Seo Haneul memandang pria di depannya dengan tatapan penuh kebingungan, seolah mencoba mencari jawaban dari sorot matanya yang dingin dan tajam. Napasnya masih tersengal-sengal, sementara pikirannya berusaha keras mencerna segala hal aneh yang baru saja terjadi. Nama "Arangyeon" terasa asing di telinganya, namun anehnya menyentuh sisi terdalam dirinya yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Dunia ini, dengan segala keindahan dan keajaibannya, terasa seperti mimpi yang nyata, seperti dongeng yang hidup. Namun, di balik keindahan itu, ada sesuatu yang ganjil, sesuatu yang menimbulkan rasa takut bercampur penasaran.
"Arangyeon?" ulang Haneul dengan suara kecil, bergetar oleh emosi yang bercampur aduk. Ia mengerutkan alis, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah dengar. "Apa itu? Dan bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan nada yang semakin tergesa, meskipun ia tahu pria di depannya mungkin tidak akan memberikan jawaban yang mudah dipahami. Kim Jaewon memandangnya dengan pandangan yang sulit diterjemahkan. Sorot matanya seperti mencoba membaca setiap lapisan keberadaan Haneul, mencari sesuatu yang bahkan Haneul sendiri tidak tahu ada di dalam dirinya. "Arangyeon adalah dunia yang terletak di antara dimensi," kata Jaewon akhirnya, suaranya rendah namun penuh wibawa. "Ini bukan tempat yang bisa dijangkau manusia biasa. Gerbang yang membawamu ke sini seharusnya sudah tersegel sejak lama. Tidak ada yang seharusnya bisa melewatinya, apalagi manusia." Haneul merasa kepalanya semakin berat, seperti ada kabut tebal yang menyelimuti pikirannya. Ia mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana semua ini dimulai. "Aku hanya berjalan pulang melewati taman... lalu ada cahaya biru... aku tidak tahu apa yang terjadi," katanya dengan suara gemetar, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Tiba-tiba aku terseret ke dalamnya. Aku bahkan tidak punya waktu untuk berpikir." Jaewon menghela napas panjang, seperti seorang penjaga yang terbiasa menghadapi hal-hal yang tak terduga namun tetap merasa lelah dengan tanggung jawabnya. "Kalau begitu, kau adalah pengecualian," katanya dengan nada yang tidak sepenuhnya ramah, tetapi juga tidak bermusuhan. "Tapi keberadaanmu di sini bisa membawa masalah besar. Dunia ini terikat dengan keseimbangan yang sangat rapuh. Jika manusia melanggar batasnya, semuanya bisa hancur, bukan hanya di sini, tetapi juga di duniamu." Haneul merasa tubuhnya melemas mendengar penjelasan itu. "Aku tidak ingin berada di sini," katanya dengan suara hampir tak terdengar. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku sampai di sini. Aku hanya ingin pulang..." Kalimat terakhirnya terdengar seperti permohonan putus asa, tetapi Jaewon tetap berdiri tegak, seperti batu karang yang tidak tergoyahkan oleh badai. --- Kim Jaewon akhirnya mengajak Haneul untuk meninggalkan tempat itu, meskipun ia tidak menjelaskan ke mana mereka akan pergi. Mereka berjalan melewati hutan yang dipenuhi keajaiban yang tak pernah Haneul bayangkan sebelumnya. Pohon-pohon tinggi di sekitarnya bersinar dengan cahaya lembut yang tampak hidup, seolah-olah setiap daun memancarkan energi dari inti dunia ini. Di langit, cahaya bintang yang tak terhitung jumlahnya berkilauan seperti berlian yang tersebar, jauh lebih terang daripada apa pun yang pernah Haneul lihat di dunia asalnya. "Jadi..." Haneul mencoba membuka percakapan, suaranya ragu tetapi dipenuhi rasa ingin tahu. "Apa kau tinggal di sini? Apa kau juga manusia sepertiku?" tanyanya, meskipun dalam hati ia tahu jawabannya mungkin lebih rumit daripada yang ia bayangkan. Jaewon menoleh sedikit, pandangannya tetap tajam seperti biasa. "Aku bukan manusia seperti dirimu," jawabnya singkat, tanpa penjelasan lebih lanjut. "Aku adalah seorang penjaga Arangyeon. Tugasku adalah memastikan dunia ini tetap aman dari gangguan, baik dari dalam maupun dari luar." Haneul mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata Jaewon. "Penjaga? Apa yang kau jaga? Bukankah dunia ini terlihat damai? Segala sesuatunya tampak indah dan... sempurna," tambahnya, meskipun perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah di balik keindahan itu. Jaewon berhenti melangkah, lalu berbalik menghadap Haneul. Wajahnya yang dingin terlihat sedikit lebih serius dari sebelumnya. "Arangyeon memang terlihat damai, tetapi ada rahasia yang tersembunyi di balik permukaannya. Dunia ini dibangun di atas kekuatan magis yang luar biasa, dan kekuatan itu menarik perhatian banyak pihak yang ingin memanfaatkannya untuk tujuan mereka sendiri. Jika keseimbangan ini terganggu, bukan hanya Arangyeon yang akan menderita, tetapi juga dunia manusia." Haneul menelan ludah, merasakan kegelisahan yang semakin besar dalam hatinya. "Jadi... apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin terlibat. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi," katanya, suaranya melemah seiring dengan bertambahnya rasa takut di dalam dirinya. Jaewon menatapnya lama sebelum menjawab. "Itulah masalahnya. Pulang tidak semudah itu. Gerbang hanya terbuka ketika keseimbangan tertentu tercapai, dan sekarang keseimbangan itu terganggu. Kau harus menemukan alasan mengapa kau bisa berada di sini, karena aku yakin ini bukan kebetulan." --- Mereka akhirnya tiba di sebuah desa kecil yang tersembunyi di lembah yang dikelilingi pegunungan bercahaya. Desa itu tampak seperti sesuatu yang hanya bisa ditemukan di lukisan atau mimpi, dengan rumah-rumah kayu yang dihiasi ukiran rumit, dan taman-taman penuh bunga yang bercahaya di malam hari. Penduduk desa, yang mengenakan pakaian tradisional dengan motif bintang, memandang Haneul dengan tatapan penasaran, beberapa di antaranya terlihat waspada. "Jangan khawatir," kata Jaewon, menenangkan. "Mereka hanya belum terbiasa melihat manusia dari dunia luar." Haneul mengangguk, meskipun ia merasa semakin tidak nyaman. Ia seperti orang asing di tempat ini, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau ke mana harus pergi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Dunia ini terasa asing, tetapi di sudut hatinya, ia merasa seperti pernah mengenal tempat ini, meskipun ia tidak tahu bagaimana atau kapan. Dari arah tengah desa, seorang wanita tua berjalan mendekati mereka. Rambutnya yang perak panjang bergelombang seperti sutra, dan matanya yang cerah memancarkan kebijaksanaan yang tak terukur. Ia mengenakan jubah panjang dengan pola bintang-bintang yang bersinar samar, seolah menyatu dengan malam. "Kim Jaewon," kata wanita itu dengan suara lembut namun penuh wibawa. "Siapa gadis ini?" Jaewon menundukkan kepala sebagai tanda hormat. "Namanya Seo Haneul," jawabnya. "Dia adalah manusia dari dunia luar yang tanpa sengaja terseret masuk ke Arangyeon melalui gerbang yang seharusnya tertutup." Wanita itu memandang Haneul lama, seolah sedang membaca seluruh jiwanya. Tatapannya membuat Haneul merasa telanjang, seolah semua rahasia yang ia sembunyikan selama ini terbuka. "Kehadirannya membawa tanda," kata wanita itu akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan yang terdengar oleh angin. "Aku bisa merasakannya. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini." "Tanda? Apa maksudnya?" tanya Haneul, suaranya bergetar. "Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya ingin pulang..." Wanita tua itu tersenyum samar, tetapi matanya tetap serius. "Tidak ada yang datang ke Arangyeon tanpa alasan. Kau mungkin tidak menyadarinya sekarang, tetapi takdirmu sudah terikat dengan dunia ini. Pertanyaan sebenarnya adalah: apa yang akan kau pilih? Melawan atau menerima?" Haneul terdiam. Hatinya penuh kebingungan dan ketakutan, tetapi di saat yang sama, ada dorongan kuat dalam dirinya yang ingin tahu lebih banyak, ingin memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia tahu, apa pun jawabannya, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.Langit Arangyeon berubah menjadi ungu tua saat malam perlahan menyelimuti desa, dihiasi oleh ribuan bintang yang bersinar dengan intensitas luar biasa, seolah berlomba-lomba memamerkan keindahannya. Setiap bintang tampak seperti berlian kecil yang menghiasi kanvas malam yang luas, menciptakan suasana magis yang begitu nyata hingga Haneul nyaris lupa bernapas. Udara di sekitar dipenuhi dengan aroma bunga yang harum, segar, dan menyegarkan, menyatu dengan suara-suara alam yang lembut seperti alunan musik pengantar tidur. Ia duduk di sebuah bangku kayu yang sudah tua, dekat dengan kolam kecil yang permukaannya berkilau seperti cermin karena memantulkan cahaya bulan. Cahaya itu menciptakan ilusi yang membuatnya merasa berada di dunia mimpi.Pikirannya masih dipenuhi kebingungan, bergulat dengan semua hal aneh dan tidak masuk akal yang terjadi sejak ia pertama kali melangkah ke dunia ini. Dunia yang begitu berbeda, penuh dengan keindahan dan misteri, namun terasa seperti teka-teki besar ya
Pagi di Arangyeon datang perlahan, membawa udara segar yang penuh dengan aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di setiap sudut desa. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus sela-sela pepohonan tinggi yang mengelilingi desa, menciptakan pola bayangan yang indah di tanah. Haneul bangun lebih awal dari biasanya, meskipun ia merasa lelah dan masih dibebani dengan banyak pertanyaan. Pikirannya masih terjerat oleh apa yang terjadi malam sebelumnya—tentang Menara Bintang, tentang peranannya di dunia ini, dan tentang takdir yang tampaknya telah dituliskan untuknya, meskipun ia tidak tahu apa itu.Ia melangkah keluar dari rumah kecilnya dengan langkah pelan, merasakan angin pagi yang menyejukkan wajahnya. Suara burung berkicau di kejauhan dan suara riuh air yang mengalir di sungai kecil membuatnya merasa sejenak lebih tenang. Mira telah memberitahunya untuk mencari Elder Yoon pagi ini, karena wanita tua itu ingin berbicara lebih banyak dengannya tentang dunia ini dan perannya di dala
Bab 5: Gerbang KenyataanUdara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”“Gerbang?” Haneul mengerutkan ken
Perjalanan mereka semakin terasa menegangkan dan penuh tekanan seiring dengan berjalannya waktu yang terasa begitu lambat dan penuh misteri. Haneul, yang sebelumnya hanyalah seorang gadis sederhana dari desa kecil dengan kehidupan yang damai, kini dihadapkan pada kenyataan besar yang mengguncang dunia kecilnya. Ia tahu bahwa dirinya memegang peran penting dalam sebuah misi yang belum sepenuhnya ia pahami, sebuah tanggung jawab yang berat dan tidak bisa ia abaikan begitu saja. Perasaan aneh yang menyeruak di dalam dirinya setelah kejadian luar biasa di hutan terus menghantui benaknya. Cahaya terang yang tiba-tiba muncul dari tangannya, energi luar biasa yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, kini menjadi tanda tanya besar yang membuatnya sulit tidur. Apa arti kekuatan itu? Mengapa kekuatan tersebut muncul dalam dirinya dan bukan orang lain? Dan, yang paling menakutkan, bagaimana ia bisa mengendalikannya saat menghadapi bahaya besar yang sudah menunggu di masa depan? Pertanyaan-pert
Bab 7: Cermin Masa LaluLangit Arangyeon berubah keabu-abuan ketika langkah-langkah mereka mendekati bagian terdalam dari Hutan Gaema. Kabut turun perlahan seperti tirai tipis, menyelimuti pepohonan yang menjulang tinggi dan meredam suara-suara alam. Cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana suram namun memikat. Seo Haneul memeluk jubahnya erat-erat, mencoba mengusir dingin yang menembus kulitnya.“Ada sesuatu yang berbeda di sini,” gumam Mira, matanya tajam mengamati sekitar. Tangannya siaga di dekat kantung jimatnya, siap merapal mantra jika keadaan berubah.Jaewon melangkah pelan namun pasti di depan mereka, matanya tak pernah berhenti menyapu tanah dan pepohonan. “Energinya berubah. Ini bukan hanya hutan biasa. Kita sudah masuk ke dalam wilayah Cermin Masa.”Elder Yoon berjalan paling belakang, suaranya rendah namun menggema. “Cermin Masa adalah tempat yang tidak hanya mengungkap masa lalu... tapi juga luka terdalam dalam jiwa. Hanya mereka yang siap me
Bab 8: Jejak yang HilangMalam telah turun perlahan ketika mereka kembali dari Hutan Gaema, membawa keheningan yang tidak nyaman dan hawa dingin yang menusuk tulang. Langit Arangyeon berubah kelabu gelap, bertabur bintang yang tampak lebih muram dari biasanya—seakan ikut menanggung beban yang mulai menyelimuti hati Haneul. Angin malam berembus pelan, menyentuh kulit seperti bisikan rahasia yang menyuruhnya untuk bersiap menghadapi masa lalu.Di aula kayu milik Elder Yoon, lentera-lentera kecil menggantung di setiap sudut ruangan, memancarkan cahaya temaram yang menenangkan sekaligus membangun ketegangan. Aroma kayu bakar dan rempah-rempah memenuhi udara, tetapi tidak mampu menenangkan kegelisahan yang mencengkeram Haneul.Haneul duduk diam di sudut ruangan, kedua tangannya meremas lutut. Pandangannya kosong, pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang yang muncul dari Cermin Masa—terutama sosok berjubah hitam itu. Sosok yang mengucapkan namanya seolah mengenalnya. Seolah tahu setiap luka y
Bab 9: Menara yang RuntuhKabut pagi menyelimuti Arangyeon saat Haneul, Jaewon, dan Mira bersiap meninggalkan desa Elder Yoon. Angin yang menggigit mengiringi langkah mereka menuju utara—ke tanah terlarang di mana puing-puing masa lalu terkubur di bawah reruntuhan dan bayangan. Menara yang Runtuh berdiri jauh di tengah Dataran Kelabu, tempat yang konon tidak pernah dikunjungi siapa pun sejak tragedi dua puluh tahun lalu."Aku masih tidak percaya kita benar-benar akan ke sana," gumam Mira, menegakkan tudung jubahnya. "Banyak yang bilang, suara arwah masih terdengar dari balik dinding batu.""Jika ada sesuatu yang tersisa dari masa lalu, tempat itu pasti menyimpannya," sahut Jaewon, matanya lurus menatap jalan berbatu di depan. "Tapi jangan percaya semua legenda. Beberapa di antaranya... sengaja dibuat untuk menakut-nakuti."Haneul tak banyak bicara. Langkahnya mantap, meski pikirannya terus bergolak. Potongan-potongan kenangan samar mulai muncul dalam mimpi-mimpinya: suara perempuan yan
Bab 10: Darah dan WarisanKilatan cahaya menyambar langit saat tanah di bawah kaki mereka runtuh. Haneul, Jaewon, dan Mira terjatuh ke dalam kegelapan, tubuh mereka dihantam puing dan debu reruntuhan. Suara batu-batu besar bergemuruh di atas kepala, seakan Menara yang Runtuh benar-benar memutuskan untuk mengubur masa lalunya sekali lagi—bersama mereka.Cahaya biru lembut muncul dari gelang pelindung yang dikenakan Mira. Energi sihirnya membentuk perisai tipis yang melindungi mereka dari jatuhan batu terakhir sebelum akhirnya mereka mendarat keras di lantai batu yang dingin dan lembab. Aroma debu dan tanah tua menyengat hidung mereka, menyelimuti ruangan dengan rasa tak dikenal—antara sejarah dan kematian."Apa kalian—" suara Mira tersendat oleh batuk. "Apa kalian baik-baik saja?"Jaewon mengangguk, berdiri meski bahunya terluka. "Kita harus keluar sebelum semuanya benar-benar runtuh."Namun Haneul tidak menjawab. Ia berdiri terpaku di tengah lorong bawah tanah, matanya menatap dinding
Bab 35: Dua Takdir, Satu JiwaGelap. Hening. Tak ada suara selain detak jantung Seo Haneul yang bergema seperti gema di ruang hampa. Ia melayang di antara kehampaan—tidak ada tanah, tidak ada langit. Hanya kekosongan berwarna abu pekat yang bergerak perlahan, seperti napas dari dimensi yang belum lahir."Haneul..."Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah suara yang penuh luka dan harapan yang nyaris punah. Haneul menoleh ke segala arah, dan dari kehampaan itu muncullah secercah cahaya—seperti denyut jantung yang baru saja hidup kembali.Cahaya itu membentuk siluet. Langkah demi langkah, Haneul mendekat, dan wajah itu menjadi jelas."Seo Hamin…" bisiknya.Namun Hamin yang berdiri di hadapannya bukanlah sosok penuh dendam yang barusan menancapkan Jantung Waktu di Kuil Cermin. Ini adalah Hamin yang dulu—matanya jernih, penuh rasa ingin tahu dan sedikit getir."Ap
Bab 34: Langkah di Tengah RetakanLangit Arangyeon tidak lagi biru. Sejak retakan muncul di atas reruntuhan Kuil Cermin, warna langit perlahan memudar menjadi abu-abu pucat, seakan dunia sendiri kehilangan denyut hidupnya. Retakan itu terus melebar, menganga seperti luka yang tidak bisa disembuhkan, menyedot cahaya, udara, bahkan suara. Di bawahnya, tanah bergetar dalam interval tidak teratur—kadang pelan, kadang seperti ada jantung raksasa yang berdetak dari kedalaman dunia.Seo Haneul berdiri di bibir jurang sihir, diiringi Jaewon dan Mira yang menatapnya dengan kegelisahan yang disembunyikan di balik jubah Vestra mereka. Angin membawa bau logam—bukan dari darah, tapi dari sesuatu yang lebih tua, lebih purba. Dari masa lalu yang bahkan tidak tercatat dalam gulungan tertua di Perpustakaan Langit.Di tengah pusaran kekacauan itu, berdirilah sosok yang dulu ia panggil “saudara”—Seo Hamin. Tapi sosok itu tak lagi sama
Bab 33: Di Ambang Cahaya dan KegelapanLangit Arangyeon terbelah oleh cahaya biru kelam, seperti bekas luka yang belum sempat dijahit. Cahaya itu bukan milik matahari atau bulan—itu adalah sinyal, bahwa keseimbangan antara dunia mulai tergeser. Retakan dimensi tumbuh, menjalar seperti akar gelap dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam… dan lebih berbahaya dari apa pun yang pernah dikenal dunia ini.Di dalam Kuil Pelindung Cahaya, Seo Haneul berdiri di depan altar utama. Ia mengenakan jubah perak Vestra, dihiasi lambang Phoenix membara di bagian dada—simbol harapan baru, namun beban di pundaknya lebih berat dari baju perang mana pun. Di tangannya, kristal resonansi yang baru ia aktifkan bergetar pelan, terhubung langsung ke energi Jantung Waktu.Suara langkah kaki bergema dari lorong. Mira muncul dengan rambut berantakan dan gulungan peta ley-line di tangannya.“Retakan di utara… mulai menyerap waktu,&rdquo
Bab 32: Warisan TersembunyiLangit Arangyeon perlahan kembali menampakkan bintang-bintangnya, namun tak ada yang benar-benar merasa damai. Setelah retakan Dimensi Ketiga ditutup sementara oleh kekuatan gabungan Haneul dan Vestra, seluruh penjuru dunia terasa menahan napas. Seolah alam pun tahu: ini hanya jeda, bukan akhir.Seo Hamin kini ditahan dalam lingkaran sihir Vestra yang menjaga keseimbangan antara dunia dan dimensi. Di dalam ruang bawah tanah Istana Bintang, tubuhnya terbaring lemah, namun pikirannya masih menyala—berperang dengan ingatan dan suara-suara dari Dimensi Ketiga yang masih menggerogotinya dalam diam.Haneul duduk di dekat jendela ruang observatorium, memandang jauh ke cakrawala. Tongkat Vestra kini bersandar di sisinya, tapi tidak menyala. Sejak pertarungan terakhir, kekuatan sihirnya terasa berubah… lebih berat, lebih dalam, seolah ada bagian dari Dimensi Ketiga yang kini hidup dalam dirinya.“Dia
Bab 31: Kebenaran yang MenyalaLangkah mereka bergema di lorong tak berujung Dimensi Ketiga. Haneul berjalan paling depan, tongkat sihir Vestra dalam genggamannya, menyala samar dalam kegelapan yang tidak wajar. Di belakangnya, Mira memeriksa jalur energi dengan kompas dimensi, dan Jaewon melindungi sisi mereka dengan pelindung sihir berbentuk kristal.Dimensi Ketiga bukan tempat yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Segala bentuk logika runtuh di sana. Langit tak punya warna, hanya retakan yang menyala seperti luka di ruang dan waktu. Tanah di bawah mereka hidup—berdenyut, bernafas, berbisik.“Tempat ini… seperti mimpi buruk yang dilukis oleh ingatan terluka,” gumam Mira, menatap dinding yang menampakkan kilasan kenangan mereka masing-masing—masa kecil, trauma, pengkhianatan.“Jangan menatap terlalu lama,” peringatan Haneul. “Dimensi ini memakan perasaan. Ia tumbuh dari rasa kehilangan.&r
Bab 30: Dunia yang TerpecahMatahari yang seharusnya terbit dengan lembut di Arangyeon kini terhijab oleh langit yang merah kelam, seperti darah yang menetes dari luka-luka dunia itu sendiri. Di tengah kegelapan yang menyelimuti, Haneul berdiri di depan gerbang Dimensi Ketiga, ditemani oleh Jaewon dan Mira. Mereka berhadapan dengan kekuatan yang tak terbayangkan, mengetahui bahwa mereka akan segera memasuki wilayah yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya.Haneul menarik napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dimensi Ketiga bukanlah tempat yang bisa kita kendalikan."Jaewon memandangnya dengan tatapan serius. "Kita tidak punya pilihan. Jika kita tidak melawan Hamin sekarang, dia akan membawa kita ke dalam kegelapan yang tak bisa kita hentikan."Mira mengangguk, matanya menunjukkan tekad yang sama. "Kami bersamamu, Haneul. Tidak ada yang akan kita biarkan tertinggal."Gerbang itu terbuka perlahan,
Bab 29: Dunia yang TerlupakanFajar baru saja menyingsing ketika Haneul, Jaewon, dan Mira berdiri di ambang pintu Istana Bintang, siap memulai perjalanan mereka menuju dunia yang belum pernah mereka temui sebelumnya—Oranyss. Langit Arangyeon yang biasanya cerah kini tampak gelap, seperti alam semesta pun menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka jauh ke dalam kegelapan, mungkin lebih dalam dari apa yang bisa mereka bayangkan."Semua sudah siap," Jaewon berkata, matanya berkilat dengan tekad. "Mira, peta yang kalian terjemahkan sudah kita pelajari dengan seksama. Ini adalah perjalanan yang berbahaya, tapi kita akan saling menjaga."Mira menatap mereka, sedikit ragu. "Aku tahu kita tidak punya pilihan. Tapi hati-hati. Dunia ini... ada sesuatu yang sangat berbeda di sana. Dan kita tidak tahu seberapa dalam kegelapan itu akan menarik kita."Haneul mengangguk, lalu menatap langit yang semakin memudar. "Kita tak bisa mundur. Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar
Bab 6: Bayangan yang MenungguSuasana di sekitar gerbang terasa semakin tegang. Haneul berdiri di sana, tangan masih menyentuh pintu batu hitam yang dingin, matanya memandang ke dalam kegelapan yang terhampar di depan mereka. Suara bisikan yang menggetarkan hatinya terus mengiang di telinganya, namun ia tak bisa sepenuhnya memahami makna dari suara itu. Apa yang sebenarnya diminta? Apa yang harus ia lakukan?Jaewon berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama, seolah bisa merasakan kegelisahan yang melanda Haneul. “Haneul, kau bisa melakukannya,” kata Jaewon, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Arangyeon. Ini juga tentang dirimu sendiri. Kamu telah dilahirkan untuk menghadapi ini.”Haneul menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa. Apa yang akan terjadi jika aku salah?”Elder Yoon yang berdiri di belakang mereka tiba-tiba bersuara. “Tak ada yang tahu apa yang akan terj
Bab 5: Gerbang KenyataanUdara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”“Gerbang?” Haneul mengerutkan ke