Hari pernikahan Alena dan Pramudya tiba. Pesta Kebun di halaman belakang rumah Nyonya Sekar tampak meriah meski hanya dihadiri keluarga dan kawan-kawan terdekat.
Pramudya terlihat sangat mempesona dengan tuxedo sutra hitam yang ia kenakkan.
Begitu juga dengan Alena. Gaun pengantin putih dengan model V-Neck dan lace
halus yang menambah kesan mewah, membalut sempurna tubuh Alena.Gaya rambut Messy Low Bun Alena diimbangi dengan tatanan bagian depan yang terlihat sleek di kedua sisi.Tampak memukau meski tanpa hair piece. Lalu satu set purple diamond
pemberian Pramudya semakin memancarkan kecantikan Alena. Betul-betul pasangan yang serasi.Di barisan kursi undangan paling depan, Diwali menatap Alena penuh arti. Diwali memahami siapa Alena dari tatapan mata, gestur dan juga selera berpakaian Alena. Saat ini, ia merencanakan sesuatu yang ia pikir akan menyenangkan.
"Mas, jaga tatapanmu! Alena itu bukan pisang tapi orang!" Puri menegur Diwali kesal.
"Kau! Kau pikir aku . . . ."
"Apa? Monkey? Memang kenyataannya kau menatap Alena teramat liar, kok. Wajar aku bilang seperti itu, Alena itu bukan pisang tapi orang!" potong Puri.
"Bisa-bisanya kau bilang aku monkey? Makin kurang ajar kau, ya!" desis Diwali.
"Aku akan menghormatimu kalau kau menghargai aku sebagai istrimu, Mas!" Puri mengeraskan kedua rahangnya.
Diwali menarik napas dalam, ia mencoba menahan amarahnya. "Coba kau lihat Alena! Bagaimana aku tidak tertarik? Sekali- sekali berpakaianlah sepertinya, belahan dada terbuka, lekukan pinggangnya yang ramping menambah keseksian tubuhnya."
"Mas, aku tak perlu berpakaian terbuka pun kau sudah tertarik denganku, kan?"
"Suamimu itu butuh penyegaran, Puri. Kau ingin dimengerti olehku tapi kau lupa bahwa aku juga ingin dimanja. Bukan dimarah-marahi terus, dicurigai, dicemberutin. Pekerjaan di kantor sudah membuatku pusing, pulang ke rumah aku ingin sesuatu yang menyegarkan!" papar Diwali.
Puri menatap tajam Diwali. Ia berlalu menjauh dari suaminya. Ia ingin menangis, menumpahkan kekesalan hatinya namun Mawar berhasil mencegahnya. Mawar memanggil Puri dan berlari kecil ke arahnya.
"Mama sama Papa dipanggil Nenek, kita mau foto bersama pengantin, Ma!" Mawar, anak semata wayang Diwali dan Puri berseru riang. Mau tak mau Puri dan Diwali menghampiri Nyonya Sekar yang sudah berdiri di sebelah Alena dan Pramudya.
"Mama senang sekali, Alena. Jadilah istri yang baik untuk Pram dan memberi Mama cucu laki-laki." Nyonya Sekar menggenggam kedua jemari Alena.
"Iya, Nyonya."
"Kok, Nyonya. Panggil aku Mama, kau sekarang adalah anak Mama!" protes Nyonya Sekar dengan senyum keibuannya.
"Eh, iya. Mama," sahut Alena masih canggung.
Pramudya tersenyum bahagia melihat dua orang wanita yang ia cintai tampak begitu dekat. Awalnya Pram khawatir mengenalkan Alena sebagai calon istrinya.
Nyonya Sekar sering memuji Puri yang selalu berpakaian sopan dan tertutup. Sementara cara berpakaian Alena selalu terbuka dan memperlihatkan lekuk tubuh. Mau bagaimana lagi, Pram jatuh hati seutuhnya dengan Alena.
Sementara itu di kejauhan, tampak Alex–sepupu Pram, berdiri dengan wajah keheranan.
Istrinya Pramudya kenapa mirip sekali dengan Liana? Siapa perempuan itu? Saudara kembar Liana? Ah, tidak mungkin. Liana anak tunggal, tak mungkin istrinya Pram adalah saudara Liana. Tapi wajah mereka terlihat sangat mirip. Alex membatin.
Karena penasaran, Alex meraih ponsel dari saku celananya. Ia menghubungi nomor Liana. Tak berselang lama, terdengar suara Liana di seberang telepon.
"Halo!"
"Em, halo, Li!" Mendengar Liana menjawab di seberang telepon dan Alena yang sibuk dengan acara foto keluarga, Alex bernapas lega.
"Maaf, Li. Nanti aku telepon lagi. Sedang ada acara keluarga."
Dia bukan Liana, gadis cantik yang susah sekali aku dapatkan hatinya. Batin Alex benar-benar lega meski ia sungguh merasa penasaran dengan kemiripan Alena dan Liana.
***
Pagi itu di teras rumah Mami Inggrid Liana sedang sibuk dengan ponselnya.
"Lian, kau sedang apa? Dari tadi sibuk terus dengan HP," tegur Yuni duduk di sebelah Liana.
"Aku lagi cari agency, Kak," jawab Liana.
"Agency apa?"
"Agency jadi artis," jawab Liana santai.
Yuni mesem. Ia menatap lekat wajah Liana. Jujur saja, Liana itu cantik. Pikir Yuni. Cantik, polos dan baik.
"Aku punya teman, Li. Dia sering ikut casting figuran-figuran kecil di sinetron. Kau mau aku kenalkan padanya?" tanya Yuni.
"Jangan keras-keras. Mama tak suka aku ikut-ikutan kegiatan seperti itu. Apalagi setelah kejadian tempo hari. Kalau Mama tahu, habislah aku kena omel Mama," jawab Liana menempelkan telunjuk di bibirnya.
"Langsung ke Production House saja, Li. Bilang saja daftar casting mau jadi artis," saran Yuni.
"Apa aku harus latihan akting dulu, ya? Atau aku kuliah saja tapi jurusan akting. Mama pasti senang kalau aku kuliah, bukan?"
Yuni tertawa. "Li, Li, kau ingin sekali jadi artis. Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih kuliah saja, Li. Serius, deh!"
"Iya, Kak. Aku kuliah jurusan seni saja, ya. Coba bilang Mama, ah!" Liana bangkit dari duduknya dan berlari-lari kecil masuk ke dalam kamar Mami Inggrid. Yuni geleng-geleng kepala melihat tingkah Liana.
Namun tak berapa lama terdengar suara ribut-ribut dari dalam kamar Mami Inggrid. Yuni yang masih duduk di taman hanya mesem.
"Kau kuliah ambil jurusan akting. Kalau mau jadi artis kenapa harus susah-susah kuliah? Anak kecil saja bisa akting!" Mami Inggrid mulai menguliahi Liana.
"Katanya Mama ingin melihat aku sukses. Kalau aku jadi artis aku bisa punya uang banyak. Aku mau kuliah tapi jurusan akting! Tak mau jurusan lain!" Liana bersikukuh dengan keinginannya.
"Sini kau, sini! Telingamu harus Mama jewer dulu! Mama tak suka kau jadi artis, titik! Kau tidak kapok dengan kejadian kemarin, hah? Kalau saja tidak ada Alex, entah bagaimana nasibmu sekarang!
"Tidak semua produser seperti kakek-kakek yang kemarin itu, Ma. Masih banyak orang baik. Lagipula jangan salahkan statusnya sebagai produser. Lelaki hidung belang itu saja yang bejat. Lainnya tidak!" teriak Liana.
Brak! Pintu kamar Mami Inggrid terbuka lebar. Liana berlarian menghindari kejaran Mami Inggrid.
"Drama India dimulai!" gumam Yuni merasa lucu melihat Liana dan Mami Inggrid.
Rita, Yanuar dan yang lainnya keluar dari kamar masing-masing.
"Itu mereka kenapa lagi? Drama lagi? Kenapa harus pakai acara kejar-kejaran begitu," ucap Rita sambil geleng-geleng kepala.
"Ampun, Ma. Ampun! Telingaku sakit, aduh!" Liana mengaduh.
"Sekali lagi minta kuliah jurusan akting, kau pergi saja dari sini!"
"Jangan usir aku, Ma! Aku mohon!" sahut Liana meminta belas kasihan ibunya.
Semua orang yang melihat hanya bersedekap santai, menikmati drama gratis di depan mereka.
***
"Halo, semua! Selamat malam, aku Alena, anggota baru di rumah ini." Alena masuk ke dapur menemui para asisten rumah tangga yang berjumlah empat orang. Satu kepala rumah tangga membawahi dua orang lainnya dan satu orang tukang kebun.
Semua orang yang berada di dapur terkejut. Tak menyangka menantu baru Nyonya Sekar akan menemui mereka di dapur.
"Bolehkah aku meminta tolong?" tanya Alena ramah.
"Bo, boleh!" jawab mereka serempak.
"Kalian kompak sekali, ya!" ujar Alena senang.
"Aku minta tolong dibuatkan air hangat agak panas setengah ember biasa, pakai garam ini, ya!" Alena menyodorkan sebungkus garam Himalaya pada Murni, sang kepala rumah tangga.
"Garamnya empat sendok makan saja. Nanti tolong bawa ke kamarku, ya. Terima kasih!" Alena melempar senyum sangat lebar sebelum meninggalkan dapur.
Murni bergegas membaui tempat dimana tadi Alena berdiri. "Orangnya sudah pergi, aroma keramahannya masih tertinggal di sini."
"Cantiknya istri Tuan Pram, mirip artis. Penampilannya sungguh berkelas," puji Ani. Tuti dan Pak Diman mengiyakan.
"Sepertinya gelar nyonya muda yang tersemat pada mantan kawan kita akan segera tergantikan," ucap Tuti.
"Gelar nyonya muda lebih pas tersemat untuk istrinya Tuan Pram. Cantik, berkelas dan juga ramah." Murni menambahkan.
"Sudah, sudah! Ayo, Ani. Kamu jerang air, sana! Kalian hobi sekali bergosip," lerai Pak Diman sambil bergegas keluar dari dapur melalui pintu belakang.
Mereka tak tahu sepasang mata penuh kekesalan memperhatikan mereka sejak tadi. Mata milik Puri.
***
Alena masuk ke dalam kamar bertepatan dengan Pram yang keluar dari kamar mandi. Ia baru selesai mandi dan hanya mengenakan kimono handuk.
"Kamu dari mana, sayang?" tanya Pram.
"Dari dapur," jawab Alena singkat.
"Ada perlu apa ke dapur?"
"Aku minta tolong asisten rumah tanggamu menjerang air untukku. Mau rendam kaki," jawab Alena duduk di pinggiran tempat tidur lalu melambai pada Pram agar mendekatinya.
Pram tampak kikuk namun ia mengikuti kemauan Alena.
"Wangi." Alena mendekatkan hidungnya ke pelipis Pram.
Pram salah tingkah. Ia merasa gugup dekat dengan Alena dalam keadaan hanya memakai kimono handuk. Padahal Alena sudah sah menjadi istrinya.
Alena merapatkan posisi duduknya dengan Pram. Jemari lentiknya membelai pipi Pram kemudian merayap membelai bulu-bulu tipis di dada bidang milik Pram.
Wajah Pram memerah. Ia benar-benar canggung dan bingung harus memulai dari mana. Alena tampak begitu agresif. Pram belum pernah menyentuh Alena.
Empat bulan berpacaran dengan Alena, kegiatan mereka berdua hanya bertemu untuk makan malam, belanja dan nonton, tak lebih.
Alena bangkit lalu berdiri menghadap Pram. Perlahan ia melepaskan baju terusan yang ia kenakan. Tersisa gaun tipis yang sangat transparan di atas paha dan tanpa lengan.
Alena melingkarkan kedua lengannya di leher Pram. Pram gemetar. Aroma tubuh Alena membuat gairahnya muncul namun ia masih tak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya terasa kaku. Alena mendekatkan wajahnya ke wajah Pram namun tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar.
"Maaf, Tuan. Saya bawa air hangat untuk Nyonya Alena," ucap Tuti dari luar kamar.
Alena tersenyum lalu melepaskan tangannya dari leher Pram. Pram akhirnya bisa bernapas lega. Alena bergegas membuka pintu.
"Airnya, Nyonya." Tuti lekas menutup matanya dengan sebelah tangan melihat tubuh Alena hanya mengenakan pakaian dalam. "Maaf, maaf, saya menganggu Nyonya!" Tuti cepat-cepat meminta maaf.
"Sudah, tak perlu minta maaf. Sini, embernya. Terima kasih!" Alena mengambil ember dari tangan Tuti lalu kembali menutup pintu. Tuti cepat-cepat kembali menuju dapur.
"Sayang, kita tunda sebentar, ya. Aku mau rendam kaki dulu," kata Alena duduk di pangkuan Pram. Pram mengangguk gugup dan malah bersyukur karena Alena menunda aktifitasnya tadi.
Keesokkan harinya, keluarga Pram sudah berkumpul di ruang makan. Mereka menikmati appetizer roti salmon dengan saus tartare dan toping kaviar hitam.
"Asisten rumah tangga di sini sangat handal membuat hidangan lezat, ya," puji Alena pada Ani dan Murni yang berdiri di belakang Nyonya Sekar.
"Mereka wajib kursus masak semua makanan kesukaan keluarga kita sebelum bekerja di sini. Mama yang membiayai" jawab Pram.
"Masakan istriku terkenal paling lezat di antara mereka, tapi sekarang dia sudah tak pernah lagi ke dapur. Sibuk mengurus Mawar," tukas Diwali. "Puri dulu adalah salah satu asisten rumah tangga di sini," lanjut Pram enteng, seolah memahami keheranan Alena.
Alena mengangguk dan tersenyum manis ke arah Puri. Puri balas tersenyum tipis dan kaku. Ia kesal kenapa Diwali harus mengatakan siapa dirinya dahulu sebelum menjadi istrinya.
"Mama pintar masak, ya? Mawar mau nyobain masakan Mama," sahut Mawar tetap fokus menikmati Salmon Tartare Topped With Caviar kesukaannya.
Puri menoleh dan membelai pipi Mawar yang duduk di sebelahnya. Ia tak menjawab kalimat yang dilontarkan Mawar.
Sarapan pagi sudah selesai. Di ruang kerja, Pram sibuk mencari-cari berkas yang ia perlukan.
"Cari apa, sayang!" tanya Alena.
"Berkas untuk meeting pagi ini. Semalam aku simpan di mana, ya?"
"Mungkin di kamar, semalam kau langsung berkutat dengan setumpuk berkas sehabis kita bercinta," sahut Alena mengedipkan sebelah matanya manja. Pram tergeragap. Wajahnya kembali memerah.
Terdengar ketukan di pintu.
"Masuk," jawab Alena.
"Maaf Tuan, ada tamu ingin menemui Tuan." Pak Diman berdiri di depan pintu.
"Pagi-pagi begini? Siapa, pak Diman?" tanya Pram.
"Maaf, pak. Saya lupa bertanya tadi."
"Ya, sudah tak apa-apa. Alena, bisa kau temui dulu tamuku. Aku harus mencari berkas di kamar," pinta Pram.
Alena mengangguk dan bergegas menemui tamu di teras depan.
Setibanya di teras, tubuh Alena menegang. Tamu Pram adalah Arya, ia duduk di kursi teras. Saat Alena muncul, Arya tersenyum dengan tenang.
"Kau!" desis Alena.
"Apa kabar, sayang?" tanya Arya pelan.
Alena mendekati Arya. "Mau apa kau ke sini?" bisik Alena tegang.
"Tidak usah tegang begitu, Alena. Tenang saja, aku ke sini bukan untuk menemuimu. Aku ada perlu dengan suamimu," jawab Arya.
"Ada perlu apa kau menemui suamiku?" Alena masih berbisik dengan tegang.
"Suamimu adalah rekan bisnisku. Aku sudah lama bekerja sama dengannya." Arya tersenyum kalem.
"Bohong! Kenapa selama ini kau diam saja seolah-olah tidak mengenal Pram?" tanya Alena sambil berkali-kali melihat ke dalam rumah, ia khawatir Pram segera muncul di teras.
Sebelum sempat Arya menjawab, Pram sudah muncul di depan pintu. Alena kembali berusaha setenang mungkin di depan Pram. Hingga mereka berdua pergi, Alena masih terduduk lemas di kursi teras.
"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu. Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya. "Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras. Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakanOff Shoulder Dressdi atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri. "Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena. "Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena."Tante juga cantik!" sahut Puri riang. Alena tersenyum hangat. "Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak A
Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya. Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati. Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram. Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena. "Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram. Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?" "Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena. Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan
"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan. "Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila. "Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila." "Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram. Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!" "Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Alex berjalan santai menuju taman di halaman depan rumah Nyonya Sekar. Ia melihat tantenya sedang merajut. Alex tersenyum lalu memeluk leher Nyonya Sekar dari belakang. "Sore, Tanteku tercinta yang selalu cantik dan awet muda," sapa Alex renyah. Nyonya Sekar spontan meletakkan rajutannya dan menepuk tangan Alex."Kau ini mengagetkan Tante saja!" Alex melepaskan pelukannya lalu duduk di sebelah Nyonya Sekar. "Maaf aku baru bisa jenguk Tante hari ini. Salah sendiri di rumah sakit hanya satu malam," ujar Alex mengambil satu buah apel merah di atas meja lalu memakannya. "Memangnya kau mau Tante berlama-lama ada di rumah sakit?" sahut Nyonya Sekar melepas kacamatanya. "Tante sakit apa sebetulnya?" "Cuma asam lambung biasa." "Jangan remehkan asam lambung!" tukas Alex. "Memikirkan apa? Dua anak lelakimu sudah menikah. Memikirkan kepona
Pram, Liana dan Alex saling berpandangan. Namun tiba-tiba ponsel Pram berdering. "Halo, ada apa Puri?" tanya Pram. "Apa? Mama sakit lagi? Seperti kemarin malam?" Pram tampak cemas. "Kenapa lagi dengan Tante?" Alex ikut cemas mendengar ucapan Pram. "Segera bawa ke rumah sakit. Aku akan menyusul sekarang juga!" "Pram, kenapa dengan Tante Sekar?" "Mamaku kambuh lagi, aku harus segera ke rumah sakit!" Pram bergegas meninggalkan Liana dan Alex. Alex terlihat ingin menyusul Pram namun ia merasa tak enak hati dengan Liana karena belum memesan makanan sama sekali. "Pergilah!" ujar Liana mengerti kecemasan di wajah Alex. "Tapi, kita pesan makanan saja belum, Li!" sahut Alex. "Sepertinya ada hal lain yang lebih kau cemaskan saat ini. Acara makan malam kita masih bisa dilakukan lain kali." Liana meyakinkan
Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem
Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed
Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal
Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"
Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid
"Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d
Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena
Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap
Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende