Tujuh tahun kemudian setelah hari kelahiran, di luar rumah nampak hujan turun. Bau tanah kering yang tersiram air, menguar tercium, mengusik hidung.
“Bu, di luar hujan, ya?” tanyaku pada Ibu.
“Iya, Massika kenapa, mau main keluar?” tanya Ibu. “Hmm, nggak Bu, aku takut,” jawabku. Ibu mengernyitkan kening, dia tersenyum lalu mulai menjelaskan sesuatu. Ibu berkata, tidak ada yang perlu ditakutkan. Aku lahir ketika hujan turun. Itulah sebabnya, mengapa ibu memberikan nama Massika.“Hujan, ‘kan, hanya air, kamu takut dengan air?” tanya Ibu mengakhiri ceritanya.
“Iya sih, tapi …." Aku menghentikan kalimat, bimbang hendak berkata apa. “Sudah, ayo kita keluar!" ajak Ibu.Kemudian ibu membawaku keluar rumah. Sesampainya di depan pintu rumah, langkahku terhenti. Ibu langsung menoleh menatap, bersiap untuk melontarkan pertanyaan padaku. Dengan raut wajah cemas, Aku berkata, “Bu, aku takut.”
“Nih, coba ke depan ‘kan tanganmu seperti ini,” ajak Ibu, sambil tersenyum padaku.
“Begini, Bu … eh?” “Bagaimana?” tanya Ibu padaku. “Dingin banget, Bu …,” jawabku dengan mimik muka yang mulai sedikit ceria. “Yah sudah, tunggu apalagi? Ayo kita … mandi hujaaan ….”Saat itu, pertama kalinya aku keluar dari rumah dan merasakan, bagaimana rasanya, ditimpa air yang jatuh dari langit dengan jumlah yang sangat banyak. Begitulah yang tergambar di benakku, ketika pertama kalinya melihat hujan. Pikirku, rasanya akan terasa sakit. Tapi? Hmm … dingin? Basah? Ya, rasanya aneh, tapi seru, hahaha.
***
Beberapa saat kemudian, perlahan, hujan mulai berhenti. Cahaya matahari, kini mulai terlihat. Dengan perasaan bingung, Aku menatap langit, menyipitkan mata karena cahaya matahari, menyilaukan mata. Lalu, Aku menoleh kearah Ibu.
“Bu, kok hujannya berhenti?” tanyaku pada Ibu.
“Iya, Massika, awan sudah kehabisan air. Jadi, awan membutuhkan waktu untuk mengisi kembali airnya. Dirasa sudah cukup, awan akan kembali mencurahkan air ke bumi. Nah, itu lah yang disebut hujan,” jawab Ibu. “Hmm … begitu ya, Bu. Lalu, kapan awan mulai mengisi airnya lagi, Bu? Kalau tidak, kita saja yang mengisi airnya, yuk,” kataku pada Ibu.Seketika, Ibu tertawa mendengar perkataanku. Dengan mimik muka ceria, Ibu berkata, kita tidak bisa melakukan itu, dan hanya Tuhan saja lah yang bisa melakukannya. Tidak tahu harus berkata apa, Aku hanya diam sambil menatap Ibu.
“Coba kamu lihat ke atas sana,” kata Ibu, menunjuk langit.
“Itu … itu apa, Bu. Mengapa ada banyak warna di atas langit?” tanyaku pada Ibu. “Itu namanya pelangi, sayang. Pelangi muncul, setelah hujan berhenti,” jawab Ibu. “Wah, indah sekali, Bu …,” kataku dengan mata berbinar-binar.Ibu tertawa lagi mendengar perkataanku. Aku terkejut, mengapa Ibu menertawakanku. Terdiam sejenak, lalu menoleh kearah Ibu, berniat ingin bertanya. Namun, Ibu tidak memberikan kesempatan untuk bertanya. Ibu berkata, masuk ke dalam rumah, kemudian mandi. Kalau tidak, nanti Aku bisa sakit karena seluruh pakaian dan sekujur tubuhku, sudah basah kuyup.
Hari itu, hari yang sangat menyenangkan dalam hidupku. Selain Aku dapat merasakan betapa bahagianya bermain dengan hujan, Aku juga dapat menyaksikan pelangi yang sangat indah. Namun, kebahagiaan itu hilang dalam sekejap.
***
Malam pun tiba, Aku dan Ibu kembali keluar. Berbarengan dengan suara katak bernyanyi, angin yang berhembus pelan menyambut.
“Bu, malam hari ada hujan?” tanyaku pada Ibu.
“Ada, kok. Hanya saja, hujan di malam hari sangat berbeda dengan hujan di pagi, siang dan sore hari. Di waktu malam, para hantu akan turun ke bumi untuk mencari mangsa. Terlebih lagi, saat hujan turun. Hii …,” jawab Ibu, mencoba menakut-nakuti. “Ah, Ibu … jangan begitu, dong.” kataku menyentak sambil memeluk Ibu.Ibu tertawa melihat ekspresi ketakutan yang tergambar jelas di wajahku. Ibu berkata, itu hanya bercanda. Angin malam tidak bagus untuk kesehatanku. Sekiranya hujan turun di malam hari, Ibu tidak menganjurkanku, untuk bermain hujan. Nanti, aku bisa sakit.
“Sekarang ini, kita sedang berada di luar, Bu. Tidak apa-apa?” tanyaku pada Ibu.
“Suhu di luar rumah untuk sekarang ini, tidak terlalu dingin, Massika. Tidak apa-apa untuk kita berada di luar, tapi jangan terlalu lama juga. Hitung-hitung, sambil menunggu kakak pulang.” jawab Ibu. “Begitu ya, Bu … kalau malam hari, ada pelangi enggak?” tanyaku pada Ibu.Ibu terdiam sejenak mendengar pertanyaanku. Ibu merangkulku sambil menatap langit, lalu berkata, pelangi tidak muncul di waktu malam, walaupun hujan telah berhenti. Pelangi hanya muncul setelah hujan berhenti di pagi, siang, dan sore hari.
“Coba kamu lihat ke atas langit.” Ibu berkata padaku sambil menunjuk ke atas langit.
“Itu … apa, Bu. Mengapa banyak sekali lampu di atas langit?” tanyaku pada Ibu. “Hahaha … itu bukan lampu, sayang. Itu namanya bintang,” jawab Ibu.Aku terdiam mendengar jawaban Ibu. Ibu menjelaskan penyebab pelangi tidak muncul di waktu malam. Pelangi takut pada bintang. Bintang memiliki jumlah yang sangat banyak, sedangkan pelangi hanya satu. Kalau pelangi bersikeras untuk muncul di malam hari, bintang akan menyerang pelangi.
“Hahaha … pelangi nya kalah dong, Bu. Eh, tapi mengapa pelangi hanya satu, sedangkan bintang ada banyak, Bu?” tanyaku pada Ibu.
“Pelangi nya sombong, sayang. Meskipun indah, tapi sombong. Tidak ada yang ingin berteman dengan pelangi. Besar nanti, kamu tidak boleh menjadi seperti pelangi. Jadilah seperti bintang, meskipun indah tapi tidak sombong. Karena kita hidup di dunia tidak sendiri, sayang. Apapun yang terjadi nanti, pasti kita akan membutuhkan bantuan orang lain,” jawab Ibu. “Iya, Bu … kalau nanti aku sudah besar, aku ingin punya banyak sekali teman, tapi aku tidak ingin menjadi seperti bintang ataupun pelangi.”Ibu terkejut mendengar perkataanku. Memandang wajahku dengan tatapan bingung, Ibu bertanya, “Bintang ‘kan baik, mengapa kamu tidak ingin menjadi seperti bintang, sayang?”
“Aku ingin menjadi seperti hujan, Bu,” Kataku tersenyum pada Ibu.
“Mengapa kamu ingin menjadi seperti hujang, sayang?” tanya Ibu padaku. “Hujan jatuh dari atas langit dan terhempas ke tanah. Sepertinya, mereka merasakan sakit tapi mereka tidak pernah menyesal. Sebab, mereka membuat banyak orang bahagia. Contoh nya Aku yang awalnya takut pada mereka, tapi setelah mengenal mereka, aku jadi tahu betapa bahagianya bermain bersama mereka. Aku ingin menjadi seperti mereka, membuat semua orang bahagia ketika berada di dekatku, Bu,” kataku pada Ibu.Setelah mendengar perkataanku, air mata Ibu perlahan menetes membasahi pipi. Ketika Aku bertanya mengapa Ibu menangis, Ibu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum padaku.
“Tidak apa-apa kok, sayang. Ibu … Ibu hanya merasa bangga padamu. Kamu mirip sekali dengan sosok ayahmu,” Kata Ibu menangis tersedu.
“Memang nya, ayahku juga ingin menjadi hujan, Bu?” tanyaku pada Ibu. “Hahaha … tidak, sayang, ayahmu adalah sosok seorang Ayah yang sangat kuat. Tidak pernah menangis, tidak pernah mengeluh. Sampai menghembuskan nafas terakhirnya pun, dia sama sekali tidak menangis. Melihatmu lahir, dia mencium keningmu untuk terakhir kali, sebelum akhirnya pergi meninggalkan kita untuk selamanya,” jawab Ibu. “Ah, Ibu … jangan menangis dong. Nanti, Ayah juga ikut memangis, loh. Disini ‘kan ada Aku dan kak Melly yang menemani Ibu,” kataku mencoba menghibur Ibu.Ibu tersenyum mendengar perkataanku. Aku mengusap air mata Ibu, lalu kembali memeluk Ibu. Kemudian, kak Melly pulang, dan kami pun masuk ke dalam rumah bersama-sama. Setelah menikmati makanan yang dibawa oleh kak Melly, Aku masuk ke dalam kamar dan tertidur.
Pagi hari, Ibu mengetuk kamarku sambil memanggil namaku. Hari ini, adalah hari pertamaku masuk sekolah. “Iya, Bu, sebentar …,” kataku, baru saja terbangun dari tidur karena suara Ibu memanggil namaku dari luar kamar.Kemudian, Aku langsung bangkit dari ranjang tidurku dan langsung berjalan sempoyongan membuka pintu kamarku. “Huaaahhh … Bu, aku masih mengantuk, nih …,” kataku sambil mengucek mata. “Hei … hari ini ‘kan, hari pertama kamu masuk sekolah. Semangat, dong …,” kata Ibu. “Iya, Bu … tapi aku masih mengantuk, nih. Sebentar lagi deh, ya?” tanyaku pada Ibu. “Eh, tidak bisa, dong … yah sudah, ayo kita mandi dulu,” kata Ibu sambil mengelus rambutku.Mengiyakan perkataan Ibu, lalu Ibu membawaku menuruni tangga dan langsung menuju kamar mandi. Selesai mandi dan
Tampak dari kejauhan, Zahir masih saja menundukkan kepala sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Aku semakin merasa puas melihatnya seperti itu. Tidak ada sedikit pun rasa penyesalan, setelah apa yang ku lakukan pada Zahir. “Sialan! Berani-beraninya, dia mempermalukanku seperti ini. Awas saja, akan ku balas perbuatanmu!” gumam Zahir, sambil mengepalkan kedua tangannya semakin kuat.Sekarang, pandangan mata tidak lagi terpusat pada Zahir. Melainkan, para murid sekelasku kembali memperhatikan Bu guru yang tengah berdiri di depan kelas. Bu guru berkata, hanya perkenalan saja untuk pertemuan pertama ini. Kemungkinan besok, baru lah pelajaran pertama kami dimulai. Sesaat setelah itu, lonceng sekolah berbunyi. “Baiklah, perkenalan kita cukup sampai disini dulu, ya … sekarang, kalian boleh pulang,” kata Bu guru.Para murid berbaris dan secara bergantian bersalaman dengan Bu guru. Lalu, para murid berl
Aku dan Alya belum juga pulang ke rumah. Kami berdua masih asik bermain di tengah derasnya hujan. Tiba-tiba, Alya menghentikan langkahnya sambil memeluk dirinya sendiri, dengan bibir tampak bergetar dan sedikit pucat. Alya memanggilku dan sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Namun, sepertinya dia merasa malu untuk mengatakannya. Aku menoleh kearah Alya, dan langsung menghampirinya. “Kenapa, Al?” tanyaku pada Alya. “Dingin, hehe … hujan nya semakin deras, nih …,” jawab Alya, menggigil kedinginan. “Eh, kamu kedinginan, ya? Ah, lemah banget, sih … baru juga sebentar,” kataku. “Iya, sih … ya, mau bagaimana lagi? Aku sudah menggigil, nih. Kita pulang, yuk …,” ajak Alya, memeluk tubuhnya semakin erat. “Yah, padahal Aku masih ingin bermain dengan hujan … yah sudah lah.”Merasa kasihan pada
Kehilangan sosok orang tua, memang sangat lah menyakitkan. Sejak lahir, ayah lebih dulu meninggalkanku. Tidak begitu terasa karena saat itu, aku masih belum bisa melakukan apa-apa. Namun, yang membuatku merasa sangat terpukul adalah, saat kepergian ibuku. Melihatnya terbaring lemah tak berdaya, seakan hatiku hancur. Semua harapan yang ku bangun bersama ibu, kini telah sirna semenjak ibu tak lagi berada di sampingku. Semua terasa hambar sejak dia pergi meninggalkanku. Apalagi, setelah mendengar dari orang-orang yang berada di rumahku, kalau ibu mengalami kecelakan saat mengendarai mobil. Malam berganti pagi. Suara ibu, tak terdengar lagi di telingaku. Biasanya, ibu selalu memanggil dan mengetuk pintu kamarku setiap pagi. Kini, suara itu telah hilang, berganti dengan suara kokokan ayam, masuk ke telinga dan membangunkan tidurku. Menarik nafas panjang, aku bangkit dari ranjang tidurku dan langsung keluar dari kamar. “Kak, Alya pergi kemana?
Dua belas tahun berlalu. Tubuhku yang mungil dan lugu, kini sudah beranjak dewasa. Kak Melly, menikah dengan seorang pria berusia setara dengan nya, dan dikaruniai dua orang anak. Kak Melly, mengajakku pindah ke rumah baru nya bersama suami dan anak-anaknya, ke kota besar yang jauh dari kampung halamanku. Rumah lama peninggalan orangtuaku telah disewakan. Kak Melly, tidak tega kalau harus menjual rumah itu, walaupun dalam keadaan terpaksa sekalipun.Usiaku sudah genap sembilan belas tahun. Aku masuk di salah satu Universitas yang ada di kota Bandung, tak jauh dari rumah milik Kak Melly. Tidak tahu mengapa dia mengusulkan Universitas itu, tapi dari sinilah kisah perjalananku di mulai …. Brakk! “Eh, ma-maaf …,” kataku sambil merapihkan buku-buku milikku yang jatuh berserakkan ke lantai. “Hei! Kalau jalan pakai mata, dong!” bentak seorang pria yang baru saja tertabrak olehku.&nb
Aku berjalan bersama Alya, berniat ingin pergi ke kantin. Namun, kami tak tahu dimana keberadaan kantin tersebut. Kemudian, seorang wanita berjalan kearahku. Aku memberhentikan langkahnya, dan bertanya, “Maaf, Kak … kantin sebelah mana, ya?” “Oh, dari sini, kakak hanya tinggal lurus saja kesana. Nanti, kakak ambil jalan sebelah kiri, lalu menuruni tangga dan nanti ada pintu keluar disana. Nah, dari pintu keluar itu, sudah kelihatan kantinnya,” jelas wanita itu. “Oh, begitu … terima kasih banyak, Kak,” kataku pada wanita itu.Wanita itu menganggukkan kepala dan mengiyakan perkataanku. Setelah itu, dia pergi dan kami pun langsung melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang dikatakan oleh wanita itu. ‘Disini, belok kiri … lalu ada tangga …, nah, ini tangganya!’ batinku. Aku dan Alya, menemukan tangga sesuai arahan. Lalu, menuruni tangga dan menemuk
“Awas, minggir-minggir!”Alex berlari masuk ke dalam kantin sampai mendorong semua Mahasiswa yang menghalangi jalannya. Dia masuk ke dalam ruangan yang ada di dalam kantin, lalu bersembunyi disana. “Si Alex kenapa, ya?” “Tidak tahu, di kejar setan mungkin, hahaha …,” “Samperin sana … siapa tahu, dia membutuhkan bantuan kalian.”Tiga orang pria berpakaian layaknya seorang Mahasiswa, sedang duduk di sudut kantin sambil menikmati makanan. Mereka melihat Alex yang baru saja berlari ketakutan menuju sebuah ruangan yang ada di dalam kantin. Salah seorang pria itu menyuruh kedua pria lainnya untuk menghampiri Alex yang sedang ketakutan itu. Mereka pun menyetujuinya dan berjalan bersama menuju ruangan itu. Tok … tok … tok … “Lex, buka pintunya!” “Woi, buka!”
“Sudah lah, Kak, tidak perlu dibahas. Dia juga sudah masuk dan bersembunyi di dalam kantin. Nah, ada keperluan apa kakak datang kesini?” tanyaku pada Kak Melly. “Hmm …, tidak ada, kakak hanya ingin melihatmu saja. Kakak juga alumni kampus ini, loh. Para Dosen yang mengajar di kampus ini, semuanya mengenal kakak. Jadi, kamu jangan macam-macam disini, apapun yang kamu lakukan, kabar itu akan langsung ke telinga kakak,” jawab Kak Melly. “Aku bukan anak kecil lagi, Kak. Jadi, kakak tidak perlu mengekangku seperti itu,” kesalku sambil berjalan pada Kak Melly, karena merasa sedikit malu karena kedatangannya di kampus, membuatku menjadi sorotan para Mahasiswa yang berada di sekitar halaman kampus itu. “Lho, kakak hanya memastikan kamu saja, kok … yah, sekalian menunggu Cindy dan Rani pulang sekolah,” kata Kak Melly padaku.Karena kejadian yang memalukan tadi, a
Malam pun tiba. Seperti biasa, aku dan kedua puterinya Kak Melly sedang bermain di ruang tengah. Kegiatan ini hampir setiap hari ku lakukan sejak masih duduk di bangku sekolah menengah atas dulu sembari menunggu Kak Melly pulang. Namun terkadang, aku meminta Cindy dan Rani untuk bermain berdua, karena aku sedang mengerjakan tugas sekolah dan kembali bermain dengan mereka ketika sudah selesai. Beruntung, para Dosen itu belum memberiku tugas. Jadi, aku bisa terus bermain bersama dengan mereka berdua.Beberapa saat kemudian, mobil milik Kak Melly tiba di depan rumah dan tumben-tumbenan, mobil milik Bang Rudy juga tiba di depan rumah, bersamaan dengan Kak Melly. Aku bergegas keluar rumah dan membukakan pagar, kemudian menutupnya lagi dan berlari menghampiri mereka. “Hai, Kak, hehe …,” ucapku menyapa Kak Melly sambil tertawa kecil. “Apa? Kamu berantem di kampus, dan dibawa ke ruang Dosen, iya?” tanya Kak Melly pa
“Bu, aku pergi main dulu, ya!” “Iya, jangan berkelahi lagi kamu! Pusing ibu kalau setiap hari harus mendengar ocehan dari orangtua teman-teman kamu,” “Oke, Bu ….” Pukul sembilan pagi tepatnya di hari minggu, si Alex kecil keluar dari rumahnya dan pergi bermain bersama dengan teman sebayanya. Saat itu, umurnya masih sekitar lima tahun. Ibunya setiap hari bekerja dari pagi hingga larut malam, dan hanya akan ada di rumah saat hari libur tiba, seperti Minggu dan hari-hari libur lainnya. Itu pun, ibunya tetap memiliki pekerjaan kantor yang belum selesai. Sedangkan ayahnya adalah seorang Tentara yang sedang bertugas di luar Negeri. Akibatnya, dia tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari kedua orangtuanya dan itu membuatnya menjadi sedikit nakal. “Hai, teman-teman,” ucap Alex sambil tersenyum dan melambaikan tangan sekelompok anak-an
“Tadi, aku menunggu kalian di kelas untuk memberikan ini,” kata Wanita itu sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sesuatu yang dibalut dengan sapu tangan berwarna coklat garis-garis hitam. Aku tidak tahu apa itu, tapi sepertinya itu sangat berharga sampai si Wanita itu rela meluangkan waktunya menunggu aku dan Alya, demi untuk memberi barang itu padaku. Lalu, dia pun memberikan barang itu padaku dan, “Eh, ini ‘kan kacamataku? Yah, sudah patah,” kataku dengan raut wajah sedih, setelah tahu kalau barang yang dibalut dengan sapu tangan itu adalah kacamataku.Kacamata kesayanganku pemberian Kak Melly yang sudah menemaniku sejak sekolah menengah atas dulu. Padahal, kacamata itu sudah ku anggap seperti adik sendiri. Sampai-sampai, aku membuatkan tempat khusus di dekat meja belajarku hanya untuk meletakkan kacamata itu. Akan tetapi, sekarang kacamata itu sudah
“Eh, apa-apaan ini, Pak, Bu? Apa ini, kok main iya-iya’an?” tanya Zahir kebingungan. “Tahu tuh! Sudah lah, masalahnya sudah selesai, ‘kan? Yah sudah, saya ingin kembali ke kelas,” sahutku sambil memutar balikan arah tubuhku dan berjalan menuju pintu keluar. “Eh-eh, tunggu dulu … masalah kalian belum selesai. Sini dulu ah,” ucap Pak Dosen sambil perlahan menarik lenganku. “Isshh!”Baru saja beberapa langkah aku berjalan, Pak Dosen itu sudah menarik tanganku dan perlahan mendorongku menghadap Pak Rektor. Dengan terpaksa, aku pun balik ke posisi semula dan yang lebih parahnya lagi, Pak Dosen itu menarik sebuah kursi dan mendudukkanku menghadap Pak Rektor itu. Lalu, menarik sebuah kursi lagi dan meletakkannya tepat di sebelahku, serta Zahir dipaksa untuk duduk disana. “Lho, apa-apaan ini, Pak!” ucapku pada Pak Dose
Setelah Pak Dosen berbicara seperti itu, aku, Zahir dan Alya diminta untuk menunggu diluar sejenak. Lalu, beliau pun masuk ke dalam ruangan Dosen. “Eh, kalian kenapa bisa berantem, sih? Bagaimana ceritanya coba?” tanya Alya memecah ketegangan itu. “Tuh, kakakmu yang mulai duluan! Aku sudah terlambat masuk kelas, eh dia malah menahanku bersama dengan ketiga teman-temannya yang lain. Dia juga menyuruhku untuk tidak masuk kelas, dan mengajakku pergi ke kantin. Dasar aneh!” bentakku sambil sedikit menoleh kearah Zahir. “Eh, jaga ucapan kamu, ya!” “Apa? Memang benar, kok!” “Eh, sudah-sudah! Kok malah jadi ribut lagi sih! Harusnya tuh kalian berpikir, apa yang harus kalian jawab ketika para Dosen itu bertanya kepada kalian nanti. Ini menyangkut kuliah kalian, lho! Kalian bisa di keluarkan dari kampus ini, karena sudah membuat keributan disini,
Hosh … hosh … hosh …Aku tiba di kelas dengan nafas yang terengah-engah. Aku berdiri di depan kelas, tepat di sebelah Pak Dosen yang tengah menjelaskan materi pelajaran. Sontak, semua mata tertuju padaku dan Pak Dosen yang tadinya tengah menjelaskan materi, langsung terdiam menatap bingung kearahku. “Sel … selamat, selamat pagi, Pak! Maaf, saya terlambat,” ucapku sambil mencoba mengatur nafas. “Kamu dari mana saja? Kamu tidak tahu, sudah pukul berapa sekarang? Sebentar lagi mata kuliah saya selesai. Lebih baik, kamu tidak perlu masuk sekalian. Nama kamu juga sudah saya tulis tidak hadir di daftar absensi,” sahut Pak Dosen menatap sinis kearahku. “Pak, tolong, dong … rumah saya jauh dari kampus ini, saya berangkat dari rumah dengan berjalan kaki. Toh juga baru kali ini saya terlambat, Pak. Janji, deh, kedepannya saya tidak akan terlambat lagi,” kataku
Malam semakin larut. Setelah selesai makan, aku membantu Kak Melly membersihkan sisa-sisa makanan milik Cindy dan Rani yang berserakan di meja makan. Setelah itu, aku mengumpulkan kotak-kotak bekas makanan ke dalam plastik, dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di samping pagar rumah Kak Melly. Lalu, saat aku berjalan keluar sendirian sambil membawa bungkusan plastik berisi kotak-kota bekas makanan, samar-samar terdengar suara seperti hujan yang sangat deras dari arah sebelah kiriku. Sejenak aku berhenti bergerak dan mencoba mendengarkan suara hujan itu. Tiba-tiba, suara hujan yang awalnya terdengar samar, perlahan mulai terdengar jelas, dan sampai akhirnya, “Hujaaaan!!!”Sontak, aku langsung berlari sekencang-kencangnya dan berteduh di bawah atap rumah Kak Melly, tepat di dekat mobil yang tengah terparkir di bawahnya sambil membawa kembali bungkusan plastik yang berisi kotak-kotak bekas makanan. &ldq
‘Eh, dia marah padaku, ya? Hmm, mungkin karena itu, dia tidak datang menjemputku. Yah, bagaimana tidak? Secara ‘kan, aku sempat berbicara dengan nada yang keras, seolah-olah seperti aku sedang mengusirnya dari kampus. Hahaha … yah sudah lah, aku pulang jalan kaki saja. Nanti, setelah dia selesai dari pekerjaannya dan pulang ke rumah, aku akan langsung minta maaf padanya,’ batinku.Setelah itu, aku memasukkan kembali ponsel milikku ke dalam tas. Kembali menggendong tas di pundakku dan berniat langsung berjalan pulang ke rumah Kak Melly. “Sudah, tidak perlu, Lex! Aku pulang dengan berjalan kaki saja. Terima kasih untuk tumpangannya, ya!” Brak! Baru saja kaki kananku melangkah, tiba-tiba terdengar teriakan seorang pria dari arah belakangku, dan saat aku melangkahkan kaki kiriku, tiba-tiba pria yang berteriak tadi berlari dan menabrakku. Itu membuatku terjatuh dan untungnya, aku
“Massika, temani aku, yuk … aku ingin buang air kecil sebentar.” Setelah keluar dari kelas, aku dan Alya berniat ingin langsung menuju keluar kampus. Namun, baru beberapa langkah kami berjalan, Alya memintaku untuk menemaninya ke toilet. Berhubung aku tidak sedang terburu-buru, aku pun mengiyakannya. Kami pun berjalan bersama menuju ke toilet yang berada tidak jauh dari ruang kelasku. Hanya beberapa meter setelah belokan pertama sebelum menuju ke kelasku. Tap … tap … tap …Tiba-tiba, saat aku dan Alya tengah berjalan menuju toilet, aku mendengar suara langkah kaki seseorang yang sepertinya sedang berlari. Aku pun berhenti seketika, lalu menoleh kearah suara itu dan melihat kalau itu adalah seorang pria mengenakan jaket hoodie hitam dan celana jeans yang hitam pula, serta sepasang Sneakers putih polos yang terpasang di kedua kakinya. Tak tahu siapa, tapi sepertinya pria itu sedang terburu-bur