku pada Alya. Aku tidak ingin merepotkannya, setelah mengetahui kalau mobil milik ibu, telah hancur setelah tragedi yang merenggut nyawa ibu.
Sesaat setelah itu, aku pun tiba di depan gerbang sekolah. Waktu menunjukkan masih sekitar setengah tujuh pagi. Masih terlalu pagi untuk para murid datang ke sekolah, kecuali aku. Menyandang tas merah mudaku, aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil melihat ke sekeliling. Tiba-tiba, aku melihat seorang pria paruh baya mengenakan seragam bertuliskan ‘Satpam’ pada pakaiannya, berjalan terburu-buru menghampiri gerbang sekolah.
“Dek, kamu sekolah disini?” tanya Pak Satpam itu padaku.
“Iya, Pak …,” jawabku singkat. “Loh, mengapa pagi-pagi sekali? Sekolah baru dimulai, sekitar satu jam lagi,” ucap Pak Satpam padaku. “Tidak apa-apa, Pak … aku tadi tiba-tiba terbangun, dan tidak bisa tidur lagi, hehe … yah sudah, dari pada bingung, lebih baik aku berangkat saja ke sekolah. Oh iya, tolong bukakan gerbangnya dong, Pak …,” pintaku pada Pak Satpam.Mendengar perkataanku, Pak Satpam pun bergegas membukakan pintu gerbang sekolah, dan mempersilahkanku masuk. Kemudian, Pak Satpam berjalan beriringan bersamaku, dan bertanya padaku, “Ruang kelasmu sebelah mana?”
“Itu, Pak, tepat di depan kita,” jawabku, menoleh kearah Pak Satpam dan menunjuk kearah kelas.
Pak Satpam itu menganggukkan kepalanya, mengakhiri pembicaraan. Sampai lah kami di depan pintu kelasku. Pak Satpam pun langsung bergegas membuka pintu kelas menggunakan sebuah kunci yang dipegangnya, dan berkata, “Yah sudah, kamu tunggu di kelas saja. Sebentar lagi, murid-murid lain mulai berdatangan. Kalau kamu butuh sesuatu, Bapak ada di pos penjagaan dekat gerbang sekolah.”
Setelah mengatakan itu, kami pun berpisah. Pak Satpam kembali ke pos penjagaannya, sedangkan aku, masuk dan menunggu di dalam kelas seorang diri. Suara jam dinding berdetak, menemani kesunyianku. Tidak ada hal apapun yang bisa ku lakukan, kecuali hanya termenung menatap pergerakan jarum jam, yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak tahu sebabnya, tapi aku merasa begitu nyaman saat berada di kelas seorang diri. Hening yang ku rasakan saat ini mengajarkanku bahwa, ‘ramai tak selalu membuat perasaan seseorang itu bahagia’. Kata-kata itu, seakan merasuki pikiranku. Ibu mengatakan, berteman lah dengan banyak orang. Karena, apapun yang terjadi nanti, pasti kita akan membutuhkan bantuan dari orang lain. Kata-kata itu, terasa bohong bagiku. Sempat terpikir olehku, untuk menutup diri dari orang-orang. Namun,
Bruakk!
Seseorang memukul meja belajarku. Sontak, tubuhku tersentak dan membuatku tersadar dari lamunanku. Aku menoleh kearah orang itu, dan ternyata itu adalah Alya.
“Woy, Massika! Mengapa kamu datang ke sekolah? Harusnya ‘kan …,”
“Tidak, Al … aku bosan berada di rumah.”Aku langsung memotong perkataan Alya, dengan melontarkan senyum manisku padanya. Mendengar itu, Alya terdiam seketika. Tak tahu harus mengatakan apa, Alya memilih untuk duduk di kursi sebelah kiriku. Setelah itu, aku menarik kembali pandanganku, lalu menoleh lagi kearah jam dinding.
Waktu berlalu dan tak terasa, sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Suara lonceng sekolah berbunyi. Para murid yang sekelas denganku, mulai berdatangan diikuti oleh Bu guru yang mengajar di kelasku. Saat beliau ingin memulai kelas dengan menyapa para murid, seketika mulutnya terhenti. Pandangannya tertuju padaku. Mengerutkan keningnya, beliau bertanya,
“Loh, Massika … bukannya tadi, kakakmu menghubungi saya dan mengatakan kalau …,”
“Tidak, Bu … aku sudah izin pada kakak, untuk pergi ke sekolah. Tidak apa-apa, Bu, silahkan mulai pelajarannya, hehe ….”Aku langsung memotong pertanyaan Bu guru, karena tidak ingin membahasnya. Beliau hanya tersenyum padaku, lalu menarik kembali pandangannya, dan langsung memulai kelas dengan menyapa semua murid yang ada di kelas.
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Jam dinding kelasku menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Pelajaran telah usai dan Dosenku berjalan meninggalkan kelas. “Huaaahhh … selesai juga akhirnya. Setelah ini, aku bisa pulang dan tidur sepuasnya, hore …,” kataku kegirangan sambil menyusun buku-buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. “Wah, enak banget kamu, ya … selesai kuliah bisa langsung tidur. Sedangkan aku, langsung berangkat kerja demi membayar biaya kuliahku,” sahut Alya yang tengah duduk disampingku. “Lho, kamu kerja? Dimana, Al?” tanyaku pada Alya. “Aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari kampus ini, Massika. Yah, berangkat dengan jalan kaki saja juga sudah sampai, kok,” jawab Alya. “Wah, enaknya … aku malah ingin bekerja seperti kamu, memiliki penghasilan dan membayar uang kuliah sendiri, tapi …, Kak Melly ti
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur