PART_3 DEWI SUARA
“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.
Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.
Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.
Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar. Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.
Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkicau bersahutan seolah menyambut kedatangan Ambigu.
Namun keindahan suasana alam itu tampaknya harus rusak, dengan munculnya seseorang dari arah belakang.
“Hei. Bocah!! Mau cari muka atau mau apa kamu? Hah!!” hardik Wagu memancing emosi Ambigu.Tangan kokohnya mendorong Ambigu, hingga tubuh kecil itu kecebur ke dalam sungai. Untung saja sungai itu tidak dalam. Hanya menenggelamkan kaki Ambigu sampai lutut.
Ambigu kaget seketika mendongak dan menghapus cipratan air di muka polosnya, memperhatikan laki-laki yang mungkin seumuran ayahnya jika masih hidup, “Maksud paman apa?” tanya Ambigu sama sekali tidak mengerti dengan perlakuan kasar Wagu.
“Kamu itu masih kecil, masih bau bawang! Jangan cari mati ikut-ikutan semedi. Lebih baik pulang sana menyusu lagi sama ibumu!!” seru laki-laki itu.
“Paman mau menghinaku?! Atau paman sudah pikun? Bukankah ibuku sudah meninggal? Bagaimana aku bisa menyusu?!” Mata ambigu membulat sempurna menatap tajam pria itu, ekspresinya menahan marah begitu kentara.
“Itu semua benar, Aku akan segera membuatmu menyusu di neraka, menyusul Jadmini wanita tidak berguna itu!" Wagu tersenyum menghina.
“Astaga!! Paman Wagu. Jangan sekali-kali menghina ibuku! Memang benar mulut itu jauh dari pantat. Kalau ngomong di jaga dong! Jangan asal ngejeplak saja!” tangan gadis kecil itu mengepal menahan emosi.
“Jangan belagu banyak cakap! Kamu sama saja dengan Kakekmu! Miskin tapi sombong!”
“Ada apa lagi dengan kakekku? Kenapa kau membawa-bawa namanya?” tanya Ambigu heran
“AH ... Sudahlah. Kalian itu kalau takdirnya miskin ya miskin saja. Nggak usah ikut-ikutan! Mending pergi ke depan kerajaan bawa gayung, siapa tahu ada yang berbelas kasihan memberimu koin,” ucap wagu sarkas.
“Suruh ngemis gitu maksud, Paman? Astaga! Ingat Paman. Keluargaku tidak serendah itu! Kami memang miskin tapi masih punya harga diri!!” Ambigu membenarkan tas Selempang berbahan goni itu yang kini sudah basah, jari kecilnya menyentuh benda keras di dalamnya. Ingin rasanya menggunakan benda itu untuk merobek mulut Sasongko. Tapi bukankah dirinya masih terlalu kecil untuk itu. Bagaimana jika dia kalah? Atau serbuk cabai perlu digunakan lagi?
Ambigu membatalkan niatnya.
Gadis bermanik hitam itu menghela nafas panjang, mengatur nafasnya supaya tidak marah. Mungkin saja orang di depannya ini adalah jelmaan makhluk astral yang sesungguhnya, dirinya kemudian bangkit karena rasa lapar mengingatkannya untuk segera pergi dari tempat itu.
Ambigu melewati jalan di depan Wagu tanpa permisi, dan mendorong tubuh laki-laki itu, hingga Wagu terpeleset dan jatuh.
“Mau ke mana kau, bocah! Dasar tidak tahu sopan santun!” Wagu memegangi pinggangnya yang terasa nyeri. Penyakit encoknya kumat seketika.
Ambigu tetap saja pergi, ilmu pengendalian diri yang di ajarkan kakeknya harus dia terapkan demi mimpi besarnya. Setelah dirasa jauh dari Wagu. Langkah tertatih Itu mencari apa pun di sekitarnya yang bisa di makan, sekedar mengganjal perut yang berbunyi semakin nyaring.
Apalagi yang bisa dia makan di hutan itu selain buah.
Maniknya bersinar ketika mendapati pohon apel dengan buah yang sangat banyak. Ambigu seperti kesetanan memakannya dengan rakus. Setelah kenyang tiba-tiba rasa kantuk datang melanda dan dirinya tertidur di bawah pohon itu.
Ambigu melihat sinar keemasan yang benar-benar bersinar. Sinar itu benar-benar berjalan dan terus berjalan. Ambigu mengikutinya hingga tanpa sadar berdiri di tepi jurang.
“AWAS!!”
Selangkah lagi Ambigu berjalan maka tubuhnya akan jatuh ke dasar jurang yang teramat curam.
Ambigu berhenti memandangi sekitar, sinar itu kemudian naik semakin tinggi dan semakin tinggi, membuat Ambigu mendongak semakin ke atas.
“Ambiguuu ... Guuuuu ... Guuuuu ....” suara itu menggaung begitu merdu menelisik telinga Ambigu.
Bibir Ambigu begitu kelu tanpa bisa berucap, dirinya begitu terbuai dengan suara itu.
Hingga dirinya merasa melayang dan terjatuh di dasar jurang itu.
“TIDAAAAAAAK .... !!!” teriaknya sekuat tenaga, kemudian mata itu terbuka sempurna. “Astaga hanya mimpi!” Ambigu mengusap keringatnya.
Mimpi itu seperti nyata menyisakan degup jantung yang bertalu-talu.
Apa benar itu Dewi suara seperti cerita yang pernah dia dengar dari kakeknya. Kakeknya pernah bilang siapa pun yang beruntung mendengarkan suara sang Dewi kelak hidupnya akan beruntung dan mewarisi kekuatan suaranya. Karena tidak sembarang Sang Dewi mengijinkan orang mendengar suaranya. Kecuali seorang yang suci dan mata batinnya sedikit terbuka. Hanya saja jika kelak menyalah gunakan kekuatan itu akan menjadi petaka bagi dirinya sendiri, ketika sang Dewi sudah murka.
Hutan ini cukup Rapat dengan pepohonan tinggi, Ambigu hampir tidak bisa mengira-ira jam berapa saat ini. Akhirnya dia bertekad menemu Kyai Nur BEI sebagai pemimpin rombongan tapa Brata.
Sulit sekali mencari jalan keluar, Ambigu hanya mengikuti bekas semak yang terinjak sebagai petunjuk jalan. Sampailah kaki kecil itu di pinggir hutan.
Ternyata rombongan sudah berkumpul, mungkin dirinya adalah peserta terakhir. Terlambat sedikit mungkin mereka sudah bubar. Pun tidak ada yang peduli dia ada atau mati di tengah hutan. Ambigu hanyalah gadis kecil dari kaum jelata yang tidak di perhitungkan.
Ambigu berdiri di barisan paling belakang, bahkan tubuh kecilnya tidak bisa melihat keberadaan kyai Nur BEI karena tertutup tubuh tegap para pria dewasa lainnya.
“Kalian boleh pulang, beristirahatlah! Besok pagi berkumpul kembali siapkan peralatan kita mulai proses babat alas,” ucap kyai Nur Bei membubarkan barisan.
BERSAMBUNG
Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali. Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang. “Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru. “Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar. Lestari
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
“Astaga Mas! Mengapa kamu bawa gembel ini ke sini?” tanya Wigati sambil mengibas-ibaskan tangannya. Sepertinya wanita itu terlalu jijik melihat Ambigu berada di rumahnya.Namanya Wigati Suparmini dia adalah istri dari Wagu.Setelah dicampakkan Jadmini. Tentu saja jiwa laki-laki Wagu meronta. Demi membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari kisah cintanya bersama Jadmini. Satu-satunya cara, dia harus menikahi gadis lain.Wigati menjadi wanita pilihannya, meskipun cinta tidak tumbuh sedikit pun. Wagu tetap melepas masa lajangnya dan menikahi Wigati, dengan begitu dia bisa mengangkat kepala di depan orang-orang yang berhasil mempermalukannya.Wigati Suparmini seorang putri dari tuan tanah di wilayah Burgundi. Tentu saja dia tidak menutup mata dan telinga dengan kisah cinta tragis suaminya di masa lalu. Terlihat dia hanya di gunakan sebagai tumbal dalam masalah ini. Hanya sebagai topeng demi menutupi rasa sakit hati Wagu.Namun dia tidak menjal
Ambigu berlari sekuat tenaga dengan nafas memburu meninggalkan kediaman Wagu. Entah dibawa ke mana tubuh kecil itu dia tidak tahu lagi. Intinya pergi sejauh-jauhnya sehingga Wagu tidak menemukannya.Hati bocah itu teramat takut, bukan takut pada malam, bukan takut pada gelap, hanya saja dia takut Wagu menyadari kepergiannya dan mengejar. Jika sampai tertangkap tentu saja kali ini tamatlah riwayatnya. Laki-laki kejam itu pasti akan mengantar nyawanya menyusul kedua orang tuanya.Sesekali Ambigu tersandung dan jatuh, tapi dia tetap kembali berdiri dan terus berlari.Hingga, Kaki bocah itu berasa letih, degup jantungnya masih saja memburu. Ambigu menghentikan langkahnya. Gadis itu mengusap dadanya berulang kali bersama nafas yang terengah-engah.Kemudian dia mencari tempat untuk beristirahat. Bahkan dirinya baru menyadari jika tubuh itu sudah berada di tepi hutan Liliwung.Ambigu duduk menyandarkan diri di sebuah pohon besar.“Makanlah in
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben
Ambigu segera memeluk neneknya ketika mendengar suara angin itu semakin gaduh. Bocah itu menutup matanya rapat-rapat sementara bibir mungilnya mengucapkan bermacam doa. Lestari juga heran dengan fenomena alam yang tiba-tiba itu. Wanita itu memeluk cucunya erat-erat. "Nenek Aku takut!" ucap Ambigu dengan bibir bergetar."Jangan takut, tidak akan ada apa-apa," sahut Lestari. BRUKKBRUKKBRUKKEntah apa saja yang tumbang bahkan Lestari tidak berani ke luar. Wanita itu terus memeluk cucunya hingga saat pintu depan yang semula terkunci tiba-tiba dihantam angin dan terbuka sendiri. Brakkk!! Papan pintu intu itu terlempar hingga membentur tiang tengah dari rumah itu. Bersamaan dengan terlemparnya sebuah benda di lantai itu. Ambigu semakin mengetatkan pelukannya takut jika rumah itu pun itu roboh. Namun secara perlahan, angin itu perlahan surut. Sedikit demi sedikit suara berisik dan gaduh itu memudar dan hingga hilang sama sekali bersama perginya serbuan angin itu. Ambigu masih memelu
Sesuai kesepakatan Ambigu akan menyerahkan keris itu pada Guntur. Ambigu mengambil keris itu dari kain mori penutupnya kemudian menelitinya. Tampak keris itu biasa saja kalau dilihat. Tetapi jika itu nanti akan membahayakan tentu dia harus segera menjauhkan dari hidupnya. "Mbigu, apa kamu yakin akan memberikan keris itu pada Guntur?" tanya Lestari menghampiri cucunya yang sedang duduk di atas balai-balai itu. "Iya, Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya!" jawab Ambigu kemudian. "Saran dari Nenek. Daripada kamu berikan pada Guntur mendingan kamu berikan pada Nyai Silanggeni. Beliau lebih mengerti cara mengurus keris itu!" tutur Lestari. Wanita tua itu tahu jika keris yang dimiliki cucunya itu bukan keris sembarangan. "Nggak Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya," tolak Ambigu seraya memasukkan keris itu kembali. Keris tanpa warangka entah warangkanya di mana. Ambigu juga tidak tahu. "Ya sudah terserah kamu saja," sahut Lestari. "Kata Kakek Wasis kita tidak b
Tangan kecil Wagu mengambil potongan singkong rebus yang sudah tersaji di depannya. Singkong itu masih sedikit panas sehingga dirinya perlu meniupnya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tawar berbeda dengan singkong rebus bikinan neneknya. Ambigu lebih suka singkong bikinan lestari karena sewaktu merebus ditambahkan garam dan daun salam, agar ada rasa dan beraroma wangi. Terkadang juga Ambigu memakannya dengan ikan asin. Ya apa pun itu pemberian mereka meskipun rasanya berbeda Ambigu tetap saja mengunyahnya. Satu potong singkong berhasil masih perut dalam beberapa kali gigitan. Ambigu kemudian menuang air dalam kendi ke dalam gelas yang ada di sana. Segar tenggorokannya dan terasa kenyang perutnya. "Jadi Paman mau minta tolong apa?" tanya Ambigu pada Guntur yang masih duduk di depannya. Mendengar pertanyaan Ambigu pria itu meletakkan rokoknya ke dalam asbak. "Jadi Paman mau minta tolong. Apa kamu sanggup?" tanya Guntur kemudian. "Katakan saja, Pamam! Jik