"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan.
"Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila.
"Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila."
"Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram.
Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!"
"Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Tidak! Kau jangan gila, Kamila! Alena adalah istri pertama dan terakhirku. Aku sangat mencintainya. Jangan pernah kau usik rumah tanggaku!" sahut Pram tegas.
"Istrimu cantik. Seleramu bagus dari dulu. Tapi Pram, ingat baik-baik, ya! Aku tak akan berhenti menemuimu. Ibumu sangat menyayangi aku, setiap aku berkunjung ke rumahmu, beliau selalu menyambutku dengan ramah. Kali ini, meski istrimu adalah permaisuri di rumahmu, bukan penghalang bagiku untuk datang ke sana!" Kamila tersenyum tenang pada Pram.
Pram memandang Kamila tanpa kata. Ia sudah kehabisan cara menghindar dari Kamila. Bahkan ketika ia sudah menikah, Kamila tetap tak berubah, tak pernah mundur untuk mendapatkan kembali Pramudya.
***
Alena berjalan di koridor yang menuju kamarnya di lantai dua namun mendadak Diwali muncul di persimpangan koridor.
"Halo," sapa Diwali sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding.
"Lho, tidak kerja?" tanya Alena.
"Aku yang punya perusahaan jadi suka-suka aku mau kerja atau tidak," jawab Diwali enteng.
Alena kembali berjalan hendak menuju kamarnya.
"Eit, tunggu dulu, kakak iparku yang cantik!" Diwali mencegat langkah Alena. Ia menyusuri tubuh Alena dengan tatapannya lalu bersiul.
"Wow, beruntung sekali kakakku mendapatkan istri sepertimu! Andai kau bertemu denganku sebelum Pram, aku yakin, aku yang akan lebih dulu berkencan denganmu." Diwali mengelus-elus janggut tipis di dagunya.
Alena tersenyum. "Andai aku bertemu denganmu sebelum Pram, apa kau yakin akan bisa meluluhkan hatiku seperti Pram?"
"Kau belum tahu siapa aku!" sahut Diwali.
Alena mengedikkan bahu. "Tuan Muda Kedua anak Tuan Adiwiguna yang hobinya bermalas-malasan dan menghambur-hamburkan uang."
"Aku rela menghamburkan uang berapapun untuk bisa berkencan denganmu," sahut Diwali.
"Seberapa besar?" tantang Alena.
"Sebesar maumu!"
Alena tampak berpikir lalu tersenyum dengan dagu yang semakin terangkat.
"Mari kita berkencan tanpa sepengetahuan Pram." Suara Diwali nyaris berbisik.
"Mas!" Puri tiba-tiba muncul di antara mereka. Diwali terkejut dan salah tingkah, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kau ini kenapa, sih? Senang sekali mengganggu kesenangan suami?" Diwali tampak tak suka.
"Ingat Mawar, ingat aku, Mas! Apa pantas kau menggoda istri kakakmu sendiri?" Napas Puri memburu.
"Silahkan diselesaikan urusan kalian. Dah! Alena melambai pada Diwali.
Puri segera menyeret Diwali untuk menjauh dari sana. Mau tak mau Diwali menurut. Tak lupa ia kembali menengok ke belakang melihat Alena. Alena pun memberinya kedipan mata dan salam tiga jari.
"Puri, lepaskan! Apa-apaan kau ini?" Diwali berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Puri di lengannya.
"Kau kurang ajar, Mas! Bisa-bisanya menggoda kakak iparmu sendiri di rumah ini?" Puri menahan sesak di dada.
"Sudah, jangan terlalu didramatisir. Aku hanya menyapa Alena. Apa aku salah?" elak Diwali.
Aku tahu dari sejak kau bersembunyi demi untuk mencegat Alena. Aku tahu apa yang kau bicarakan dengannya. Akan aku adukan pada Kak Pram!" ancam Puri sambil berlalu dengan isak tangis.
"Puri, kau jangan macam-macam, ya!" Diwali mengejar Puri namun Puri telah menghilang di ujung koridor menuju kamar Nyonya Sekar.
"Ah, sial! Mau apa dia ke kamar Mama?" Diwali berhenti mengejar Puri.
Sementara itu di bawah tangga, Tuti sempat mendengar percakapan antara Diwali dan Puri. Tuti mesem-mesem penuh kemenangan. Ia bergegas menuju dapur.
"Gosip today, gosip today!" teriak Tuti kepada semua orang yang ada di dapur. Serentak semua menghentikan aktivitasnya kecuali Pak Diman.
"Apa, Tut? Apa?" Murni dan Ani tampak sangat antusias.
"Jadi tadi ceritanya aku menguping pertengkaran nyonya muda mantan kawan kita dengan suaminya," jawab Tuti bersemangat.
"Kenapa mereka bertengkar?" tanya Murni tak sabar.
"Sepertinya Tuan Diwali menggoda istrinya Tuan Pram dan mantan kawan kita yang baik hati memergokinya. Alhasil dia sakit hati lalu menangis bagai tersayat sembilu, oh!" Tuti mengusap-usap dadanya pura-pura bersedih.
Murni dan Ani cekikikan. "Ternyata kecantikan mantan kawan kita tak berhasil mengubah kebiasaan buruk Tuan Diwali yang senang menggoda perempuan, ya!" timpal Ani.
"Hush, kalian ini! Senang sekali bergosip. Jangan suka menjelek-jelekkan majikan kita. Tidak baik. Ayo, lanjutkan pekerjaan kalian!" Pak Diman menghentikan acara gosip Tuti dan kawan-kawan.
"Kita bukan sedang bergosip tapi sedang membicarakan fakta. Fakta, Pak Diman!" tukas Murni.
"Tapi tetap saja tidak baik. Sudah, sudah! Ani, ayo lekas lanjutkan membuat jus wortel untuk Nyonya Sekar!" perintah Pak Diman.
Akhirnya ketiga asisten rumah tangga itu mengikuti perintah Pak Diman. Namun tetap saja mereka tak menghentikan kasak-kusuk menarik tentang topik hangat saat itu.
Keesokkan harinya, Puri menemui Alena. Ia mencegat Alena ketika sedang menuruni tangga.
"Alena, jangan pernah macam-macam dengan suamiku!" ancam Puri dengan wajah yang sangat menyeramkan menurut Alena.
"Aku? Macam-macam dengan suamimu? Apa tidak terbalik?" sahut Alena santai.
"Jangan pernah meladeni apapun keinginan Mas Diwali!"
Alena menaikkan kedua alisnya. "Dengar adik iparku yang cantik! Urus saja suamimu dengan baik. Jangan mengkhawatirkan aku. Yang perlu kau perhatikan itu harusnya suamimu," sahut Alena lembut. "Oh, aku kakak Iparmu. Panggil aku Kakak, lebih terdengar enak di telinga!" Alena berlalu dengan santai dan tak mempedulikan Puri yang semakin menahan amarahnya yang membuncah.
Murni menyaksikan percakapan kecil Puri dan Alena dari bawah tangga. Ia tersenyum senang melihat Puri diliputi amarah dan kecemasan.
Rupanya memang benar, nyonya muda mantan kawanku sedang mengkhawatirkan suaminya. Ia takut Tuan Diwali tergoda oleh Nyonya Pram. Murni terkikik geli.
***
Liana sedang mematut dirinya di depan cermin. Rita duduk di tepi tempat tidurnya memilah-milah tumpukkan baju milik Liana.
"Kenapa bajumu modelnya kaus semua? Hanya beda warna dan ukuran. Celanamu juga hanya jeans saja. Kau tidak punya tank top atau hotpants?" ujar Rita.
Liana menoleh. Aku risih pakai baju yang terbuka seperti itu, Kak!" jawab Liana.
"Lalu kenapa kau bingung memilih baju untuk ikut casting sinetron terbaru Sutradara Rakesh Punjabi? Pakai saja salah satu koleksi kausmu ini," ucap Rita.
"Pinjam bajumu, Kak!" pinta Liana.
"Kau mau pakai baju lengan pendek dan rok di atas lutut? Banyak koleksiku, yuk!"
"Ih, aku tak mau, ah! Ya, sudah. Aku pakai kaus oblong saja lagi. Sudah telat ini." Liana lekas mengganti kaus warna kuning dengan kaus warna merah muda. "Jangan bilang Mama aku ikut casting hari ini, ya!" lanjut Liana.
"Tenang saja. Imbalannya audisimu harus sukses, ya!" Rita menjentikkan jarinya.
Liana mengangguk mantap.
"Kenapa tak pakai riasan wajah? Mau aku dandani?" tawar Rita.
"Aku gerah kalau memakai riasan. Wajahku mudah sekali berkeringat. Nanti kalau aku lap pakai saputangan, bisa acak-acakkan riasanku." Liana tertawa kecil.
"Tanpa riasan, kau sudah sangat cantik, Li!" puji Rita tulus.
"Anaknya Mami Inggrid!" Liana menepuk dada dan mengedipkan sebelah mata.
"Tapi, Kak. Apa alasan aku pergi dari rumah?"
"Bilang saja kau main ke kafe siapa itu kafe kawanmu yang baru itu atau bilang saja main ke rumah kawan."
"Bohong sama Mama, aku takut gagal castingnya, Kak." Liana kebingungan.
"Katanya sudah telat tapi masih kebingungan. Sudahlah, tak apa-apa bohong sedikit demi menggapai mimpi. Toh, kau bukan hendak macam-macam di luar sana, kan? Ayo, berangkat. Nanti makin telat!"
"Oke, baiklah!" Liana segera melesat pergi keluar dari kamar.
Rita menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Liana. Ia pun segera menyusul Liana keluar kamar.
***
Di lobi sebuah hotel, Alena tampak sedang minum kopi bersama dengan sahabatnya. Raisa dan Gina.
"Lena, akhirnya pemilik PT. Adiwiguna Plast memilihmu menjadi permaisurinya. Kau tahu, kakakku gencar sekali mengejar cinta Pramudya Adiwiguna," ucap Raisa. "Tapi laki-laki sedingin es itu tak bergeming sedikitpun," lanjut Raisa.
"Siapa kakakmu?" tanya Alena.
"Kamila. Ia bilang, Pramudya itu cinta pertamanya di SMU dan yang aku dengar, Ibunya Pram sempat ingin menjodohkan kakakku dengan Pram. Tapi, entahlah. Memang Pram itu lelaki sedingin es. Kecantikan Kamila tak berhasil meluluhkan hatinya," jelas Raisa.
"Artis baru kita Anggita Peneloppe juga menurut gosip sedang mengincar suamimu itu. Hati-hati, Lena. Kehidupan suamimu banyak dikelilingi perempuan cantik," timpal Gina.
"Anggita Peneloppe? Pemain film "Katakan Sayang" yang meniti karir dari Selebgram itu?" tanya Alena.
Gina manggut-manggut. "Kau tidak tahu? Berapa lama kau pacaran dengan Pram?" tanya Gina.
"Empat bulan saja dan di bulan kedua Pram mengajakku menikah," sahut Alena.
"Raisa, sedang apa kau di sini?" Kamila tiba-tiba sudah ada di antara Alena dan yang lainnya.
"Kau yang sedang apa di sini? Kau lihat sendiri aku sedang mengobrol dengan mereka," sahut Raisa.
"Kenalkan semua, ini kakakku, Kamila Rheinardi. Pewaris utama Rheins Corporation." Raisa mengenalkan Kamila pada Alena dan Gina. "Ini Gina, kawan semasa kuliahku dan ini Alena, istri Pramudya Adiwiguna," lanjut Raisa.
"Alena Pramudya," salam Alena tetap dengan gayanya yang elegant, santai dan dengan ciri khasnya, dagu yang sedikit terangkat.
"Kamila Rheinardi," sahut Kamila akhirnya ia bersalaman dengan istri Pramudya Adiwiguna.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Alex berjalan santai menuju taman di halaman depan rumah Nyonya Sekar. Ia melihat tantenya sedang merajut. Alex tersenyum lalu memeluk leher Nyonya Sekar dari belakang. "Sore, Tanteku tercinta yang selalu cantik dan awet muda," sapa Alex renyah. Nyonya Sekar spontan meletakkan rajutannya dan menepuk tangan Alex."Kau ini mengagetkan Tante saja!" Alex melepaskan pelukannya lalu duduk di sebelah Nyonya Sekar. "Maaf aku baru bisa jenguk Tante hari ini. Salah sendiri di rumah sakit hanya satu malam," ujar Alex mengambil satu buah apel merah di atas meja lalu memakannya. "Memangnya kau mau Tante berlama-lama ada di rumah sakit?" sahut Nyonya Sekar melepas kacamatanya. "Tante sakit apa sebetulnya?" "Cuma asam lambung biasa." "Jangan remehkan asam lambung!" tukas Alex. "Memikirkan apa? Dua anak lelakimu sudah menikah. Memikirkan kepona
Pram, Liana dan Alex saling berpandangan. Namun tiba-tiba ponsel Pram berdering. "Halo, ada apa Puri?" tanya Pram. "Apa? Mama sakit lagi? Seperti kemarin malam?" Pram tampak cemas. "Kenapa lagi dengan Tante?" Alex ikut cemas mendengar ucapan Pram. "Segera bawa ke rumah sakit. Aku akan menyusul sekarang juga!" "Pram, kenapa dengan Tante Sekar?" "Mamaku kambuh lagi, aku harus segera ke rumah sakit!" Pram bergegas meninggalkan Liana dan Alex. Alex terlihat ingin menyusul Pram namun ia merasa tak enak hati dengan Liana karena belum memesan makanan sama sekali. "Pergilah!" ujar Liana mengerti kecemasan di wajah Alex. "Tapi, kita pesan makanan saja belum, Li!" sahut Alex. "Sepertinya ada hal lain yang lebih kau cemaskan saat ini. Acara makan malam kita masih bisa dilakukan lain kali." Liana meyakinkan
Diwali kembali tersenyum licik. Ia mendekat ke arah Alena, menyusuri tubuh Alena dengan kedua matanya. "Jangan berpura-pura di depanku!" Alena yang tadi sedikit tegang kembali memasang ekspresi tenang dan angkuh." Siapa yang berpura-pura di depanmu?" Alena tak mau kalah, ia pun melempar senyum licik pada Diwali. "Kau tidak takut Pram mengetahui dengan siapa kau berada di Perth?" ancam Diwali. "Takut? Kenapa aku mesti takut?" tantang Alena. "Mama dan Pram begitu memujamu. Andai mereka tahu kebohonganmu, kira-kira apa yang akan mereka lalukan?" "Langsung saja, kau menginginkan apa dariku?" jawab Alena malas. "Aku menginginkanmu!" bisik Diwali di telinga Alena. "Sudah kukatakan tempo hari, kau punya apa untuk mendapatkan aku?" Alena bersidekap santai. "Pram adalah pemilik tunggal perusahaan Adiwiguna Plast. Lalu kau? Hanya seorang kar
Di atas tempat tidur, Puri menatap lekat suaminya. Diwali berdendang ceria sembari mengeluarkan krim malam lalu mengoleskannya di wajah dan meratakannya. "Mas!" panggil Puri tajam. Diwali tak menjawab, ia hanya memandangi Puri dari cermin. "Siapa perempuan tadi?" tanya Puri ketus. "Raisa?" sahut Diwali santai. Ia mencoba-coba parfum yang ada di meja rias. "Dia mantan kekasihku," lanjut Diwali enteng. Puri melotot. "Untuk apa dia kemari?" "Ya, mana aku tahu? Tadi dia menemui Alena, kan? Bukan menemui aku?" tukas Diwali menyemprotkan salah satu botol parfum pada lengan panjang piyamanya.Puri diam dengan wajah ditekuk. Diwali melirik Puri. "Tiap malam disuguhi wajah cemberut. Wajah ditekuk. Bagaimana aku mau senang berada di rumah?" "Aku kesal karena dia mantan kekasihmu, Mas!" "Mantan itu ya mantan! Aku dengan d
Nyonya Sekar melirik jarum jam. "Sudah jam sembilan pagi, kemana Alena? Biasanya ia sudah bersantai di ruang tamu. Ia juga tak ikut sarapan tadi. Atau kalaupun ia pergi, pasti ia pamit padaku," gumam Nyonya Sekar. Menunggu beberapa saat dengan wajah gelisah. Nyonya Sekar mulai panik. Ia mondar-mandir mengelilingi sofa ruang tamu. Jantungnya mulai berdebar tak karuan. Ia ingin Alena ada dalam jangkauan pandangannya saat ini. Nyonya Sekar mulai menggigiti ujung kuku jempol tangannya. "Alena, Alena, kau di mana?" gumamnya gemetar. Ia khawatir Alena akan pergi lama seperti ia pergi ke Perth. Entahlah, Nyonya Sekar mulai merasakan kekhawatiran yang luar biasa terhadap Alena sejak kepergiannya ke Perth. Murni mengerutkan kening melihat Nyonya Sekar gelisah dan mondar-mandir sembari menggumamkan nama Alena. "Nyonya, Nyonya kenapa?" tanya Murni hati-hati. "Alena, kau lihat Alena?" "Nyonya Ale
Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem
Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed
Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal
Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"
Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid
"Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d
Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena
Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap
Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende