Mata Sonya memicing saat melihat matahari yang bersinar terang di atas kepalanya, sepertinya Yogyakarta kali ini sedang dalam kondisi panas terik hingga membuat Sonya mau tidak mau mengeluarkan kaca mata hitamnya.
Tring ....
Sonya mengambil ponselnya dan tersenyum saat mendapati chat dari Lidya yang memintanya untuk bersenang-senang dan jangan lupa membawa oleh-oleh sebanyak-banyaknya untuk dirinya juga kedua anaknya.
"Sonya Fauzia ... Ibu Sonya Fauzia ...."
"Iya," sahut Sonya sembari mendekati seorang pria berperawakan tegap dan berumur sekitar pertengahan 20 tahunan atau 30 tahun awal. "Saya Sonya."
"Mbak Sonya?" tanya lelaki itu sembari menurunkan kaca mata hitamnya.
"Iya, saya Sonya, Mas yang disuruh jemput saya dari hotel?" tanya Sonya berusaha ramah karena
"Mbak ... nanti kalau Mbak mau makan atau mau jalan-jalan, Mbak bisa hubungi saya, Mbak," ucap Adit sambil memberikan kartu namanya. "Oh ... iya, makasih Mas, nanti kalau saya ada apa-apa pasti saya hubungi, kok. Tapi, emang Masnya nggak kejauhan?" tanya Sonya yang sadar kalau saat ini hotel yang ia tempati berada di pelosok Gunung Kidul dan jauh dari kota."Nggak, Mbak, malah deket." Adit menggaruk bagian belakang kepalanya, "rumah saya di sana." Adit menunjuk sebuah rumah yang ada di bagian depan hotel.Sonya memanjangkan lehernya dan mendapati sebuah rumah tinggal bergaya sederhana namun asri yang masih di dalam kawasan hotel, "Eh ... kamu yang punya hotel?"Adit mengangguk, sebenarnya tour guide yang menemani Sonya izin sakit di saat-saat terakhir hingga membuat Adit harus turun tangan dan menjemput Sonya. "Iya, Mbak ... tapi, kalau ada apa-apa langsung bilang aja.""Oh ... oke, makasih banyak, yah." Sonya berusaha tersenyum lebih ra
"Mau ke mana?""Mau ke Yogyakarta," jawab Awan sembari menghentikan langkahnya, ia memutar tubuhnya dan mendapati Romli, kakeknya sedang menatapnya. "Mau ngapain? Dagang wayang?" tanya Romli sembari mengatuk-ngatukkan tongkatnya ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang membuat Awan menyerngit."Ya kali dagang wayang, Ki." Awan membenarkan letak tas ranselnya yang ia selempangkan di bahu. "Awan nggak ada jiwa dagang.""Mau ngapain atuh ke Yogyakarta?" tanya Romli dengan tatapan menyelidik, ia benar-benar harus mengawasi kelakuan cucu laki-laki satu-satunya ini. Kelakuan Awan yang sudah sering membuat dirinya olah raga jantung dari semenjak Awan puber membuat Romli harus melakukan penjagaan extra."Mau jalan-jalan," dusta Awan sembari tersenyum tengil, nggak mungkin Awan bilang kalau dia mau bertemu Sonya dan menghabiskan malam-malam penuh dengan desahan bersama Sonya. Nggak mungkin, bisa habis ia di maki-maki dan disumpahi kakeknya itu.
"Sore, Mbak," sapa Adit yang melihat Sonya berjalan ke arah restoran."Sore," jawab Sonya pendek, Sonya hanya melihat sekilas dan kembali melanjutkan jalannya."Jalan, Mbak?"Sonya mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan Adit, tentu saja dia jalan. Memang Adit sangka dirinya merangkak? Ya ampun ... makin aneh saja pertanyaan orang-orang disekitarnya. "Iya, jalan, Mas ... Mas liat saya jalan, kan? Bukan merangkak."Adit salah tingkah mendengar jawaban Sonya, tamunya ini benar-benar judes dan dingin. Hanya sekali ia melihat Sonya tersenyum manis dan tertawa terpingkal-pingkal, iya ... dia hanya melihatnya saat Sonya menelepon seseorang yang ia bilang bukan suaminya, kemarin. "Maksud saya, udah sarapan Mbak Sonya mau saya antar jalan?" Adit menjelaskan maksud perkataannya tadi."Oh ... iya, saya mau jalan. Tapi, saya bingung mau ke mana," jawab Sonya yang sebenarnya ingin bersantai tapi, ia bingung mau ke mana. "M
Awan dengan kesal menendang angin saat mendengar jawaban Sonya, rasa kesal bercampur gemas menyelimuti dirinya. Ini kali pertama Awan kalah dari Sonya, biasanya ia selalu menang melawan Sonya. Bahkan, Sonya terkadang tidak bisa berkutik bila Awan sudah berbicara."Sonya, kamu benar-benar, yah," rutuk Awan sembari meremas ponselnya dan mulai mencari rental mobil."Mister, car ... car, need car, Mister," ucap seorang pegawai rental yang terdapat tulisan Yono di dadanya.Awan mendekati Yono dan tersenyum, ia sangat membutuhkan mobil matic untuk menyusul Sonya di Gunung Kidul. Astaga ... Awan masih kesal karena Sonya menginap di kawasan Gunung Kidul, kenapa harus Gunung Kidul, sih? Kenapa nggak di Malioboro atau di mana pun yang jaraknya hanya setengah jam dari bandara."Mister, nee
"Mbak ... yakin nggak mau ke mana-mana? Mau langsung pulang? Nggak ke mini market?" tanya Adit saat memindahkan transmisi gigi mobilnya. "Nggak ... nggak ke mana-mana, udah langsung pulang aja," sahut Sonya sembari mengusap matanya yang sedikit membengkak karena menangis tadi. Adit mengintip dari spion, ia penasaran mengapa Sonya tiba-tiba datang dalam keadaan mata yang sembab seperti habis menangis. Jiwa keponya tergelitik. "Mbak, pacarnya nggak jadi dateng?" tanya Adit memulai pembicaraannya. "Pacar?" tanya Sonya sembari mengambil tisu dan menyeka air matanya, "saya nggak punya pacar." "Oh ... saya sangka yang teleponan sama Mbak kemarin itu pacarnya," tebak Adit. "Nggak tau, Mas, yang teleponan sama saya kemarin itu pacar atau bukan," sahut Sonya yang memang tidak paham dengan status hubungan dirinya dan Awan. Pacar? Bukan, Suami? Jelas bukan,
Awan melabuhkan bibirnya ke bibir Sonya, lidahnya menyusup ke dalam untuk mengecap manisnya bibir wanita yang sudah membuat dirinya uring-uringan seharian ini. Tangan Sonya mencengkeram rambut Awan dan menekannya, ia suka saat lidah Awan menggelitiknya, dan menggoda lidah miliknya, untungnya di sana tidak ada orang sama sekali karena hari sudah larut malam.“Ehem … ohok … ohok … ehem ….” Awan mengurai ciumannya dan menoleh, ia kaget mendapati seorang pria berwajah nelangsa sedang terbatuk seperti orang penyakitan. “Dia kenapa?”Sonya yang kesal karena Awan mengurai ciumannya, melirik sebal pada sosok yang suara batuknya seperti orang kena penyakit TBC stadium akhir. “Ayan.”“Eh … beneran ayan? Kasihan ….” Awan berdiri tegak dan berusaha melangkahkan kakinya namun, ditahan Sonya. “Biarin, aja,” ucap Sonya cuek.“Kamu nggak papa?” tanya Awan yang merasa iba dengan keadaan pria yang batuk dan wajahnya terlihat sangat nel
Sonya mendorong tubuh Awan pelan, ia berusaha agar Awan menjauhi dirinya dan mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan, Sonya tidak mau Awan kecewa terhadap dirinya. Dia tidak mau menerbangkan harapan Awan ke langit dan membantingnya dengan sangat kejam karena keadaan dirinya yang mandul."Wan," bisik Sonya ditengah gempuran kecupan Awan yang membuat dirinya kelimpungan, ia harus berbicara sekarang sebelum tangan Awan menyusuk ke balik celana dalamnya dan membut Sonya memohon agar lelaki itu menyobek celana dalamnya. "Apa? Ada yang salah?" tanya Awan sembari menarik ke atas gaun Sonya, tanganya dengan ahli mengelus bagian pribadi Sonya dengan lembut, membuat Sonya menjerit pelan dan mengangkat pinggulnya, seolah meminta jemari Awan memasuki tubuhnya."A-Awan, Awan ...." Sonya mencengkeram bahu Awan sekeras mungkin, berusaha menahan gempuran kenikmatan yang Awan berikan pada dirinya juga berjuang untuk mewaraskan pikirannya agar bisa mengungkapkan kekuranga
Kring ... kring ... kring ....Sonya mengusap bagian samping ranjangnya yang kosong, berusaha untuk mengambil ponsel miliknya yang terus berbunyi berkali-kali hingga membuat dirinya bangun. "Sonya, itu telepon siapa?" bisik Awan di bagian belakang Sonya, matanya sangat berat dan tubuhnya lelah bukan kepalang karena sudah bercinta dengan liar bersama Sonya. "Aku?" Sonya menggapai ponsel yang terus bergetar di tangannya, rasanya kelopak matanya benar-benar menolak untuk terbuka, Tuhan ... Sonya baru tidur sebentar, Awan benar-benar memaksanya terus bercinta semalam suntuk membuat pinggangnya rontok tapi, Sonya akui semuanya setimpal dengan rasa nikmat yang ia dapatkan."Halo ...," sapa Sonya tanpa melihat siapa yang meneleponnya. "Eh ... halo, ieu saha? (Ini siapa?)" Suara seorang pria terdengar dari ujung telepon Sonya."Hah? Gimana? Ini siapa?" tanya Sonya bingung dengan kata yang diucapkan orang yang menelepon dirinya, Sonya berpikir kalau yang meneleponnya