Share

Bab 2. Bencana Kelaparan

Penulis: Afifah Maulida
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gementing suara pedang beradu dengan tombak dan keris memecah keheningan di desa Kampung Alit. Sebuah desa yang pada awalnya adalah desa kecil yang penuh kedamaian. Kegagalan panen dalam tiga musim membuat lumbung desa kosong, tak lagi berisi penuh seperti saat musim-musim yang lalu.

Patih tiga Wira Ageng sebagai salah satu putra daerah yang berasal dari desa Kampung Alit, telah menyampaikan keluh kesah warga pada Prabu Arya Pamenang. Namun, Sang Prabu tidak pernah melakukan tindakan apapun sebagai respon positif atas keluhan warga.

"Bagaimana penanganan masalah kekeringan dan gagal panen yang tengah melanda desa Kampung Alit, Baginda?" tanya Patih tiga Wira Ageng kala itu. Saat siang tengah menapak separuh waktunya. Di atas langit puri istana Kerajaan Sanggabumi.

Prabu Arya Pamenang kala itu tengah mengadakan pertemuan untuk para petinggi kerajaan, membahas bencana alam yang tengah gencar melanda negri. Di atas meja panjang berlapis emas, tersaji hidangan aneka makanan. Aromanya menggugah selera.

Sebutir nasi pun kala itu tak sanggup melewati kerongkongan Patih tiga Wira Ageng. Teringat akan tangis kelaparan warga di desanya. Teringat akan derai air mata para orang tua yang kehilangan anak-anaknya karena menahan lapar selama berhari-hari.

"Saya dengan Patih dua Doso Singo, sedang memikirkan caranya, Patih Wira. Karena sumber air di dalam wilayah desa Kampung Alit, tidak dapat ditemukan. Peristiwa gunung meletus di desa Sendiko, telah mengeringkan sumber mata air yang harusnya mengalir ke desa Kampung Alit."Prabu Arya Pamenang sudah menjelaskan kendala yang dihadapi pada Patih tiga Wira Ageng.

Kala itu, Patih tiga Wira Ageng tak dapat menerima penjelasan Prabu Arya Pamenang. Dia berprinsip bahwa sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi, Prabu Arya Pamenang harus selalu memiliki solusi. Tidak ada penolakan ataupun penundaan untuk alasan apapun juga.

"Tapi rakyat tidak bisa menunggu, Baginda Prabu. Perut yang kelaparan tidak mungkin disuruh bersabar. Kematian akibat kelaparan sudah terjadi di mana-mana. Apakah tidak bisa pihak puri istana mengirimkan bantuan bahan makanan pada warga desa Kampung Alit?" Mata Patih tiga Wira Ageng berkabut ketika menyampaikan hal itu. Air mata yang mendesak dalam kantung mata ditahannya sekuat tenaga agar tidak membuncah.

Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Dia menoleh ke arah Patih dua Doso Singo. Berharap ada anggukan kepala sebagai balasan atas tatapannya yang bermakna tanya itu. Namun, Patih dua Doso Singo menggeleng kuat.

"Ma'afkan kami, Baginda Prabu. Persediaan beras dalam lumbung istana pun hanya tersisa untuk satu pekan. Kami tidak berani menguranginya lagi." Patih dua Doso Singo menundukkan kepala dalam-dalam ketika berucap. Keputusan sulit yang harus diambilnya.

Prabu Arya Pamenang terdiam mendengar penjelasan Patih dua Doso Singo. Ke mana lagi harus meminta bantuan? Sementara Kerajaan Majapahit yang menjadi kerajaan induk, kini juga tengah mengalami banyak masalah. Tidak mungkin dia menghadap Raja Jayanegara untuk memohon bantuan pangan.

"Beri saya waktu tiga hari, Patih Wira Ageng. Saya akan berunding dengan Patih Doso Singo untuk mencari jalan keluar. Mungkin ada kerajaan manca yang sudi membantu kita," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara lembut. Dia berusaha meredam amarah Patih tiga Wira Ageng yang terlihat sudah tak mampu lagi dibendung.

"Tiga hari, Baginda Prabu? Bagaimana saya harus menjelaskan pada warga desa Kampung Alit? Hari ini mereka sudah menahan perih perut karena kelaparan. Dan masih harus menunggu tiga hari lagi ...?!" Patih tiga Wira Ageng menggebrak meja yang ada di hadapannya itu. Beberapa piring, gelas, dan mangkok bergetar karena gebrakan yang cukup keras itu. Air mata Patih tiga Wira Ageng mulai menitik.

Tanpa mengucapkan pamit, menafikan segala tata krama dalam adat kerajaan, Patih tiga Wira Ageng meninggalkan acara pertemuan itu dengan raut wajah kesal. Sikap keras Patih tiga Wira Ageng itu membuat semua prajurit pengawal yang ada di belakang para petinggi kerajaan berdiri dan hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng. Namun, Prabu Arya Pamenang mencegahnya.

"Biarkan! Dia bersikap seperti itu karena kepedulian dan rasa cintanya yang amat besar pada warga desa Kampung Alit." Prabu Arya Pamenang merentangkan lengan kirinya ke arah para prajurit pengawal petinggi kerajaan yang hendak menangkap Patih tiga Wira Ageng itu.

"Bagaimana jika Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, Baginda Prabu?" tanya Patih satu Diro Menggolo yang dikenal sebagai ahli tata pemerintahan kerajaan. Dia sangat menghindari terjadinya konflik dalam kerajaan yang menjurus ke pertempuran fisik. Karena jika hal itu terjadi, akan mengakibatkan pemerintah yang berkuasa mengalami kehancuran.

"Apakah ada gambaran seperti itu Patih Diro Menggolo?" tanya Prabu Arya Pamenang seraya mengernyitkan dahi. Rasanya musykil kalau sampai Patih tiga Wira Ageng melakukan pemberontakan, karena selama ini Prabu Arya Pamenang mengenalnya sebagai sosok yang lembut hati dan loyal pada kerajaan.

"Kekalutan hati akan mampu mengubah karakter seseorang, Baginda Prabu," tukas Patih dua Doso Singo. Ucapannya itu disambut dengan anggukan kepala tegas oleh Patih satu Diro Menggolo dan hanpir keseluruhan mentri yang hadir dalam pertemuan kala itu.

Prabu Arya Pamenang menggeleng-gelengkan kepala. Pepat sudah isi kepalanya menghadapi berbagai macam permasalahan yang tengah melanda negrinya. Dia teringat pada petuah kakeknya, Prabu Kawitan. Bahwa jika bencana alam terus menerus melanda sebuah negri, maka pemimpinnya harus melakukan pendekatan pada Tuhan. Harus melakukan pembersihan jiwa.

"Patih Diro Menggolo," panggil Prabu Arya Pamenang pada Patih satu yang duduk di sisi kanannya itu, "saya besok akan menyepi di Candi Tunggal. Saya berharap mendapat petunjuk dari Penguasa Jagad."

"Estu dhawuh, Baginda Prabu. Saya akan bertanggung jawab atas keamanan negri selama Baginda Prabu melakukan semedi." Patih satu Diro Menggolo menganggukkan kepala kepada Prabu Arya Pamenang sebagai sebuah takdzim yang dilakukan bawahan pada pimpinannya.

"Dan kamu, Patih dua Doso Singo. Sisakan separuh saja beras yang ada di lumbung untuk kebutuhan warga puri istana. Separuhnya kirimkan ke desa Kampung Alit. Sekarang juga." Prabu Arya Pamenang akhirnya membuat keputusan yang menjadi masalah baru bagi Patih dua Doso Singo yang bertugas sebagai Pengendali Perekonomian Negri. Namun, Sang Prabu telah bertitah. Dan titah Sang Prabu bersifat mutlak. Tak boleh ada penundaan apalagi penolakan.

"Baginda Prabu ...! Baginda Prabu ...! Keadaan darurat!" Seorang prajurit berpostur tinggi besar memegang tombak dan tameng tergopoh-gopoh memasuki ruang pertemuan. Setelah melakukan sikap hormat dengan membungkukkan badan di hadapan Prabu Arya Pamenang, dia menjelaskan dengan nafas terengah-engah.

Satria Cakra, Sang Kepala Prajurit itu menyampaikan berita yang sontak membuat Prabu Arya Pamenang dan senua bawahannya berdiri dan masuk ke dalam ruang senjata. Suasana seketika menjadi ricuh, meskipun tetap dalam kendali.

Dewi Rukmini yang tengah berlatih ilmu bela diri di sudut pendopo, menghentikan latihannya. "Ada apa, Ki Tunggul?" tanyanya pada sang pelatih.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
EPIPHYLLUM
mau nge-vote, belum ada berlian, jadi komen aja. Ceritamu bagus, thor.... Semoga banyak yg baca..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 3. Penyerangan oleh Patih Tiga Wira Ageng

    Ki Tunggul hanya diam mematung melihat kesibukan para punggawa dan prajurit kerajaan. Mereka berhamburan keluar masuk ruang senjata. Pintu gerbang besar yang berjarak lebih kurang 5 meter dari pendopo, seketika ditutup rapat. Tombak, pedang, dan keris melayang masuk ke dalam puri istana dari berbagai macam arah. Hanya dalam waktu sekejap, darah tertumpah mengotori halaman istana. Beberapa prajurit tergeletak tak bernyawa di depan puri istana, keputren, dan kesatreyan. "Paman," panggil Dewi Rukmini lirih pada Ki Tunggul. "Ijinkan saya untuk bergabung." Kaki kanan Dewi Rukmini telah melangkah maju. Hendak menjejak ikut membaur bersama para prajurit. Namun, sebuah tombak panjang menghadang langkahnya. Dengan sigap dia memegang tombak itu dan bersiap menyingkirkannya. Tapi niat itu segera diurungkannya begitu mengetahui siapa yang menghadangkan tombak itu di depan dadanya. Dia segera bersimpuh, menangkupkan kedua tangan di depan dada. Diikuti oleh Ki Tunggul di belakangnya. "Ma'afka

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 4. Persiapan Pertempuran

    Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit. "Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng. Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya. Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketik

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 5. Pemberontakan Candra Ratri

    Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh. Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akh

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 6. Melepas Kepergian Ibunda Ratu

    Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 7. Pergantian Tampuk Kepemimpinan

    Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 8. Dewi Ayu Candra

    Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 9. Rencana Patih Satu Diro Menggolo

    "Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 10. Garwa Untuk Sang Prabu

    "Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena

Bab terbaru

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 80. Insiden Mulai Terjadi

    Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 79. Kegamangan Hati Sang Patih Muda

    "Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 78. Warna Hati Sang Ratu

    Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 77. Janur Kuning Belum Dilengkungkan

    "Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 76. Mimpi yang Hilang

    "Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Ban 75. Pertemuan

    Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 74. Jelaga Dalam Istana

    Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 73. Dendam Sang Pangeran

    Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa

  • Dewa Dewi Kerajaan Sanggabumi   Bab 72. Hubungab Terlarang

    Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada

DMCA.com Protection Status