"Lepaskan! Tolong, lepaskan!" Liana berusaha melepaskan diri dari cengkeraman laki-laki separuh baya di sebuah apartemen.
"Kau ingin jadi artis, bukan? Syarat utama kau bisa menjadi seorang artis adalah bercinta denganku malam ini!" ancam laki-laki itu.
Liana gemetar, tak menduga jika kedatangannya ke apartemen seorang produser film akan berujung mengerikan.
Liana tak cukup punya kekuatan untuk melawan tenaga laki-laki itu. Ia terus menjerit dan memohon.
"Kau hanya harus melakukan sesuatu untuk membuatku senang. Aku pastikan, kau akan selalu menjadi bintang utama di semua filmku!"
"Toloooong! Siapapun tolong aku!" Liana menjerit ketakutan saat laki-laki itu merangsek, mendorong tubuh Liana ke atas sofa. Ia terjerembab di samping meja dan kepalanya terbentur ujung meja. Liana meringis kesakitan lalu tiba-tiba ia merasakan semuanya menjadi gelap!
Laki-laki itu menyeringai mendapati Liana jatuh pingsan. Segera ia mengangkat tubuh Liana dan menjatuhkannya di atas sofa. Lalu dengan napas yang semakin memburu, ia membuka bajunya dan naik ke atas sofa. Kini ia berada di atas tubuh Liana.
Sebelum sempat ia menyentuh Liana, pintu apartemen terbuka. Alex muncul disusul kepala keamanan yang meminjami Alex kunci utama. Alex berhasil meyakinkan petugas keamanan jika Liana berada dalam bahaya.
Alex terkejut melihat pemandangan di ruang tamu apartemen.
Laki-laki itupun terkejut dengan kemunculan Alex.
"Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk?"
"Diam kau, brengsek! Mau kau apakan perempuan ini?" Alex meninju laki-laki itu, lalu menghajarnya hingga setengah babak belur. Laki-laki separuh baya itu tak bisa melawan karena ia sedang dalam keadaan setengah mabuk.
"Lian, Liana! Bangun, Li!" Alex menepuk-nepuk pipi Liana. Tak menunggu lama, Alex bergegas keluar menggendong Liana dan tak lupa berterima kasih pada kepala keamanan apartemen.
Alex melarikan mobilnya dengan kecepatan penuh menuju pub karaoke milik Mami Inggrid.
Lima belas menit Alex sudah sampai di depan Pub Karaoke "Red Rose". Lekas ia menggendong Liana yang masih pingsan masuk ke dalam pub dan segera menuju kamar khusus Mami Inggrid.
"Ya, Tuhan. Liana? Kenapa dengan anakku, Lex?" Mami Inggrid panik melihat Liana pulang dalam keadaan pingsan.
Alex meletakkan tubuh Liana di atas sofa dengan hati-hati. "Liana hendak casting salah satu peran di film barunya sutradara Wicaksono, Mam. Tapi saat ia memberitahu kalau ia casting di sebuah apartemen, aku curiga. Untung saja, Liana memberikan alamat serta nomor kamar apartemennya."
"Lalu apa yang terjadi? Kenapa dia sampai pingsan?" Mami Inggrid mengoleskan minyak kayu putih di hidung Liana.
"Liana hendak dinodai seorang laki-laki, tapi aku berhasil menyelamatkannya," sahut Alex.
"Ya, Tuhan! Liana! Mama sudah bilang, Mama tak setuju dia jadi artis. Tadi saat dia pergi, izinnya hendak bertemu seorang kawan, rupanya dia berbohong!" Mami Inggrid mencubiti lengan Liana.
"Aw, sakit, Ma!" Liana merintih pelan, rupanya ia sudah sadar.
"Untung saja Alex datang menyelamatkanmu. Kalau tidak, entah bagaimana nasibmu!" bentak Mami Inggrid.
Liana lemas mendengar omelan mamanya. Namun lega karena Alex berhasil menyelamatkannya.
Melihat Liana sudah sadar, Alex meminta izin pulang pada Mami Inggrid karena ia masih harus kuliah pagi itu.
Seharian Liana tertidur di ruangan khusus Mami Inggrid. Saat ia membuka mata, jarum jam menunjukkan angka tujuh.
"Jam tujuh malam? Berapa lama aku tertidur?" gumam Liana. Ia bangkit dari atas sofa. Menggeliat lalu terdiam sesaat. Liana memikirkan insiden yang menimpanya tadi pagi.
Lalu perlahan, Liana bangun dan berjalan pelan keluar ruangan. Ia menuju meja bar yang ada di sebelah ruangan khusus.
"Yan, minta Ciu!" pinta Liana menelungkupkan wajahnya di atas meja.
"Liana? Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Yanuar sambil menuang Ciu ke dalam unsteam glass yang sudah diisi es batu lalu menyodorkannya pada Liana.
Liana mengangkat kepalanya dan mengangguk lalu menerima gelas berisi minuman dari Yanuar.
"Lain kali hati-hati kalau ada panggilan casting. Kalau perlu ajak Alex tiap kali casting," saran Yanuar.
Liana hanya tersenyum tipis mendengar saran Yanuar.
Liana adalah anak angkat Mami Inggrid, pemilik pub karaoke kecil di pinggiran kota Jakarta. Mami Inggrid sangat menyayangi Liana. Ia membiayai dan menyekolahkan Liana hingga lulus SMA. Namun Liana yang lemah secara akademik enggan melanjutkan pendidikannya, ia tak mau kuliah. Ia hanya ingin menjadi artis.
***
Alena melangkah anggun dengan dagu sedikit terangkat. Ia berjalan di sebelah Pramudya, menggandeng lengan calon suaminya itu dengan ekspresi bahagia. Keduanya memasuki rumah megah milik Nyonya Sekar Adiwiguna, janda kaya raya, ibunya Pramudya.
Di teras rumah tampak Nyonya Sekar ditemani oleh Diwali dan Puri. Alena melihat tatapan Diwali yang tampak antusias melihat penampilannya dari kejauhan. Gaun panjang ketat tanpa lengan warna maroon dengan belahan selutut membalut tubuh sintal Alena dengan sempurna.
Alena juga sekilas melihat ekspresi Puri yang tampak kesal melihat antusiasme Diwali akan penampilannya.
"Ma, ini Alena. Calon istriku." Pram mengenalkan Alena.
"Selamat sore, saya Alena." Alena tersenyum menawan lalu menyalami ketiga orang yang sudah duduk lama menanti kedatangan Alena. "Maaf sedikit terlambat. Jalanan sedikit macet," tambah Alena.
"Macet kau jadikan alasan. Padahal nyaris setengah jam aku menunggumu berdandan," tukas Pram sembari menyelipkan helai rambut Alena ke belakang telinga kirinya.
Pram begitu memuja Alena, terlihat sangat jelas dari tatapannya. Nyonya Sekar melihat itu dan hatinya sungguh bahagia. Akhirnya anak sulung yang ia banggakan tak akan lama lagi akan memiliki pendamping hidup.
Puri tampak tak senang dengan kehadiran Alena. Menurutnya, pakaian Alena terlalu terbuka. Ditambah tatapan liar Diwali yang tak berkedip melihat kecantikan paripurna Alena. Hati Puri makin memanas.
Nyonya Sekar segera mengajak Alena ke ruang makan. "Kita langsung makan saja, ya. Nanti ngobrolnya setelah makan."
Alena mengangguk ramah. Sekilas ia melirik ke arah Puri yang berwajah masam. Alena tahu, Puri adalah menantu keluarga Adiwiguna namun pakaian yang dikenakan Puri sungguh sangat sederhana, sangat tertutup dan cenderung old fashion. Begitu pikir Alena. Ia hanya tersenyum tipis mendapati calon adik iparnya sepertinya tak menyukainya.
Di meja makan sudah terhidang aneka makanan. Nyonya Sekar duduk di kursi utama menatap Alena dengan bahagia.
"Pram tak memberitahu apa makanan kesukaanmu. Semoga kau menyukai semua hidangan ini. Ayo, dimakan!" Nyonya Sekar mempersilahkan Alena untuk mencicipi hidangan makanan yang tersaji.
"Terimakasih, Nyonya. Hidangan ini terlihat sangat lezat, tentu saja saya akan sangat menikmatinya," sahut Alena sopan. Tak lupa ia tersenyum ramah pada dua orang asisten rumah tangga yang berdiri tak jauh di belakang Nyonya Sekar.
Setelah acara makan usai, Nyonya Sekar menggandeng Alena menuju ruang keluarga. Lagi-lagi Puri tampak tak suka jika mertuanya itu rupanya begitu menyukai Alena. Diwali bersiul kecil melihat keseksian tubuh Alena.
"Jaga mata dan sikapmu, dia calon kakak iparmu!" ancam Pram tegas.
Diwali cengengesan, Puri melotot ke arahnya. "Awas kau macam-macam, Mas!" Puri ikut memberi ancaman.
Diwali terkekeh. "Urus saja Mawar, anak kita. Jangan ikut campur urusanku dan posisimu sebagai istriku akan aman," bisik Diwali sembari menjawil hidung Puri. Puri mendelik sewot.
Mereka berbincang penuh kehangatan di ruang keluarga. Nyonya Sekar senang bukan main melihat Pramudya akhirnya membawa seorang wanita ke rumah setelah empat puluh tahun Pram tak pernah sekalipun jatuh cinta.
Pram sibuk mengurus perusahaan almarhum ayahnya. Nyonya Sekar sempat khawatir dengan masa depan Pram apalagi sejak Diwali melangkahi Pram. Menikahi Puri karena Diwali telah menghamilinya.
Pramudya tipikal lelaki idaman kaum hawa. Tampan, kaya raya dan sulit jatuh cinta. Sekali Pram jatuh cinta, Pram menambatkan hatinya pada Alena. Gadis pengeruk harta lelaki kaya. Sementara Diwali, hobinya adalah main perempuan, mabuk dan gemar menghabiskan harta peninggalan almarhum ayahnya untuk bersenang-senang.
***
Di kamar Puri, Diwali memandangi langit-langit kamar. Ia tenggelam dalam lamunannya. Puri sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya perlahan sembari sesekali mencuri pandang pada suaminya.
"Bisa-bisanya Kak Pram menjatuhkan pilihan pada wanita itu." Puri membuka percakapan.
Diwali melirik istrinya dan menaikkan alis. "Kenapa dengan Alena?" tanya Diwali.
"Dandannya menor, norak. Too much. Bajunya terlalu memperlihatkan lekuk tubuh, apalagi belahan bawahnya terlalu tinggi, pahanya jadi terlihat saat ia duduk tumpang kaki. Dia itu mau bertemu dengan calon mertua, harusnya sopan sedikit pakaiannya," sahut Puri masam.
"Jangan disamakan denganmu. Kalau kau mau, kau bisa pakai gaun-gaun yang aku belikan. Tak jauh beda dengan gaun yang tadi dipakai Alena," ucap Diwali.
"Ck, gaun apa? Kau beli gaun hanya sesuai seleramu saja. Kau tak memperhatikan selera istrimu seperti apa?" protes Puri.
Diwali memiringkan badan menghadap Puri. "Puri, kau itu sudah jadi istriku, harusnya sesekali kau berdandan layaknya istri putra kedua Tuan Adiwiguna. Jangan kampungan terus!"
"Mas, kau itu, ya! Kalau aku kampungan kenapa? Kenapa dulu Mas mau sama aku? Meniduri aku sampai aku hamil? Kalau Mama tak memaksamu menikahi aku, aku sudah kau buang, kan?" Suara Puri meninggi.
"Hei, dengar, ya! Kau bersedia aku tiduri dengan suka hati, bukan? Kita sama-sama suka saat itu. Aku tak memaksamu. Lain persoalan kalau aku memaksa menidurimu," tukas Diwali tajam.
"Mas, kau tega. Jahat!" Puri terisak.
"Ah, sudahlah! Senjata andalanmu hanya menangis. Kalau bukan marah, cemberut, curiga, ujung-ujungnya menangis. Bosan aku lama-lama!" Diwali beranjak meninggalkan kamar.
Air mata Puri semakin deras. Ia menatap cermin dan menelisik wajahnya. "Apa yang kurang dari aku, Mas?" bisik Puri lirih.
Sementara itu di dapur rumah Nyonya Sekar, beberapa asisten rumah tangga sedang bersantai. Mereka sudah bebas tugas namun masih mengenakan seragam keseharian mereka.
"Tadi kalian lihat calon istrinya Tuan Pram?" Murni, kepala rumah tangga bertanya dengan antusias.
"Iya aku tadi melihatnya di meja makan. Cantik seperti artis, ramah pula. Dia mau tersenyum pada seorang pelayan. Semoga bisa menjadi nyonya rumah yang murah hati dan menyenangkan, tak seperti nyonya muda yang itu!" Tuti meleletkan lidah.
"Nyonya muda yang mana? Oh, mantan kawan kita? Ah, dia itu kacang lupa kulitnya. Mentang-mentang sudah jadi nyonya besar. Tingkahnya sombong benar!" timpal Ani.
"Kalian sedang menggosipkan aku?" Tiba-tiba Puri sudah berada di antara para asisten rumah tangga itu.
Murni, Ani dan Tuti terkejut lalu satu persatu pergi meninggalkan dapur sambil tak lupa mengangguk hormat pada Puri.
"Kurang ajar kalian, membicarakan majikan sendiri. Lihat saja nanti!" Puri geram.
***
"Bagaimana, Ma? Mama setuju jika aku menikah dengan Alena?" tanya Pram di kamar Nyonya Sekar.
"Kalian bertemu di mana? Kenapa kau baru mengenalkannya pada Mama sekarang dan Mama tidak ikut serta dalam persiapan acara pernikahan kalian?" sahut Nyonya Sekar. Ia menarik selimut menutupi kakinya yang sudah renta.
"Pram minta maaf, Ma. Alena gadis bebas dan mandiri. Aku takut Mama tak setuju dengan karakter Alena. Sementara aku sangat mencintainya," sahut Pram lembut.
Nyonya Sekar membelai kepala Pram penuh kasih. Siapapun pilihanmu, Mama setuju. Asalkan wanita pilihanmu benar-benar mencintaimu dengan tulus. Tapi kenapa hanya pesta kebun sederhana? Kenapa bukan pesta besar dan meriah?" tanya Nyonya Sekar.
"Alena yang meminta, Ma. Aku memohon agar diadakan pesta pernikahan megah namun Alena bersikeras dengan keinginannya. Ya, sudah. Aku ikuti apa mau dia saja, Ma. Semua sudah kami persiapkan. Mama hanya tinggal duduk manis saja, oke!" Pram mencium punggung tangan Nyonya Sekar.
Nyonya Sekar mengangguk patuh, ia betul-betul bersyukur Pram akan mendapatkan seorang istri. Apapun dan bagaimanapun Alena, asalkan Pram menyukainya, ia sama sekali tidak keberatan.
Tapi jauh di dasar hati Nyonya Sekar, ia ingin sekali menanyakan latar belakang keluarga Alena. Namun ia mengurungkannya. Pram sudah memilih Alena berarti ia sudah lolos uji mengenai asal-usul keluarganya.
"Ma, Alena yatim piatu. Dulu ia besar di panti asuhan. Pekerjaan dia sekarang adalah penerjemah. Ia pandai menguasai beberapa bahasa asing dan sering bepergian ke luar negeri." Pram mengutarakan asal-usul Alena, seolah tahu apa yang dipikirkan mamanya.
Nyonya Sekar merasa prihatin dengan asal-usul Alena. "Gadis malang, ia sudah tak punya orang tua sejak kecil. Sayangilah ia dengan sepenuh hati, Pram," pesan Nyonya Sekar tulus. Pram mengangguk mantap.
***
Di balkon apartemen, Alena menikmati malam dengan beberapa puntung rokok dan secangkir kopi hitam tanpa gula. Gaun merah maroonnya belum ia ganti. Ponselnya berdering. Lama ia menatap layar ponsel.
"Halo."
Alena diam mendengarkan suara di seberang ponsel. "Lima hari lagi aku akan menikah.Tunggulah sebentar, aku akan menjadi istri Pramudya Adiwiguna. Seminggu setelah pernikahanku, aku akan menemuimu di Perth."
Alena kembali terdiam. "Kalau kau keberatan dengan statusku nanti, akhiri saja. Aku tak suka diatur, tak suka dicemburui. Bahkan oleh suamiku sendiri nantinya." Alena menutup panggilan. Ia menghembuskan asap rokok dalam-dalam lalu kembali tenggelam dalam heningnya malam.
Di suite kamar hotel, Alena bersantai di sofa, memandangi layar televisi namun sebenarnya pikirannya sedang tak ada di sana. Ia memikirkan pernikahannya dengan Pramudya. "Apa yang kau pikirkan? Sejak semalam kau tidak fokus denganku." Arya keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk. Arya adalah salah satu kekasih Alena. Ia sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak perempuan yang masih kecil-kecil. "Masih ada waktu tiga hari. Batalkan pernikahanmu!" tandas Arya. Alena berjengit. "Kau tak punya hak mengatur hidupku!" "Aku menawarkan untuk menikahimu kenapa kau memilih Pramudya?" Arya duduk di sebelah Alena, melingkarkan kedua tangannya dipinggang Alena. "Hanya Pramudya laki-laki yang tulus mencintaiku dan ia bukan suami orang," jawab Alena. "Kau pikir aku tidak tulus mencintaimu?" Arya mencium pelipis Alena. "Pram belum pernah
Hari pernikahan Alena dan Pramudya tiba. Pesta Kebun di halaman belakang rumah Nyonya Sekar tampak meriah meski hanya dihadiri keluarga dan kawan-kawan terdekat. Pramudya terlihat sangat mempesona dengan tuxedo sutra hitam yang ia kenakkan. Begitu juga dengan Alena. Gaun pengantin putih dengan model V-Neck dan lacehalus yang menambah kesan mewah, membalut sempurna tubuh Alena. Gaya rambut Messy Low Bun Alena diimbangi dengan tatanan bagian depan yang terlihat sleek di kedua sisi.Tampak memukau meski tanpa hair piece. Lalu satu set purple diamondpemberian Pramudya semakin memancarkan kecantikan Alena. Betul-betul pasangan yang serasi. Di barisan kursi undangan paling depan, Diwali menatap Alena penuh arti. Diwali memahami siapa Alena dari tatapan mata, gestur dan juga selera berpakaian Alena. Saat ini, ia mer
"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu. Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya. "Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras. Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakanOff Shoulder Dressdi atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri. "Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena. "Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena."Tante juga cantik!" sahut Puri riang. Alena tersenyum hangat. "Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak A
Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya. Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati. Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram. Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena. "Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram. Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?" "Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena. Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan
"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan. "Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila. "Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila." "Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram. Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!" "Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem
Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed
Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal
Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"
Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid
"Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d
Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena
Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap
Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende