Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.
Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai ….
Brakk!
“Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai.
“Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku. “I-iya, sa-saya … saya minta maaf,” kataku padanya, yang baru saja selesai mepaihkan buku-buku milikku, lalu berdiri dan menjulurkan tangan permintaan maaf padanya. “Hadeh ….”Pria itu mengabaikan jabat tanganku. Dia pergi berlalu, meninggalkanku seorang diri tanpa menerima permintaan maaf dariku. Mungkin, karena keculunanku ini, dia malu untuk berjabat tangan denganku. Bahkan, menoleh kearahku saja, sorotan matanya seperti enggan melihatku. Menyadari kalau aku menjadi sorotan orang-orang yang ada di sekitar, aku pun bergegas pergi menuju kelas yang sudah diinformasikan sebelumnya.
***
Pintu kelas, ku buka dengan perlahan. Aku berpikir, tidak ada seorang pun yang datang sepagi ini, kecuali aku seorang diri. Namun, saat pintu kelas terbuka, para Mahasiswa dan Mahasiswi sekelasku, sudah berkumpul dan duduk di kursinya masing-masing. Aku merasa gugup, karena ‘Mereka’ serentak memandang kearahku. Dengan buku-buku yang ku peluk dan tas hitam yang kugendong di pundak belakangku, aku berdiri tegak didekat pintu masuk, sambil melihat sekeliling untuk mencari kursi kosong yang akan ku tempati. ‘Itu, ada satu!’ batinku. Lalu, aku bergegas menuju kursi kosong itu, sebelum seseorang menempatinya.
Menghela nafas lega, aku duduk di kursi itu sambil melepaskan kacamata yang kukenakan, dan membersihkannya. Lalu, seseorang menepuk lembut pundakku dan menyapaku dari arah sebelah kiri.
“Massika?”
“Eh, Alya? Kamu, Alya ‘kan?” tanyaku sambil menunjuk kearahnya. “Iya, Massika, hahaha … lama tidak berjumpa. Kamu apa kabar?” tanya balik darinya, yang ternyata adalah Alya, teman lamaku. “Baik, kok … kamu sendiri bagaimana?” tanyaku sambil berjabat tangan dengan Alya. “Baik juga, Massika …,” “Oh iya, si Zahir apa kabar, Al?” potong ku. “Zahir? Oh, dia kuliah disini juga, Massika. Dia sering sekali bertanya padaku tentangmu, semenjak kamu pindah ke kota ini bersama dengan kakakmu,” jawab Alya, melepas jabat tangannya.Aku dan Alya saling bertukar cerita, layaknya seperti sahabat yang baru saja bertemu setelah sekain lama. Tak banyak, tapi sembari menunggu kelas di mulai, kami terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan, sama seperti yang lain.
***
Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, dan kelas belum juga di mulai. Tiba-tiba, pintu ruang kelas terbuka. Sontak, seisi ruangan menjadi hening. Seorang pria yang terbilang cukup tampan, masuk ke ruangan.
“Selamat pagi, para Juniorku sekalian … perkenalkan, namaku, Alex. Mahasiswa paling tampan di kampus ini,” ucapnya dengan penuh percaya diri.
Dia adalah Alex. Mahasiswa tertampan di kampus ini. Setidaknya, begitu lah pengakuannya di depan seluruh Mahasiswa dan Mahasiswi baru di kelasku. Menurutku, dia tak setampan itu. Penampilannya juga biasa-biasa saja. Memang, wajahnya lumayan tampan dibandingkan dengan para pria sekelasku. Akan tetapi, penampilan serta gayanya, bukanlah tipe pria idamanku.
Semua mata tertuju padanya. Seluruh Mahasiswa, memandanginya seperti sedang menonton sebuah acara lawak komedi dalam ruangan. Alex mencoba menyombongkan diri, menyebut dirinya adalah seorang pria kaya, tampan dan terkenal di kampus. Namun, tak ada yang memperdulikannya. Dia berbicara sendiri di depan kelas, seperti orang yang terkena ‘gangguan jiwa’. Merasa begitu, Alex memandang kearahku. Dia memanggil dan menunjuk kearahku, mengatakan kalau aku telah menabraknya tadi, saat berada di koridor. Sedikit panik dan terkejut, aku langsung menoleh ke segala arah, takut kalau ternyata yang dimaksud olehnya bukan aku.
“Siapa, Kak? Saya?” tanyaku padanya, menyadari kalau arah bola matanya tertuju padaku.
“Iya, Manis … namamu siapa? Boleh kenalan?” tanya balik Alex, berjalan kearahku dan langsung menyandarkan kedua tangannya di meja kecil kursiku, dengan wajahnya mendekat ke wajahku.Aku langsung panik saat itu. Wajahku pucat pasi dan jantungku berdegup kencak tak karuan. Aku menoleh ke segala arah, berharap seseorang datang menhampiriku dan meminta Alex untuk pergi. Namun, semua orang sepertinya sangat menikmati adegan itu. Senyum bahagia serta tertawa kecil dari orang-orang mengarah padaku.
“Eh! A-anu … na-nama saya …, Ma-Massika,” kataku gugup.
“Eh, kamu kenapa? Mengapa cara berbicaramu seperti itu? Kamu gugup?” tanya Alex, menyeringai padaku. “Eh, ti-tidak, kok … sa-saya hanya … hmm ….”Jeglek!
“Alex! Sedang apa kamu di ruangan ini?”
Seorang pria paruh baya, tiba-tiba membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Sepertinya, beliau adalah dosen yang mengajar di kelasku. Melihat kedatangannya, hatiku menjadi sedikit lega. Mendengar itu, Alex langsung menoleh kearah Dosen itu, lalu berjalan sambil menggaruk kepalanya.
“Eh, Pak Rico, hehe … ah, tidak ada kok, Pak. Saya hanya … hmm …, ah, saya diperintahkan oleh Pak Rektor, untuk menyapa Mahasiswa baru, Pak,” jawab Alex.
“Halah … bilang saja kamu ingin menggoda para Mahasiswi baru ini. Iya, ‘kan?” tanya Pak Rico. “Eh, hehe … tahu aja, Bapak,” jawab Alex, tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya. “Sudah! Keluar sana, dan kembali ke kelasmu!” bentak Pak Rico. “Siap, Pak! Massika, hmm … setelah kuliah selesai, kita ketemu di kantin, ya ….”Alex berjalan menuju pintu dan berbicara serta melambaikan tangannya padaku. Setelah itu, dia pun keluar dari kelas. Aku hanya menunduk sambil sesekali menoleh kearah pintu. Senyum tipis tergambar jelas di wajahku. Mengingat kelakuannya tadi, membuatku sangat kesal padanya. Namun, terselip rasa senang di hatiku. Apalagi, saat bertatapan dengannya.
“Ehem-ehem!” Alya mendeham padaku.
“Eh, kamu kenapa, Al?” tanyaku, sedikit menaikan alis. “Sepertinya, ada yang sedang jatuh cinta, nih, hahaha …,” bisik Alya sambil tertawa pelan padaku. “Husssh! Apaan sih, Al, nggak kok,” bisikku sambil menyikut pelan lengan Alya.Hari itu adalah hari pertamaku, melihat seorang pria yang membuat jantungku berdegup kencang. Meskipun dia bukan tipe pria idamanku, tetapi dia berhasil membuatku melayang. Belum lagi, aroma yang keluar dari pakaiannya, membuatku tak kuasa menolak tatapannya. Rasanya, aku ingin mengulangi kejadian itu. Sialnya, aku terlalu gugup untuk menatap matanya. Terlepas dari itu, Pak Rico menyapa seluruh Mahasiswa baru dan saat itu juga, pelajaran pertamaku di mulai.
***
Pelajaran pertama telah selesai. Pak Rico memberikan kami waktu untuk beristirahat sejenak, sebelum memasuki pelajaran kedua. Para Mahasiswa dan Mahasiswi itu, langsung beranjak dari kursi mereka, keluar dari kelas.
“Al, ke kantin, yuk? Perutku keroncongan, nih …,” ajakku sambil merapihkan buku-buku milikku.
“Keroncongan, atau ingin bertemu dengan Alex, hahaha …,” ejek Alya. “Ih, nggak tahu!” kesalku. “Hahaha …, yah sudah, iya-iya ….”Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Jam dinding kelasku menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Pelajaran telah usai dan Dosenku berjalan meninggalkan kelas. “Huaaahhh … selesai juga akhirnya. Setelah ini, aku bisa pulang dan tidur sepuasnya, hore …,” kataku kegirangan sambil menyusun buku-buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. “Wah, enak banget kamu, ya … selesai kuliah bisa langsung tidur. Sedangkan aku, langsung berangkat kerja demi membayar biaya kuliahku,” sahut Alya yang tengah duduk disampingku. “Lho, kamu kerja? Dimana, Al?” tanyaku pada Alya. “Aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari kampus ini, Massika. Yah, berangkat dengan jalan kaki saja juga sudah sampai, kok,” jawab Alya. “Wah, enaknya … aku malah ingin bekerja seperti kamu, memiliki penghasilan dan membayar uang kuliah sendiri, tapi …, Kak Melly ti
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur