Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya.
“Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya.
“Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan. “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku. “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat. “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”Merasa kasihan pada Alya yang sudah sangat kedinginan, Aku pun langsung mengiyakan ajakan Alya. Lalu, Aku dan Alya berjalan ke rumah masing-masing. Saat di perjalanan pulang, Aku mencoba mencairkan suasana, supaya Alya tidak terlalu merasa kedinginan. Aku menanyakan tentang Zahir padanya.
“Nggak tahu, ah! Tidak usah di bahas deh, Massika … untuk apa memikirkan Zahir, dia pantas menerima itu, Brrrr …,” kata Alya, memotong langsung pertanyaanku, dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
“Iya, sih, tapi ‘kan …,” “Massika, bukan nya tadi ibumu yang mengantarkan kamu ke sekolah, ya? Lalu, mengapa ibumu tidak menjemput kamu?” tanya Alya, lagi-lagi memotong pertanyaanku dan mengalihkan pembicaraan. “Tidak tahu, Al … yah sudah lah, toh juga sebentar lagi Aku sampai di rumah,” jawabku.Alya hanya diam dan menganggukkan kepalanya. Merasa belum puas bermain dengan Alya, Aku mengajaknya untuk singgah sebentar di rumahku, sambil menunggu hujan berhenti. Namun, Alya menolak ajakkanku. Dia berkata, seragam sekolahnya sudah sangat basah dan juga kotor.
“Tidak apa-apa, Al … kamu bisa mengganti seragam sekolahmu dengan pakaian milikku. Seragam sekolahmu, nanti akan di cuci oleh ibuku. Sekalian deh, seragam sekolahku juga kotor,” kataku, mencoba meyakinkan Alya.
Belum sempat Alya menjawab ajakanku, Aku mengatakan kalau kami sudah tiba di dekat rumahku. Sontak, Alya kebingungan dengan perkataanku.
“Rumah kamu yang mana, Massika?” tanya Alya.
“Itu, rumah yang cukup besar, tepat di depan kita,” jawabku. “Eh, bukan nya kamu mengatakan, kalau kamu tinggal bersama Ibu dan Kakakmu, ya?” tanya Alya. “Benar … memangnya kenapa, Al?” tanyaku. “Kalau benar begitu, mengapa di depan rumah kamu ada banyak sekali mobil? Mobil ambulan juga ada, tuh?” tanya balik Alya, sambil menunjuk kearah rumahku.Seketika, langkahku terhenti. Aku sedikit merasa bingung, mengapa ada banyak sekali mobil di depan rumahku. Namun, tidak ingin ambil pusing, Aku langsung menjawab pertanyaan Alya, kalau itu hanya mobil milik para tamu ibuku.
“Kalau benar itu adalah para tamu ibumu … lantas, mengapa ada bendera …, yah, semoga saja perkataanmu benar ya, Massika,” kata Alya, dengan raut wajah yang mulai berubah aneh.
***
Sesaat kemudian, tiba lah Aku dan Alya di depan rumahku. Aku langsung berjalan masuk ke dalam rumah, yang kebetulan gerbang rumahku sedang terbuka lebar.
“Alya, mengapa kamu masih berada disini? Kamu tidak jadi pulang, ya?” tanyaku pada Alya, yang masih mengikutiku masuk ke dalam rumah.
“Hehe … sepertinya, aku berubah pikiran, Massika. Aku boleh main sebentar denganmu, sampai hujan berhenti, ‘kan?” tanya Alya, masih dengan raut wajah anehnya. “Eh, tentu saja boleh. Ayo, kita masuk, Al ….”Lalu, Aku berjalan bersama dengan Alya, masuk ke dalam rumah. Namun, setibanya Aku dan Alya di dalam rumah, ada banyak sekali orang-orang yang tidak ku kenal. Aku berjalan masuk, dengan mengucapkan salam, sambil menatap ke sekeliling melihat orang-orang itu. Tiba-tiba, Kak Melly berlari menghampiriku dan langsung memelukku sambil menangis.
“Kengapa Kakak menangis? Lalu, mengapa ramai sekali orang, yang satu pun tidak ada yang ku kenal, Kak?” tanyaku pada Kak Melly, merasa bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Massika, hiks …, Ibu …,” jawab Kak Melly, sambil terus menangis. “Ibu? Eh, iya, Kak … Aku ingin mengganti seragam sekolahku, nih. Sudah kotor dan Aku juga ingin mandi. Ibu dimana, Kak?” tanyaku pada Kak Melly dengan polos.Alya berjalan dan sedikit mengintip kearah ruang tamu. Lalu, Alya kembali menghampiriku. Mengelus punggungku, kemudian berkata sambil se-sekali menoleh kearah ruang tamu,
“Massika, kamu … kamu yang sabar, ya …,”
“Sabar? Mengapa, Aku harus bersabar, Al?” tanyaku pada Alya, semakin membuatku kebingungan.Melihat dari sorot mata Alya, sepertinya Dia sedang melihat kearah ruang tamu. Merasa penasaran, Aku pun menoleh kearah yang dituju oleh sorot mata Alya. Aku melihat, banyak sekali orang yang sedang membaca buku disana. Namun, pandanganku terhenti saat melihat sebuah kain putih yang terletak di tengah-tengah mereka.
“Kak, mereka sedang apa, ya? Seperti sedang membaca buku, tetapi mengapa harus di rumah kita? Lalu, itu apa, kak … panjang dan di selimuti kain putih yang ada di tengah-tengah mereka?” tanyaku pada Kak Melly, sambil menunjuk kearah ruang tamu.
“Kak, hmm … Massika, tidur di kamar sebelah mana, ya? Kami ingin bermain bersama di kamarnya.” Alya mengalihkan pembicaraan, seakan tidak ingin membahas tentang apa yang sempat Aku tanyakan tadi. “Eh, tunggu dulu, Al … Aku ingin mengganti seragam sekolahku dulu. Sudah basah kuyup, nih … kamu juga basah, ‘kan? Tidak mungkin kita masuk ke kamar, dengan kondisi basah seperti ini. Isshh … Kak, beritahu dong, dimana Ibu … bukan nya memberitahuku, Kakak malah menangis, hadeh …,” kataku kesal pada Kak Melly.Namun, Kak Melly lagi-lagi tidak menjawabku, tetapi masih asik menangis. Kemudian, pandanganku teralih oleh seorang wanita paruh baya, tampak berjalan menggunakan lutut kakinya, mengarah ke sebuah benda panjang di selimuti kain putih itu. Perlahan, wanita itu menurunkan kain yang menyelimuti benda itu,
“Eh, itu apa, Kak? Benda itu, kenapa seperti wajah manusia?” tanyaku pada Kak Melly.
Tangisan Kak Melly pecah setelah mendengar pertanyaanku tadi. Aku sempat panik melihat Kak Melly yang tiba-tiba menangis seperti itu. Namun, tiba-tiba seorang gadis cantik menghampiri Aku dan Kak Melly, bersama dengan kedua temannya.
“Mell, kami pulang dulu, ya … tiba-tiba, kami ada urusan mendadak, nih. Turut berduka cita atas kepergian Ibu kamu, ya … maaf banget, kami tidak bisa lama-lama disini, hehe …,” kata gadis itu pada Kak Melly.
“Eh, pergi? Ibuku pergi kemana, kak?” tanyaku pada gadis itu, setelah mendengar perkataannya tadi. “Mell, ini siapa? Adikmu, ya?” tanya gadis itu pada Kak Melly, sambil menunjuk kearahku.Kak Melly hanya menganggukkan kepala, tanpa menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan gadis itu. Tiba-tiba, gadis cantik itu membungkukkan tubuhnya dan langsung memelukku. Dia berkata, Aku tidak perlu bersedih. Ada Kak Melly, Dia dan teman-temannya yang akan menjagaku.
“Eh, maksudnya bagaimana, sih, Kak? Sebenarnya, ini ada apa ya, Kak? Siapa yang sedih, coba? Lalu, Aku ‘kan punya Ibu, untuk apa Kakak harus repot-repot ingin menjagaku juga?”
“Mell, ibumu ingin di kuburkan sekarang atau bagaimana? Masalah nya, di luar masih hujan,” kata seorang pria paruh baya, memotong pembicaraanku pada gadis itu. “Ma-maaf, Om … mengapa Ibu saya ingin di kubur, ya? ‘Kan, Ibu saya bukan tanaman?” tanyaku pada pria paruh baya itu. “Eh, ini Massika, ya?” tanya balik pria itu. “Iya, Om … Aku, Massika, kenapa?”Pria paruh baya itu tidak menjawab pertanyaanku. Dia malah tersenyum, sambil mengelus-elus rambutku. Lalu, Alya menghampiriku.
“Massika, kamu … kamu ingin tahu, dimana keberadaan Ibu kamu?” tanya Alya.
“Iya, dong, Al … eh, memang nya kamu tahu, dimana ibuku? Sejak tadi ‘kan, kamu selalu berada di dekatku?” tanyaku pada Alya, “Tentu tahu, dong … yuk, ikuti Aku,” ajak Alya. “Eh, ke mana?” tanyaku pada Alya. “Sudah lah, ikut saja ….”Alya langsung menarik tanganku, berjalan menuju ke ruang tamu. Kemudian, Alya melepaskan genggaman tangannya dan mendorong lembut tubuhku, menyuruhku untuk berjalan maju menghampiri seseorang yang di selimuti kain putih itu. Lalu, Aku pun berjalan maju sesuai perintah Alya.
“Eh, Ibu? Mengapa, Ibu tiduran disini? Bu, orang-orang ini siapa? Oh iya, seragam sekolahku kotor, nih … kita ke kamar mandi, yuk. Aku ingin mengganti seragamku, Bu …,” kataku, sambil menggoyang-goyangkan tuuh Ibu, yang tengah terbaring di depanku.
Seketika, orang-orang yang tengah berkumpul sambil membaca buku itu terdiam. Mata mereka tertuju padaku. Aku masih belum menyadari, apa yang sedang terjadi pada saat itu. Pikirku, Ibu sedang tertidur. Jadi, Aku mencoba membangunkan Ibu.
“Bu, bangun dong, Aku sudah basah kuyup, nih …,” kataku, masih terus menggoyang-goyangkan tubuh Ibu.
Tiba-tiba, Kak Melly menghampiriku dan langsung mengangkat tubuhku, membawaku menjauh dari Ibu yang sedang tertidur. Lalu, Kak Melly menuruniku dan langsung memelukku dengan erat sambil menangis. Aku merasa marah pada Kak Melly dan berusaha melepaskan tubuhku dari pelukkannya. Aku berniat ingin kembali menemui Ibu, membangunkannya untuk menemaniku mengganti seragam sekolahku.
“Ibu, hikss … Massika, ibu sudah … meninggal!!!” teriak Kak Melly histeris.
“Apa?”Tiba-tiba, tubuhku serasa kaku. Mataku terbuka lebar dan jantungku berdegup kencang tak karuan. Rasanya, hatiku seperti tertusuk pedang yang sangat tajam. Aku ingin menangis, tetapi masih bingung dengan apa yang sedang terjadi.
“Kak, Ibu … ah, tidak-tidak! Kakak pasti bercanda, ‘kan? Hahaha … tidak lucu loh, Kak …,” kataku, tertawa mendengar perkataan Kak Melly.
“Tidak, Massika … hikss … Ibu sudah meninggal!”Aku langsung mendorong Kak Melly dengan sekuat tenaga, sampai terjatuh ke lantai. Lalu, Aku langsung berlari menghampir Ibu.
“Bu … Ibu masih hidup, ‘kan? Ibu hanya tidur saja, ‘kan? Bu, tolong bangun, dong … nanti kita main dengan hujan lagi, ‘kan? Eh, di luar sedang hujan, Bu. Lihat nih, seragamku sudah basah kuyup. Aku tadi mandi hujan bersama dengan temanku, Bu … Ibu sih, tidak menjemputku. Oh iya, ini temanku, Bu … namanya Alya, orang nya baik banget. Bu, bangun dong, ish ….”
Aku melakukan segala cara supaya bisa membangunkan ibu. Mulai dari memeluk tubuhnya, mengelus-elus rambutnya, mencium pipi dan kembali lagi memeluk ibu dengan erat. Namun, tetap saja tidak terjadi apa-apa pada Ibu. Sekitar hampir sepuluh menit lamanya, Aku menggoyang-goyangkan tubuh ibu dan berharap bisa membangunkan ibu. Tidak bisa dipungkiri kalau ternyata ibuku telah tiada, Aku mencoba untuk menerima kenyataan itu dan seketika, tangisanku pecah.
Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil. Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar. “Kak, Alya pergi kemana?
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Jam dinding kelasku menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Pelajaran telah usai dan Dosenku berjalan meninggalkan kelas. “Huaaahhh … selesai juga akhirnya. Setelah ini, aku bisa pulang dan tidur sepuasnya, hore …,” kataku kegirangan sambil menyusun buku-buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. “Wah, enak banget kamu, ya … selesai kuliah bisa langsung tidur. Sedangkan aku, langsung berangkat kerja demi membayar biaya kuliahku,” sahut Alya yang tengah duduk disampingku. “Lho, kamu kerja? Dimana, Al?” tanyaku pada Alya. “Aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari kampus ini, Massika. Yah, berangkat dengan jalan kaki saja juga sudah sampai, kok,” jawab Alya. “Wah, enaknya … aku malah ingin bekerja seperti kamu, memiliki penghasilan dan membayar uang kuliah sendiri, tapi …, Kak Melly ti
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur