"Tak ada kata sepakat untuk sebuah pemberontakan! Camkan itu, Cah Ayu!" seru Dewi Gauri, ibunda ratu Kerajaan Sanggabumi. Sembari menarik tali kekang Pethak Ageng, kuda putih kesayangan Sang Ratu. Kuda berpostur besar dengan ketangkasan bergerak, yang mampu mengimbangi gerak cepat Sang Ratu saat bertarung di tengah laga pertempuran.
Gadis cantik berkulit sawo matang muda itu hanya bisa menatap kepergian ibunya sambil menggelengkan kepala. Tak ada seorang pun yang mampu mencegah keinginan Dewi Gauri untuk ikut terjun dalam pertempuran apapun. Sekali pun Sang Raja, Prabu Arya Pamenang, telah melarangnya dengan memohon. Kala itu, saat sore hampir menukik menyentuh pergantian waktu, Prabu Arya Pamenang bersimpuh di hadapan Dewi Gauri. Memohon dengan sangat agar belahan nyawanya itu tidak ikut dalam pertempuran menumpas pemberontakan di wilayah Kampung Alit, sebuah wilayah perdikan yang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. "Dengan segala hormat dan segenap rasa cinta yang saya miliki untukmu, tolong urungkan niatmu, Adinda,"ujar Prabu Arya Pamenang, bersimpuh di hadapan Dewi Gauri dengan tatapan sendu. Wanita yang memiliki kecantikan laksana Dewi Parwati itu hanya tersenyum ke arah Sang Prabu. Dia berjongkok di hadapan suaminya. Memegang kedua tangan lelaki tampan, pemegang tampuk pemerintahan tertinggi di Kerajaan Sanggabumi itu, lantas mengajaknya berdiri dan membimbingnya untuk kembali duduk di atas singgasana berukir garuda. "Justru karena besarnya rasa cintaku padamu, Kakanda, maka saya memutuskan untuk mendampingimu bertugas." Dewi Gauri menempelkan kedua tangan Sang Prabu di pipi kirinya. Air matanya menggulir perlahan. Menitik jatuh hingga di atas tangan Sang Prabu. Prabu Arya Pamenang tak kuasa berkata-kata lagi. Dia tahu bahwa rasa cinta dan pengabdian yang dimiliki oleh Dewi Gauri pada dirinya, sangatlah besar. Dia menarik tangannya, kemudian melingkarkan lengannya di bahu Dewi Gauri. "Kamu adalah sigaraning nyawaku, Adinda. Aku sungguh takut kehilangan dirimu." Prabu Arya Pamenang menarik tubuh Dewi Gauri ke dalam dekapannya. Mereka berdua larut dalam suasana haru biru sore itu.Dewi Rukmini yang melihat dari sisi samping singgasana, menghela nafas panjang. Dalam hati dia juga ingin melarang Sang Ibunda untuk pergi. Namun, Dewi Gauri terlalu keras. Siapapun tahu jika wanita nomer satu di Kerajaan Sanggabumi itu memiliki watak yang sangat keras dalam memegang teguh prinsipnya.
Ada satu kelebihan Dewi Rukmini yang tak pernah diketahui oleh siapapun, bahkan oleh orang tuanya sendiri. Dia memiliki kekuatan mata batin yang tak pernah dia ungkapkan pada siapapun. Segala hal yang mampu dia lihat melalui mata batinnya, hanya bisa dia pendam dalam hati. "Ibu akan pergi," batin Dewi Rukmini, "ini adalah saat terakhirku bersamanya." Dewi Rukmini berusaha menabahkan hatinya. Dia tidak akan mampu menolak takdir. Dia akan lepaskan kepergian ibunya dengan ikhlas. Dan waktu di sore itu terasa menggulir begitu cepat. Sore berganti petang, dan petang berganti malam. Dewi Rukmini membiarkan malam hari itu berlalu dalam keheningan. Dia hanya duduk merenung di halaman keputren. Menatap langit dan mencoba berbicara pada rembulan. "Biasanya panjenengan akan melewati malam sambil berkidung, Ndoro Putri," ujar Bik Nara, emban bertubuh subur yang duduk bersimpuh di dekat Dewi Rukmini. Dewi Rukmini menoleh ke arah Bik Nara. Menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Peluk aku, Bibik. Aku ingin menangis malam ini. Tak mampu lagi aku berkidung." Bik Nara menatap lekat wajah Ndoro Putrinya. Mengusap lembut setitik air mata yang hampir jatuh dari kedua sudut mata berbentuk bulat itu. "Saya tahu apa yang Ndoro Putri pikirkan. Mendekatlah, Ndoro Putri. Saya hanya mampu memberikan dada saya untuk tempat bersandar Ndoro Putri." Tubuh Dewi Rukmini bergeser. Menyambut rentangan lengan Bik Nara yang langsung mendekapnya erat. Tangis Dewi Rukmini pecah di keheningan malam itu. Sementara itu tiga ekor burung gagak berukuran cukup besar, berwarna hitam penuh, terbang berputar-putar di sekitar keputren. Suaranya keras menggunting telinga.Ngak ... ngak ... ngak.
"Mereka telah datang, Bik," ujar Dewi Rukmini. Perlahan dia melepaskan diri dari dekapan Bik Nara. Mendongak menatap ketiga ekor burung gagak besar itu.
Seekor burung gagak yang berukuran paling besar terbang merendah. Lantas hinggap tepat di atas puri kerajaan. Dewi Rukmini mengambil sebuah batu yang cukup besar. Melempari burung gagak besar itu agar segera pergi. Tapi burung gagak itu hanya menoleh sekilas dan kembali diam bertengger dengan sikap pongahnya. "Dia tidak akan pernah mau pergi, Ndoro Putri. Dia hanyalah pengantar takdir." Bik Nara berdiri dan menghampiri Dewi Rukmini. Merangkul dan menepuk-nepuk lembut bahu Sang Putri."Tak dapatkah takdir diubah, Bik?" tanya Dewi Rukmini dengan suara parau.
Bik Nara menggeleng perlahan. "Maut adalah rahasia Sang Penguasa Kehidupan. Juga menjadi kuasa mutlakNya yang tak dapat digaggu gugat oleh manusia. Dia-lah yang paling tahu, apa yang terbaik bagi manusia."
Kedua wanita lantas terdiam dalam sejenak waktu. Hanya berdiri terpaku menatap burung gagak besar berwarna hitam yang masih tetap bertengger di atas atap istana puri. Ditingkahi rembulan yang makin enggan menampakkan dirinya. Menjadikan gelap malam itu semakin pekat. Ngak ... ngak ... ngak ... Suara dua ekor burung gagak besar yang lainnya kembali terdengar memecah malam. Membuat pengawal kerajaan bergegas keluar dari pintu depan istana puri. Ki Suro dan Ki Jagad memegang tombak sambil berlari kecil melewati pendopo menuju ke halaman depan puri. "Hei! Apa yang akan kalian lakukan?" tegur Bik Nara pada kedua pengawal tersebut. "Mereka hanyalah membawa pertanda. Bukan hendak membuat keonaran."Ki Suro menoleh ke arah Bik Nara dan menatapnya tajam. Dahinya mengernyit. "Suaranya berisik, Bik. Harus diusir."
Ki Jagat perlahan menghampiri Bik Nara dan Dewi Rukmini yang tengah berdiri di halaman depan keputren. Berbeda dengan ekspresi Ki Suro yang terlihat marah, Ki Jagat malah memperlihatkan ekspresi ramah, menyunggingkan senyum lebarnya."Sang Prabu dan Gusti Ratu sedang ehem ehem, Bik," bisik Ki Jagat pada Bik Nara. "Kami kuatir suara burung gagak ini akan mengganggu kemesraan mereka." Ki Jagat dan Bik Nara terkekeh.
Mata Dewi Rukmini sontak berkabut. "Malam terakhir bagi Romo dan Ibu," ujarnya dalam hati.Candaan Ki Jagat dan Bik Nara tak lagi dipedulikan oleh Dewi Rukmini. Dia hanya terdiam seraya terus memperhatikan burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri. Dia kini tidak lagi berdiri gagah. Namun, telah mengubah posisinya menjadi duduk dengan kepala menunduk. Seakan terkantuk-kantuk. Tidak memedulikan kedua kawannya yang masih terus berteriak
Burung gagak besar yang bertengger di atas atap istana puri itu seolah tengah menanti sesuatu. Entah apa yang dinantikannya itu. Mungkinkah malaikat Sang Pencabut Nyawa yang sudah harus bertugas malam ini?
Gementing suara pedang beradu dengan tombak dan keris memecah keheningan di desa Kampung Alit. Sebuah desa yang pada awalnya adalah desa kecil yang penuh kedamaian. Kegagalan panen dalam tiga musim membuat lumbung desa kosong, tak lagi berisi penuh seperti saat musim-musim yang lalu. Patih tiga Wira Ageng sebagai salah satu putra daerah yang berasal dari desa Kampung Alit, telah menyampaikan keluh kesah warga pada Prabu Arya Pamenang. Namun, Sang Prabu tidak pernah melakukan tindakan apapun sebagai respon positif atas keluhan warga. "Bagaimana penanganan masalah kekeringan dan gagal panen yang tengah melanda desa Kampung Alit, Baginda?" tanya Patih tiga Wira Ageng kala itu. Saat siang tengah menapak separuh waktunya. Di atas langit puri istana Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang kala itu tengah mengadakan pertemuan untuk para petinggi kerajaan, membahas bencana alam yang tengah gencar melanda negri. Di atas meja panjang berlapis emas, tersaji hidangan aneka makanan. Aromanya me
Ki Tunggul hanya diam mematung melihat kesibukan para punggawa dan prajurit kerajaan. Mereka berhamburan keluar masuk ruang senjata. Pintu gerbang besar yang berjarak lebih kurang 5 meter dari pendopo, seketika ditutup rapat. Tombak, pedang, dan keris melayang masuk ke dalam puri istana dari berbagai macam arah. Hanya dalam waktu sekejap, darah tertumpah mengotori halaman istana. Beberapa prajurit tergeletak tak bernyawa di depan puri istana, keputren, dan kesatreyan. "Paman," panggil Dewi Rukmini lirih pada Ki Tunggul. "Ijinkan saya untuk bergabung." Kaki kanan Dewi Rukmini telah melangkah maju. Hendak menjejak ikut membaur bersama para prajurit. Namun, sebuah tombak panjang menghadang langkahnya. Dengan sigap dia memegang tombak itu dan bersiap menyingkirkannya. Tapi niat itu segera diurungkannya begitu mengetahui siapa yang menghadangkan tombak itu di depan dadanya. Dia segera bersimpuh, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Diikuti oleh Ki Tunggul di belakangnya. "Ma'afka
Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit. "Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng. Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya. Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketik
Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh. Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akh
Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman
Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada