Bab 9: Menara yang RuntuhKabut pagi menyelimuti Arangyeon saat Haneul, Jaewon, dan Mira bersiap meninggalkan desa Elder Yoon. Angin yang menggigit mengiringi langkah mereka menuju utara—ke tanah terlarang di mana puing-puing masa lalu terkubur di bawah reruntuhan dan bayangan. Menara yang Runtuh berdiri jauh di tengah Dataran Kelabu, tempat yang konon tidak pernah dikunjungi siapa pun sejak tragedi dua puluh tahun lalu."Aku masih tidak percaya kita benar-benar akan ke sana," gumam Mira, menegakkan tudung jubahnya. "Banyak yang bilang, suara arwah masih terdengar dari balik dinding batu.""Jika ada sesuatu yang tersisa dari masa lalu, tempat itu pasti menyimpannya," sahut Jaewon, matanya lurus menatap jalan berbatu di depan. "Tapi jangan percaya semua legenda. Beberapa di antaranya... sengaja dibuat untuk menakut-nakuti."Haneul tak banyak bicara. Langkahnya mantap, meski pikirannya terus bergolak. Potongan-potongan kenangan samar mulai muncul dalam mimpi-mimpinya: suara perempuan yan
Bab 10: Darah dan WarisanKilatan cahaya menyambar langit saat tanah di bawah kaki mereka runtuh. Haneul, Jaewon, dan Mira terjatuh ke dalam kegelapan, tubuh mereka dihantam puing dan debu reruntuhan. Suara batu-batu besar bergemuruh di atas kepala, seakan Menara yang Runtuh benar-benar memutuskan untuk mengubur masa lalunya sekali lagi—bersama mereka.Cahaya biru lembut muncul dari gelang pelindung yang dikenakan Mira. Energi sihirnya membentuk perisai tipis yang melindungi mereka dari jatuhan batu terakhir sebelum akhirnya mereka mendarat keras di lantai batu yang dingin dan lembab. Aroma debu dan tanah tua menyengat hidung mereka, menyelimuti ruangan dengan rasa tak dikenal—antara sejarah dan kematian."Apa kalian—" suara Mira tersendat oleh batuk. "Apa kalian baik-baik saja?"Jaewon mengangguk, berdiri meski bahunya terluka. "Kita harus keluar sebelum semuanya benar-benar runtuh."Namun Haneul tidak menjawab. Ia berdiri terpaku di tengah lorong bawah tanah, matanya menatap dinding
Bab 11: Perjanjian Cahaya dan BayanganAngin malam menari lembut di antara reruntuhan Menara yang Runtuh, membawa aroma batu tua dan tanah basah yang baru saja tersentuh sihir kuno. Di dalam ruangan kristal yang tersembunyi jauh di bawah tanah, Haneul berdiri dalam keheningan, tubuhnya dikelilingi cahaya biru yang mengalir seperti riak air. Detik itu, ia bukan lagi seorang gadis biasa dari Seowon. Ia adalah titik temu antara dua dunia—kunci dari sejarah yang belum selesai ditulis.“Aku… keturunan dua dunia,” bisiknya. Suaranya terdengar jelas, meski hanya setinggi desahan napas. “Darah ibuku dari Arangyeon. Ayahku… dari Seowon. Aku bukan kesalahan. Aku adalah pertanyaan yang belum dijawab.”Kim Jaewon melangkah ke depan, matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam. “Haneul, kau baru saja membangkitkan kekuatan yang telah lama tersegel. Kekuatan seperti itu… tidak muncul tanpa konsekuensi.”“Lalu, apa artinya ini semua?” tanya Haneul, masih terpaku pada altar yang kini memantulkan cahay
Bab 12: Bayangan dari TimurLangit Arangyeon bergemuruh. Bukan karena badai petir biasa, tapi karena sesuatu yang jauh lebih purba—getaran dari dunia lain yang mulai merobek batas realitas. Di ufuk timur, awan bergulung hitam, sesekali menyala biru listrik. Gerbang Cahaya—yang selama seribu tahun tertutup rapat—mulai merekah.Seo Haneul berdiri di atas menara observatorium tua, matanya menatap langit yang berubah warna. Di sampingnya, Kim Jaewon bersandar pada pilar retak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.“Mereka datang,” gumam Jaewon.Haneul mengangguk perlahan. “Aku bisa merasakannya. Seperti gema dalam tubuhku. Seowon… menarikku kembali.”“Bukan hanya kamu,” sahut Jaewon. “Mereka menginginkan kekuatan Arangyeon. Dan mereka tahu satu-satunya cara masuk… adalah melalui darahmu.”Di bawah menara, pasukan penjaga Arangyeon bersiap. Panah sihir, pedang bayangan, dan mantra-mantra pelindung dilafalkan dengan cepat. Namun semua tahu, musuh yang mereka hadapi kali ini ber
Bab 13: Jejak yang TersembunyiPagi itu, udara Arangyeon terasa lebih berat dari biasanya. Meskipun cahaya matahari masih memancar lembut dari horizon, suasana desa sudah berubah. Mungkin karena pertempuran semalam yang menyisakan kerusakan yang tak terhitung jumlahnya, atau mungkin karena ancaman yang semakin dekat. Haneul merasa sesak di dadanya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat. Dunia ini, dunia yang semula tampak indah dan damai, kini terasa penuh dengan bayang-bayang yang semakin mengintai.Ia duduk di tepi sungai kecil yang mengalir melalui desa, tangan memegang batu licin yang telah ia temukan di sana. Airnya mengalir tenang, tetapi Haneul tahu—begitu banyak hal yang terendam di bawah permukaan yang tenang itu. Seperti dirinya, seperti Arangyeon. Mereka semua memiliki rahasia yang tak pernah diceritakan, hingga kini.“Bagaimana perasaanmu?” suara Jaewon memecah keheningan.Haneul menoleh, melihat pria itu berdiri beberapa langkah di belakangnya. Wajah Jaewon terli
Bab 14: Perjalanan yang Tak TerlihatAngin kencang berhembus, mengirimkan serpihan daun kering terbang ke udara. Langit di atas Arangyeon tampak gelap, dibayangi awan hitam yang menggantung rendah, menyiratkan pertempuran yang tak dapat dihindari. Haneul berdiri tegak, tatapannya tertuju pada makhluk besar yang semakin mendekat. Rasanya, detak jantungnya begitu keras hingga hampir bisa didengar. Seluruh tubuhnya bergetar, namun di dalam hatinya, ada secercah keberanian yang mulai tumbuh, perlahan menggantikan rasa takut yang begitu mendalam.Makhluk itu—atau yang lebih tepat disebut monster—memancarkan energi gelap yang begitu kuat hingga Haneul hampir bisa merasakannya menusuk kulitnya. Mata merah menyala, tubuhnya yang besar dan dilapisi lapisan hitam seperti batu, bergerak menuju mereka dengan kecepatan yang luar biasa. Setiap langkahnya mengguncang tanah, membuat udara sekitar bergetar.Jaewon berdiri di samping Haneul, tidak sedikit pun menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ia terli
Bab 15: Bayang-Bayang yang MenyusupHari-hari berikutnya berlalu dengan cepat, namun ketegangan yang dirasakan Haneul tidak pernah benar-benar hilang. Perasaan bahwa sesuatu yang lebih besar sedang mengintai, sesuatu yang jauh lebih gelap dan berbahaya daripada yang telah mereka hadapi sebelumnya, mulai menghantui setiap langkahnya. Setiap sudut Arangyeon seakan menyimpan rahasia yang semakin sulit untuk disembunyikan. Dunia ini yang semula terasa begitu indah, kini tampak seperti cermin yang retak, memperlihatkan celah-celah gelap yang mengancam untuk pecah.Haneul berjalan menyusuri jalan setapak yang berkelok, melintasi pepohonan besar dengan daun-daun yang bergerak tertiup angin. Di depannya, Jaewon berjalan tenang, namun ada ketegangan yang terlihat di raut wajahnya. Seperti biasanya, Jaewon selalu mengendalikan emosi dengan sangat baik, namun Haneul bisa merasakan perasaan tidak nyaman yang mengalir dari dirinya. Ada sesuatu yang mengganggu dalam sikapnya, sesuatu yang belum dice
Bab 16: Kedalaman yang TerungkapSuasana di dalam ruangan tersembunyi itu semakin mencekam. Haneul merasa jantungnya berdegup cepat. Hawa dingin yang menyelimuti ruangan itu tidak hanya berasal dari angin malam yang dingin, tetapi juga dari ketegangan yang begitu nyata. Setiap inci ruangan itu terasa seperti dipenuhi dengan rahasia yang mengintai, rahasia yang tidak ingin diungkapkan. Jaewon membuka buku tua itu lebih jauh, matanya memindai halaman-halaman yang berisi simbol-simbol kuno."Ini... ini tidak mungkin," bisik Jaewon, suaranya hampir tidak terdengar.Haneul mendekat, berusaha melihat apa yang ada di halaman itu. "Apa yang kamu lihat?"Jaewon memutar buku itu agar Haneul bisa melihat lebih jelas. "Ini adalah ramalan kuno... tentang kembalinya 'Bayangan Kegelapan.' Aku takut ini bukan sekadar legenda."Haneul menatap tulisan itu dengan cemas. "Bayangan Kegelapan... Apa itu?"Jaewon menghela napas panjang. "Bayangan Kegelapan adalah entitas yang dulunya diciptakan oleh kerajaan
Bab 35: Dua Takdir, Satu JiwaGelap. Hening. Tak ada suara selain detak jantung Seo Haneul yang bergema seperti gema di ruang hampa. Ia melayang di antara kehampaan—tidak ada tanah, tidak ada langit. Hanya kekosongan berwarna abu pekat yang bergerak perlahan, seperti napas dari dimensi yang belum lahir."Haneul..."Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah suara yang penuh luka dan harapan yang nyaris punah. Haneul menoleh ke segala arah, dan dari kehampaan itu muncullah secercah cahaya—seperti denyut jantung yang baru saja hidup kembali.Cahaya itu membentuk siluet. Langkah demi langkah, Haneul mendekat, dan wajah itu menjadi jelas."Seo Hamin…" bisiknya.Namun Hamin yang berdiri di hadapannya bukanlah sosok penuh dendam yang barusan menancapkan Jantung Waktu di Kuil Cermin. Ini adalah Hamin yang dulu—matanya jernih, penuh rasa ingin tahu dan sedikit getir."Ap
Bab 34: Langkah di Tengah RetakanLangit Arangyeon tidak lagi biru. Sejak retakan muncul di atas reruntuhan Kuil Cermin, warna langit perlahan memudar menjadi abu-abu pucat, seakan dunia sendiri kehilangan denyut hidupnya. Retakan itu terus melebar, menganga seperti luka yang tidak bisa disembuhkan, menyedot cahaya, udara, bahkan suara. Di bawahnya, tanah bergetar dalam interval tidak teratur—kadang pelan, kadang seperti ada jantung raksasa yang berdetak dari kedalaman dunia.Seo Haneul berdiri di bibir jurang sihir, diiringi Jaewon dan Mira yang menatapnya dengan kegelisahan yang disembunyikan di balik jubah Vestra mereka. Angin membawa bau logam—bukan dari darah, tapi dari sesuatu yang lebih tua, lebih purba. Dari masa lalu yang bahkan tidak tercatat dalam gulungan tertua di Perpustakaan Langit.Di tengah pusaran kekacauan itu, berdirilah sosok yang dulu ia panggil “saudara”—Seo Hamin. Tapi sosok itu tak lagi sama
Bab 33: Di Ambang Cahaya dan KegelapanLangit Arangyeon terbelah oleh cahaya biru kelam, seperti bekas luka yang belum sempat dijahit. Cahaya itu bukan milik matahari atau bulan—itu adalah sinyal, bahwa keseimbangan antara dunia mulai tergeser. Retakan dimensi tumbuh, menjalar seperti akar gelap dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam… dan lebih berbahaya dari apa pun yang pernah dikenal dunia ini.Di dalam Kuil Pelindung Cahaya, Seo Haneul berdiri di depan altar utama. Ia mengenakan jubah perak Vestra, dihiasi lambang Phoenix membara di bagian dada—simbol harapan baru, namun beban di pundaknya lebih berat dari baju perang mana pun. Di tangannya, kristal resonansi yang baru ia aktifkan bergetar pelan, terhubung langsung ke energi Jantung Waktu.Suara langkah kaki bergema dari lorong. Mira muncul dengan rambut berantakan dan gulungan peta ley-line di tangannya.“Retakan di utara… mulai menyerap waktu,&rdquo
Bab 32: Warisan TersembunyiLangit Arangyeon perlahan kembali menampakkan bintang-bintangnya, namun tak ada yang benar-benar merasa damai. Setelah retakan Dimensi Ketiga ditutup sementara oleh kekuatan gabungan Haneul dan Vestra, seluruh penjuru dunia terasa menahan napas. Seolah alam pun tahu: ini hanya jeda, bukan akhir.Seo Hamin kini ditahan dalam lingkaran sihir Vestra yang menjaga keseimbangan antara dunia dan dimensi. Di dalam ruang bawah tanah Istana Bintang, tubuhnya terbaring lemah, namun pikirannya masih menyala—berperang dengan ingatan dan suara-suara dari Dimensi Ketiga yang masih menggerogotinya dalam diam.Haneul duduk di dekat jendela ruang observatorium, memandang jauh ke cakrawala. Tongkat Vestra kini bersandar di sisinya, tapi tidak menyala. Sejak pertarungan terakhir, kekuatan sihirnya terasa berubah… lebih berat, lebih dalam, seolah ada bagian dari Dimensi Ketiga yang kini hidup dalam dirinya.“Dia
Bab 31: Kebenaran yang MenyalaLangkah mereka bergema di lorong tak berujung Dimensi Ketiga. Haneul berjalan paling depan, tongkat sihir Vestra dalam genggamannya, menyala samar dalam kegelapan yang tidak wajar. Di belakangnya, Mira memeriksa jalur energi dengan kompas dimensi, dan Jaewon melindungi sisi mereka dengan pelindung sihir berbentuk kristal.Dimensi Ketiga bukan tempat yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Segala bentuk logika runtuh di sana. Langit tak punya warna, hanya retakan yang menyala seperti luka di ruang dan waktu. Tanah di bawah mereka hidup—berdenyut, bernafas, berbisik.“Tempat ini… seperti mimpi buruk yang dilukis oleh ingatan terluka,” gumam Mira, menatap dinding yang menampakkan kilasan kenangan mereka masing-masing—masa kecil, trauma, pengkhianatan.“Jangan menatap terlalu lama,” peringatan Haneul. “Dimensi ini memakan perasaan. Ia tumbuh dari rasa kehilangan.&r
Bab 30: Dunia yang TerpecahMatahari yang seharusnya terbit dengan lembut di Arangyeon kini terhijab oleh langit yang merah kelam, seperti darah yang menetes dari luka-luka dunia itu sendiri. Di tengah kegelapan yang menyelimuti, Haneul berdiri di depan gerbang Dimensi Ketiga, ditemani oleh Jaewon dan Mira. Mereka berhadapan dengan kekuatan yang tak terbayangkan, mengetahui bahwa mereka akan segera memasuki wilayah yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya.Haneul menarik napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dimensi Ketiga bukanlah tempat yang bisa kita kendalikan."Jaewon memandangnya dengan tatapan serius. "Kita tidak punya pilihan. Jika kita tidak melawan Hamin sekarang, dia akan membawa kita ke dalam kegelapan yang tak bisa kita hentikan."Mira mengangguk, matanya menunjukkan tekad yang sama. "Kami bersamamu, Haneul. Tidak ada yang akan kita biarkan tertinggal."Gerbang itu terbuka perlahan,
Bab 29: Dunia yang TerlupakanFajar baru saja menyingsing ketika Haneul, Jaewon, dan Mira berdiri di ambang pintu Istana Bintang, siap memulai perjalanan mereka menuju dunia yang belum pernah mereka temui sebelumnya—Oranyss. Langit Arangyeon yang biasanya cerah kini tampak gelap, seperti alam semesta pun menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka jauh ke dalam kegelapan, mungkin lebih dalam dari apa yang bisa mereka bayangkan."Semua sudah siap," Jaewon berkata, matanya berkilat dengan tekad. "Mira, peta yang kalian terjemahkan sudah kita pelajari dengan seksama. Ini adalah perjalanan yang berbahaya, tapi kita akan saling menjaga."Mira menatap mereka, sedikit ragu. "Aku tahu kita tidak punya pilihan. Tapi hati-hati. Dunia ini... ada sesuatu yang sangat berbeda di sana. Dan kita tidak tahu seberapa dalam kegelapan itu akan menarik kita."Haneul mengangguk, lalu menatap langit yang semakin memudar. "Kita tak bisa mundur. Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar
Bab 6: Bayangan yang MenungguSuasana di sekitar gerbang terasa semakin tegang. Haneul berdiri di sana, tangan masih menyentuh pintu batu hitam yang dingin, matanya memandang ke dalam kegelapan yang terhampar di depan mereka. Suara bisikan yang menggetarkan hatinya terus mengiang di telinganya, namun ia tak bisa sepenuhnya memahami makna dari suara itu. Apa yang sebenarnya diminta? Apa yang harus ia lakukan?Jaewon berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama, seolah bisa merasakan kegelisahan yang melanda Haneul. “Haneul, kau bisa melakukannya,” kata Jaewon, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Arangyeon. Ini juga tentang dirimu sendiri. Kamu telah dilahirkan untuk menghadapi ini.”Haneul menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa. Apa yang akan terjadi jika aku salah?”Elder Yoon yang berdiri di belakang mereka tiba-tiba bersuara. “Tak ada yang tahu apa yang akan terj
Bab 5: Gerbang KenyataanUdara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”“Gerbang?” Haneul mengerutkan ke