"Lusa adalah hari penentuan, Bentala. Saya pikir kita pasti menang. Tak ada alasan kita kalah. Pak Pranata tinggal selangkah lagi menuju kursi kepemimpinan, dan kamu adalah salah satu yang paling berjasa bila kita menang nanti."Bagi Bentala, omongan Gandhi tepat adanya. Mereka masih teratas dalam berbagai hasil survey. Rasanya sah-sah saja kalau tim Pranata - Ghandi yakin akan memenangkan kontestasi pemilu kali ini. Namun, Bentala menolak saat dibilang menjadi salah satu yang berjasa, sebab di tempatnya ia hanya seorang junior yang sedang belajar.Gandhi tersenyum saat Bentala mengekspresikan sebuah tindakan tak setuju dengan opininya. Pria itu memang tak gila validasi. Makanya saat namanya menjadi perbincangan media, Bentala tetap bekerja keras seperti seharusnya. Tak lantas mengambil kesempatan untuk menjadi yang paling menonjol."Pak Gandhi tidak punya kewajiban untuk menyenangkan saya. Jadi, jangan mengucapkan hal yang tidak perlu. Saya merasa hanya bekerja sesuai j
"Hamil? Kalian memangnya enggak pakai pengaman? Oke, aku senang kamu hamil, Tanaya. Tapi, kenapa harus sekarang? Di saat permasalahan kita bahkan belum benar-benar selesai? Kamu mau aku jadi bapaknya juga? Apa kamu rela, Ed?"Tak ada yang menjawab. Situasi benar-benar berubah canggung. Hanya Bentala yang terlihat kesal. Rana yang tahu kalau Bentala memang tengah merasa lelah, tidak bisa berkata-kata. Ia pun juga tak bisa berkomentar apa-apa, saking kagetnya dengan berita yang disampaikan oleh Tanaya.Edward sendiri juga diam saja saat Bentala melempar pertanyaan padanya. Di dalam hati, tentu saja Edward tak rela. Namun, keadaan tak memungkinkan untuk menyebut anak itu sebagai anaknya."Untuk sementara saja, Ben." Tanaya yang menyahut. Ia duduk di samping Edward, dan melingkari lengan pria bule itu. "Kami akan pindah ke Irlandia tahun depan, Edward sudah menyiapkan segalanya. Begitu juga dengan identitas bayi ini. Saat anak ini lahir, kami akan memberikan kewarganegaraan Irlandia padan
"Kemenangan ini saya persembahkan untuk semua pendukung saya. Terutama masyarakat Indonesia. Terima kasih yang sebesar-besarnya. Kedua, tentu saja untuk Mas Gandhi, dan seluruh tim sukses. Baik itu, Pak Hendri, Pak Kemal, dan juga Bentala." Beberapa orang melihat ke arahnya, memandanginya dengan senyum seakan memberi tepukan riuh tak bersuara pada Bentala. Ia tahu saat itu ia telah mencapai ke satu titik paling tinggi dari mimpinya. Tinggal selangkah lagi, dan mimpinya menuju kursi nomor satu Jakarta tak lagi terasa asing. Bentala bertambah yakin kalau ia pun mampu, walau hanya seorang politisi muda bau kencur. Gandhi yang duduk di sampingnya langsung meninju lengannya. Memberi sebuah ucapan selamat padanya. Hati Bentala jelas berbunga, meskipun secara jelas tak terlihat dari raut wajahnya maupun bahasa tubuhnya. "Kamu sudah bekerja terlalu keras, bahagialah sedikit! Ini adalah pesta kemenangan, Ben! ayolah!" seru Gandhi dengan suara meledek. "Wajahmu tuh, terlalu kaku. Fans-mu meng
"Bagaimana bisa kamu bertubi-tubi melakukan kecerobohan, Tanaya? Ini sudah kali kedua. Kamu sedang menggali kubur untuk kita, ya? Selangkah lagi, Tanaya. Selangkah lagi. Mengapa kamu akhir-akhir ini melakukan kesalahan yang impulsif sih?"Kali ini tak ada satu pun kata yang berani Tanaya ucapkan. Ia benar-benar tak bisa membela diri. Memeriksa kehamilan pada teman baiknya ternyata adalah kesalahan fatal yang ia pikir tak akan menjadi masalah. Ia pikir orang tuanya tak akan pernah bertemu Gracia, nyatanya semesta justru mendukung agar kabar kehamilan ini tersebar cepat ke banyak orang.Sekarang, akibat kebodohannya sendiri, ia dimarahi Bentala. Tak hanya dimarahi, tapi ia juga harus mencari jalan keluar. Gilanya, ia bahkan tak menyiapkan ide apa pun jikalau dirinya ketahuan hamil oleh orang tuanya."Aku minta maaf, Ben."Edward yang duduk di sampingnya, sontak mengelus bahu Tanaya. Pria itu memandangi Bentala dengan tajam, lalu berkata, "jangan terus menerus berteriak begitu. Dengan ma
"BUKAN!" Jawaban itu disebut secara bersamaan oleh Bentala, dan juga Tanaya. Yuriko jelas mengernyit bingung. Sementara Rana, dan juga Edward tak mampu berkata-kata. Mereka lebih memilih diam ketimbang ikut berbicara, dan akhirnya merusak sesuatu yang telah disusun sedemikian rupa. "Kenapa kalian yang jawab," tanya Yuriko sambil tersenyum bingung. "Hai, Rana! Sungguh, Tante kecewa lho, karena kamu enggak menerima tawaran menjadi brand ambassador Poems." Rana mau tidak mau tersenyum tak enak. Ia berdiri, dan berjalan mendekati Yuriko untuk meminta maaf secara personal, "maaf, Tante. Tapi, menantu Tante sudah menjadikan saya brand ambassadornya duluan. Saya enggak sempat kalau harus menjadi BA dua brand terkenal secara bersamaan. Takutnya keenakan jadi BA, saya enggak mau main film deh!" "Kamu nih, bisa saja." Yuriko mengelus pipi Rana, dan menciumnya dengan sayang. "Cantik, semoga kamu bahagia ya. Kamu anak yang baik sekali. Terima kasih, karena sudah menyumbang dana cukup besar di
"Na, lo lagi sibuk enggak? Hari ini gue mau ke tempatnya Indira. Besok dia bakalan terbang ke Canberra. Lo enggak mau ketemu dia dulu? Ya, sebelum dia benar-benar pindah untuk jangka waktu yang enggak tahu berapa lama, lo enggak mau memperbaiki hubungan lo sama dia, Na? Na? Rana?"Alih-alih menjawab pertanyaan Camilla, Rana justru sibuk menyingkirkan tangan Bentala yang menjalar ke mana-mana. Rana benar-benar sulit istirahat saat membiarkan pria itu menginap di unitnya. Bentala bahkan dengan lancar tengah menyusuri lehernya, membuatnya kesulitan mencerna semua perkataan Camilla."Eh, ya, Mil. Sebentar ya," pinta Rana sambil menjauhkan ponselnya. Ia menghadap kepada Bentala, dan memintanya untuk berhenti sejenak. "Lo mau ngapain tadi?""Lo lagi ngapain sih, Na?" tanya Camilla dengan suara curiga. "Kok, bisik-bisik gitu deh, kedengarannya. Ini masih pagi banget, Na. Lo sama siapa sih? Masa sepagi ini lo sudah kerja sih?""Pertanyaan lo banyak banget, Mil. Gue bingung mau jawab yang mana
"Jadi, kamu enggak pulang ke unit malam ini? Terus aku bagaimana dong? Aku sendirian nih, malam ini? Kamu rela nih, aku sendirian, Rana?"Mau tidak mau Rana jelas tertawa. Setelah sesi percintaan mereka tadi pagi, Bentala berubah menjadi anak ayam yang tak mau kehilangan induknya. Ia tak mau pulang, saat Rana memintanya pulang. Ia juga tak mau bekerja, dan beralasan kalau dirinya sangat lelah setelah drama panjang pemilu presiden, dan wakil presiden.Rana pun membiarkan pria itu membeli seperangkat permainan, dan memasangnya di unit Rana. Seakan-akan unit itu adalah rumahnya sendiri, Rana hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia lebih memilih untuk memasak makan siang, dan membiarkan Bentala melakukan apa pun yang pria itu inginkan."Pulanglah, Ben." Perintah Rana tentu saja langsung disambut penolakan. "Besok, aku akan pulang. Indira akan pergi ke Canberra besok. Aku juga sudah bilang kan, tadi. Mumpung masih jam tujuh, pergilah makan malam bersama teman-temanmu, Ben. Kamu s
"Ben, aku minta maaf. Bisakah kamu datang sekarang ke rumahku? Mama ingin ketemu kamu. Aku sedang di rumah, dan baru selesai memeriksa tensi Mama. Sejak siang dia mengeluh sakit kepala sebelah, dan benar saja tekanan darahnya rendah."Perubahan rencana terjadi dengan cepat. Setelah Rana menutup teleponnya, panggilan dari Tanaya pun masuk. Bentala pun mengangkatnya, dan mau tak mau mengiyakan permintaan Tanaya. Dari suara istrinya tersebut, terdengar kalau ia sudah kewalahan mencari sebuah alasan untuk sang Mama terima.Bentala pun akhirnya keluar dari unit Rana menuju rumah orang tuanya. Ia juga mengabari Rana lewat pesan. Ia ingin gadis itu tahu ke mana ia akan menghabiskan malamnya. Sayangnya, bukan bersenang-senang bersama teman-temannya, Bentala justru harus merangkai kebohongan di rumah mertuanya."Jalanan enggak macet, ya? Kamu sampai lebih cepat dari biasanya." Tanaya mengernyit saat melihat Bentala datang dengan jeans, dan kaos polo berwarna biru. Ia pun langsung mengetahui ja