Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali.
Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang.
“Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru.
“Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar.
Lestari langsung masuk ke dalam, mengulurkan air putih hangat untuk cucunya.
“Minum dulu, nenek siapkan makanan mu!”
Lestari kemudian kembali ke dapur untuk membawa bakul berisi nasi dan ikan asin bakar sebagai lauknya.
“Makanlah, Mbi! Jangan memaksakan diri. Tidak perlu susah payah ikut-ikutan mereka. Bagaimanapun kita itu debu, Mbi. Sekuat apa pun kamu berjuang hanya di anggap upil. Akhirnya nanti tidak ada yang menghargainya, percayalah sama Nenek!” ucap Lestari menasehati cucunya.
“Tapi kata kakek berbeda, kita jangan mau direndahkan. Harta dan tahta bukan alasan untuk membedakan. Kita punya harga diri, Nek dan Tidak perlu risau karena kekurangan harta,” sangkal Ambigu sembari menyuapkan makanan itu.
Nasi dingin dan agak keras itu di telannya susah payah mungkin neneknya sudah memasaknya dari subuh, dan ikan asin itu terasa begitu pahit. Mungkin penglihatan Lestari yang mulai kabur sehingga hasil bakarannya gosong semua. Tapi apa pun itu Ambigu tetap menyuapkan ke mulutnya. Tanpa peduli enak atau tidak, yang terpenting bisa menolong perutnya dari rasa lapar.
“Jangan keras kepala Mbi, bisa mati konyol seperti kakekmu nanti,” ucap Lestari menasehati. Mengingat begitu besar perjuangan Wasis yang tidak mendapat penghargaan apa pun dari kerajaan hanya karena mereka miskin.
“Kakek tidak mati sia-sia, dia tetap pahlawan, Mbigu!”
“Astaga!! Kapan kamu nurut sama nenek, Mbi. Dengerin nanti kalau kita sudah mati bahkan di Nirwana tidak ada yang membedakan kita. Tidak peduli harta dan jabatan lagi!”
“Kita hidup sekarang, Nek! Masalah nirwana kita pikir nanti!”
Astaga!
Keesokan harinya Ambigu nekat berangkat lagi ke hutan belantara. Akan tetapi sayang tidak punya alat apa pun untuk di bawa, saat pergi. Sepertinya lestari menyembunyikannya semua benda tajam. Hanya agar ambigu mengurungkan niatnya.
Bukan Ambigu namanya. Jika dirinya menyerah. Dia pun tetap berangkat dengan membawa tas kemarin. Kali ini dirinya mengisi dengan botol minum dan keris yang ia temukan di hutan kemarin.
Semua sudah berkumpul di Medan, ada yang membawa golok , kapak, pedang dan sejenisnya.
“BOCAH!! Punya nyali juga kamu kesini?!” hardik Wagu dengan tersenyum meremehkan. Mendorong tubuh kecil Ambigu hingga Terjerembap ke tanah. Tangan kecil itu membersihkan lututnya, ada sedikit lecet di sana.
“Jangan, cari perkara Paman, tidak ada salahnya jika aku berusaha!” ucapnya menatap badan tinggi besar itu dan segera bangkit.
Wagu tertawa, “Apa yang bisa kau lakukan dengan tubuh kecilmu, lihat saja jika badai datang tubuhmu pasti sudah terhempas ke neraka, menyusul Jadmini. Ha ... Ha ... Ha ....”
Ambigu kesal, tapi seperti kata kakeknya berdebat dengan orang yang tidak punya hati itu akan menjadi percuma. Seperti lingkaran setan yang terus berputar tanpa tahu ujung pangkalnya.
Bocah itu berniat kabur dari hadapan Wagu. Tetapi tertahan ketika tangan besar itu mencekal lengannya. Dan wajah penuh amarah itu mendekat tepat di wajah Ambigu. “Jangan keras kepala, cepat pergi dari sini!” serunya.
“Kita semua berhak di sini, kita sama-sama rakyat di kerajaan Burgundy, bahkan para punggawa saja mengizinkan, apa hak Paman melarangku?!” Ambigu tak kalah tajam menatap mata pria itu meskipun sedikit meringis menahan sakit karena cekalan dilengannya begitu kuat.
Wagu melepaskan cekalan lengan Ambigu tepat ketika, Kyai Nur BEI pemimpin rombongan babat alas sudah tiba.
Pria tua itu tampak berwibawa dan penuh karisma.
“Kita tidak mungkin menyelesaikan pekerjaan ini hanya dengan mengandalkan tenaga manusia, siapa pun yang bisa menumbangkan pepohonan ini akan aku hadiahkan 100 koin emas dan 100 ekor domba.” Ucapnya lantang membuka acara.
Astaga!!
Semua yang mendengarkan terenyak. Satu koin emas itu setara dengan seribu koin perak. Jadi pemenang sayembara akan membawa pulang seratus ribu koin perak.
Para punggawa satu persatu turun ke Medan menawarkan diri untuk terlibat dalam sayembara. Sudah ada sembilan bakal calon kandidat yang ikut sayembara yang di selenggarakan kyai Nur Bei. Tentu saja mereka tergiur hadiah yang begitu besar. Mengingat penghidupan mereka yang teramat sulit.
“Baiklah, sudah ada sembilan peserta yang mendaftar, kita tunggu seorang peserta lagi, jika sudah genap 10 orang kompetisi kita mulai. Jika hari ini semua pohon berhasil kita tebang, dengan segera kita bisa memnyiapkan lahan, dan mendirikan gedung biru!” Ucap kyai Nur Bei menjelaskan.
Para warga saling berpandangan, mereka ingin ikut sayembara tapi tentu saja ragu dengan kemampuannya. Tampak Ambigu berdiri di samping Wagu dengan mata menyipit. Pasalnya sinar matahari begitu terik dan tepat menyorot wajah lugunya, wajah Ambigu begitu kusut dengan lingkaran hitam di kelopak matanya, pertanda anak itu kurang tidur.
“Jika aku memenangkan sayembara ini, nenek tentu bangga. Kakek pasti tersenyum di alam kuburnya. Tapi bagaimana mungkin! Sedangkan kakek saja tidak pernah mengajari apapun tentang ini.
"Kakek payah harusnya jangan buru-buru meninggal dulu sebelum meninggal mewariskan seluruh ilmunya.” Batinnya kesal. Ambigu masih ingat, Wasis pernah berpesan jika suatu hari nanti jika dirinya sudah cukup umur. Wasis akan memberitahu sesuatu. Tapi itu tidak mungkin terjadi. Wasis meninggal ketika Ambigu berusia sepuluh tahun.
“Jangan menunda waktu! Satu peserta lagi silakan maju ke depan,” ucap Kyai Nur BEI.
“Dia peserta ke sepuluh, Tuan!” seru Wagu seraya mendorong tubuh Ambigu hingga dirinya jatuh tersungkur di tengah lingkaran besar itu.
Ambigu tidak menyangka Wagu sekejam itu pada dirinya.
BERSAMBUNG
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
“Astaga Mas! Mengapa kamu bawa gembel ini ke sini?” tanya Wigati sambil mengibas-ibaskan tangannya. Sepertinya wanita itu terlalu jijik melihat Ambigu berada di rumahnya.Namanya Wigati Suparmini dia adalah istri dari Wagu.Setelah dicampakkan Jadmini. Tentu saja jiwa laki-laki Wagu meronta. Demi membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari kisah cintanya bersama Jadmini. Satu-satunya cara, dia harus menikahi gadis lain.Wigati menjadi wanita pilihannya, meskipun cinta tidak tumbuh sedikit pun. Wagu tetap melepas masa lajangnya dan menikahi Wigati, dengan begitu dia bisa mengangkat kepala di depan orang-orang yang berhasil mempermalukannya.Wigati Suparmini seorang putri dari tuan tanah di wilayah Burgundi. Tentu saja dia tidak menutup mata dan telinga dengan kisah cinta tragis suaminya di masa lalu. Terlihat dia hanya di gunakan sebagai tumbal dalam masalah ini. Hanya sebagai topeng demi menutupi rasa sakit hati Wagu.Namun dia tidak menjal
Ambigu berlari sekuat tenaga dengan nafas memburu meninggalkan kediaman Wagu. Entah dibawa ke mana tubuh kecil itu dia tidak tahu lagi. Intinya pergi sejauh-jauhnya sehingga Wagu tidak menemukannya.Hati bocah itu teramat takut, bukan takut pada malam, bukan takut pada gelap, hanya saja dia takut Wagu menyadari kepergiannya dan mengejar. Jika sampai tertangkap tentu saja kali ini tamatlah riwayatnya. Laki-laki kejam itu pasti akan mengantar nyawanya menyusul kedua orang tuanya.Sesekali Ambigu tersandung dan jatuh, tapi dia tetap kembali berdiri dan terus berlari.Hingga, Kaki bocah itu berasa letih, degup jantungnya masih saja memburu. Ambigu menghentikan langkahnya. Gadis itu mengusap dadanya berulang kali bersama nafas yang terengah-engah.Kemudian dia mencari tempat untuk beristirahat. Bahkan dirinya baru menyadari jika tubuh itu sudah berada di tepi hutan Liliwung.Ambigu duduk menyandarkan diri di sebuah pohon besar.“Makanlah in
Kedatangan Ambigu dan Lestari, disambut punggawa istana dengan baik. Mereka juga menerima alasan Lestari menolak Hadiah dimba sebanyak itu. Jadi lestari hanya minta sepuluh ekor domba saja. Sisanya Lestari meminta pihak istana untuk merenovasi gubugnya dan membuatkan kandang untuk ke sepuluh kambing itu. Mengingat jasa Ambigu begitu besar dalam babat alas Liliwung akhirnya pihak kerajaan mengabulkan permintaan lestari. Renovasi gubug dan membuat kandang itu permintaan yang sederhana."Nek, Lihatlah domba milik Ambigu, begitu sehat. Ambigu akan semangat mencari rumput untuk mereka. Mereka akan gemuk-gemuk, Nek!" ucap Ambigu penuh semangat. Lestari tersenyum memandang tingkah polos cucunya. Memandang senyum yang terbit dibibir kecil itu. "Gedung Biru, sudah mukai dibangun, Mbi! Apa kamu tidak ingin melihatnya?" tanya Lestari mengingatkan cucu kecilnya itu tentang mimpi yang lain. Iya. Ambigu mempunyai mimpi besar untuk dapat b
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben
Ambigu segera memeluk neneknya ketika mendengar suara angin itu semakin gaduh. Bocah itu menutup matanya rapat-rapat sementara bibir mungilnya mengucapkan bermacam doa. Lestari juga heran dengan fenomena alam yang tiba-tiba itu. Wanita itu memeluk cucunya erat-erat. "Nenek Aku takut!" ucap Ambigu dengan bibir bergetar."Jangan takut, tidak akan ada apa-apa," sahut Lestari. BRUKKBRUKKBRUKKEntah apa saja yang tumbang bahkan Lestari tidak berani ke luar. Wanita itu terus memeluk cucunya hingga saat pintu depan yang semula terkunci tiba-tiba dihantam angin dan terbuka sendiri. Brakkk!! Papan pintu intu itu terlempar hingga membentur tiang tengah dari rumah itu. Bersamaan dengan terlemparnya sebuah benda di lantai itu. Ambigu semakin mengetatkan pelukannya takut jika rumah itu pun itu roboh. Namun secara perlahan, angin itu perlahan surut. Sedikit demi sedikit suara berisik dan gaduh itu memudar dan hingga hilang sama sekali bersama perginya serbuan angin itu. Ambigu masih memelu
Sesuai kesepakatan Ambigu akan menyerahkan keris itu pada Guntur. Ambigu mengambil keris itu dari kain mori penutupnya kemudian menelitinya. Tampak keris itu biasa saja kalau dilihat. Tetapi jika itu nanti akan membahayakan tentu dia harus segera menjauhkan dari hidupnya. "Mbigu, apa kamu yakin akan memberikan keris itu pada Guntur?" tanya Lestari menghampiri cucunya yang sedang duduk di atas balai-balai itu. "Iya, Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya!" jawab Ambigu kemudian. "Saran dari Nenek. Daripada kamu berikan pada Guntur mendingan kamu berikan pada Nyai Silanggeni. Beliau lebih mengerti cara mengurus keris itu!" tutur Lestari. Wanita tua itu tahu jika keris yang dimiliki cucunya itu bukan keris sembarangan. "Nggak Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya," tolak Ambigu seraya memasukkan keris itu kembali. Keris tanpa warangka entah warangkanya di mana. Ambigu juga tidak tahu. "Ya sudah terserah kamu saja," sahut Lestari. "Kata Kakek Wasis kita tidak b
Tangan kecil Wagu mengambil potongan singkong rebus yang sudah tersaji di depannya. Singkong itu masih sedikit panas sehingga dirinya perlu meniupnya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tawar berbeda dengan singkong rebus bikinan neneknya. Ambigu lebih suka singkong bikinan lestari karena sewaktu merebus ditambahkan garam dan daun salam, agar ada rasa dan beraroma wangi. Terkadang juga Ambigu memakannya dengan ikan asin. Ya apa pun itu pemberian mereka meskipun rasanya berbeda Ambigu tetap saja mengunyahnya. Satu potong singkong berhasil masih perut dalam beberapa kali gigitan. Ambigu kemudian menuang air dalam kendi ke dalam gelas yang ada di sana. Segar tenggorokannya dan terasa kenyang perutnya. "Jadi Paman mau minta tolong apa?" tanya Ambigu pada Guntur yang masih duduk di depannya. Mendengar pertanyaan Ambigu pria itu meletakkan rokoknya ke dalam asbak. "Jadi Paman mau minta tolong. Apa kamu sanggup?" tanya Guntur kemudian. "Katakan saja, Pamam! Jik