Di suite kamar hotel, Alena bersantai di sofa, memandangi layar televisi namun sebenarnya pikirannya sedang tak ada di sana. Ia memikirkan pernikahannya dengan Pramudya.
"Apa yang kau pikirkan? Sejak semalam kau tidak fokus denganku." Arya keluar dari kamar mandi dengan kimono handuk.
Arya adalah salah satu kekasih Alena. Ia sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak perempuan yang masih kecil-kecil.
"Masih ada waktu tiga hari. Batalkan pernikahanmu!" tandas Arya.
Alena berjengit. "Kau tak punya hak mengatur hidupku!"
"Aku menawarkan untuk menikahimu kenapa kau memilih Pramudya?" Arya duduk di sebelah Alena, melingkarkan kedua tangannya dipinggang Alena.
"Hanya Pramudya laki-laki yang tulus mencintaiku dan ia bukan suami orang," jawab Alena.
"Kau pikir aku tidak tulus mencintaimu?" Arya mencium pelipis Alena.
"Pram belum pernah sekalipun menyentuh tubuhku," sahut Alena pelan.
Arya terbelalak.
"Siapapun pria yang menyentuhku, aku anggap mereka hanya mencintai tubuhku, bukan diriku. Tubuhku bisa dibeli tapi hatiku tidak!"
Arya melepaskan rangkulannya. Ia tampak serius. "Kau mencintai calon suamimu?"
"Entah. Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Aku hanya tak bisa mengabaikan tatapan ketulusannya padaku dan itu tak kutemukan di matamu juga mata pria hidung belang lainnya." Alena menuang vodka setengah gelas. Meminumnya perlahan.
"Setelah menikah, aku tak bisa menemuimu lagi?" tanya Arya.
"Tergantung uangmu. Kau perlu tubuhku, kau sediakan uang yang besar. Itu adalah hubungan kita sejak awal," sahut Alena.
"Bagaimana mungkin kau menikah dengan seseorang tapi masih bercinta dengan laki-laki lain?" tanya Arya ikut menuang minuman ke dalam gelas berisi batu es.
"Kau juga sudah menikah. Lalu kenapa harus tidur dengan wanita lain selain istrimu?"
Arya menghela napas panjang. "Aku hanya bercinta denganmu, Alena. Tidak dengan perempuan lainnya."
Alena tersenyum lalu mengedikkan bahu.
"Kupikir kau sudah menyerahkan seluruhnya untukku. Tubuhmu, juga hatimu," ucap Arya menggoyang-goyangkan gelasnya.
"Kau punya keahlian memanjakanku dengan uangmu namun kau tak cukup mampu menggetarkan hatiku," sahut Alena membuang pandangan keluar jendela kamar.
Arya menatap lekat Alena. Perempuan yang sesungguhnya ia kasihi. Arya memang hanya berhubungan dengan Alena. Tidak ada perempuan lain. Ia bahkan berniat menjadikan Alena istri keduanya.
Tapi Alena menolak. Ia hanya akan bermain-main saja, jika pria itu sudah beristri. Berbeda dengan Pram, Alena sesungguhnya tak mengerti perasaan seperti apa yang ia punya untuk Pram. Cinta?
Alena sudah tak mengenal cinta sejak ayah kandungnya memperkosanya di saat ia berumur dua belas tahun dan kejadian itu berlangsung selama hampir satu tahun. Ibunya depresi dan menjadi penghuni rumah sakit jiwa ketika mengetahui hal itu.
Ayahnya seorang pemabuk berat dan meninggal dalam peristiwa kebakaran di rumahnya. Saat kebakaran itu terjadi, ayahnya sedang dalam kondisi mabuk dan tertidur di dalam rumah. Tetangga sekitar tak sempat menyelamatkannya. Untung saja saat itu Alena sedang tidak berada di rumah. Ia berhasil selamat dari peristiwa naas tersebut.
Hidup Alena kecil terlunta-lunta. Tak ada rumah, tak ada orang tua. Namun seorang tetangga berbaik hati mengantarkan Alena ke sebuah panti asuhan. Di sanalah Alena berjuang bangkit dari keterpurukan jiwanya.
Namun sejak saat itu pula ia memiliki sebuah dendam terhadap kaum Adam. Sementara itu ibunya meninggal dua tahun setelah kepergian ayahnya. Ibunya menderita sakit lever akut.
Di panti asuhan, Ibu panti sangat menyayangi Alena. Alena tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik dan sangat pandai. Ia selalu menerima beasiswa kategori prestasi. Hingga kini, Alena masih sering mengunjungi panti asuhan milik Ibu Rengganis. Wanita pengganti ibunya yang sangat ia kasihi.
Alena kerap membantu adik-adik pantinya dengan rutin mengirimkan sejumlah uang untuk keperluan mereka.
Namun Ibu Rengganis tak pernah tahu sepak terjang Alena mendapatkan semua fasilitas hidupnya. Yang ia tahu, Alena adalah anak kesayangannya yang cantik, pandai dan bekerja di sebuah perusahaan bonafide di kota Jakarta.
***
Jam sepuluh pagi Liana sudah berada di kafe baru temannya. Ia sudah menghabiskan steak, makanan utama yang ia pilih.
"Dessertnya apa yang enak, Rin?" tanya Liana pada Ririn, sang pemilik kafe
"Ada banyak. Saran aku coba pesan ini saja, Signatured Alaska Baked," jawab Ririn sambil membuka-buka buku menu.
"Apa itu? Kok, bentuknya mirip kulit landak," jawab Liana sambil melihat gambar menu yang disodorkan Ririn.
"Bukan landak, bentuknya mirip durian mini. Ini dibuat dari marshmallow, beberapa lapis es krim dan sponge cake. Saat disajikan, durian mini ini disiram vodka atau rum baru dipanggang pakai api. Nah, saat durian marshmallow ini dipotong, di dalamnya ada frozen ice cream," papar Ririn antusias.
"Repot amat harus dibakar-bakar dulu. Coba yang lain saja!" tolak Liana santai. "Ini saja, Red Velvet Cake dan es krim coklat. Cepat, ya. Jangan pakai lama!"
Ririn memanggil pegawai kafe dan menyampaikan pesanan Liana.
"Kafemu jauh sekali dari rumahku. Perlu waktu setengah jam untuk bisa sampai ke sini, jalanan pun tadi tidak macet," protes Liana.
"Aku dapat sewa tempatnya di daerah sini. Lagipula di seberang jalan itu area pabrik dan perkantoran. Aku yakin kafe ini pasti ramai," jawab Ririn.
"Semangat Rinawati Wulandari! Aku kapan punya usaha seperti ini?" Liana mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kafe.
"Kau bukannya mau jadi artis, Li." Ririn terkekeh.
"Jangan mengejek. Tunggu saja tanggal mainnya. Nanti aku sibuk wara-wiri di televisi. Kau pasti susah bertemu denganku, Rin." Liana mengedip-ngedipkan sebelah mata kanannya. Eh, itu dia pesananku!" Liana bersemangat melihat salah satu pegawai kafe membawa es krim, salah satu makanan kesukaannya.
Sementara dari meja kasir, Pramudya tampak memicingkan mata ke arah Liana. Ia mempertegas penglihatannya.
"Alena?" desis Pram.
"Semuanya seratus empat puluh dua rupiah, Pak," kata Yuyun, kasir di kafe Ririn.
"Oh, iya. Ini, Mbak. Kembaliannya ambil saja!" Pramudya mengeluarkan uang lima puluh ribu sebanyak tiga lembar.
"Oh, terima kasih banyak, Pak," jawab Yuyun sumringah.
Pram kembali melihat ke meja di mana Liana melahap es krim dengan semangat dua ribu dua puluh satu. Bergegas ia menelpon Alena sambil berjalan menuju pintu keluar, pandangannya masih belum lepas dari Liana.
"Sayang, kau di mana sekarang?"
"Di apartemen, baru saja bangun. Kenapa, Pram?" jawab Alena di seberang telepon.
"Tak apa-apa. Kupikir tadi aku melihatmu sarapan pagi di kafe baru dekat kantorku. Mungkin aku salah lihat karena terlalu rindu, tak sabar melihatmu di pelaminan. Oke, sudah dulu, ya. Jangan telat sarapan!"
Pram berlalu dari kafe setelah memastikan jika perempuan yang ia lihat bukan Alena. Lagipula penampilannya sungguh jauh berbeda meski wajah mereka sangat mirip. Perempuan yang ia lihat di kafe terlihat lebih kekanakkan dibanding Alena.
Hari pernikahan Alena dan Pramudya tiba. Pesta Kebun di halaman belakang rumah Nyonya Sekar tampak meriah meski hanya dihadiri keluarga dan kawan-kawan terdekat. Pramudya terlihat sangat mempesona dengan tuxedo sutra hitam yang ia kenakkan. Begitu juga dengan Alena. Gaun pengantin putih dengan model V-Neck dan lacehalus yang menambah kesan mewah, membalut sempurna tubuh Alena. Gaya rambut Messy Low Bun Alena diimbangi dengan tatanan bagian depan yang terlihat sleek di kedua sisi.Tampak memukau meski tanpa hair piece. Lalu satu set purple diamondpemberian Pramudya semakin memancarkan kecantikan Alena. Betul-betul pasangan yang serasi. Di barisan kursi undangan paling depan, Diwali menatap Alena penuh arti. Diwali memahami siapa Alena dari tatapan mata, gestur dan juga selera berpakaian Alena. Saat ini, ia mer
"Siapa tamu yang datang tadi?" Nyonya Sekar muncul di ambang pintu. Alena terkejut namun ekspresinya kembali tenang. Dibuat setenang mungkin, lebih tepatnya. "Rekan bisnis Pram, Ma," sahut Alena berdiri dan memapah Nyonya Sekar duduk di kursi teras. Tak lama Puri muncul bersama Mawar. Puri memperhatikan gaya berbusana Alena yang mengenakanOff Shoulder Dressdi atas paha. Ia betul-betul risih melihatnya. Tapi suaminya sangat menyukai gaya berbusana Alena. Benih-benih kebencian perlahan tumbuh di hati Puri. "Halo, Mawar. Sini, duduk sama Tante!" sapa Alena merentangkan tangan pada Mawar. Mawar berlari kecil ke arah Alena lalu duduk di pangkuan Alena. "Kau cantik sekali, mirip Mama," puji Alena."Tante juga cantik!" sahut Puri riang. Alena tersenyum hangat. "Jalan-jalan ke mall, yuk! Beli baju, beli makanan, beli es krim," ajak A
Alena duduk mematung di depan cermin rias. Ia memandangi cincin berlian biru yang disematkan Pramudya saat melamarnya. Cincin ini bukan berlian mahal seharga milyaran rupiah. Bukan pula berlian yang aku inginkan. Aku tak suka modelnya. Tapi kenapa aku nyaman memakainya? Celoteh Alena dalam hati. Pramudya keluar dari ruang ganti pakaian dan menghampiri Alena. "Kenapa kau diam memandangi cincin itu?" tanya Pram. Alena menoleh. "Tak apa-apa, aku hanya merasa senang karena cincin ini adalah pemberianmu," sahut Alena. "Meskipun kau tak menyukai cincin itu kau tetap suka karena aku yang memberikannya?" tanya Pram. Alena mengerutkan kening."Kenapa bertanya seperti itu?" "Tadi kau bilang kau senang dengan cincinnya karena itu pemberianku," jawab Pram sambil membelai kepala Alena. Alena tertegun dengan sentuhan lembut Pram di kepalanya. Ia merasakan
"Kamila, aku sudah menikah. Alena adalah wanita pilihanku. Tolong, mengertilah!" Pram berkata pelan. "Tapi aku yang lebih dulu mencintaimu, Pram!" tukas Kamila. Kau juga mencintaiku, bukan? Kalau tidak, untuk apa kau jadikan aku kekasihmu?" lanjut Kamila. "Itu dulu, beberapa tahun yang lalu saat kita masih berseragam putih abu, Mila." "Apa bedanya dengan sekarang? Perasaanku tak berubah, meski kau memutuskan aku secara sepihak. Perlu kau tahu, dalam hidupku aku selalu mendapatkan apapun yang aku mau!" Kamila menatap tajam mata Pram. Pram memejamkan matanya dan menarik napas dalam lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Aku tak melarangmu untuk terus mencintaiku. Aku menghargai perasaanmu. Tapi Mila, sebesar apapun usahamu untuk membuatku kembali padamu, itu tak mungkin. Aku sudah beristri!" "Aku bisa menjadi istri kedua," tukas Kamila cepat.
"Oh, jadi ini istrinya Pramudya Adiwiguna? Senang berkenalan denganmu, kapan-kapan kita bertemu lagi di rumahmu, ya!" ucap Kamila. "Di rumahku?" Alena mengerutkan kening."Iya, di rumahmu. Rumah Pramudya. Asal kau tahu, aku adalah kesayangan ibu mertuamu," ujar Kamila. "Pasti Raisa sudah sudah cerita siapa aku, bukan?" lanjut Kamila. Alena tersenyum mengerti, ia bersandar dengan santai. "Oke, aku tunggu kunjunganmu di rumahku." Kamila melempar senyum manis sekaligus sinis untuk Alena. "Permisi." Ia melenggang berlalu dari lobi hotel. "Kemana dia?" tanya Gina pada Raisa. "Bertemu dengan klien-kliennya," jawab Raisa. "Kakakmu, Sa. Masih bersikeras untuk mendapatkan suamiku rupanya," ucap Alena pada Raisa. Raisa mengedikkan bahu tanda ia tak mau ambil pusing. "Aku malas mencampuri urusan pribadinya. Hidup kami sudah masing-masing sejak kecil. Papa sangat mengandalkan Kamila demi kesuksesan Rheins Corporation. Sementara
Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih. Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak. "Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram. Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama. "Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas. "Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram. "Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja." "Semalam kau pulang larut. Ak
"Wow, The Alnatt Diamond!" pekik Alena melihat berlian warna kuning berbentuk bantal yang disodorkan Devian. Alena dan Devian berada di dek atas 'La Belle', yacht pribadi milik Devian, milyuner blasteran Prancis-Indonesia. Alena memakai lingerie yang senada dengan warna berlian pemberian Devian. "Ini mahal sekali!" Alena tak bisa menyembunyikan kegirangannya mendapatkan berlian kuning dengan harga fantastis itu. Devian menyematkan berlian di jari manis Alena. Alena memeluk Devian erat. Hatinya sungguh gembira, tak sia-sia perjalanannya ke Perth kali ini. Oh, kemanapun Alena menemui Devian, tidak akan menjadi sebuah perjalanan yang sia-sia. "Kau suka?" tanya Devian. Alena mengangguk senang sembari mengelus-elus cincin berlian di jarinya. Lebih menyenangkan mendapat cincin berlian itu atau pernikahanmu?" tanya Devian melepaskan kacamata hitamnya.Wajah Alen
Alex berjalan santai menuju taman di halaman depan rumah Nyonya Sekar. Ia melihat tantenya sedang merajut. Alex tersenyum lalu memeluk leher Nyonya Sekar dari belakang. "Sore, Tanteku tercinta yang selalu cantik dan awet muda," sapa Alex renyah. Nyonya Sekar spontan meletakkan rajutannya dan menepuk tangan Alex."Kau ini mengagetkan Tante saja!" Alex melepaskan pelukannya lalu duduk di sebelah Nyonya Sekar. "Maaf aku baru bisa jenguk Tante hari ini. Salah sendiri di rumah sakit hanya satu malam," ujar Alex mengambil satu buah apel merah di atas meja lalu memakannya. "Memangnya kau mau Tante berlama-lama ada di rumah sakit?" sahut Nyonya Sekar melepas kacamatanya. "Tante sakit apa sebetulnya?" "Cuma asam lambung biasa." "Jangan remehkan asam lambung!" tukas Alex. "Memikirkan apa? Dua anak lelakimu sudah menikah. Memikirkan kepona
Liana cemberut di dalam mobil yang dikemudikan Alex. "Sudah, mau bagaimana lagi? Suamimu orang sibuk!" ucap Alex seraya melirik Liana."Untuk apa dia membawaku ke kantor jika di sana aku hanya menghabiskan waktu dengan percuma. Dia berjanji mengantarku pulang tadi sore," gerutu Liana.Alex berkali-kali melirik Liana. Lipstick merah muda nan cerah yang dipakai Liana membuat bentuk bibir Liana semakin indah dipandang. Alex juga mengagumi penampilan Liana yang kini terlihat berkelas. Sungguh, Pram berhasil menyulap Liana yang lugu menjadi sosok Alena yang glamour. Liana bingung saat Alex tiba-tiba menghentikan mobil di depan sebuah taman kota. "Kenapa berhenti di sini?""Mau jalan-jalan sebentar di taman? Menenangkan hatimu yang kesal?" tawar Alex."Aku mau pulang, bukan mau ke taman!" sungut Liana. "Pram tak mengizinkanku mengantarmu ke rumah Mami Inggrid, Li," sahut Alex pelan.Liana mengembuskan napas kesal. Kedua bola matanya mem
Pram menoleh pada Liana."Ayo, Sayang!"Liana mendongak."Kemana?""Makan siang!" sahut Pram.Liana gegas meraih hand bag-nya lalu menggandeng Pram keluar dari ruangan. Liana sama sekali tidak melirik ke arah Indriani, ia merasa kesal karena Pram membelanya di depan Kamila."Kenapa wajahmu muram?" tanya Pram di dalam lift."Ti-tidak, kenapa? Aku biasa saja!" sahut Liana sedikit gugup."Mau makan di mana?" tanya Pram."Kafe Ririn!" jawab Liana pelan."Tidak ingin makan di restoran lain?" tanya Pram lagi.Liana menggeleng.Pram menuruti keinginan Liana.Setibanya di kafe, Pram memilih ruangan vip. Ia ingin makan dengan tenang tanpa keramaian. Kafe Ririn selalu ramai jika jam makan siang tiba."Setelah makan aku ingin tetap di sini. Kau bisa jemput aku saat pulang," pinta Liana."Baiklah!" jawab Pram.Keduanya makan tanpa banyak kata. Liana dan Pram sibuk dengan pikirannya masing-masing.Pram sed
Di ruangan Pram, Liana duduk dengan wajah tegang. Ia masih memikirkan ucapan Pram. Tapi suami pura-puranya itu malah terlihat santai dan nyaris tanpa ekspresi. Liana mengembuskan napas keras."Kemarilah, sebentar lagi Indriani akan masuk. Untuk apa kau duduk terus di situ? Dulu, saat kau minta ganti rugi ponselmu, wajahmu sungguh ketus dan tidak bersahabat. Kenapa sekarang kau tegang sekali?" tanya Pram.Liana memejamkan mata sesaat, ia merapal doa agar hatinya berhenti berdebar tak menentu."Cepat kemari!" perintah Pram.Liana menghampiri Pram, berdiri kaku di sebelahnya."Peluk aku dari belakang. Lingkarkan kedua tanganmu di leherku. Sesekali kau harus mencium pipiku!Liana terpaku. Masih betah mematung.Lalu tak lama terdengar ketukan di pintu.Pram menatap tajam ke arah Liana.Liana gegas memeluk Pram dari belakang."Kau jangan gugup dan tak usah pedulikan Indriani!" perintah Pram.Liana tak menjawab.Kembal
Liana melambai kecil pada Alex lalu duduk di sebelah Pram."Kapan kalian bulan madu?" tanya Nyonya Sekar tiba-tiba.Liana dan Pram berpandangan."Oh, ayo kita sarapan dulu. Nanti kita bahas tentang bulan madu kalian!" ucap Nyonya Sekar lagi.Bulan madu? Kemana? Bagaimana ini? Kenapa aku tidak tanya sampai kapan aku harus berpura-pura jadi istri orang angkuh ini? Liana membatin."Lena? Kenapa diam? Tak suka dengan menu pagi ini?" tanya Nyonya Sekar lembut "Ti-tidak, Ma. Hanya saja aku pikir, kalau kami berbulan madu bagaimana dengan pekerjaan Pram di perusahaan," jawab Liana sedikit gugup."Oh, itu bisa diatur. Kau tenang saja. Kalian harus berbulan madu, Biar segera punya anak," goda Nyonya Sekar.Liana menelan ludah kering. Pram terbatuk. Sementara Alex semakin gelisah mendengar ucapan Nyonya Sekar.Setelah sarapan selesai, Alex mencoba berbicara dengan Liana."Kau yakin mau pergi bulan madu dengan Pram?"
Malam hari saat semua sudah berada di kamar masing-masing, Alex gelisah di kamarnya. Ia resah karena Liana harus berada satu kamar dengan Pram. Entah sampai kapan Liana akan berpura-pura menjadi istri sepupunya itu.Alex akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan pada Liana. Gayung bersambut, Liana membalas dengan cepat pesan-pesan Alex.Setengah jam Alex dan Liana menghabiskan waktu berkirim pesan. Alex senang karena Liana dan Pram ternyata tidak menjalin komunikasi apa-apa di kamar. Ia tahu Pram tidur di sofa sementara Liana di atas tempat tidur.Setelah jeda beberapa saat. Alex merenung. Ia khawatir bagaimana jika Pram terus-menerus berada di dekat Liana, bukan tidak mungkin Liana bisa membuatnya jatuh hati. Wajah Liana dan Alena begitu mirip bahkan suaranya sekalipun. Entah mereka saudara kembar yang terpisah atau bagaimana.Ponsel Alex berdering. Tertera nomor Liana di layar ponsel.[ Halo! ] seru Alex senang.[ Kenapa kau belum tid
"Kamila?" tegur Pram yang sudah berada di belakang Kamila.Kamila seketika berbalik lalu mengecup kedua pipi Pram. Pram lekas menepis."Tolong hargai aku dan Alena!" Pram menunjuk Liana yang masih bingung dengan kedatangan Kamila."Oh, aku lupa kalau dia itu istrimu!" sahut Kamila melenggang masuk lalu duduk santai di sofa ruang tamu."Aku akan panggilkan Mama. Aku harus ganti baju!" sahut Pram pada Kamila. Lalu ia memberi kode pada Liana untuk menggandeng lengannya.Liana segera menghampiri Pram dan menggandengnya mesra. Ia hanya tersenyum ramah pada Kamila.Pram dan Liana berlalu dari ruang tamu.Kamila sedikit mengerutkan kening melihat penampilan Liana yang memakai baju tak seperti biasanya. Tapi dia lalu tak terlalu peduli dengan apa yang Liana kenakan.Pram bertemu dengan Tuti di koridor menuju kamar."Tuti, tolong panggilkan Mama. Ada Kamila di ruang tamu!" perintah Pram.Tuti mengangguk d
Di kamar, Liana mengeluarkan semua yang dibelikan oleh Pram. Lalu setelahnya hanya berdiri memandangi semua barang itu. Kemudian ia memasukkan semuanya di sebelah gantungan baju-baju Alena. Ia tak berniat menyingkirkan baju mantan istri Pram. Siapa tahu suatu saat wanita itu akan mengambilnya.Perlahan ia mengeluarkan semua alat rias wajah. Menelisiknya satu-satu. Ia bingung bagaimana memakainya. Teringat pesan Ririn untuk membuka youtube. Di sana banyak tutorial lengkap mengaplikasikan skincare dan make up pada wajah.Nyaris setengah hari Alena menelusuri berbagai video di youtube. Lalu coba-coba ia belajar sendiri. Hasilnya? Tetap tidak setebal riasan wajah Alena. Namun Liana sudah menyulap wajahnya menjadi lebih bersinar.***"Ani, Alena kemana?" tanya Nyonya Sekar di ruang tengah rumah."Ada di kamarnya, Nyonya. Sepertinya sedang melihat-lihat acara di youtube," sahut Ani.Nyonya Alena tersenyum senang. Ia menyukai keberadaan Alena
Liana duduk menopang dagu di salah satu meja kafe Ririn. Sementara Ririn memperhatikan apa yang dikenakan Liana."Baru sehari kau jadi artis, penammpilanmu langsung berubah. Tas branded, baju kualitas premium, sepatu keren. Sayang, riasan wajahmu masih terlalu natural!"Liana masih diam mendengarkan ocehan Ririn."Apa kubilang, kau dan pemilik PT. Adiwiguna Plast sebetulnya ada sesuatu, kalian terhubung satu sama lain. See?""Antar aku beli make up, yuk!" ajak Liana tak mempedulikan ocehan Ririn. "Ajari aku memakai riasan wajah. Oh, aku disuruh sering-sering ke salon, dia bilang rambutku kurang berkilau!"Ririn bertepuk tangan senang. "Sungguh hebat artis kita satu ini, fasilitas serba kelas satu. Ah, aku iri!""Kau mau membantuku tidak? Aku harus cepat-cepat karena sore sudah harus ada di rumah besar itu lagi!" gerutu Liana."Ap
Liana memejamkan mata dan menahan napas."Kau itu bisa akting tidak, sih?" tegur Pram memicingkan mata.Liana makin ciut."Bisa berpura-pura menjadi seorang istri yang manja pada suaminya?"Liana mengangguk pelan. Ia merapatkan lengan Pram ke tubuhnya."Bibirmu pucat, pakai lipstick yang sedikit cerah!""Warna lipstick-ku pink muda semua," keluh Liana.Pram menghela napas. "Hari ini aku temani kau berbelanja. Biar aku pilihkan apapun untukmu sesuai selera Alena. Jangan mendebatku!" Pram melangkah, memaksa Liana tetap menggandengnya.Liana terpaksa berjalan dengan menggandeng Pram erat. Jantungnya berdegup kencang.Setelah Liana mengambil tas di kamar. Keduanya siap berangkat."Memangnya istrimu selalu menggandengmu seperti ini di dalam rumah?" tanya Liana penasaran."Iya," jawab Pram pende