Tampak dari kejauhan, Zahir masih saja menundukkan kepala sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Aku semakin merasa puas melihatnya seperti itu. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan, setelah apa yang ku lakukan pada Zahir.
“Sialan! Berani-beraninya, dia mempermalukanku seperti ini. Awas saja, akan ku balas perbuatanmu!” gumam Zahir, sambil mengepalkan kedua tangannya semakin kuat.
Sekarang, pandangan mata tidak lagi terpusat pada Zahir. Melainkan, para murid sekelasku kembali memperhatikan Bu guru yang tengah berdiri di depan kelas. Bu guru berkata, hanya perkenalan saja untuk pertemuan pertama ini. Kemungkinan besok, baru lah pelajaran pertama kami dimulai. Sesaat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi.
“Baiklah, perkenalan kita cukup sampai disini dulu, ya … sekarang, kalian boleh pulang,” kata Bu guru.
Para murid berbaris dan secara bergantian bersalaman dengan Bu guru. Lalu, para murid berlari menghampir orang tua mereka yang sudah menunggu di luar kelas.
“Wah, enak banget mereka, ya … keluar dari kelas langsung di sambut oleh orang tua mereka masing-masing. Sedangkan Aku?” gumamku, berpangku tangan memandangi murid-murid itu.
“Massika, Alya, dan Zahir, kalian sedang apa? Kalian tidak ingin pulang? Orang tua kalian dimana?” tanya Bu guru pada kami bertiga yang masih duduk di tempat duduk masing-masing. “Ayahku sudah meninggal, Bu … Ibuku pergi mengantarkan kak Melly pergi bekerja. Nggak tahu deh, Ibu menjemputku atau tidak,” jawabku, sambil berjalan menghampiri Bu guru. “Loh, jadi kamu pergi ke sekolah seorang diri?” tanya Bu guru. “Tidak, Bu … tadi Ibu mengantarku ke sekolah terlebih dahulu. Setelah berpamitan, baru lah Ibu pergi mengantar Kak Melly pergi bekerja,” jawabku.Bu guru mengernyitkan keningnya. Sepertinya, dia terlihat bingung karena Aku mengulangi kata Kak Melly. Melihat itu, aku langsung menjelaskan kalau Kak Melly itu, adalah kakakku. Bu guru langsung menganggukkan kepala, setelah mendengar penjelasanku tadi. Kemudian, Bu guru megajakku untuk pulang bersamanya menggunakan mobil.
“Tidak usah, Bu … Aku jalan kaki saja. Lagi pula, rumahku tidak jauh dari sekolah ini, kok,” kataku, menolak halus ajakan Bu guru.
Setelah itu, Aku berpamitan pada Bu guru dan langsung berjalan ke luar kelas. Tiba-tiba, Alya teriak memanggil namaku dari arah belakang. Langkah kakiku terhenti, lalu kepalaku sedikit menoleh kearah belakang. Setelah berpamitan dengan Bu guru, Alya langsung berlari menghampiriku.
“Massika, Aku ikut pulang bersama denganmu, ya …,” kata Alya, baru saja tiba.
“Ikut pulang? Memangnya, kamu tidak punya rumah, Al?” tanyaku pada Alya. “Eh, bukan begitu maksudnya, Massika … kita pulang bersama-sama, loh. Kebetulan, rumah kita searah …,” jawab Alya. “Oh, begitu … yah sudah, ayo.”Alya menganggukkan kepalanya. Kemudian, dia menoleh kearah belakang, lalu berteriak,
“Zahir! Ayo kita pulang bersama dengan Massika ….”
Sontak, Aku terkejut mendengar itu. Namun, lebih terkejut lagi, ketika Zahir menyentak Alya sambil menatapku dengan tatapan sinis.
“Nggak mau! Malas banget kalau harus pulang bersama dengannya!”
“Eh, siapa juga yang ingin pulang bersama dengan kamu! Alya, kalau kamu ingin pulang dengannya, yah sudah! Aku pulang sendiri saja …,” sentakku lebih keras.Lalu, Aku langsung berjalan pergi meninggalkan mereka berdua. Alya berteriak padaku, mencoba menahanku agar tidak pergi. Namun, Aku hanya berjalan tanpa menghiraukan teriakan Alya.
“Jangan begitu dong, Kak!” sentak Alya pada Zahir.
“Hah, jangan begitu? Eh, kamu tidak lihat, apa yang telah dilakukannya tadi di depan kelas? Seisi kelas mentertawakanku, Al!” sentak Zahir, mencoba membela dirinya sendiri. “Terus kenapa? Kak, kalau kamu begini terus, sampai kapan Aku bisa memiliki teman. Yah sudah, kalau kakak tidak ingin pulang bersama dengan Massika, pulang sendiri saja!”Alya langsung berlari menyusulku yang sudah hampir sampai di gerbang sekolah. Zahir teriak memanggil nama Alya, tetapi Alya tidak menghiraukan teriakannya.
***
Daun-daun berguguran di sertai tiupan angin kencang, menyambutku yang baru saja tiba di gerbang sekolah. Tiba-tiba, setetes air mengenai rambutku.
“Eh, hujan?” gumamku sambil melihat ke atas langit.
“Hai, Massika …,” kata Alya, menepuk lembut pundakku. “Eh, untuk apa kamu menemuiku lagi, hah! Sudah, sana pergi!” sentakku, menyingkirkan tangan Alya dari pundakku. “Jangan begitu dong, Massika … aku tidak jagi pulang bersama dengan Zahir. Aku ikut pulang bersama denganmu, hehe …,” kata Alya. “Tuh, si Zahir masih mengikuti,” kataku, mengarahkan bola mataku kearah Zahir.Zahir masih mengikuti Alya, bermaksud untuk mengajaknya pulang. Namun, Alya tidak ingin pulang bersama dengannya. Tidak tahu harus berbuat apa, Zahir terpaksa menarik tangan Alya secara paksa, sambil berkata,
“Alya, ayo kita pulang ….”
“Nggak mau! Pulang saja sendiri, Aku ingin pulang bersama dengan Massika. Ayo, kita pergi, Massika,” kata Alya, menarik kembali tangannya.Lalu, Alya langsung berlari meninggalkan Zahir, sambil menarik tanganku. Zahir hanya terdiam, berdiri sambil menatap kearah kami yang berlari meninggalkannya, tanpa berkata sepatah katapun.
Kemudian, Alya dan Aku berhenti di tepi jalan. Alya pun menoleh kearah belakang untuk memastikan, apakah Zahir masih mengikuti atau tidak. Setelah melihat ke segala arah dan tidak ada tanda-tanda dari Zahir, kami pun berhenti sejenak untuk beristirahat. Namun, hujan yang sangat lebat tiba-tiba turun.
“Massika … hujaaaan!”
Alya langsung menarik tanganku dan kami pun kembali berlari, mencari tempat untuk berteduh. Sampailah kami di sebuah gubuk kecil yang sedikit kotor dan kusam. Alya melepaskan tanganku dan langsung berjalan ke sebuah kursi kayu yang ada, lalu meletakkan tas miliknya ke atas kursi kayu itu.
“Mengapa kita berlari, Al … memangnya, kenapa kalau hujan?” tanyaku pada Alya, dengan kondisi pakaian yang sudah basah kuyup.
“Massika, hari ini adalah hari pertama kita masuk sekolah, loh … masih mending kalau seragam dan tas sekolah kita hanya basah kuyup saja. Air sudah mulai menggenangi jalan dan kalau sampai pakaian kita kotor, bagaimana?” tanya balik Alya padaku. “Iya, sih … eh, tapi tidak masalah kok. Seragam sekolahku ada lima di rumah, sepatuku juga ada banyak. Kalau pakaian sekolah kotor, ‘kan masih bisa di cuci? Kata ibuku, tidak masalah kalau pakaianku kotor, Al. Lagi pula, aku suka hujan, hehe …,” kataku, sambil menampung air hujan yang mengalir dari atap gubuk itu. “Kamu beruntung, masih memiliki seorang Ibu … ada yang mencucikan pakaianmu dan kamu juga masih memiliki banyak seragam sekolah. Sedangkan ….”Belum sempat Alya menyelesaikan perkataannya, Zahir tiba-tiba datang dengan kondisi pakaian yang sudah kuyup dan juga kotor. Aku dan Alya hanya memandangi Zahir yang masih mencoba mengatur nafasnya.
“Zahir! Sedang apa kamu disini, hah!” sentak Alya, sambil menarik baju Zahir dan sedikit mengangkatnya.
“Tidak ada, kok. Aku hanya … hmm, Aku hanya ingin berteduh saja disini,” kata Zahir dengan santai. “Kamu ini, ya … ‘kan sudah ku katakan, kalau …” “Iya-iya! Massika, Aku … Aku minta maaf dan Aku ikut pulang bersama dengan kalian!” sentak Zahir dengan sedikit gugup, memotong pembicaraan Alya. “Enak saja! Kamu pikir, semudah itu minta maaf setelah mendorongku sampai terjadi tadi? Nggak!” sentakku, menolak permintaan maaf Zahir. “Impas, dong? Kamu juga mempermalukanku di depan teman-teman tadi. Iya, ‘kan?” tanya Zahir. “Kesalahanmu sendiri … ‘kan kamu duluan yang mentertawanku, ketika sedang memperkenalkan diri di depan kelas.” jawabku, berpaling muka dari Zahir. “Aku ‘kan sudah minta maaf tadi ….” “Nggak! Alya, kalau kamu ingin menunggu sampai hujan berhenti, yah sudah … Aku pulang duluan, dadah ….”Lalu, Aku langsung menerobos derasnya hujan dan langsung berjalan pulang. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara klason sepeda motor dari arah belakangku. Sontak, Alya teriak,
“Massika, awas!!!”
Bruk!!!
Zahir langsung melompat dan mendorongku, sampai tersungkur ke dalam genangan air. Sesaat setelah itu, sebuah sepeda motor melesat melewati Aku dan Zahir. Merasa kesal, Aku langsung bangkit dan berjalan menghampiri Zahir yang sedang terbaring kesakitan di dalam genangan air.
“Apa-apaan sih, kamu! Lihat nih, gara-gara ulahmu, pakaianku jadi kotor!” sentakku pada Zahir.
“Woy! Kamu hampir saja di tabrak oleh sepeda motor, loh! Bukannya terima kasih, malah marah-marah, huh ….”Bersamaan dengan itu, Alya langsung berlari menerobos hujan dan langsung menghampiriku. Alya langsung membantuku membersihkan lumpur yang menempel di seragamku.
“Massika, kamu tidak apa-apa?” tanya Alya sambil membersihkan seragamku.
“Aku sih tidak apa-apa, tapi lihat nih … gara-gara dia, seragam sekolahku jadi kotor!” sentakku sambil menunjuk kearah Zahir.Setelah mendengar itu, Alya langsung berjalan menghampiri Zahir. Melihat Zahir baru saja berdiri, Alya langsung mendorongnya hingga tersungkur kembali ke dalam genangan air itu.
“Kamu, ya … ‘kan sudah ku katakan tadi, kamu pulang sendirian saja!” sentak Alya, dengan bola matanya yang mulai memerah.
“Alya, tadi Aku hanya mencoba untuk …,” “Nggak! Aku tidak ingin mendengarkan apapun dari kamu. Sekarang, lebih baik kamu pergi …,” “Aku hanya mencoba untuk …,” “Pergi!!!”Alya membentak Zahir dengan sangat keras, sampai akhirnya menangis. Zahir langsung berlari sekuat tenaganya, meninggalkan Aku dan Alya tanpa berkata sepatah kata pun. Lalu, Aku berjalan menghampiri Alya.
“Alya, harusnya sih … kamu tidak perlu melakukan itu padanya,” kataku, sambil mengelus punggung Alya.
“Biarkan saja! Dia pantas mendapatkan itu … biar tahu rasa, dia!” Alya berteriak, sambil menatap Zahir yang tengah berlari menjauh. “Sssttt … sudah-sudah, kamu tenang dulu, ya. Nah, sekarang … eh, kita mandi hujan yuk? Seru tahu …,” ajakku, mencoba untuk menghibur Alya. “Ma-mandi hujan?” tanya Alya “Iya, mandi hujan. Jadi, kita berlarian di tengah hujan, tertawa bersama dan lain-lain. Seperti biasa ketika kita bermain bersama dengan teman-teman, hanya saja ada air yang jatuh dari langit dan membasahi pakaian kita. Ibu mengatakan, itu yang di namakan mandi hujan. Seru tahu, ayo?”Alya hanya menganggukkan kepalanya, mendengar kata-kataku tadi. Setelah memastikan tidak ada kendaraan yang melintas di jalan, Aku langsung menarik Alya, berlarian di tengah derasnya hujan. Alya yang awalnya takut kalau seragamnya kotor, kini pikiran itu menghilang seketika. Alya berlari sambil berteriak sekencang-kencangnya. Pikiran tentang Zahir, kini lenyap diterpa hujan yang sangat deras. Emosi yang meluap, kini berganti dengan kebahagiaan. Aku dan Alya, bersenang-senang, bersama dengan hujan yang mengiringi setiap langkah kami.
Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya. “Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya. “Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan. “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku. “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat. “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”Merasa kasihan pada
Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil. Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar. “Kak, Alya pergi kemana?
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Jam dinding kelasku menunjukkan pukul sebelas lebih lima menit. Pelajaran telah usai dan Dosenku berjalan meninggalkan kelas. “Huaaahhh … selesai juga akhirnya. Setelah ini, aku bisa pulang dan tidur sepuasnya, hore …,” kataku kegirangan sambil menyusun buku-buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. “Wah, enak banget kamu, ya … selesai kuliah bisa langsung tidur. Sedangkan aku, langsung berangkat kerja demi membayar biaya kuliahku,” sahut Alya yang tengah duduk disampingku. “Lho, kamu kerja? Dimana, Al?” tanyaku pada Alya. “Aku bekerja di salah satu toko roti yang tidak jauh dari kampus ini, Massika. Yah, berangkat dengan jalan kaki saja juga sudah sampai, kok,” jawab Alya. “Wah, enaknya … aku malah ingin bekerja seperti kamu, memiliki penghasilan dan membayar uang kuliah sendiri, tapi …, Kak Melly ti
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur