Pagi di Arangyeon datang perlahan, membawa udara segar yang penuh dengan aroma tanah basah dan bunga liar yang tumbuh di setiap sudut desa. Cahaya matahari yang lembut mulai menembus sela-sela pepohonan tinggi yang mengelilingi desa, menciptakan pola bayangan yang indah di tanah. Haneul bangun lebih awal dari biasanya, meskipun ia merasa lelah dan masih dibebani dengan banyak pertanyaan. Pikirannya masih terjerat oleh apa yang terjadi malam sebelumnya—tentang Menara Bintang, tentang peranannya di dunia ini, dan tentang takdir yang tampaknya telah dituliskan untuknya, meskipun ia tidak tahu apa itu.
Ia melangkah keluar dari rumah kecilnya dengan langkah pelan, merasakan angin pagi yang menyejukkan wajahnya. Suara burung berkicau di kejauhan dan suara riuh air yang mengalir di sungai kecil membuatnya merasa sejenak lebih tenang. Mira telah memberitahunya untuk mencari Elder Yoon pagi ini, karena wanita tua itu ingin berbicara lebih banyak dengannya tentang dunia ini dan perannya di dalamnya. Haneul tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan. Ia harus mencari jawaban—jawaban yang akan mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi di dunia Arangyeon ini, dan apakah ia benar-benar bagian dari takdir yang lebih besar. Langkahnya membawa Haneul menuju bagian utara desa, di mana bangunan tua yang terlihat seperti kuil besar berdiri dengan angkuh, dikelilingi oleh taman bunga berwarna-warni yang tampak hidup. Di tengah taman, sebuah kolam kecil memantulkan sinar matahari, menciptakan kilauan yang menakjubkan. Di sisi kanan kolam itu, seorang wanita tua dengan rambut putih panjang yang tergerai, mengenakan jubah ungu, sedang duduk di kursi kayu sambil menatap langit. Haneul bisa merasakan aura kebijaksanaan dan ketenangan yang datang dari wanita itu, dan tanpa sadar, langkahnya melambat. "Elder Yoon?" Haneul memanggilnya dengan suara pelan, rasa hormat otomatis muncul begitu saja dalam dirinya. Wanita itu menoleh, matanya yang tajam namun penuh kehangatan memandang Haneul dengan penuh perhatian. "Ah, Haneul. Kau datang tepat waktu," kata Elder Yoon dengan suara lembut, tetapi dalamnya penuh dengan kekuatan. "Aku sudah menunggumu. Ada banyak yang perlu kita bicarakan." Haneul berjalan mendekat, duduk di kursi yang disediakan di samping Elder Yoon. Ia merasa sedikit canggung, tetapi ada perasaan damai yang menyelimuti hatinya begitu berada di dekat wanita itu. Haneul menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya, "Elder Yoon, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa aku bisa berada di dunia ini? Apa yang dimaksud dengan takdirku?" Elder Yoon tersenyum kecil, lalu mengangguk, seolah sudah menunggu pertanyaan itu. "Arangyeon bukan dunia yang biasa. Ini adalah tempat yang terpisah dari dunia manusia. Kami yang ada di sini memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan dan harmoni antara alam dan energi yang mengalir di dalamnya. Namun, dunia ini tidak sempurna, Haneul. Ada kekuatan gelap yang sedang mengancam, dan itu semua dimulai dari ketidakseimbangan energi yang berasal dari Menara Bintang." Haneul mengernyitkan dahi. "Kekuatan gelap? Apa itu?" Elder Yoon menatap mata Haneul dengan serius, seolah mencoba mengukur kedalaman pemahaman gadis itu. "Kekuatan itu tidak tampak jelas, tetapi ada di sekitar kita. Ia tumbuh dari ketidakpuasan dan keserakahan hati beberapa orang yang terhubung dengan kekuatan kuno yang tersembunyi di dunia ini. Menara Bintang adalah kunci untuk menjaga keseimbangan, namun energi di dalamnya mulai merosot, dan itulah yang menyebabkan dunia ini mulai terancam." "Aku... aku tidak mengerti," kata Haneul, kebingungannya semakin menjadi-jadi. "Apa hubungannya semua itu dengan diriku?" Elder Yoon menatap langit sebentar sebelum kembali menatap Haneul. "Kau bukanlah orang biasa, Haneul. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, takdir dunia ini dan takdirmu telah saling terkait sejak lama. Kau mungkin tidak tahu, tetapi darahmu mengalir dengan kekuatan yang langka. Kekuatan yang sangat berharga untuk dunia ini. Kekuatan yang dapat mengubah jalannya sejarah Arangyeon." Haneul merasa ada yang bergetar di dalam dirinya mendengar kata-kata itu. "Darahku?" ia bertanya, suara terkejutnya hampir tak terdengar. "Apa maksudmu dengan itu?" Elder Yoon menghela napas panjang, seolah-olah memikirkan bagaimana menjelaskan hal yang sangat rumit. "Kau adalah keturunan dari mereka yang dulu pernah memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan energi dunia ini. Kekuatan itu diwariskan turun-temurun, dan kau adalah penerus yang telah dipilih untuk menjalankan tugas ini. Aku tahu ini sulit dipercaya, tetapi kenyataannya adalah kau memiliki kemampuan untuk mengakses energi yang ada di dalam Menara Bintang." Haneul terdiam. Ia merasa seperti dunia seakan berputar di sekitarnya, dan setiap kata yang keluar dari mulut Elder Yoon semakin membingungkannya. "Aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua ini," kata Haneul dengan suara yang hampir tidak terdengar. Elder Yoon menepuk tangan Haneul dengan lembut. "Kau tidak perlu tahu segalanya saat ini, Haneul. Semua akan terungkap seiring waktu. Namun, satu hal yang perlu kau ingat adalah bahwa tidak ada jalan kembali. Dunia ini membutuhkanmu untuk bertindak. Tidak hanya untuk menyelamatkan Arangyeon, tetapi juga untuk menemukan bagian dari dirimu yang hilang—yang mungkin sudah lama tersembunyi dalam dirimu sendiri." Perkataan itu menggelegar di telinga Haneul. Ia merasa seolah-olah sedang diberi beban yang sangat besar untuk dipikul. Apa yang dimaksud dengan bagian dari dirinya yang hilang? Apa yang harus ia lakukan dengan kekuatan yang ada dalam dirinya? "Sekarang," kata Elder Yoon, suaranya lebih lembut namun tegas. "Kau perlu belajar untuk mengendalikan kekuatanmu. Jika kau bisa mengakses energi Menara Bintang, kau harus siap menghadapinya. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika kekuatan gelap itu semakin kuat. Tetapi satu hal yang pasti, kau tidak bisa menghadapinya sendirian." Mata Haneul berkedip. "Maksudmu aku tidak sendirian di sini?" Elder Yoon tersenyum bijaksana. "Tentu saja. Kau akan memiliki teman. Orang-orang yang akan membantumu, terutama Jaewon dan Mira. Mereka telah menunggumu untuk melangkah lebih jauh dalam perjalanan ini. Mereka tahu lebih banyak tentang dunia ini dan akan menjadi bagian penting dari misimu." Setelah berbicara panjang lebar, Elder Yoon berdiri, menggerakkan tangan dengan lembut. "Hari ini adalah awal dari perjalanan panjangmu, Haneul. Saat kau siap, aku akan membawamu ke tempat yang lebih jauh, tempat di mana kau akan belajar lebih banyak tentang kekuatanmu dan dunia ini. Tetapi ingatlah, setiap langkah yang kau ambil akan membawamu lebih dekat pada takdirmu. Jangan ragu untuk bertanya, dan percayalah pada diri sendiri. Dunia ini mungkin penuh misteri, tapi hanya kau yang bisa mengungkapnya." Haneul menatap wanita tua itu dengan campuran perasaan yang sulit diungkapkan—takut, bingung, dan sekaligus penasaran. Semua yang baru saja ia dengar terasa seperti sebuah mimpi yang begitu nyata, tetapi juga menakutkan. Ia tahu, meskipun ia tidak sepenuhnya siap, ia harus mengambil langkah pertama. Dunia ini sudah menantinya, dan takdirnya sudah tertulis.Bab 5: Gerbang KenyataanUdara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”“Gerbang?” Haneul mengerutkan ken
Perjalanan mereka semakin terasa menegangkan dan penuh tekanan seiring dengan berjalannya waktu yang terasa begitu lambat dan penuh misteri. Haneul, yang sebelumnya hanyalah seorang gadis sederhana dari desa kecil dengan kehidupan yang damai, kini dihadapkan pada kenyataan besar yang mengguncang dunia kecilnya. Ia tahu bahwa dirinya memegang peran penting dalam sebuah misi yang belum sepenuhnya ia pahami, sebuah tanggung jawab yang berat dan tidak bisa ia abaikan begitu saja. Perasaan aneh yang menyeruak di dalam dirinya setelah kejadian luar biasa di hutan terus menghantui benaknya. Cahaya terang yang tiba-tiba muncul dari tangannya, energi luar biasa yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya, kini menjadi tanda tanya besar yang membuatnya sulit tidur. Apa arti kekuatan itu? Mengapa kekuatan tersebut muncul dalam dirinya dan bukan orang lain? Dan, yang paling menakutkan, bagaimana ia bisa mengendalikannya saat menghadapi bahaya besar yang sudah menunggu di masa depan? Pertanyaan-pert
Bab 7: Cermin Masa LaluLangit Arangyeon berubah keabu-abuan ketika langkah-langkah mereka mendekati bagian terdalam dari Hutan Gaema. Kabut turun perlahan seperti tirai tipis, menyelimuti pepohonan yang menjulang tinggi dan meredam suara-suara alam. Cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan, menciptakan suasana suram namun memikat. Seo Haneul memeluk jubahnya erat-erat, mencoba mengusir dingin yang menembus kulitnya.“Ada sesuatu yang berbeda di sini,” gumam Mira, matanya tajam mengamati sekitar. Tangannya siaga di dekat kantung jimatnya, siap merapal mantra jika keadaan berubah.Jaewon melangkah pelan namun pasti di depan mereka, matanya tak pernah berhenti menyapu tanah dan pepohonan. “Energinya berubah. Ini bukan hanya hutan biasa. Kita sudah masuk ke dalam wilayah Cermin Masa.”Elder Yoon berjalan paling belakang, suaranya rendah namun menggema. “Cermin Masa adalah tempat yang tidak hanya mengungkap masa lalu... tapi juga luka terdalam dalam jiwa. Hanya mereka yang siap me
Bab 8: Jejak yang HilangMalam telah turun perlahan ketika mereka kembali dari Hutan Gaema, membawa keheningan yang tidak nyaman dan hawa dingin yang menusuk tulang. Langit Arangyeon berubah kelabu gelap, bertabur bintang yang tampak lebih muram dari biasanya—seakan ikut menanggung beban yang mulai menyelimuti hati Haneul. Angin malam berembus pelan, menyentuh kulit seperti bisikan rahasia yang menyuruhnya untuk bersiap menghadapi masa lalu.Di aula kayu milik Elder Yoon, lentera-lentera kecil menggantung di setiap sudut ruangan, memancarkan cahaya temaram yang menenangkan sekaligus membangun ketegangan. Aroma kayu bakar dan rempah-rempah memenuhi udara, tetapi tidak mampu menenangkan kegelisahan yang mencengkeram Haneul.Haneul duduk diam di sudut ruangan, kedua tangannya meremas lutut. Pandangannya kosong, pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang yang muncul dari Cermin Masa—terutama sosok berjubah hitam itu. Sosok yang mengucapkan namanya seolah mengenalnya. Seolah tahu setiap luka y
Bab 9: Menara yang RuntuhKabut pagi menyelimuti Arangyeon saat Haneul, Jaewon, dan Mira bersiap meninggalkan desa Elder Yoon. Angin yang menggigit mengiringi langkah mereka menuju utara—ke tanah terlarang di mana puing-puing masa lalu terkubur di bawah reruntuhan dan bayangan. Menara yang Runtuh berdiri jauh di tengah Dataran Kelabu, tempat yang konon tidak pernah dikunjungi siapa pun sejak tragedi dua puluh tahun lalu."Aku masih tidak percaya kita benar-benar akan ke sana," gumam Mira, menegakkan tudung jubahnya. "Banyak yang bilang, suara arwah masih terdengar dari balik dinding batu.""Jika ada sesuatu yang tersisa dari masa lalu, tempat itu pasti menyimpannya," sahut Jaewon, matanya lurus menatap jalan berbatu di depan. "Tapi jangan percaya semua legenda. Beberapa di antaranya... sengaja dibuat untuk menakut-nakuti."Haneul tak banyak bicara. Langkahnya mantap, meski pikirannya terus bergolak. Potongan-potongan kenangan samar mulai muncul dalam mimpi-mimpinya: suara perempuan yan
Bab 10: Darah dan WarisanKilatan cahaya menyambar langit saat tanah di bawah kaki mereka runtuh. Haneul, Jaewon, dan Mira terjatuh ke dalam kegelapan, tubuh mereka dihantam puing dan debu reruntuhan. Suara batu-batu besar bergemuruh di atas kepala, seakan Menara yang Runtuh benar-benar memutuskan untuk mengubur masa lalunya sekali lagi—bersama mereka.Cahaya biru lembut muncul dari gelang pelindung yang dikenakan Mira. Energi sihirnya membentuk perisai tipis yang melindungi mereka dari jatuhan batu terakhir sebelum akhirnya mereka mendarat keras di lantai batu yang dingin dan lembab. Aroma debu dan tanah tua menyengat hidung mereka, menyelimuti ruangan dengan rasa tak dikenal—antara sejarah dan kematian."Apa kalian—" suara Mira tersendat oleh batuk. "Apa kalian baik-baik saja?"Jaewon mengangguk, berdiri meski bahunya terluka. "Kita harus keluar sebelum semuanya benar-benar runtuh."Namun Haneul tidak menjawab. Ia berdiri terpaku di tengah lorong bawah tanah, matanya menatap dinding
Bab 11: Perjanjian Cahaya dan BayanganAngin malam menari lembut di antara reruntuhan Menara yang Runtuh, membawa aroma batu tua dan tanah basah yang baru saja tersentuh sihir kuno. Di dalam ruangan kristal yang tersembunyi jauh di bawah tanah, Haneul berdiri dalam keheningan, tubuhnya dikelilingi cahaya biru yang mengalir seperti riak air. Detik itu, ia bukan lagi seorang gadis biasa dari Seowon. Ia adalah titik temu antara dua dunia—kunci dari sejarah yang belum selesai ditulis.“Aku… keturunan dua dunia,” bisiknya. Suaranya terdengar jelas, meski hanya setinggi desahan napas. “Darah ibuku dari Arangyeon. Ayahku… dari Seowon. Aku bukan kesalahan. Aku adalah pertanyaan yang belum dijawab.”Kim Jaewon melangkah ke depan, matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam. “Haneul, kau baru saja membangkitkan kekuatan yang telah lama tersegel. Kekuatan seperti itu… tidak muncul tanpa konsekuensi.”“Lalu, apa artinya ini semua?” tanya Haneul, masih terpaku pada altar yang kini memantulkan cahay
Bab 12: Bayangan dari TimurLangit Arangyeon bergemuruh. Bukan karena badai petir biasa, tapi karena sesuatu yang jauh lebih purba—getaran dari dunia lain yang mulai merobek batas realitas. Di ufuk timur, awan bergulung hitam, sesekali menyala biru listrik. Gerbang Cahaya—yang selama seribu tahun tertutup rapat—mulai merekah.Seo Haneul berdiri di atas menara observatorium tua, matanya menatap langit yang berubah warna. Di sampingnya, Kim Jaewon bersandar pada pilar retak, sorot matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran.“Mereka datang,” gumam Jaewon.Haneul mengangguk perlahan. “Aku bisa merasakannya. Seperti gema dalam tubuhku. Seowon… menarikku kembali.”“Bukan hanya kamu,” sahut Jaewon. “Mereka menginginkan kekuatan Arangyeon. Dan mereka tahu satu-satunya cara masuk… adalah melalui darahmu.”Di bawah menara, pasukan penjaga Arangyeon bersiap. Panah sihir, pedang bayangan, dan mantra-mantra pelindung dilafalkan dengan cepat. Namun semua tahu, musuh yang mereka hadapi kali ini ber
Bab 35: Dua Takdir, Satu JiwaGelap. Hening. Tak ada suara selain detak jantung Seo Haneul yang bergema seperti gema di ruang hampa. Ia melayang di antara kehampaan—tidak ada tanah, tidak ada langit. Hanya kekosongan berwarna abu pekat yang bergerak perlahan, seperti napas dari dimensi yang belum lahir."Haneul..."Suara itu datang bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya sendiri. Sebuah suara yang penuh luka dan harapan yang nyaris punah. Haneul menoleh ke segala arah, dan dari kehampaan itu muncullah secercah cahaya—seperti denyut jantung yang baru saja hidup kembali.Cahaya itu membentuk siluet. Langkah demi langkah, Haneul mendekat, dan wajah itu menjadi jelas."Seo Hamin…" bisiknya.Namun Hamin yang berdiri di hadapannya bukanlah sosok penuh dendam yang barusan menancapkan Jantung Waktu di Kuil Cermin. Ini adalah Hamin yang dulu—matanya jernih, penuh rasa ingin tahu dan sedikit getir."Ap
Bab 34: Langkah di Tengah RetakanLangit Arangyeon tidak lagi biru. Sejak retakan muncul di atas reruntuhan Kuil Cermin, warna langit perlahan memudar menjadi abu-abu pucat, seakan dunia sendiri kehilangan denyut hidupnya. Retakan itu terus melebar, menganga seperti luka yang tidak bisa disembuhkan, menyedot cahaya, udara, bahkan suara. Di bawahnya, tanah bergetar dalam interval tidak teratur—kadang pelan, kadang seperti ada jantung raksasa yang berdetak dari kedalaman dunia.Seo Haneul berdiri di bibir jurang sihir, diiringi Jaewon dan Mira yang menatapnya dengan kegelisahan yang disembunyikan di balik jubah Vestra mereka. Angin membawa bau logam—bukan dari darah, tapi dari sesuatu yang lebih tua, lebih purba. Dari masa lalu yang bahkan tidak tercatat dalam gulungan tertua di Perpustakaan Langit.Di tengah pusaran kekacauan itu, berdirilah sosok yang dulu ia panggil “saudara”—Seo Hamin. Tapi sosok itu tak lagi sama
Bab 33: Di Ambang Cahaya dan KegelapanLangit Arangyeon terbelah oleh cahaya biru kelam, seperti bekas luka yang belum sempat dijahit. Cahaya itu bukan milik matahari atau bulan—itu adalah sinyal, bahwa keseimbangan antara dunia mulai tergeser. Retakan dimensi tumbuh, menjalar seperti akar gelap dari sesuatu yang lebih tua, lebih dalam… dan lebih berbahaya dari apa pun yang pernah dikenal dunia ini.Di dalam Kuil Pelindung Cahaya, Seo Haneul berdiri di depan altar utama. Ia mengenakan jubah perak Vestra, dihiasi lambang Phoenix membara di bagian dada—simbol harapan baru, namun beban di pundaknya lebih berat dari baju perang mana pun. Di tangannya, kristal resonansi yang baru ia aktifkan bergetar pelan, terhubung langsung ke energi Jantung Waktu.Suara langkah kaki bergema dari lorong. Mira muncul dengan rambut berantakan dan gulungan peta ley-line di tangannya.“Retakan di utara… mulai menyerap waktu,&rdquo
Bab 32: Warisan TersembunyiLangit Arangyeon perlahan kembali menampakkan bintang-bintangnya, namun tak ada yang benar-benar merasa damai. Setelah retakan Dimensi Ketiga ditutup sementara oleh kekuatan gabungan Haneul dan Vestra, seluruh penjuru dunia terasa menahan napas. Seolah alam pun tahu: ini hanya jeda, bukan akhir.Seo Hamin kini ditahan dalam lingkaran sihir Vestra yang menjaga keseimbangan antara dunia dan dimensi. Di dalam ruang bawah tanah Istana Bintang, tubuhnya terbaring lemah, namun pikirannya masih menyala—berperang dengan ingatan dan suara-suara dari Dimensi Ketiga yang masih menggerogotinya dalam diam.Haneul duduk di dekat jendela ruang observatorium, memandang jauh ke cakrawala. Tongkat Vestra kini bersandar di sisinya, tapi tidak menyala. Sejak pertarungan terakhir, kekuatan sihirnya terasa berubah… lebih berat, lebih dalam, seolah ada bagian dari Dimensi Ketiga yang kini hidup dalam dirinya.“Dia
Bab 31: Kebenaran yang MenyalaLangkah mereka bergema di lorong tak berujung Dimensi Ketiga. Haneul berjalan paling depan, tongkat sihir Vestra dalam genggamannya, menyala samar dalam kegelapan yang tidak wajar. Di belakangnya, Mira memeriksa jalur energi dengan kompas dimensi, dan Jaewon melindungi sisi mereka dengan pelindung sihir berbentuk kristal.Dimensi Ketiga bukan tempat yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Segala bentuk logika runtuh di sana. Langit tak punya warna, hanya retakan yang menyala seperti luka di ruang dan waktu. Tanah di bawah mereka hidup—berdenyut, bernafas, berbisik.“Tempat ini… seperti mimpi buruk yang dilukis oleh ingatan terluka,” gumam Mira, menatap dinding yang menampakkan kilasan kenangan mereka masing-masing—masa kecil, trauma, pengkhianatan.“Jangan menatap terlalu lama,” peringatan Haneul. “Dimensi ini memakan perasaan. Ia tumbuh dari rasa kehilangan.&r
Bab 30: Dunia yang TerpecahMatahari yang seharusnya terbit dengan lembut di Arangyeon kini terhijab oleh langit yang merah kelam, seperti darah yang menetes dari luka-luka dunia itu sendiri. Di tengah kegelapan yang menyelimuti, Haneul berdiri di depan gerbang Dimensi Ketiga, ditemani oleh Jaewon dan Mira. Mereka berhadapan dengan kekuatan yang tak terbayangkan, mengetahui bahwa mereka akan segera memasuki wilayah yang belum pernah mereka ketahui sebelumnya.Haneul menarik napas dalam-dalam. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dimensi Ketiga bukanlah tempat yang bisa kita kendalikan."Jaewon memandangnya dengan tatapan serius. "Kita tidak punya pilihan. Jika kita tidak melawan Hamin sekarang, dia akan membawa kita ke dalam kegelapan yang tak bisa kita hentikan."Mira mengangguk, matanya menunjukkan tekad yang sama. "Kami bersamamu, Haneul. Tidak ada yang akan kita biarkan tertinggal."Gerbang itu terbuka perlahan,
Bab 29: Dunia yang TerlupakanFajar baru saja menyingsing ketika Haneul, Jaewon, dan Mira berdiri di ambang pintu Istana Bintang, siap memulai perjalanan mereka menuju dunia yang belum pernah mereka temui sebelumnya—Oranyss. Langit Arangyeon yang biasanya cerah kini tampak gelap, seperti alam semesta pun menahan napas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan membawa mereka jauh ke dalam kegelapan, mungkin lebih dalam dari apa yang bisa mereka bayangkan."Semua sudah siap," Jaewon berkata, matanya berkilat dengan tekad. "Mira, peta yang kalian terjemahkan sudah kita pelajari dengan seksama. Ini adalah perjalanan yang berbahaya, tapi kita akan saling menjaga."Mira menatap mereka, sedikit ragu. "Aku tahu kita tidak punya pilihan. Tapi hati-hati. Dunia ini... ada sesuatu yang sangat berbeda di sana. Dan kita tidak tahu seberapa dalam kegelapan itu akan menarik kita."Haneul mengangguk, lalu menatap langit yang semakin memudar. "Kita tak bisa mundur. Apa yang kita hadapi sekarang lebih besar
Bab 6: Bayangan yang MenungguSuasana di sekitar gerbang terasa semakin tegang. Haneul berdiri di sana, tangan masih menyentuh pintu batu hitam yang dingin, matanya memandang ke dalam kegelapan yang terhampar di depan mereka. Suara bisikan yang menggetarkan hatinya terus mengiang di telinganya, namun ia tak bisa sepenuhnya memahami makna dari suara itu. Apa yang sebenarnya diminta? Apa yang harus ia lakukan?Jaewon berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama, seolah bisa merasakan kegelisahan yang melanda Haneul. “Haneul, kau bisa melakukannya,” kata Jaewon, suaranya rendah namun penuh keyakinan. “Ini bukan hanya tentang menyelamatkan Arangyeon. Ini juga tentang dirimu sendiri. Kamu telah dilahirkan untuk menghadapi ini.”Haneul menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Tapi aku tidak tahu apakah aku bisa. Apa yang akan terjadi jika aku salah?”Elder Yoon yang berdiri di belakang mereka tiba-tiba bersuara. “Tak ada yang tahu apa yang akan terj
Bab 5: Gerbang KenyataanUdara dingin yang menggigit menyelimuti tubuh Haneul saat ia dan kelompoknya melangkah lebih dalam ke dalam hutan yang gelap. Bayangan hitam yang sempat mengganggu pikiran mereka kini telah menghilang, namun rasa takut itu masih menggantung, menekan hati Haneul dengan berat.Jaewon berjalan di depan dengan sigap, pedang bercahaya di tangannya siap sedia. Wajahnya tegang, tetapi ia tidak berbicara. Mira mengikuti dengan langkah pelan, matanya terfokus pada setiap gerakan sekitar. Elder Yoon berjalan di belakang mereka, matanya terpejam seolah sedang mendengarkan suara alam yang tak terdengar oleh orang biasa.“Apa yang sebenarnya kita cari?” tanya Haneul akhirnya, suaranya hampir tertelan oleh angin yang menerpa wajahnya. “Aku masih belum mengerti apa yang terjadi.”Jaewon berhenti dan menoleh, matanya tajam namun lembut. “Kita mencari kunci untuk membuka gerbang yang terhalang. Gerbang yang akan mengungkap kebenaran tentangmu.”“Gerbang?” Haneul mengerutkan ke