Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya.
Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati.
Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram.
Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena.
"Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram.
Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?"
"Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena.
Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan betul betapa Pram tulus menyayanginya. Perasaannya membuncah. Ia menyukai sikap Pram namun sekaligus bimbang dan takut.
Alena takut benar-benar jatuh cinta pada suaminya. Kelak jika ia jatuh cinta, ia akan bergantung sepenuhnya pada Pram dan Alena tak menyukainya. Alena sudah berjanji dalam hatinya, ia tak akan pernah jatuh cinta. Ia hanya akan mempermainkan setiap lelaki yang mencoba mendekatinya.
"Apapun yang berasal darimu, aku selalu menyukainya karena kau adalah laki-laki istimewa penghuni hatiku," jawab Alena bangkit dari kursi lalu memeluk Pram.
Pram membalas pelukan Alena dengan erat dan hangat. Alena tergetar, degup jantung Pram masih saja tak beraturan. Degup jantung yang tak pernah ia rasakan saat berada dalam pelukan laki-laki lain.
"Aku mau ikut ke kantor," ucap Alena sambil melepaskan pelukannya.
"Oh, ayo! Pekerjaanku akan semakin ringan jika kau ada di ruanganku," sahut Pram sumringah.
"Tapi aku hanya sebentar, bosan jika seharian duduk-duduk saja di ruanganmu. Atau, kita bisa bercinta di ruanganmu?" Alena memainkan jemari tangannya di dada bidang Pram.
Raut wajah Pram memerah. Ia lantas menggandeng bahu Alena segera keluar kamar.
Alena selalu merasa senang melihat wajah Pram yang kemerahan jika ia menggodanya. Alena bergelayut manja di lengan Pram dan menjatuhkan kepalanya di bahu Pram. Mereka berjalan dengan posisi seperti itu hingga teras rumah.
Di teras, Nyonya Sekar sedang asyik merajut sendirian. Pram dan Alena menyapanya.
"Pagi, Ma!" sapa Pram dan Alena.
Nyonya Sekar meletakkan rajutannya di atas meja lalu membetulkan kacamata.
"Aku mau ikut Pram ke kantor." Alena tersenyum ramah sambil tetap menggandeng Pram.
"Iya sering-seringlah menemani Pram bekerja. Banyak wanita di luar sana yang tetap mengincar suamimu meski ia sudah tidak lajang lagi," sahut Nyonya Sekar.
"Tapi aku sudah memilih Alena sebagai satu-satunya ratu di hati aku, Ma." Pram mempererat rangkulannya di bahu Alena.
"Ayo, kita berangkat. Semakin siang jalanan semakin macet," ujar Alena. Lalu keduanya pamit pada Nyonya Sekar.
Puri keluar dari dalam rumah, memperhatikan Alena dari belakang yang mengenakkan kemeja tanpa lengan dan rok span ketat di atas paha.
"Ma," ujar Puri, ia duduk di sebelah Nyonya Sekar.
"Kenapa, Puri?" sahut Nyonya Sekar mengambil kembali rajutannya di atas meja.
"Apa Mama tidak merasa risih melihat cara berpakaian Alena?" Puri cemberut.
"Sampai saat ini, cara berpakaianmu jauh lebih bagus. Pertahankan! Tapi Puri, seseorang berpakaian terbuka bukan berarti orang itu tidak baik. Alena wanita baik yang ramah pada siapapun termasuk pada asisten rumah tangga di rumah ini dan mereka pun menyukai Alena," papar Nyonya Sekar.
Puri menyandarkan punggungnya pada bahu kursi. Raut wajahnya masih cemberut. "Mama membela Alena karena Kak Pram anak kesayangan Mama, kan?"
"Puri, Mama menyayangi kedua menantu Mama. Jangan pernah menganggap Alena saingan. Diwali dan Pram adalah anak Mama. Mana mungkin Mama akan berat sebelah pada keduanya?" sahut Nyonya Sekar lembut dan menenangkan.
Ekspresi kekesalan di wajah Puri perlahan memudar. Ia pikir mungkin memang tak seharusnya mengkhawatirkan kasih sayang Nyonya Sekar padanya. Justru yang harus ia khawatirkan saat ini hanyalah Diwali.
***
Di ruangan Pram, Alena melingkarkan tangan di leher Pram yang sedang duduk di kursi kebesarannya.
"Nanti siang aku mau ke area produksi. Kau mau ikut?" tanya Pram sedikit gugup.
"Kau bilang jika ada aku di ruanganmu kau akan semakin semangat bekerja. Tapi kenapa kau gugup seperti ini?" Alena menciumi leher dan telinga Pram.
Pram semakin salah tingkah. Alena pun makin gemas melihatnya. Jemari tangan Alena bermain di dada Pram. "Apa kau mau bercinta denganku di ruangan ini?" Alena makin gencar melancarkan serangan.
Namun ketukan di pintu menghentikan rayuan Alena pada suaminya.
"Saya Indriani, Pak. Boleh saya masuk?"
"Masuklah!" jawab Pram. Alena sedikitpun tak mengendurkan pelukannya di leher Pram.
Indriani masuk dengan pakaian yang masih super ketat dan menggoda. Alena melihat Indriani sekilas lalu tetap kembali menciumi telinga Pram.
"Jadwal Bapak meeting hari ini. Permisi, Pak!" Indriani meletakkan berkas lalu kembali pamit dengan hati kesal melihat sikap Alena yang sama sekali tidak mempedulikannya.
Istri bos yang binal. Tak seharusnya ia bersikap tak pantas di ruangan atasan. Huh, dia pikir hanya dia satu-satunya wanita paling seksi di dunia ini? Apa aku masih kurang seksi di mata Pram? Indriani bersungut-sungut dalam hati.
"Alena," panggil Pram lembut saat Indriani sudah meninggalkan ruangan.
"Hm," jawab Alena.
"Aku sudah berkali-kali meminta Indriani untuk berpakaian biasa saja jauh sebelum aku mengenalmu. Namun ia tak pernah mendengarkan aku," ucap Pram khawatir.
"Memang kenapa dengan cara berpakaian dia? Dia memakai pakaian kerja dan rapi," sahut Alena santai.
"Tapi pakaian kerja yang ia kenakkan terlalu seksi," jawab Pram.
"Aku percaya padamu. Ribuan wanita berpakaian seksi di luar sana. Hanya aku yang bisa menggetarkan hatimu. Jadi aku tak perlu merasa khawatir." Alena duduk di pangkuan Pram.
"Aku bagaimana bisa kerja kalau kau seperti ini terus, Alena." Pram mendesah gelisah.
"Sayang!" panggil Alena.
"Hm."
"Ada hubungan kerja sama apa antara kau dan tamu yang kemarin datang pagi-pagi sekali ke rumah?" tanya Alena hati-hati.
"Oh, itu Arya Permadi. Sebetulnya dia pengusaha batubara asal Kalimantan. Hanya saja aku dan dia sedang mencoba menjalankan bisnis kecil-kecilan," jawab Pram.
"Bisnis apa yang kalian jalankan?"
"Properti," sahut Pram pendek.
Alena mengangguk dan tersenyum manis. Ia berharap dalam hatinya. Arya tak akan pernah mengungkapkan hubungan antara dia dan dirinya.
"Lusa aku ke Perth. Ada sedikit urusan di sana." Alena memainkan anak rambut di dahi Pram.
"Urusan apa?" tanya Pram.
Alena diam beberapa saat. "Menemani Samuel, perancang busana pernikahan kita. Ia punya kawan orang Prancis, suami istri. Mereka ingin membeli beberapa buah apartemen di Perth untuk investasi. Samuel memintaku menjadi penerjemah suami istri kawannya itu," sahut Alena.
Pram mengangguk pelan. "Berapa lama di Perth?"
Alena mengedikkan bahu. "Empat hari atau mungkin satu minggu," sahut Alena.
"Baiklah. Jaga dirimu baik-baik nanti selama di sana." Pram tersenyum lembut pada Alena.
Andai saja Pram tahu siapa yang akan ditemui Alena di Perth.
"Nanti jam sebelas kau ikut aku turun ke bagian produksi, ya. Ada sedikit masalah di sana."
Alena mengangguk setuju dan kembali melingkarkan tangannya di leher Pram, kali ini bibir mereka saling memagut mesra.
Ponsel Alena berdering. Di layar tertera nama Mama Sekar. "Telpon dari Mama, sayang!" ujar Alena.
"Angkatlah!" ucap Pram.
Alena bangkit dari pangkuan Pram lalu segera menjawab panggilan Nyonya Sekar.
"Mama kenapa?" tanya Pram setelah Alena selesai menerima panggilan.
"Mama minta aku menemaninya belanja. Aku tak jadi menemanimu keliling ke bagian produksi, ya. Belanja lebih menyenangkan," sahut Alena manja.
"Ya, sudah. Kau belanja dengan Mama saja."
Alena bergegas mengambil hand bag-nya. Ia pamit pada Pram tak lupa mereka saling berciuman kembali.
Di luar ruangan Pram, Alena melewati meja Indriani. Ia melempar senyum manis dan penuh percaya diri pada sekertaris suaminya itu. Indriani mengangguk sopan dan tersenyum tipis.
Bertepatan dengan Alena hendak masuk ke dalam lift, keluarlah Kamila dari dalam lift. Keduanya berpapasan. Seperti biasa, Alena dengan langkah gemulai dan dagu sedikit tengadah tak pernah peduli dengan penampilan wanita lain selain dirinya.
Berbeda dengan Kamila. Kamila memperhatikan seluruh penampilan Alena dan sedikit merasa terintimidasi dengan sosok Alena yang cantik namun angkuh. Ia lalu bertanya pada Indriani. "Siapa dia?"
"Istri Tuan Pram," sahut Indriani malas.
Kamila terbelalak.
Indriani mendengus. "Jangan kaget jika ternyata selera Tuan Pram wanita seperti itu. Tetap saja Tuan Pram yang sombong itu tertarik dengan kemolekan tubuh perempuan!"
Kamila tersenyum sinis. "Kau cemburu pada istri bosmu? Oke, wanita itu cantik. Sangat cantik dan kau tentu saja tidak ada apa-apanya dengan dia."
"Maksudmu? Hei, kau pikir kau jauh lebih segalanya dari istri Tuan Pram? Coba cari cermin, sana!" sembur Indriani kesal.
"Aku? Tentu saja aku jauh lebih segalanya dibanding istri bosmu itu. Meski memang susah sekali membuatnya bertekuk lutut padaku. Tak apa-apa, kesempatan masih terbuka lebar untukku. Aku bukan seorang bawahan sepertimu. Aku pewaris Rheins Corporation. Anak seorang pengusaha restoran dan hotel yang sukses. Jangan harap kau bisa bersaing denganku!" ancam Kamila.
"Aku mau lihat sampai di mana usahamu membuat Tuan Pram jatuh ke pelukanmu. Aku merasa sangsi!" ujar Indriani dengan senyum sinis. "Dan kau ada urusan apa menemui Tuan Pram? Di antara kalian tidak ada kerja sama apapun!" lanjut Indriani.
"Jangan ikut campur urusanku. Paham!" Kamila segera bergegas menuju ruangan Pram tanpa mengetuk pintu.
"Anak seorang konglomerat tapi tak punya sopan santun!" desis Indriani kesal.
Di dalam ruangan Pram, Kamila duduk dengan tenang melihat Pram yang fokus membaca berkas di atas meja.
"Kapan kalian menikah? Undanganmu tak sampai padaku. Di mana kalian melangsungkan pernikahan?" cecar Kamila.
Pram mengalihkan tatapannya pada Kamila. "Pernikahan kami bukan rahasia namun terbatas hanya untuk keluarga dan kawan-kawan terdekat saja," jawab Pram.
"Seorang Pramudya Adiwiguna menikah diam-diam dan diadakan secara sederhana?" Kamila mengernyit.
"Ada yang salah?" tanya Pram.
Kamila menggeleng. "Tidak. Tapi meski kau sudah menikah, aku tak akan berhenti mencintaimu, Pramudya. Jangan kau pikir usahaku akan berakhir begitu saja!" ancam Kamila sungguh-sungguh.
Pram memandang Kamila lekat. Tanpa ekspresi.
"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan. "Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila. "Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila." "Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram. Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!" "Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Alex berjalan santai menuju taman di halaman depan rumah Nyonya Sekar. Ia melihat tantenya sedang merajut. Alex tersenyum lalu memeluk leher Nyonya Sekar dari belakang. "Sore, Tanteku tercinta yang selalu cantik dan awet muda," sapa Alex renyah. Nyonya Sekar spontan meletakkan rajutannya dan menepuk tangan Alex."Kau ini mengagetkan Tante saja!" Alex melepaskan pelukannya lalu duduk di sebelah Nyonya Sekar. "Maaf aku baru bisa jenguk Tante hari ini. Salah sendiri di rumah sakit hanya satu malam," ujar Alex mengambil satu buah apel merah di atas meja lalu memakannya. "Memangnya kau mau Tante berlama-lama ada di rumah sakit?" sahut Nyonya Sekar melepas kacamatanya. "Tante sakit apa sebetulnya?" "Cuma asam lambung biasa." "Jangan remehkan asam lambung!" tukas Alex. "Memikirkan apa? Dua anak lelakimu sudah menikah. Memikirkan kepona
Pram, Liana dan Alex saling berpandangan. Namun tiba-tiba ponsel Pram berdering. "Halo, ada apa Puri?" tanya Pram. "Apa? Mama sakit lagi? Seperti kemarin malam?" Pram tampak cemas. "Kenapa lagi dengan Tante?" Alex ikut cemas mendengar ucapan Pram. "Segera bawa ke rumah sakit. Aku akan menyusul sekarang juga!" "Pram, kenapa dengan Tante Sekar?" "Mamaku kambuh lagi, aku harus segera ke rumah sakit!" Pram bergegas meninggalkan Liana dan Alex. Alex terlihat ingin menyusul Pram namun ia merasa tak enak hati dengan Liana karena belum memesan makanan sama sekali. "Pergilah!" ujar Liana mengerti kecemasan di wajah Alex. "Tapi, kita pesan makanan saja belum, Li!" sahut Alex. "Sepertinya ada hal lain yang lebih kau cemaskan saat ini. Acara makan malam kita masih bisa dilakukan lain kali." Liana meyakinkan
Diwali kembali tersenyum licik. Ia mendekat ke arah Alena, menyusuri tubuh Alena dengan kedua matanya. "Jangan berpura-pura di depanku!" Alena yang tadi sedikit tegang kembali memasang ekspresi tenang dan angkuh." Siapa yang berpura-pura di depanmu?" Alena tak mau kalah, ia pun melempar senyum licik pada Diwali. "Kau tidak takut Pram mengetahui dengan siapa kau berada di Perth?" ancam Diwali. "Takut? Kenapa aku mesti takut?" tantang Alena. "Mama dan Pram begitu memujamu. Andai mereka tahu kebohonganmu, kira-kira apa yang akan mereka lalukan?" "Langsung saja, kau menginginkan apa dariku?" jawab Alena malas. "Aku menginginkanmu!" bisik Diwali di telinga Alena. "Sudah kukatakan tempo hari, kau punya apa untuk mendapatkan aku?" Alena bersidekap santai. "Pram adalah pemilik tunggal perusahaan Adiwiguna Plast. Lalu kau? Hanya seorang kar
Di atas tempat tidur, Puri menatap lekat suaminya. Diwali berdendang ceria sembari mengeluarkan krim malam lalu mengoleskannya di wajah dan meratakannya. "Mas!" panggil Puri tajam. Diwali tak menjawab, ia hanya memandangi Puri dari cermin. "Siapa perempuan tadi?" tanya Puri ketus. "Raisa?" sahut Diwali santai. Ia mencoba-coba parfum yang ada di meja rias. "Dia mantan kekasihku," lanjut Diwali enteng. Puri melotot. "Untuk apa dia kemari?" "Ya, mana aku tahu? Tadi dia menemui Alena, kan? Bukan menemui aku?" tukas Diwali menyemprotkan salah satu botol parfum pada lengan panjang piyamanya.Puri diam dengan wajah ditekuk. Diwali melirik Puri. "Tiap malam disuguhi wajah cemberut. Wajah ditekuk. Bagaimana aku mau senang berada di rumah?" "Aku kesal karena dia mantan kekasihmu, Mas!" "Mantan itu ya mantan! Aku dengan d
Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem
Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed
Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal
Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"
Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid
"Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d
Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena
Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap
Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende