“Emir ...,” panggil Parwati saat melihat anaknya masuk ke dalam ruangan, kesehatannya sedikit demi sedikit pulih dan dokter hanya mengatakan kalau dia saat ini hanya membutuhkan istirahat yang cukup juga menjaga kesehatannya dengan baik. Ia tidak boleh lagi terkena serangan jantung lagi, karena bisa sangat membahayakan nyawanya.
“Iya, Bu.” Emir mendorong kursi roda memasuki ruangan Parwati, ini adalah hari terakhir Ibunya dirawat dan saatnya pulang.
“Muka kamu kenapa?” tanya Parwati bingung dengan wajah Emir yang tidak karu-karuan, “kamu dirampok?” tebak Parwati, karena tidak mungkin Emir berkelahi dengan orang lain. Emir bukan anak kecil yang berkelahi untuk menyelesaikan masalah.
Emir ingin mengatakan kalau ini semua perbuatan selingkuhan Sonya, tapi, tadi ia baru berbicara dengan dokter mengenai kesehatan Parwati yang mau tidak mau membuat Emir mengurungkan niatnya, “Jatuh.”
“Kok, bisa, Nak?” tanya Parwati khawatir, ia dengan cepat mengelus wajah E
Kayanya kalau Parwati tahu kelakuan anaknya yang kaya titisan dajjal bakal pingsan di tempat kayanya, yah ... Pingsan di tempat hahahha ..... *Tawa jahat ala Gallon .....
"Eka ...," panggil Lidya saat melihat penata anestesi bimbingannya itu sedang menari dengan gemulainya di ruang perawat UGD. Eka menghentikan tariannya dan tampak malu karena ketahuan sedang merekam dirinya untuk salah satu aplikasi sosial media yang sedang terkenal. "Eh ... Dokter, masuk, Dok, anggap aja rumah sendiri." Lidya menepuh dahinya kesal, sejak kapan ruang perawat UGD jadi rumah Eka? Otak penata anestesinya ini benar-benar butuh diruqyah. "Sejak kapan kamu tinggal di sini? Rumah kamu digusur apa, sampai harus tinggal di fasilitas rumah sakit?" "Hehehe ... canda, Dok, serius amat, sih, Dok," ungkap Eka sembari menunjukkan deretan gigi putihnya, yang membuat Lidya mengingat senyuman kuda lumping. "Aku boleh nanya nggak, sih?" tanya Lidya sembari masuk ke dalam ruangan dan menyandarkan tubuhnya di meja, sedangkan tangannya mengambil rek
Mata Sonya memicing saat melihat matahari yang bersinar terang di atas kepalanya, sepertinya Yogyakarta kali ini sedang dalam kondisi panas terik hingga membuat Sonya mau tidak mau mengeluarkan kaca mata hitamnya.Tring ....Sonya mengambil ponselnya dan tersenyum saat mendapati chat dari Lidya yang memintanya untuk bersenang-senang dan jangan lupa membawa oleh-oleh sebanyak-banyaknya untuk dirinya juga kedua anaknya."Sonya Fauzia ... Ibu Sonya Fauzia ....""Iya," sahut Sonya sembari mendekati seorang pria berperawakan tegap dan berumur sekitar pertengahan 20 tahunan atau 30 tahun awal. "Saya Sonya.""Mbak Sonya?" tanya lelaki itu sembari menurunkan kaca mata hitamnya."Iya, saya Sonya, Mas yang disuruh jemput saya dari hotel?" tanya Sonya berusaha ramah karena
"Mbak ... nanti kalau Mbak mau makan atau mau jalan-jalan, Mbak bisa hubungi saya, Mbak," ucap Adit sambil memberikan kartu namanya. "Oh ... iya, makasih Mas, nanti kalau saya ada apa-apa pasti saya hubungi, kok. Tapi, emang Masnya nggak kejauhan?" tanya Sonya yang sadar kalau saat ini hotel yang ia tempati berada di pelosok Gunung Kidul dan jauh dari kota."Nggak, Mbak, malah deket." Adit menggaruk bagian belakang kepalanya, "rumah saya di sana." Adit menunjuk sebuah rumah yang ada di bagian depan hotel.Sonya memanjangkan lehernya dan mendapati sebuah rumah tinggal bergaya sederhana namun asri yang masih di dalam kawasan hotel, "Eh ... kamu yang punya hotel?"Adit mengangguk, sebenarnya tour guide yang menemani Sonya izin sakit di saat-saat terakhir hingga membuat Adit harus turun tangan dan menjemput Sonya. "Iya, Mbak ... tapi, kalau ada apa-apa langsung bilang aja.""Oh ... oke, makasih banyak, yah." Sonya berusaha tersenyum lebih ra
"Mau ke mana?""Mau ke Yogyakarta," jawab Awan sembari menghentikan langkahnya, ia memutar tubuhnya dan mendapati Romli, kakeknya sedang menatapnya. "Mau ngapain? Dagang wayang?" tanya Romli sembari mengatuk-ngatukkan tongkatnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang membuat Awan menyerngit."Ya kali dagang wayang, Ki." Awan membenarkan letak tas ranselnya yang ia selempangkan di bahu. "Awan nggak ada jiwa dagang.""Mau ngapain atuh ke Yogyakarta?" tanya Romli dengan tatapan menyelidik, ia benar-benar harus mengawasi kelakuan cucu laki-laki satu-satunya ini. Kelakuan Awan yang sudah sering membuat dirinya olah raga jantung dari semenjak Awan puber membuat Romli harus melakukan penjagaan extra."Mau jalan-jalan," dusta Awan sembari tersenyum tengil, nggak mungkin Awan bilang kalau dia mau bertemu Sonya dan menghabiskan malam-malam penuh dengan desahan bersama Sonya. Nggak mungkin, bisa habis ia di maki-maki dan disumpahi kakeknya itu.
"Sore, Mbak," sapa Adit yang melihat Sonya berjalan ke arah restoran."Sore," jawab Sonya pendek, Sonya hanya melihat sekilas dan kembali melanjutkan jalannya."Jalan, Mbak?"Sonya mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan Adit, tentu saja dia jalan. Memang Adit sangka dirinya merangkak? Ya ampun ... makin aneh saja pertanyaan orang-orang disekitarnya. "Iya, jalan, Mas ... Mas liat saya jalan, kan? Bukan merangkak."Adit salah tingkah mendengar jawaban Sonya, tamunya ini benar-benar judes dan dingin. Hanya sekali ia melihat Sonya tersenyum manis dan tertawa terpingkal-pingkal, iya ... dia hanya melihatnya saat Sonya menelepon seseorang yang ia bilang bukan suaminya, kemarin. "Maksud saya, udah sarapan Mbak Sonya mau saya antar jalan?" Adit menjelaskan maksud perkataannya tadi."Oh ... iya, saya mau jalan. Tapi, saya bingung mau ke mana," jawab Sonya yang sebenarnya ingin bersantai tapi, ia bingung mau ke mana. "M
Awan dengan kesal menendang angin saat mendengar jawaban Sonya, rasa kesal bercampur gemas menyelimuti dirinya. Ini kali pertama Awan kalah dari Sonya, biasanya ia selalu menang melawan Sonya. Bahkan, Sonya terkadang tidak bisa berkutik bila Awan sudah berbicara."Sonya, kamu benar-benar, yah," rutuk Awan sembari meremas ponselnya dan mulai mencari rental mobil."Mister, car ... car, need car, Mister," ucap seorang pegawai rental yang terdapat tulisan Yono di dadanya.Awan mendekati Yono dan tersenyum, ia sangat membutuhkan mobil matic untuk menyusul Sonya di Gunung Kidul. Astaga ... Awan masih kesal karena Sonya menginap di kawasan Gunung Kidul, kenapa harus Gunung Kidul, sih? Kenapa nggak di Malioboro atau di mana pun yang jaraknya hanya setengah jam dari bandara."Mister, nee
"Mbak ... yakin nggak mau ke mana-mana? Mau langsung pulang? Nggak ke mini market?" tanya Adit saat memindahkan transmisi gigi mobilnya. "Nggak ... nggak ke mana-mana, udah langsung pulang aja," sahut Sonya sembari mengusap matanya yang sedikit membengkak karena menangis tadi. Adit mengintip dari spion, ia penasaran mengapa Sonya tiba-tiba datang dalam keadaan mata yang sembab seperti habis menangis. Jiwa keponya tergelitik. "Mbak, pacarnya nggak jadi dateng?" tanya Adit memulai pembicaraannya. "Pacar?" tanya Sonya sembari mengambil tisu dan menyeka air matanya, "saya nggak punya pacar." "Oh ... saya sangka yang teleponan sama Mbak kemarin itu pacarnya," tebak Adit. "Nggak tau, Mas, yang teleponan sama saya kemarin itu pacar atau bukan," sahut Sonya yang memang tidak paham dengan status hubungan dirinya dan Awan. Pacar? Bukan, Suami? Jelas bukan,
Awan melabuhkan bibirnya ke bibir Sonya, lidahnya menyusup ke dalam untuk mengecap manisnya bibir wanita yang sudah membuat dirinya uring-uringan seharian ini. Tangan Sonya mencengkeram rambut Awan dan menekannya, ia suka saat lidah Awan menggelitiknya, dan menggoda lidah miliknya, untungnya di sana tidak ada orang sama sekali karena hari sudah larut malam.“Ehem … ohok … ohok … ehem ….” Awan mengurai ciumannya dan menoleh, ia kaget mendapati seorang pria berwajah nelangsa sedang terbatuk seperti orang penyakitan. “Dia kenapa?”Sonya yang kesal karena Awan mengurai ciumannya, melirik sebal pada sosok yang suara batuknya seperti orang kena penyakit TBC stadium akhir. “Ayan.”“Eh … beneran ayan? Kasihan ….” Awan berdiri tegak dan berusaha melangkahkan kakinya namun, ditahan Sonya. “Biarin, aja,” ucap Sonya cuek.“Kamu nggak papa?” tanya Awan yang merasa iba dengan keadaan pria yang batuk dan wajahnya terlihat sangat nel