Awan melabuhkan bibirnya ke bibir Sonya, lidahnya menyusup ke dalam untuk mengecap manisnya bibir wanita yang sudah membuat dirinya uring-uringan seharian ini.
Tangan Sonya mencengkeram rambut Awan dan menekannya, ia suka saat lidah Awan menggelitiknya, dan menggoda lidah miliknya, untungnya di sana tidak ada orang sama sekali karena hari sudah larut malam.“Ehem … ohok … ohok … ehem ….”Awan mengurai ciumannya dan menoleh, ia kaget mendapati seorang pria berwajah nelangsa sedang terbatuk seperti orang penyakitan. “Dia kenapa?”Sonya yang kesal karena Awan mengurai ciumannya, melirik sebal pada sosok yang suara batuknya seperti orang kena penyakit TBC stadium akhir. “Ayan.”“Eh … beneran ayan? Kasihan ….” Awan berdiri tegak dan berusaha melangkahkan kakinya namun, ditahan Sonya.“Biarin, aja,” ucap Sonya cuek.“Kamu nggak papa?” tanya Awan yang merasa iba dengan keadaan pria yang batuk dan wajahnya terlihat sangat nelSonya mendorong tubuh Awan pelan, ia berusaha agar Awan menjauhi dirinya dan mendengarkan apa yang ingin ia sampaikan, Sonya tidak mau Awan kecewa terhadap dirinya. Dia tidak mau menerbangkan harapan Awan ke langit dan membantingnya dengan sangat kejam karena keadaan dirinya yang mandul."Wan," bisik Sonya ditengah gempuran kecupan Awan yang membuat dirinya kelimpungan, ia harus berbicara sekarang sebelum tangan Awan menyusuk ke balik celana dalamnya dan membut Sonya memohon agar lelaki itu menyobek celana dalamnya. "Apa? Ada yang salah?" tanya Awan sembari menarik ke atas gaun Sonya, tanganya dengan ahli mengelus bagian pribadi Sonya dengan lembut, membuat Sonya menjerit pelan dan mengangkat pinggulnya, seolah meminta jemari Awan memasuki tubuhnya."A-Awan, Awan ...." Sonya mencengkeram bahu Awan sekeras mungkin, berusaha menahan gempuran kenikmatan yang Awan berikan pada dirinya juga berjuang untuk mewaraskan pikirannya agar bisa mengungkapkan kekuranga
Kring ... kring ... kring ....Sonya mengusap bagian samping ranjangnya yang kosong, berusaha untuk mengambil ponsel miliknya yang terus berbunyi berkali-kali hingga membuat dirinya bangun. "Sonya, itu telepon siapa?" bisik Awan di bagian belakang Sonya, matanya sangat berat dan tubuhnya lelah bukan kepalang karena sudah bercinta dengan liar bersama Sonya. "Aku?" Sonya menggapai ponsel yang terus bergetar di tangannya, rasanya kelopak matanya benar-benar menolak untuk terbuka, Tuhan ... Sonya baru tidur sebentar, Awan benar-benar memaksanya terus bercinta semalam suntuk membuat pinggangnya rontok tapi, Sonya akui semuanya setimpal dengan rasa nikmat yang ia dapatkan."Halo ...," sapa Sonya tanpa melihat siapa yang meneleponnya. "Eh ... halo, ieu saha? (Ini siapa?)" Suara seorang pria terdengar dari ujung telepon Sonya."Hah? Gimana? Ini siapa?" tanya Sonya bingung dengan kata yang diucapkan orang yang menelepon dirinya, Sonya berpikir kalau yang meneleponnya
"Aduh ... ah ...." Sonya menutupi wajahnya dengan kedua tangannya karena membayangkan kebodohannya karena berbicara seenaknya dengan kakek Awan. "Kamu kenapa?" tanya Awan yang berdiri di sampingnya sembari mengusap wajahnya menggunakan handuk. Sonya mengintip wajah Awan dari sela-sela jemarinya, saat melihat Awan yang tersenyum dengan cepat rasa malu kembali menerpa dirinya. "Ah ... Awan." Sonya berjongkok dan menggaruk bagian belakang kepalanya kikuk, ia benar-benar malu. Oh ... andai waktu bisa diputar mungkin Sonya tidak akan mau mengangkat telepon kakek Awan. "Kamu kenapa, sih?" tanya Awan gemas melihat tingkah Sonya yang bisanya dingin malah berubah kikuk. Sonya mendongah dan menatap Awan dengan bibir mencibir. "Awan ... aku malu, aku udah kurang ajar sama Kakek kamu."Tawa terdengar renyah dari mulut Awan, ia ikut berjongkok di hadapan Sonya, "Hahaha ... nggak papa, Aki aku paham, kok, kalau calon istri cucunya ini nggak bisa bahasa Sunda.""Aku b
Prang … belentang … brak ….“Sonya suara ap ….” Awan kaget saat mendapati Sonya yang sedang melempar peralatan dapur ke dalam tempat cuci piring.Awan berlari menghampiri Sonya dan mematikan air keran, kedua tangannya menyusup ke perut Sonya memeluknya dari belakang. “Kamu kenapa?”Sonya berteriak keras sambil melemparkan spons untuk mencuci piring sembarangan, tangan Sonya mengelus punggung tangan Awan. Sonya menangis tersedu sembari menggeleng berkali-kali. “Hei … kamu kenapa?” tanya Awan sembari mengeratkan pelukkannya sedangkan bibirnya mengecup leher Sonya. “Kamu kenapa? Ada apa?”“Emir … Emir … aku nggak sanggup lagi, Wan. Aku ….” Seolah kehilangan kata untuk mendeskripsikan kelakuan Emir yang membuat Sonya bersedih, Sonya hanya bisa menggigit bagian bawah bibirnya dan menangis sekencang mungkin hingga tubuhnya bergetar hebat. Emir benar-benar lelaki yang mengacak-ngacak hidup Sonya, melemparkan dirinya ke sebuah lubang k
"Wan ... jadi pergi?" tanya Sonya yang sudah siap dengan mengenakan celana pendek dan kaus tank top hitam yang dipadankan dengan kemeja putih.Awan mengalihkan pandangannya dari televisi ke arah Sonya, pandangan mata Awan kosong. Ia berdiri dan mengambil kunci mobil, berjalan melintasi Sonya ke arah luar kamar seolah mengabaikan Sonya."Wan?" tanya Sonya bingung karena melihat Awan meninggalkannya sendirian di kamar, "Wan, kok aku ditinggal?"Blam ...."Eh ...." Sonya makin aneh saat melihat pintu kamarnya ditutup oleh Awan, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Awan mengabaikannya? Sonya langsung mengingat kelakuan Awan dulu yang ngambek karena dia terlihat bermesraan dengan Emir, sekarang apa kesalahan Sonya? Dia tidak bermesraan dengan Emir atau siapa pun juga, jadi kenapa Awan mengabaikan dirinya?"Awan ... Awan ...." Sonya mengejar Awan yang sudah berada di ujung jalan dan membuka pintu mobilnya. Sonya berlari tanpa peduli dengan kondisi jal
"Awan ... kamu kenapa?" Suara Sonya menyadarkan Awan dan mengembalikannya ke kenyataan, ia dengan cepat mendongah mendapati Sonya yang sedang berjalan ke arah dirinya dengan kaki terpincang-pincang karena menahan sakit. Wajahnya menunjukkan kalau Sonya merasa khawatir dan menahan sakit. "Awan ... kamu kenapa?" tanya Sonya lagi, langkahnya terhenti di hadapan Awan yang masih berjongkok. Kepala Awan saat ini berada di depan perut Sonya, Sonya yang mengenakan tank top hitam membuat perut bagian bawahnya terlihat. Awan mengaitkan telunjuknya ke tank top Sonya, menarik ke atas untuk melihat luka bekas operasi Sonya dengan lebih jelas. Matanya memicing dan mulai menyadari kalau bekas operasi itu ada dua bagian, segurat halus hampir tidak terlihat tapi, Awan yang sudah terlatih mulai sadar. Selama ini A
Mata Sonya membulat dan napasnya seolah tercekat di tenggorokkan, keringat dingin mengalir deras saat matanya terkena lampu jauh bus besar di hadapannya. Detik itu juga Sonya berdoa didalam hatinya bila ia tidak selamat dari keadaan ini, ia ingin dimatikan secepatnya dan bertemu dengan Janu. Anaknya.Sorot lampu seolah menyadarkan Awan, dengan cepat kewarasannya mengambil alih. Pikirannya berputar cepat, kesadarannya menggedor isi pikirannya membuat Awan kembali menghantam sebuah masa lalu yang sudah ia kubur sedalam mungkin di dalam hatinya, sebuah kotak pandora besar yang ia kubur di alam bawah sadarnya seolah terbuka.Sebuah gambaran masa lalu berkelebat dengan cepat di matanya, sosok wanita cantik berambut panjang yang sedang menjerit memanggil namanya menarik kesadaran Awan dengan paksa."Selena ...." Awan membanting stir ke kiri secepat yang ia bisa, ia hanya bisa berdoa semoga truk di samping kirinya mau mengalah dan melambatkan laju kendaraannya.
Sonya membuka matanya, tangannya mengusap samping ranjang yang dingin. Ingatannya dengan cepat kembali ke saat ia kembali pulang ke hotel, selama perjalanan bersama Awan, mereka sama sekali tidak berbicara dan sibuk dengan pikirannya masing-masing. Awan sama sekali tidak mengucapkan sepatah kata pun selain selamat tidur dan menggeret kopernya keluar dari kamar Sonya dan berpindah ke kamar lainnya di hotel itu. Sonya sama sekali tidak mencegah atau melarangnya karena dirinya tidak mungkin memohon pada Awan dan menggadaikan harga dirinya. Tidak, Sonya masih memiliki harga diri, hanya itu yang Sonya miliki untuk saat ini."Jam sepuluh," bisik Sonya sembari melihat layar ponselnya, ia ingat hari ini ia harus kembali pulang ke Jakarta dan kembali kerutinitasnya lagi. Harapan Sonya adalah saat pulang dari liburan ia bisa sedikit melepas stres namun, yang ada dia malah menambah beban pikiran. Sonya beranjak dari ranjang, manik matanya terhenti pada nampan beris