PART_1 DENDAM WAGU
Sorot mata tajam, lelaki itu tidak lepas dari seorang bocah perempuan yang sedang mengumpulkan kayu bakar di hutan. Seakan sedang mengintai hewan buruan dan dia berjanji akan mencincang tubuh kecil itu dan membuangnya kejurang jika berhasil menangkapnya.
Ya. Kali ini tidak boleh lepas lagi.
Bocah kecil itu bermata coklat dengan rambut bergelombang tergerai di punggungnya, kumal, lusuh, kusam seperti itu gambarannya. Tidak ada yang menarik sama sekali jika dilihat.
Ada apa dengan bocah itu?
Kenapa Wagu begitu membencinya?
Wajah lusuh bocah itu mengingatkan laki-laki pada masa lalunya yang memalukan. Oleh karena itu Wagu ingin sekali melenyapkannya dari muka bumi ini.
Wagu laki-laki 40 tahun memiliki kisah cinta yang dramatis dengan Jadmini. Wanita yang begitu dicintainya bertahun-tahun dengan berani menolak lamarannya 15 tahun yang lalu. Bukan karena Jadmini tidak mencintai Wagu, hanya saja karena dia telah di jodohkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
Tragis.
Sialnya meskipun Jadmini dan suaminya sudah meninggal, Wagu tidak dapat melupakan penghinaan itu. Betapa tidak? Pamornya sebagai orang paling kaya di wilayah Burgundy tercoreng akibat ulah gadis miskin semacam Jadmini.
Dan lihatlah!
Meskipun mereka sudah tiada, tetap saja menyisakan lara dan dendam yang kian membara, hanya dengan melihat keturunan mereka masih menghirup udara di dunia ini.
Ya. Namanya Ambigu berumur 10 tahun dia adalah anak dari Jadmini dan Sukardi.
“Kenapa bencana itu tidak menelannya sekalian? Kenapa hanya Jadmini dan laki-laki sialan itu yang yang di panggil? Ataukah nasib sengaja mempermainkanku atas penghinaan itu?” gumam Wagu berang.
Tangan kekar berotot itu menghantam pohon di depannya dengan geram. Luka di tangannya tidak berasa apa-apa dibandingkan luka di hatinya.
Mungkin alam sempat sepakat dengan dirinya untuk melenyapkan Jadmini dan suaminya itu dengan merenggut nyawanya dalam bencana gempa bumi. Tapi mengapa masih membiarkan anaknya hidup?
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup!" gumam lelaki itu.
Dengan tubuh menunduk, Wagu mengendap-endap bergerak mendekat dengan langkah yang sangat hati-hati dan pelan hendak menangkap Ambigu, tapi sialnya gadis itu cukup siaga, karena melihat bayangan yang di timpa matahari di atas semak itu. Ilmu bela diri yang diwariskan sang kakek mengajarinya tanggap ketika musuh datang
Ambigu memelankan kegiatannya mengikat ranting kering yang berhasil ia kumpulkan, ekor matanya memicing tajam memperhatikan bayangan yang semakin mendekat itu. Kemudian tubuh kecil itu berputar 180 derajat dan ‘BRUUUGHHH!!!’ semua ranting kering yang sudah sempurna diikatnya, terlempar tepat mengenai tubuh Wagu. Kesempatan itu digunakan untuk berlari dan sembunyi di balik pohon besar.
Tapi sama saja itu tidak aman. Karena dengan mudah Wagu mengetahuinya.
“HA ... HA ... HA ...,” tawa itu menggelegar penuh ejekan. "Mau bersembunyi di mana kamu, bocah sialan?!" seru Wagu dengan lantang.
Ambigu bukan seorang pengecut. Dirinya memutuskan keluar dari pohon itu dan menghadapi Wagu. “Mau apa lagi kau Paman? Tidak bosan-bosannya menggangguku!” Ambigu keluar dari persembunyiannya dan memasang kuda-kuda siap melawan serangan Wagu. Tapi Wagu hanya terkekeh melihat reaksi Ambigu.
“Sekarang kau tidak bisa menghindar lagi, bocah buluk. Aku akan segera melemparnya ke neraka bersama Jadmini wanita sialan itu ha ha ha !” ucap Wagu begitu mengerikan.
“Jangan hina ibuku, Paman! Atau kau akan menyesal?!” bentak Ambigu tanpa takut.
“Kau bisa apa bocah ingusan?!”
"Bertarung dengan anak kecil? Jika Paman menang tidak akan terlihat hebat! Tapi jika Paman kalah itu sungguh memalukan!" Ambigu memancing supaya Wagu mendekatinya, ketika tubuh itu menunduk hendak menangkapnya segera Ambigu mengambil botol dari tas goninya. Membuka tutup botol itu dan menghamburkan isinya tepat di wajah Wagu.
“AAKHHH.....” teriaknya menahan panas di kedua matanya karena tidak sempat menghindar dari serangan Ambigu. Serbuk cabe itu dengan kurang ajarnya membakar kedua matanya. “Panas!!!” Laki-laki itu berlari dengan sempoyongan menuju sungai.
Mengetahui musuhnya lumpuh, Ambigu segera lari tunggang langgang meninggalkan hutan itu menuju gubuknya. Nafasnya tersengal saat sampai di gubug, Ambigu menutup pintu rapat-rapat. Bahkan Ambigu melupakan ranting-ranting yang seharusnya dia bawa pulang.
“Astaga, Mbigu! Kamu kenapa seperti di kejar setan saja?” tanya Lestari begitu penasaran melihat cucunya. Tubuh kecil itu basah bersimbah keringat. Nafasnya memburu.
“Bukan setan lagi, Nek, yang mengejar Mbigu! Tapi raja iblis itu yang selalu menggangguku!” ucap Ambigu kesal.
“Maksudmu siapa? Wagu mengganggumu lagi?” tanya lestari dengan dahi mengernyit, tubuh bungkuk itu mendekati sang cucu dan duduk di atas balai-balai.
“Siapa lagi kalau bukan dia, Nek?” Ambigu menuang isi kendi langsung kemulutnya dengan tidak sabar, rasa dahaga bahkan tidak mau ditunda barang sebentar, air kendi itu masuk ke mulut kecil bocah itu dan sebagian tumpah membasahi bajunya.
“Astaga minum hati-hati Mbi. Kamu itu perempuan, harus halus jangan kayak preman seperti itu!”
Ambigu menyeka mulut dengan punggung tangannya.
“Halus bagaimana maksud nenek ini? Situasi di kejar manusia setengah setan masa iya harus lembut!”
“Ya sudah, istirahat dulu. Tenangkan dirimu. Kamu sudah aman sekarang, Wagu tidak mungkin berani datang kesini.” Ucap Lestari menenangkan dan menepuk balai-balai itu, isyarat menyuruh Ambigu duduk di sampingnya.
Itu semua benar. Sejak peristiwa itu bahkan tidak sekalipun Wagu datang ke gubug itu. Wagu selalu menyerang Ambigu di luar rumah. Karena Wagu pernah bersumpah tidak akan mendatangi gubuk reyot itu atau kesialan akan bersamanya selamanya. Begitu kiranya bunyi sumpah Wagu, setelah lamaran itu di tolak Wasis ayah Jadmini. Bagaimana pun Wagu tidak akan menjilat ludahnya Sendiri.
“Tapi Nek, Mbigu nggak dapat kayu bakar jadinya,” ucap Ambigu sedih dan menyesal.
Dirinya duduk dibalai-balai dengan tatapan tertunduk.
“Nggak apa-apa, kayu nenek masih banyak,” jawab lestari menepuk punggung Ambigu menenangkan.
Lestari kadang heran kenapa cobaan bertubi-tubi datang. Setelah bencana yang merenggut anak dan menantunya, setahun kemudian suaminya pun meninggal. Wasis meninggal saat pembukaan lahan di Alas Liwung, meninggalnya begitu tidak wajar entah di jadikan tumbal apa bagaimanas? Sampai saat ini masih menjadi misteri. Sekarang hanya tinggal Ambigu dan dirinya di gubuk itu.
“Nek kabarnya Raja akan membangun gedung di hutan Pilaler,” ucap Ambigu memecah lamunan Lestari. Hutan Pilaler adalah hutan tempat Ambigu mencari kayu bakar.
“Ya biarlah, kita rakyat jelata diam saja, nggak usah ikut-ikutan.”
“Tapi aku mau ikut, Nek.”
“Astaga!! Kau mau mati sia-sia seperti kakekmu?!”
“Justru aku cucu Kakek sejati! Harus berjuang. Kabarnya kerajaan akan membangun gedung di hutan Pilaler, dan gedung itu nantinya banyak menyimpan rahasia kemakmuran kerajaan. Siapa pun boleh ikut dalam babat alas itu nek, dan kabar baiknya semua peserta yang ikut akan di beri pekerjaan jika gedung Biru sudah berdiri.” Ambigu menjelaskan panjang lebar untuk mencari simpati dari Lestari.
“Kamu itu masih kecil, umurmu saja 10 tahun. Apa yang bisa kamu lakukan? Apa kau tidak takut Wagu menyerangmu tiba-tiba?”
“Nenek ini, belum berjuang sudah mengaku kalah. Aku akan bawa serbuk cabe lebih banyak lagi nanti Nek!” ucap Ambigu tertawa.
“Tapi kalau kamu kenapa-kenapa nenek tidak punya siapa-siapa lagi, Mbi.” Lestari mengatakannya dengan begitu sedih sehingga gadis kecil itu memeluk tubuh renta neneknya.
BERSAMBUNG
PART_2 TAPA BRATAKabar pendirian gedung biru bukan isapan jempol belaka. Para punggawa, tokoh masyarakat dan sukarelawan rakyat ikut serta dalam prosesnya.Awalkisah pembangunan gedung biru dimulai dengan banyak ritual. Terutama pemindahan makhluk astral yang sudah menjadi penghuni tetap wilayah tersebut.Bukan perkara mudah.Mengingat daerah tersebut sebelumnya adalah hutan belantara yang tidak terjamah.Diperlukan keberanian yang tinggi untuk mengikutinya.Dewi Ambigu tentu saja tidak mau ketinggalan. Darah jelata yang mengalir ditubuhnya harus berubah menjadi darah biru itu ambisinya. Sejak kecil dirinya sudah lelah hidup susah, berharap nasib dapat segera berubah.Saat itu usianya masih 10 tahun. Neneknya sudah melarang tapi Ambigu adalah gadis keras kepala yang bermimpi besar menjadi penguasa.Ambigu memulai tapa brata di sisi sebelah tenggara hutan. Tempat yang diyakini paling angker. Buka
PART_3 DEWI SUARA“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar. Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkic
Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali. Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang. “Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru. “Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar. Lestari
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben
Ambigu segera memeluk neneknya ketika mendengar suara angin itu semakin gaduh. Bocah itu menutup matanya rapat-rapat sementara bibir mungilnya mengucapkan bermacam doa. Lestari juga heran dengan fenomena alam yang tiba-tiba itu. Wanita itu memeluk cucunya erat-erat. "Nenek Aku takut!" ucap Ambigu dengan bibir bergetar."Jangan takut, tidak akan ada apa-apa," sahut Lestari. BRUKKBRUKKBRUKKEntah apa saja yang tumbang bahkan Lestari tidak berani ke luar. Wanita itu terus memeluk cucunya hingga saat pintu depan yang semula terkunci tiba-tiba dihantam angin dan terbuka sendiri. Brakkk!! Papan pintu intu itu terlempar hingga membentur tiang tengah dari rumah itu. Bersamaan dengan terlemparnya sebuah benda di lantai itu. Ambigu semakin mengetatkan pelukannya takut jika rumah itu pun itu roboh. Namun secara perlahan, angin itu perlahan surut. Sedikit demi sedikit suara berisik dan gaduh itu memudar dan hingga hilang sama sekali bersama perginya serbuan angin itu. Ambigu masih memelu
Sesuai kesepakatan Ambigu akan menyerahkan keris itu pada Guntur. Ambigu mengambil keris itu dari kain mori penutupnya kemudian menelitinya. Tampak keris itu biasa saja kalau dilihat. Tetapi jika itu nanti akan membahayakan tentu dia harus segera menjauhkan dari hidupnya. "Mbigu, apa kamu yakin akan memberikan keris itu pada Guntur?" tanya Lestari menghampiri cucunya yang sedang duduk di atas balai-balai itu. "Iya, Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya!" jawab Ambigu kemudian. "Saran dari Nenek. Daripada kamu berikan pada Guntur mendingan kamu berikan pada Nyai Silanggeni. Beliau lebih mengerti cara mengurus keris itu!" tutur Lestari. Wanita tua itu tahu jika keris yang dimiliki cucunya itu bukan keris sembarangan. "Nggak Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya," tolak Ambigu seraya memasukkan keris itu kembali. Keris tanpa warangka entah warangkanya di mana. Ambigu juga tidak tahu. "Ya sudah terserah kamu saja," sahut Lestari. "Kata Kakek Wasis kita tidak b
Tangan kecil Wagu mengambil potongan singkong rebus yang sudah tersaji di depannya. Singkong itu masih sedikit panas sehingga dirinya perlu meniupnya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tawar berbeda dengan singkong rebus bikinan neneknya. Ambigu lebih suka singkong bikinan lestari karena sewaktu merebus ditambahkan garam dan daun salam, agar ada rasa dan beraroma wangi. Terkadang juga Ambigu memakannya dengan ikan asin. Ya apa pun itu pemberian mereka meskipun rasanya berbeda Ambigu tetap saja mengunyahnya. Satu potong singkong berhasil masih perut dalam beberapa kali gigitan. Ambigu kemudian menuang air dalam kendi ke dalam gelas yang ada di sana. Segar tenggorokannya dan terasa kenyang perutnya. "Jadi Paman mau minta tolong apa?" tanya Ambigu pada Guntur yang masih duduk di depannya. Mendengar pertanyaan Ambigu pria itu meletakkan rokoknya ke dalam asbak. "Jadi Paman mau minta tolong. Apa kamu sanggup?" tanya Guntur kemudian. "Katakan saja, Pamam! Jik