Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,
Suara derap kaki beberapa ekor kuda mengagetkan Dewi Rukmini, Bik Nara, Patih satu Diro Menggolo, dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih, yang tengah berkumpul di halaman depan puri istana membicarakan masukan dari Dewi Laraswati. Mereka saling pandang. Salah satu prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang istana tergopoh-gopoh mendatangi Dewi Rukmini. "Hatur sembah dalem, Gusti Ratu. Ada rombongan dari Kerajaan Galuh. Mahapatih Wiro Sayogo dan Pangeran Rangga Aditya hendak sowan beserta para pengawalnya." Prajurit penjaga pintu gerbang itu menyampaikan apa yang ditemuinya pada Dewi Rukmini. "Hah?! Mereka sudah datang? Berarti ini semua sudah direncanakan oleh Patih tiga Wira Ageng dan pihak Kerajaan Galuh. Kita telah terjebak dalam konspirasi mereka, Paman Patih," ujar Dewi Rukmini dengan mimik penuh kekuatiran. "Dan sakitnya Romo, mereka jadikan sebagai kunci." Patih satu Diro Menggolo menarik nafas panjang. "Jadi harus bagaimana, Gusti Ratu? Kita terima atau kita tolak kedatan
Tiga purnama terlampui. Masa hemanta telah beralih menuju masa sisiria, di mana kabut mulai menebal saat dini hari menjemput waktu. Selalu ada yang berganti ketika dunia memutar masanya. Dan sore itu Dewi Rukmini tengah berlatih beladiri di bawah asuhan Bejo dan Kalong. Mereka berdua bergantian mengajarkan ilmu kanuragan pada Sang Ratu. Memang ilmu kanuragan mereka berdua masih sangat jauh di bawah mendiang Ki Tunggul. Namun, tetap saja mereka masing-masing memiliki keahlian spesifik yang mampu menjadi pengapesan buat lawannya. "Saya lihat kemajuan beladiri panjenengan semakin hari semakin bertambah matang, Gusti Ratu," ujar Patih dua Dimas Bagus Penggalih kala itu. Sejatinya dia menghampiri Dewi Rukmini untuk menyampaikan laporan mengenai perkembangan Pangeran Rangga Aditya selama sepekan ini. Tapi niat itu ditundanya dulu karena dia lebih tertarik memperhatikan kegiatan latihan beladiri Sang Ratu. "Maukah panjenengan menjadi lawan latih saya, Kangmas Patih?" tanya Dewi Rukmini s
"Tolonglah, Dinda Rukmini. Aku yakin engkau pasti bisa membantuku," bujuk Dewi Ayu Candra pada Dewi Rukmini. Untuk yang kesekian kalinya. Saudara sepupu Dewi Rukmini itu memohon pada Sang Ratu.Dan untuk yang ke sekian kalinya pula, Dewi Rukmini menggeleng. "Ma'afkan aku, Yunda. Aku benar-benar tidak abisa membantumu. Tidak elok bagi seorang wanita untuk mengulurkan perhatian terlebih dahulu pada seorang pria."Dewi Ayu Candra mendengus kesal. "Kenapa kamu tidak mau membantuku? Apakah kamu iri padaku? Karena aku lebih cantik dan lebih memesona daripada dirimu?" ejek Dewi Ayu Candra.Seketika Bik Nara melihat Dewi Ayu Candra dengan mulut ternganga. Dan menyeletuk tanpa diduga, "Apakah saya perlu mengambil cermin besar yang ada di kamar panjenengan, Gusti Putri Dewi Ayu?" Bik Surti langsung membekap mulutnya sendiri yang hampir keluar suara tawanya. Ucapan Bik Nara itu membuat emosi Dewi Ayu Candra meledak. "Kamu menghina aku, Bik Nara! Kuhukum kau!" teriak Dewi Ayu Candra kalap.Dewi
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" hardik Dewi Laraswati pada Dewi Rukmini yang berdiri tertegun di hadapannya. "Nyuwun pangapunten, Gusti Putri. Dewi Rukmini ini adalah Raja di Kerajaan Sanggabumi ini Gusti Ratu kami yang harus dihormati oleh seluruh rakyat negri Sanggabumi. Tidak sepatutnya panjenengan berkata keras dan kasar pada junjungan kami, rakyat Sanggabumi," sergah Ki Suryo. Dia tidak bisa menahan diri melihat Dewi Rukmini dibentak-bentak oleh orang baru di istana Sanggabumi.Dewi Laraswati mendekati Ki Suryo dengan pongahnya. Dia tempelkan dadanya di dada Ki Suryo. Lants didorongnya dengan satu kali hentakan dada. Lelaki tua itu terjatuh terhuyung ke belakang. Nyi Suryo seketika memekik. Dia segera membantu suaminya agar tidak jatuh membentur meja panjang di belakangnya."Duh, Gusti Putri ... mohon ampun," ucap Nyi Suryo. Dia menopang tubuh bagian belakang Ki Suryo. Kepalanya menggeleng-geleng sembari mengelus dada. "Kami hanya rakyat kecil, Gusti Putri.""Makanya kamu
"Kalimat apa itu yang kamu gumamkan?" tanya Bik Nara pada Dewi Laraswati. Sesaat setelah mendengar gumaman Dewi Laraswati itu, Bik Inah keluar dari kamar Sang Prabu dan menghampiri Dewi Laraswati yang berdiri bersandar di dinding."Bukan urusanmu, Emban Tua!" desis Dewi Laraswati semabri menghunjamkan pandangan tajam tepat di manik mata Bik Nara.Bik Nara memicingkan mata, mengerutkan kening dan berkata tajam pada Dewi Laraswati dengan suara lirih, "Kamu pasti paham hukuman bagi pelaku tatayi. Hukuman mati tanpa proses. Demi memberikan kebenaran, aku berani mempertaruhkan nyawaku. Keluarga Gusti Prabu telah menanamkan hutang budi padaku. Aku akan bayar dengan kesetiaanku sebagai abdi dalem,"Dewi Laraswati mencebik. "Tak akan pernah ada yang memercayai ucapanmu. Kastamu lebih rendah daripada kastaku. Dan ingat, Emban Tua. Aku bisa melakukan apapun tanpa menyentuh, dengan keadaan tanganku bersih." Dewi Laraswati terbahak keras.Dewi Rukmini yang tengah menemani Prabu Arya Pamenang berk
Wanita sepuh itu menangis terisak di pangkuan Sang Ratu, Dewi Rukmini. Memohon agar Sang Ratu memercayai perkataan dan kesaksiannya."Punten dalem sewu, Gusti Ratu. Apa yang saya sampaikan adalah hal yang sebenarnya terjadi. Saya mendengar dengan jelas semua ucapan Dewi Laraswati." Untuk yang kesekian kalinya Bik Nara memohon kepercayaan Dewi Rukmini."Bik, percayalah padaku. Aku sangat memercayaimu. Tidak usah Bik Nara pikirkan mengenai masalah atau tidaknya. Yang mesti kita pikirkan adalah buktinya. Agar kesaksianmu tidak terbantahkan." Dewi Rukmini menggenggam erat tangan emban setianya itu."Tapi ... bagaimana caranya, Gusti Ratu?" tanya Bik Nara sambil mengerjap-ngerjapkan matanya karena pedas menahan air mata yang terus mendesak keluar."Hal itu yang tengah aku pikirkan. Ayo, Bik, kita keluar sebentar. Mungkin dengan melihat indahnya bunga-bunga di taman keputren bisa menyegarkan pikiran kita. Hingga kita bisa menemukan ide untuk mencari pembuktian itu." Dewi Rukmini kantas menar
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada