PART_2 TAPA BRATA
Kabar pendirian gedung biru bukan isapan jempol belaka. Para punggawa, tokoh masyarakat dan sukarelawan rakyat ikut serta dalam prosesnya.
Awal kisah pembangunan gedung biru dimulai dengan banyak ritual. Terutama pemindahan makhluk astral yang sudah menjadi penghuni tetap wilayah tersebut.
Bukan perkara mudah.
Mengingat daerah tersebut sebelumnya adalah hutan belantara yang tidak terjamah.
Diperlukan keberanian yang tinggi untuk mengikutinya.
Dewi Ambigu tentu saja tidak mau ketinggalan. Darah jelata yang mengalir ditubuhnya harus berubah menjadi darah biru itu ambisinya. Sejak kecil dirinya sudah lelah hidup susah, berharap nasib dapat segera berubah.
Saat itu usianya masih 10 tahun. Neneknya sudah melarang tapi Ambigu adalah gadis keras kepala yang bermimpi besar menjadi penguasa.
Ambigu memulai tapa brata di sisi sebelah tenggara hutan. Tempat yang diyakini paling angker. Bukan saja makhluk gaib penghuninya akan tetapi binatang buas juga berada di sana. Perjuanan ini cukup berat dan nyawa adalah taruhannya.
Tubuh kecil itu duduk bersila diatas batu besar, telapak tangannya menangkup. Tubuhnya tegak lurus membentuk sudut 90 derajat, kedua mata terpejam rapat. Batinnya mengucapkan mantra suci yang pernah di ajarkan mendiang kakeknya.
Kakeknya adalah seorang ksatria tersohor pada masanya, tetapi karena ketidak adilan akhirnya tewas secara tidak hormat.
Setelah beberapa saat gadis kecil itu berhasil berkonsentrasi dengan baik. Jiwa ambigu mampu menembus dimensi lain. Angin berhembus begitu kencang, mengibarkan rambut panjang terurainya.
Kondisi hutan gelap gulita yang terdengar hanya ranting-ranting yang saling bergesekan diterpa pusaran angin. Angin bergulung-gulung membawa kereta kencana dengan kuda putih bermahkota. Kereta itu tampak bersinar menyilaukan.
Tampak sosok lelaki tua terlihat seperti dalam kaca transparan, duduk tersenyum di atas kereta yang melayang-layang di udara.
Lebih tepatnya seorang kakek berjubah putih, serasi dengan surban dan jenggot panjangnya. Kakek itu sudah sangat tua menurut Ambigu, lebih tua dari semua kakek yang pernah ia temui.
Anehnya kulit tubuh yang tidak tertutup kain tampak transparan sehingga kelihatan seluruh organ dalamnya. Siapakah dirinya?
Percakapan batin pun terjadi di antara mereka.
“Hai anak kecil, untuk apa kamu bersusah payah tapa Brata di hutan belantara ini! Sebutkan keinginanmu, pasti aku kabulkan.” sesaat tempat itu berkabut tebal. Angin bertambah kencang dan beberapa pohon roboh. Auman hewan liar mulai bersahutan kondisi begitu mencekam.
Tubuh Ambigu terangkat ke atas dan melayang-layang di udara. Sejajar dengan kereta kencana itu. Ambigu tampak terus berkonsentrasi dalam tapa bratanya. Meskipun gangguan datang silih berganti.
Mereka datang dalam berbagai rupa ada yang wajahnya sama persis seperti wajahnya sendiri dan mengaku jika dia adalah saudara Ambigu dan hendak ikut ke mana pun Ambigu pergi.
Ada beberapa sosok yang menyeramkan yang hendak menyeret Ambigu pergi ikut dengannya. Bahkan makhluk-makhluk itu saling menarik tubuh Ambigu. Seolah dia adalah sebuah barang yang harus diperebutkannya.
Banyak makhluk bertubuh pendek kecil dengan wajah mengerikan yang seakan mengajaknya bercanda.
Tapi itu semua tidak dihiraukannya. Fokus Ambigu ada pada Kakek Tua di atas kereta yang melayang-layang di udara tersebut.
“Tuan, siapa pun dirimu terimalah salam hormat dariku. Namaku Ambigu, perwakilan manusia yang menghendaki izin menggunakan hutan ini, demi kepentingan bangsa kami.”
“Apa yang kau tawarkan jika aku mengizinkannya? Wahai anak kecil?”
“Yang aku tawarkan adalah kedamaian, Tuan. Kami pastikan bangsa kami tidak mengusik dan mengganggu. Kita bisa bersama berdampingan dalam dimensi yang berbeda.”
Tiba-tiba gulungan angin itu bertambah kencang dan membawa kereta itu menjauh dan kemudian menghilang ditelan kegelapan. Ambigu terus merapalkan mantra.
Ambigu berpikir. Mungkin saja dia tidak terima dengan penawaran yang Ambigu berikan.
Karena biasanya mereka akan meminta tumbal.
Tidak! Ambigu kembali teringat kakeknya, yang kabarnya dijadikan tumbal pembukaan hutan beberapa tahun silam.
Itu tidak boleh terjadi. Ambigu tidak boleh mengorbankan siapa pun demi berdirinya gedung biru. Pikirannya saat ini masih jernih.
“Ambigu!!! Dengarkan aku baik-baik .... ” suara itu menggema di udara. Sesaat telinga Ambigu berdenging mendengarnya. Hanya suara saja tanpa rupa dan wujud apa pun.
“Siapa pun, Tuan. Katakan apa pun yang akan Tuan katakan, aku Ambigu siap mendengar.”
“Aku tidak butuh apa pun, aku hanya akan ikut ke mana pun engkau pergi, sudilah kiranya aku bersamamu, bocah cilik!"
“MAAF TUAN! Aku masih kecil sama sekali belum dewasa. Usiaku baru 10 tahun. Jika Tuan ikut saya, bagaimana saya bisa menghidupi, Tuan? Bahkan untuk menghidupi diri saya sendiri tidak bisa!” jawab Ambigu bingung.
“Kamu tidak perlu memberi aku apa pun. Aku bisa menghidupi diri ku sendiri. Aku hanya perlu ikut bersamamu!"
“Baiklah Tuan?Aku tidak keberatan, asal jangan merepotkan dan jangan meminta apapun dariku dan jangan mengganggu kehidupanku selanjutnya!”
Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, gulungan angin itu berubah warna menjadi mendung pekat dan menjatuhkan air begitu lebatnya.
Ambigu masih bertahan dalam semedinya. Meskipun guyuran air menyerbu tanpa ampun yang membuatnya basah kuyup. Tubuh kecil itu kemudian menggigil, bibirnya membiru, kulitnya memucat dan Ambigu terjatuh tidak sadarkan diri diantara semak belukar. Dalam tubuh yang tidak sadar itu tampak dilapisi sinar berwarna merah menyala.
Semua makhluk astral membubarkan diri dan terpaksa pergi karena dari tubuh Ambigu mengeluarkan hawa panas yang bisa membakar mereka jika mendekat.
Sinar matahari mengintip di sela-sela pohon Pinus. Titik-titik embun berjatuhan di terpa semilir angin.
Susah payah Ambigu membuka kelopak matanya yang terasa lengket dan berat. Kepalanya sedikit pusing.
Setelah berhasil terbuka sempurna, sinar matahari dengan lancangnya membuat pandangannya silau. Beberapa tubuhnya terasa perih dan tampak terluka akibat goresan belukar.
“Astaga, sudah siang. Aku ketiduran apa bagaimana ini?” gumam Ambigu bingung. Pusing dan pening itu yang dirasakannya.
“Apakah semediku gagal? Ini tidak boleh terjadi!” Ambigu bangkit dalam tubuh yang sangat lemas. Mengingat sebelum tapa Brata dirinya puasa mutih selama tujuh hari tujuh malam dan sampai detik ini belum berbuka puasa sama sekali.
Setelah ini seharusnya dia boleh makan dan minum. Tetapi apa yang bisa dimakannya di hutan belantara seperti ini? Ambigu memegangi kepalanya yang bertambah berat.
“Kuat, harus kuat! Ucapnya menyemangati dirinya sendiri.” Ambigu merangkak berniat hendak mencari sumber air terdekat, setelah itu akan mencari anggota tapa brata lainnya yang menyebar seluruh hutan.
Ketika tubuh itu beringsut, tepat di depannya ada sebuah benda yang bersinar berkilau-kilau ditempa sinar mentari. Tangan Ambigu gsmetar mulai terulur mengambilnya.
Sebuah keris.
Iya sebuah keris berwarna coklat keemasan dengan gagang berwujud naga.
“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gumam Ambigu tidak mengerti.
*BERSAMBUNG*
PART_3 DEWI SUARA“Astaga?! Apa maksud semua ini?” gadis kecil itu bingung, tangannya gemetar memegang benda tersebut. Tanpa berpikir panjang Ambigu menyimpannya dalam tas kain yang ia bawa dari rumah. Barangkali saja nanti dia membutuhkan benda itu.Ambigu mencoba berdiri, dengan jalan terhuyung-huyung menuju sungai di tepi hutan itu. Kering sekali tenggorokannya, dahaga sudah melanda. Anak itu butuh minum, bukan itu saja dirinya pun sudah mulai kelaparan.Beberapa kali terjatuh tersandung belukar, Ambigu tetap bangkit. Hingga akhirnya gemericik suara aliran sungai terdengar. Ambigupun lega.Bocah kecil itu segera meminum air dengan kedua tangannya kecilnya sepuas-puasnya, tak lupa membasuh wajahnya yang terlihat kuyu dan pucat. Ambigu duduk di tepi sungai dalam keadaan yang lebih segar. Kakinya bermain-main dengan air sungai tersebut.Sungai itu airnya begitu bening dan batu-batu di dalamnya terlihat. Tampak burung-burung berkic
Lestari menyambut kedatangan, Ambigu. Wanita tua berkulit kusam keriput, dengan rambut putih digelung itu tampak begitu khawatir, melihat tubuh lusuh cucunya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan Ambigu. Perasaan takut dan khawatir jika saja cucunya mati di terkam binatang buas dalam tapa bratanya, atau malah tersesat di dunia astral tanpa bisa kembali. Sekarang sudah lega, cucunya pulang dengan selamat. Lestari memeluk gadis kecil itu erat sekali, kemudian, membimbingnya duduk di balai-balai depan rumah tepatnya di bawah pohon belimbing. Tangannya mengusap pucuk kepala Ambigu penuh sayang. “Syukurlah, Mbi. Akhirnya kamu pulang,” ucap bibir hitam itu bergetar dengan mata berkaca-kaca menahan haru. “Jangan menangis, Nek! Mbigu baik-baik saja, hanya sedikit lapar. Perut Mbigu perih, Nek.” Ucap gadis itu sambil memegangi perutnya yang sudah sangat lapar. Keringat dingin mulai berdatangan dan tubuhnya gemetar. Lestari
PART_5 BABAT ALAS“Apa ini? Jangan bercanda Wagu, dia itu hanya anak-anak, lagi pula seorang perempuan, bisa apa dia?”“Tentu saja bisa nangis.”“Siapa dia?”“Dewi Ambigu, cucu Kakek Wasis!”“Iya, dia satu-satunya peserta perempuan!”“Jangan-jangan hanya cari mati dia!”“Benar menyusul kakeknya secepatnya!”“Astaga!! Apa yang ada di otaknya selama ini?”Suara-suara rombongan begitu random saling bersahutan meremehkan Ambigu. Wagu tersenyum puas dan mengejek. Pada akhirnya dirinya berhasil mempermalukan gadis itu.Sementara Ambigu sendiri dalam keadaan malu, semalu-malunya. Bagaimana tidak? Bisa apa dia menghadapi cercaan para pria dewasa itu. Tubuh kecilnya bangkit dalam keadaan sempoyongan, tubuhnya gemetar jantungnya Berdegup kencang.Tampak Kyai Nur Bei mendekati Ambigu, dan menolongnya berdiri.
PART_6 KYAI LANDEP"Nenek aku pulang! Nenek aku pulang," teriak Ambigu begitu riang. Sudah pasti dia bangga dengan pencapain hari ini. Ambigu menyusul nenek yang tengah berkutat di depan tungku kayu."UHUK ... UHUK ... " asap di dapur menguar di udara begitu menciptakan kabut kabut kecil di tungku itu. Rupanya kayu bakar Lestari basah jadi sejak tadi dirinya tidak berhasil menciptakan api."Astaga, Nek! Asapa apa ini? Apa Nenek membakar gubug kita?" Ambigu menutup mulut dan hidungnya dengan tangan."UHUK ... UHUK ... Kayu bakarnya basah semua Mbi, semalam nenek lupa tidak menyimpannya di dalam. Astaga!! Kamu sudah pulang tapi nenek belum punya nasi? Bagaimana ini apa kau lapar?" Lestari menatap cucunya begitu kawatir."Sudahlah nek lupakan saja, nanti kita bisa beli makanan banyak!! Lihatlah koin emas yang aku bawa!!" ucap Ambigu riang.Lestari mengeluarkan kayu itu dari tungkunya dan membawanya keluar. Dirinya membatalkan memasak. Asap suda
"Keris ini? Kenapa ada di sini?" gumam Ambigu bingung. Mata gadis itu menyipit melihat keris yang begitu kotor. Dalam hatinya bertanya bagaimana keris ini tiba-tiba tergeletak di atas balai-balai tempat tidurnya? Dirinya juga heran kenapa keris ini nggak ada warangkanya. Apa mungkin setelah keris itu membabat habis seluruh pohon di hutan itu kemudian dia terpisah dengan warangkanya? “Mbigu, kenapa kau bangun? Apa kau lapar Nak?” tanya Lestari kawatir. Wanita tua itu bangkit dari tidur kemudian membenarkan gelungan rambutnya. Lestari tidur di balai-balai sebelah Dewi Ambigu, ya gubuk itu tidak memiliki sekat. Di dalam gubuk itu ada dua balai-balai yang berjajar, kemudian satu buah meja kayu tempat menaruh makanan dan dapur mereka juga menjadi satu. Jadilah ruangan itu ruang serbaguna. Lestari mendekati cucunya yang mematung disinari cahaya yang sangat minim. Penerangan gubuk itu hanya menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. “Ada apa, apa yang kau
Ambigu ketakutan dan memegang kembang setaman terbungkus daun pisang itu dengan erat. Tubuh gadis itu semakin bergetar karena kerumunan semakin banyak. Bahkan keringat dingin mengucur di seluruh tubuhnya. “Kita hancurkan saja gubuknya,” suara itu keras dan sangat dominan. Ambigu begitu hafal jika itu suara Wagu. Seorang nenek tampak tergopoh-gopoh menyibak kerumunan itu, dirinya baru saja pulang dari pasar menjual sayuran. ‘Ada apa ini?’ Pikirannya tidak enak takut jika dikerumunan itu ada cucunya. Benar saja dirinya melihat Ambigu ketakutan. Lestari segera maju ke depan memasang badan untuk melindungi cucunya. Tubuh bungkuk itu merengkuh Ambigu dalam pelukannya. “Apa yang dilakukan cucuku sehingga kalian berkerumun?” tanya Lestari dengan nada bergetar. Dalam hati takut jika saja cucunya berbuat kesalahan. “Ambigu tidak melakukan apa pun, nek!” ucap Ambigu membela diri. Wagu maju dari barisan itu dan mendekati Ambigu dan Lestari, “Jang
Setelah selesai makan Ambigu menyiapkan baskom sesuai perintah sang nenek. Mengingat pinggang sang nenek sedang sakit Ambigu harus melakukan semuanya sendiri. Baskom itu diisi air kemudian diisi kembang setaman. Selain itu Ambigu juga menyiapkan perasan jeruk limau dicampur dengan warang yang akan digunakan mengolesi keris itu sesudah dimandikan. “Sudah siap nek,” seru Ambigu riang gadis itu bertepuk tangan kegirangan. Mata beningnya berbinar demi menatap hasil pekerjaannya. “Cucu nenek, memang pintar,” lontar Lestari tersenyum sambil mengacungkan jempol tangannya. “sekarang segera di ambil kerisnya kemudian di cuci,” ujarnya kemudian. “Siap laksanakan nenekku sayang,” Ambigu segera mengambil Keris Kyai Landep yang ia temukan sewaktu tapa Brata itu. Kemudian dengan teliti memandikannya. “Kumandiin yang bersih ya, kek. Janji jangan marah-marah lagi,” ucap gadis kecil itu tanpa berpikir macam-macam. Intinya dia harus membuat keris itu bersih. Se
“Astaga Mas! Mengapa kamu bawa gembel ini ke sini?” tanya Wigati sambil mengibas-ibaskan tangannya. Sepertinya wanita itu terlalu jijik melihat Ambigu berada di rumahnya.Namanya Wigati Suparmini dia adalah istri dari Wagu.Setelah dicampakkan Jadmini. Tentu saja jiwa laki-laki Wagu meronta. Demi membuktikan bahwa dia bisa bangkit dari kisah cintanya bersama Jadmini. Satu-satunya cara, dia harus menikahi gadis lain.Wigati menjadi wanita pilihannya, meskipun cinta tidak tumbuh sedikit pun. Wagu tetap melepas masa lajangnya dan menikahi Wigati, dengan begitu dia bisa mengangkat kepala di depan orang-orang yang berhasil mempermalukannya.Wigati Suparmini seorang putri dari tuan tanah di wilayah Burgundi. Tentu saja dia tidak menutup mata dan telinga dengan kisah cinta tragis suaminya di masa lalu. Terlihat dia hanya di gunakan sebagai tumbal dalam masalah ini. Hanya sebagai topeng demi menutupi rasa sakit hati Wagu.Namun dia tidak menjal
"Kenapa kamu menangis Ambigu?" tanya Lestari. Wanita bungkuk itu segera mendekati Ambigu yang menangis sepanjang jalan, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah Ambigu duduk Lestari mengambilkan minuman dari kendi. "Ayo minum dulu. Setelah itu katakan pada Nenek. Apa yang sebenarnya terjadi!" tanya Lestari seraya duduk di samping cucunya itu. Ambigu meneguk air pemberian neneknya. "Ambigu di usir, Nek!" ucapnya setengah terisak. "Siapa yang mengusirmu? Apa kamu membuat masalah di gedung itu?" tanya Lestari khawatir."Semua penghuni gedung tidak ada yang mengenaliku. Mereka menganggap aku ini anak kecil," ucap Ambigu dengan suara terisak. "Nenek kan sudah bilang, ke sananya sama nenek saja. Eh ... Kamu nggak nurut!" kesal Lestari. "Iya, Nek. Kalau begitu besok anterin lagi ke sana ya?" pinta Ambigu penuh harap. Kesedihannya sedikit terkikis dan berganti harapan. Jika yang bicara neneknya tentu saja mereka akan mendengar. "Iya, besok, Nenek anterin. Sekarang kamu makan du
Ambigu tidak memedulikan penjaga itu. Dengan melupakan lututnya yang lecet bocah itu mendorong penjaga gerbang dan menerobos masuk ke dalam halaman gedung. Namun apa dikata. Kakinya cukup kecil untuk berlari lebih cepat. Karena langkah penjaga itu lebih lebar dan dengan mudah mengejar langkah Ambigu. Penjaga itu mencekal lengan Ambigu dengan kasar sehingga bocah itu nyaris terpelanting."Hei, mau ke mana kamu?" sentak penjaga itu."Lepaskan aku, Paman!" Lantang Ambigu seraya membelalakan mata pertanda dirinya sangat marah dan kesal pada penjaga itu."Sudah kecil, gembel, nggak tahu aturan! Kamu itu masih kecil dan anak kecil di larang masuk?" terang penjaga itu dengan tetap mencekal lengan Ambigu. Sehingga bocah itu meringis menahan sakit. "Kamu tidak tahu apa-apa, Paman. Pertemukan aku dengan punggawa atau pemimpin gedung. Hanya keputusannya yang aku dengar!" seru Ambigu. Penjaga itu menatap rekannya meminta persetujuan. Setelah rekannya mengangguk barulah tangan kekarnya menyeret
Setelah kekacauan itu Ambigu baru menyadari bahwa keris yang ia temukan itu bukan keris sembarangan. Ada Sukma yang berada dalam keris itu yang selalu menemui Ambigu melalui mimpi. Selanjutnya Ambigu menjaga keris itu baik-baik dan berjanji tidak akan memberikan pada siapa pun. Karena bukan saja akan mencelakai dirinya bahkan keris itu akan membahayakan pemilik barunya. Gadis itu tetap menjalani aktivitas seperti biasa bersama nenek lestari. Satu-satunya orang yang masih hidup dan kasih sayangnya tidak diragukan lagi. Ambigu kecil begitu rajin mencari rumput dan menggembala kambingnya, meskipun hidupnya terus diganggu oleh Wagu akibat rasa sakit hati yang sudah kedaluwarsa itu. Bagaimana dia bisa menyimpan dendam sementara musuhnya sudah menjadi tanah di liang lahat. Sampai suatu hari terdengarlah kabar mengenai sudah rampungnya pembangunan gedung biru. Ambigu sungguh antusias menerima kabar itu. Saat menagih janji pun tiba. Dirinya yakin akan segera merubah kehidupannya bersama
Ketika keluar dari rumah terlihat para warga sedang kerja bakti. Banyaknya pohon yang tumbang sangat mengganggu jalan. Ambigu ke luar dan mendekati mereka. "Semalam sangat aneh, angin datang tiba-tiba dan pergi tiba-tiba pula. Bukan itu saja bahkan purnama ditelan kegelapan malam hanya demi mengantarkan angin itu," ucap salah seorang warga. "Yang aneh lagi Guntur terombang-ambing dipermainkan angin itu. Sekarang tubuhnya sakit semua akibat dihempaskan angin!" sahut warga yang lainnya. "Paman Guntur sakit?" tanya Ambigu demi memastikan informasi yang didengarnya. "Heh ... Ambigu! Iya katanya setelah pulang dari rumahmu dia digulung angin dan dihempaskan begitu saja!" Ambigu menutup mulutnya. Bocah itu segera berlari menuju rumah Guntur demi memastikan informasi yang didengarnya benar. Rumah Ambigu dan Guntur cukup jauh tapi bocah itu tidak peduli, dia terus berlari dan berlari, hingga saat kaki kecilnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup megah dibanding rumah kanan kirinya.
"Astaga ternyata aku hanya bermimpi," ucap Ambigu seraya mengedarkan padangan ke seluruh ruangan itu. Namun bagi Ambigu mimpi seperti nyata. Dirinya benar-benar merasa bertemu dengan kakek Tua itu. Tetapi yang terus menjadi pikiran bocah itu adalah mengapa kakek itu selalu menemuinya hanya dalam mimpi saja? Mengapa tidak mendatangi secara langsung ketika siang? Dengan begitu memudahkan Ambigu untuk melihat kakek itu secara terang.Gadis itu bangun kemudian duduk bersandar dinding. Nalarnya mula mengembara bagaimana mungkin sebatang keris itu bisa punya nyawa? Pikiran Ambigu mulai mengembara, menyeretnya ke belakang kala pertama kali bertemu dengan kakek itu.Semenjak menyimpan keris itu banyak kejadian aneh yang di alaminya. Seperti ketika babat alas Liliwung dan beberapa kali pula dirinya ditemui kakek itu dalam mimpi."Ambigu! Mengapa kamu duduk di bawah? Kamu semalaman tidak tidur?" tanya Lestari khawatir."Aku bingung, Nek!" ucap Ambigu pelan. Lestari bangun dari tidur seraya mem
Ketika Ambigu menggenggam gagang keris itu, seketika sinarnya redup. Dengan tangan gemetar, Ambigu membawanya kehadapan sang Nenek. "Nek, kenapa keris kyai Landep pulang kembali. Bukannya aku sudah menyerahkannya pada paman Guntur?" tanya Ambigu heran seraya duduk dan memangku keris itu. Lestari menatap cucunya. "Karena dia tidak mau. Lain kali tanyalah dulu jika mau memberikan pada orang lain. Ingatlah dia bukan sekedar benda tajam tetap punya Sukma!" sahut Lestari. "Sukma? Jadi aku harus bagaimana, Nek?" tanya Ambigu bingung. Nalar bocah itu belum mencapai makna dari perkataan Lestari. "Simpan keris itu dan tidurlah. Besok pagi akan kita tanyakan pada Nyai Silanggeni," jawab Lestari. Nyai Silanggeni adalah tempat satu-satunga bertanya setelah suaminya meninggal. Dirinya pun tidak mengetahui dengan fenomena alam yang terjadi. Dari mana datangannya angin yang tiba-tiba? Kekuatan apa yang mampu meredupkan sinar purnama? Apa ini semua ada hubungannya dengan keris kyai Landep? Ben
Ambigu segera memeluk neneknya ketika mendengar suara angin itu semakin gaduh. Bocah itu menutup matanya rapat-rapat sementara bibir mungilnya mengucapkan bermacam doa. Lestari juga heran dengan fenomena alam yang tiba-tiba itu. Wanita itu memeluk cucunya erat-erat. "Nenek Aku takut!" ucap Ambigu dengan bibir bergetar."Jangan takut, tidak akan ada apa-apa," sahut Lestari. BRUKKBRUKKBRUKKEntah apa saja yang tumbang bahkan Lestari tidak berani ke luar. Wanita itu terus memeluk cucunya hingga saat pintu depan yang semula terkunci tiba-tiba dihantam angin dan terbuka sendiri. Brakkk!! Papan pintu intu itu terlempar hingga membentur tiang tengah dari rumah itu. Bersamaan dengan terlemparnya sebuah benda di lantai itu. Ambigu semakin mengetatkan pelukannya takut jika rumah itu pun itu roboh. Namun secara perlahan, angin itu perlahan surut. Sedikit demi sedikit suara berisik dan gaduh itu memudar dan hingga hilang sama sekali bersama perginya serbuan angin itu. Ambigu masih memelu
Sesuai kesepakatan Ambigu akan menyerahkan keris itu pada Guntur. Ambigu mengambil keris itu dari kain mori penutupnya kemudian menelitinya. Tampak keris itu biasa saja kalau dilihat. Tetapi jika itu nanti akan membahayakan tentu dia harus segera menjauhkan dari hidupnya. "Mbigu, apa kamu yakin akan memberikan keris itu pada Guntur?" tanya Lestari menghampiri cucunya yang sedang duduk di atas balai-balai itu. "Iya, Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya!" jawab Ambigu kemudian. "Saran dari Nenek. Daripada kamu berikan pada Guntur mendingan kamu berikan pada Nyai Silanggeni. Beliau lebih mengerti cara mengurus keris itu!" tutur Lestari. Wanita tua itu tahu jika keris yang dimiliki cucunya itu bukan keris sembarangan. "Nggak Nek! Aku sudah berjanji pada paman Guntur soalnya," tolak Ambigu seraya memasukkan keris itu kembali. Keris tanpa warangka entah warangkanya di mana. Ambigu juga tidak tahu. "Ya sudah terserah kamu saja," sahut Lestari. "Kata Kakek Wasis kita tidak b
Tangan kecil Wagu mengambil potongan singkong rebus yang sudah tersaji di depannya. Singkong itu masih sedikit panas sehingga dirinya perlu meniupnya terlebih dahulu sebelum memasukannya ke dalam mulut. Rasanya tawar berbeda dengan singkong rebus bikinan neneknya. Ambigu lebih suka singkong bikinan lestari karena sewaktu merebus ditambahkan garam dan daun salam, agar ada rasa dan beraroma wangi. Terkadang juga Ambigu memakannya dengan ikan asin. Ya apa pun itu pemberian mereka meskipun rasanya berbeda Ambigu tetap saja mengunyahnya. Satu potong singkong berhasil masih perut dalam beberapa kali gigitan. Ambigu kemudian menuang air dalam kendi ke dalam gelas yang ada di sana. Segar tenggorokannya dan terasa kenyang perutnya. "Jadi Paman mau minta tolong apa?" tanya Ambigu pada Guntur yang masih duduk di depannya. Mendengar pertanyaan Ambigu pria itu meletakkan rokoknya ke dalam asbak. "Jadi Paman mau minta tolong. Apa kamu sanggup?" tanya Guntur kemudian. "Katakan saja, Pamam! Jik