Patih tiga Wira Ageng benar-benar melakukan ancamannya. Dia melakukan penyerangan berulang kali ke arah puri istana Kerajaan Sanggabumi. Yang berujung pada kegeraman dan tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak pemerintah kerajaan terhadap warga desa Kampung Alit.
"Hal ini tidak bisa dibiarkan. Kita sudah mengalah. Dan saatnya pemerintah menegakkan kewibawaannya," ujar Patih dua Doso Singo. Ini kali ketiga pemerintah melakukan pertemuan darurat untuk membahas masalah penyerangan warga desa Kampung Alit yng dipimpin oleh Patih tiga Wira Ageng. Prabu Arya Pamenang tidak segera menjawab. Dia membutuhkan waktu beberapa saat untuk berpikir demi mendapatkan solusi yang terbaik. Pandangan matanya mengarah pada sebuah titik tak terfokus. Sebuah dilema baginya. Penyerangan yang dilakukan warga desa Kampung Alit ini dinamakan dengan Pemberontakan Candra Ratri. Sang Prabu memberinya nama seperti tu karena penyerangan terhebat yang terjadi adalah saat tengah malam ketika bulan tengah purnama. Dan menyebabkan puluhan nyawa tercerabut dalam gelimangan darah. "Bagaimana, Baginda Prabu? Waktu kita tidak banyak. Sekarang waktu telah hampir memasuki petang." Patih satu Diro Menggolo terlihat kurang sabar menghadapi sikap Prabu Arya Pamenang yang terlalu lama berpikir. Prabu Arya Pamenang menatap ke arah dua patihnya tersebut. Dua orang kepercayaan yang telah terbukti loyalitas dan kepiawaiannya membantu Sang Prabu mengendalikan roda pemerintahan selama ini. Patutkah Sang Prabu menolak masukan dari kedua patihnya tersebut, yang kebetulan memiliki pendapat serujuk? Pada akhirnya Sang Prabu mengangguk. Demi rasa hormatnya pada kedua patih tersebut. Yang sesungguhnya, jauh dalam hati kecilnya, dia menolak penyerangan balasan ke warga desa Kampung Alit. Tidak kuasa hatinya jika harus menghunus senjata ke arah warganya, meskipun mereka hendak membunuhnya sekalipun. "Baiklah, Patih satu dan Patih dua. Saya menyetujui usulan kalian. Besok pagi buta, sebelum fajar menyingsing, kita bergerak maju menuju ke desa Kampung Alit. Besar harapan saya bahwa mereka tidak melakukan tindak perlawanan, agar tidak jatuh korban jiwa lebih banyak lagi." Suara Prabu Arya Pamenang terdengar parau. Dan ketika dia menyelesaikan ucapannya, terlihat jakunnya yang bergerak sangat pelan. Seperti ada yang menyekat kerongkongannya ketika dia hendak menelan ludah. "Baik, Baginda Prabu. Kami akan perintahkan seluruh kepala prajurit untuk melakukan persiapan malam ini." Patih satu Diro Menggolo sigap berdiri dan berjalan keluar dari ruang Raja menuju ke balai prajurit. Diikuti oleh Patih dua Doso Singo, yang sebelumnya menghaturkan sembah baktinya pada Prabu Arya Pamenang. Tinggal Prabu Arya Pamenang bertiga bersama pengawal pribadinya, Ki Cakra dan Ki Langgeng, dalam ruang Raja yang berukuran sangat luas itu. Prabu Arya Pamenang menghela nafas panjang. Berusaha melonggarkan sesak di dada. Pikirannya melayang ke peristiwa pemberontakan Candra Ratri yang terjadi dua malam yang lalu. Sebuah sentuhan lembut di lengan kanan, membuat Prabu Arya Pamenang terperanjat. Dia menoleh cepat. Dan ternyata Dewi Gauri, Sang Permaisuri yang duduk di sampingnya. "Apa yang tengah Kakanda pikirkan?" tanya Dewi Gauri dengan suara lembut. Wajah cantik dan sifat lemah lembutnya sering dianggap warga sebagai jelmaan Dewi Parwati. Dewi yang memiliki sifat keibuan, penuh cinta, dan mengalirkan kekuatan harmoni dalam kehidupan manusia. Prabu Arya Pamenang menyunggingkan senyum terindahnya untuk Sang Istri tercinta. Digenggamnya tangan Dewi Gauri erat. Lantas diciuminya tangan halus berjemari lentik itu. Cinta Prabu Arya Pamenang pada Dewi Gauri tak dapat disangkal oleh semua orang. Telah menjadi pembicaraan di kalangan para raja di seluruh bumi Jawa Dwipa. "Tak akan ada hal yang mampu membebani pikiranku kecuali rakyatku dan dirimu, Adinda," jawab Prabu Arya Pamenang sembari terus menciumi tangan Dewi Gauri. Sang Permaisuri membalas kemesraan sikap suaminya itu dengan senyum manis yang tersungging di bibir indahnya. "Apakah penyerangan warga desa Kampung Alit yang mengganggu pikiran panjenengan, Kakanda?" tanya Dewi Gauri. "Tentu saja, Dewiku. Apalagi yang sedang menjadi beban pikiranku kecuali hal itu untuk saat ini?" Prabu Arya Pamenang mengembuskan nafas kuat-kuat dan melepaskan genggaman tangannya pada tangan Dewi Gauri. Lelaki bertubuh tinggi besar dan berkulit bersih itu berjalan perlahan menuju ke jendela besar yang berada di sisi utara dinding ruang raja. Dia memperhatikan kesibukan para prajurit yang keluar masuk balai prajurit. Matanya berkaca-kaca. Hal yang sangat tidak diinginkannya terjadi ketika tampuk tertinggi pemerintahan dikuasakan padanya. Adalah pertempuran yang terjadi antar anak negri. Perang saudara. Merupakan bukti kegagalan sebuah pemerintahan. "Hal ini terpaksa terjadi, Adinda. Aku tidak mungkin menolak masukan dari Patih satu Diro Menggolo dan Patih dua Doso Singo. Aku harus memilih." Prabu Arya Pamenang membalikkan badan dan kembali berjalan menuju ke singgasananya. "Semua prajurit saat ini tengah mempersiapkan semuanya." Dewi Gauri menatap lekat netra Prabu Arya Pamenang teoat di manik matanya. "Penyerangan balasan?" tanya Sang Permaisuri, memastikan pertanyaan yang menggemuruh dalam hatinya sejak tadi. "Betul, istriku. Itu pilihan yang harus aku ambil. Pilihan terbaik di antara semua pilihan yang buruk." Prabu Arya Pamenang balas menatap pandangan istrinya. "Kakanda, ijinkan saya untuk terlibat dalam pertempuran besok." Dewi Gauri menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada, di hadapan Prabu Arya Pamenang. Sontak Sang Prabu membelalakkan mata. "Aku tidak ijinkan, Adinda. Pertempuran kali ini berbeda. Tidak seperti pertempuran di hari-hari kemarin. Medan lawan belum kamu kuasai. Dan itu sangat membahayakan keselamatan dan keamananmu." Prabu Arya Pamenang turun dari singgasananya dan bersimpuh di hadapan Dewi Gauri. Di balik kelembutannya, sesungguhnya Dewi Gauri adalah seorang wanita yang berwatak keras. Dia teguh memegang prinsip. Dan tidak menerima penolakan apapun atas segala hal yang telah menjadi tekad dan keinginannya. "Panjenengan adalah sigaraning nyawa saya, Adinda. Jika terjadi apa-apa dengan dirimu, maka aku-lah yang akan paling menyesal. Hidupku tak akan ada artinya tanpa kehadiranmu di sisiku," ujar Prabu Arya Pamenang. Dewi Gauri pun segera turun pula dari singgasana permaisurinya. Berjongkok dan membimbing Sang Prabu agar kembali duduk di singgasana. Tangannya menggenggam tangan Sang Prabu dan ditempelkannya ke pipi kiri. Air matanya menitik perlahan. "Justru karena saya adalah sigaraning nyawa panjenengan, maka saya ingin ikut terus mendampingi dalam setiap kegiatan panjenengan. Saya mohon dengan sangat, Kakanda. Ijinkan saya mendampingi panjenengan untuk menghadapi pertempuran esok hari." Dewi Gauri terus memohon dengan sikap manjanya. Hingga mampu meluluhkan kekerasan hati Sang Prabu. "Baiklah, Adinda. Namun, ingatlah akan satu hal. Jangan pernah jauh dariku. Di mana pun aku berposisi esok dalam laga pertempuran, kamu harus ada di dekatku." Akhirnya Prabu Arya Pamenang luluh. Mengijinkan Sang Permaisuri ikut dalam pertempuran esok hari. Dewi Gauri berdiri dari simpuhnya. Mengerling manja ke arah Sang Prabu. Lantas menarik tangan Prabu Arya Pamenang, masuk ke dalam kamar. Mengajaknya untuk menyesap indahnya kasih sayang dalam paduan hubungan suami istri mereka. Dan semalaman itu berlalu begitu indah bagi Prabu Arya Pamenang dan Dewi Gauri. Hingga mereka tak mampu lagi mendengar isyarat alam. Tiga ekor burung gagak besar berwarna hitam yang sepanjang malam mengitari atap puri istana. Dan rentetan kejadian itu hanya disaksikan oleh Dewi Rukmini.Suasana sangat kacau. Pertempuran tak seimbang antara kekuatan pemerintahan dengan kekuatan warga desa Kampung Alit. Di luar perkiraan Prabu Arya Pamenang dan Patih satu Diro Menggolo, Patih tiga Wira Ageng meminta bantuan warga desa Saloka dan desa Bumi Ageng. Dua desa dari kerajaan manca. Yaitu Kerajaan Galuh. Separuh lebih pasukan Prabu Arya Pamenang terkapar meregang nyawa dalam pertempuran itu. Dan dirinya pun terkena sabetan pedang di lengan bagian atas. Darah mengucur tanpa bisa dihentikan. "Kanda ...!" Sontak Dewi Gauri melompat turun dari kudanya dan menghambur ke tubuh Prabu Arya Pamenang yang tergeletak di tanah. Turangga Cemeng, kuda kesayangan Sang Prabu, meringkik berulang kali sambil mengangkat kedua kaki depannya. Seakan tak terima dengan luka dan perlakuan yang didapat tuannya. Turangga Cemeng lantas berlari ke sana ke mari mendepak siapa saja yang berada di dekatnya. Melampiaskn amarahnya pada siapapun yang berada dalam laga itu. Sebelum akh
Tak boleh ada air mata. Tak boleh ada isak tangis saat mengantarkan kepergian orang terkasih. Itu yang selalu diajarkan Dewi Gauri pada Dewi Rukmini, putri semata wayang yang kini ditinggalnya berpulang menuju ke swargaloka. Asap mengepul dari tumpukan kayu yang disusun bertumpuk. Menopang jasad Dewi Gauri menuju perjalanan indahnya ke haribaan Sang Pemangku Kehidupan. Semua menundukkan kepala. Menghaturkan do'a terakhir untuk Sang Permaisuri, Dewi Gauri, yang dikenal bijak dan mandiri. Mengiringi bubungan asap yang menebarkan wangi melati ke seantero negri. "Selamat tinggal, Ibu. Aku tahu bahwa engkau yakin bahwa aku akan bisa menggantikanmu. Menjadi wanita nomer satu di tanah Sanggabumi ini. Dampingi aku terus dengan segala restu dan cinta kasihmu. Aku akan selalu merindukanmu, Ibu." Dewi Rukmini bergumam pelan. Matanya tak kuasa menatap jasad ibunya yang telah menyusut dan perlahan menjadi abu.Perlahan waktu menggulir ke petang. Asap mulai menipis. Rasa lelah seharian meneman
Semua pejabat tinggi Kerajaan Sanggabumi telah berkumpul di ruang utama istana. Patih satu Diro Menggolo memimpin jalannya pertemuan itu, menggantikan Prabu Arya Pamenang. Dan Dewi Rukmini duduk di singgasana prameswari, temoat yang sebelumnya diduduki oleh Dewi Gauri. "Hatur sembah dalem, Gusti Putri Dewi Rukmini. Saya harus segera mengadakan rapat ini karena kondisi negri yang berada dalam keadaan darurat. Nyuwun pangapunten jika saya lancang mengadakan rapat ini tanpa memberitahu panjenengan." Patih satu Diro Menggolo melakukan sikap takdzim di hadapan Dewi Rukmini. "Hatur sembahmu saya terima, Patih Diro Menggolo. Saya bisa memaklumi keputusan panjenengan. Tidak apa-apa, Paman Patih. Silakan rapat dilanjutkan." Dewi Rukmini mempersilakan Patih satu Diro Menggolo untuk melanjutkan rapatnya.Patih satu Diro Menggolo kembali duduk di kursinya. Setingkat di bawah lantai tempat singgasana raja dan prameswarinya. Kursi berukir berjajar lima berada di samping kanan dan kiri singgasana
Sudah enam purnama Dewi Rukmini mengendalikan roda pemerintahan Kerajaan Sanggabumi. Perlahan perekonomian negri mulai membaik. Hujan telah terjadi di beberapa tempat. Meskipun belum terlalu deras, tapi cukup membuat dingin tanah Sanggabumi. "Bagaimana keadaan Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih pada Dewi Rukmini sore itu. Saat waktu rehat, melepaskan semua penat pikiran dan raga. Dewi Rukmini mendesah pelan. Hal yang paling menyakitkan baginya adalah jika sudah membicarakan tentang Prabu Arya Pamenang. Sosok ayah yang sangat dibanggakannya, kini harus menghabiskan waktu sehari penuh hanya di kamar. Bergulat dengan halusinasinya, bergumul dengan bayang-bayang kenangan mendiang garwa prameswari Dewi Gauri. "Belum ada perubahan, Dimas. Aku tidak tahu lagi, apa yang harus aku lakukan," jawab Dewi Rukmini denagn wajah sendu. "Tidsk bisakah Ki Sradda menguoayakan pengobatan buat Gusti Prabu?" tanya Dimas Bagus Penggalih lagi. Dewi Rukmini memggeleng. "Meskipun Ki Sradda mengatak
"Panggilkan Gusti Ratu. Sampaikan bahwa saya ingin menghadap karena ada hal penting yang ingin saya bicarakan." Patih satu Diro Menggolo memerintahkan Ki Suro untuk memanggil Dewi Rukmini. "Baik, Paman Patih," jawab Ki Suro. Dan bergegas menuju ke dalam keputren untuk menyampaikan pada Bik Nara soal kedatangan Patih satu Diro Menggolo. Patih satu Diro Menggolo menunggu di pendopo keputren yang berukuran jauh lebih kecil dari pendopo puri istana. Terhampar sebuah tikar dari anyaman tetumbuhan di sudut pendopo. Dan di atas tikar itulah Dewi Rukmini didampingi Bik Nara menikmati suasana malam hampir setiap hari. Tidak berapa lama kemudian, Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren. Wajahnya terlihat segar setelah mengguyurnya dengan air yang dicampur aneka rempah dan bunga-bungaan. Aroma wangi yang lembut serasa membuai indra penciuman begitu halus.Melihat Dewi Rukmini keluar dari dalam keputren, Patih sstu Diro Menggolo segera berdiri dan bersikap takdzim. "Hatur sembah bakti dalem,
"Aku masih belum bisa menerima keputusan romomu, Kanda Dimas." Dewi Rukmini menerawangksn pandang jauh ke depan tanpa titik fokus. "Mengapa panjenengan tidak menyampaikannya pada romo?" tanya Dimas Bagus Penggalih. Matahari sore itu telah menyemburstkan wsrna merah oranye yang cukup terang. Sebuah paduan warna yang memberikan pertands alam, menurut para pinisepuh. Bahwa akan ada pagebluk. Wabah penyakit yang terjadi dalam waktu dekat. "Aku sudah menyampaikannya. Tapi memang tak ada jalan lain untuk menyembuhkan Gusti Romo kecuali sstu hal itu. Aku sudah menghubungi Ki Sradda dan menanyakannya. Dan memang harus seperti itu," ujar Dewi Rukmini. Pasetran yang ada di hadapan Dewi Rukmini dan Dimas Bagus Penggalih kini telah dingin. Tak lagi mengeluarkan asapnya yang wangi setelah 6 purnama berlalu. Enam purnama yang lalu, ketika kobaran api mengantarkan sukma Dewi Gauri menuju ke swargaloka. Dimas Bagus Penggalih tak tahu harus berkata apa. Tugasnya dalam pemerintahan hanyalah mena
Hari sakral itu telah tiba. Di bulan Kartika, saat bulan Sarat dalam kalender Saka menghadapi musim rontok. Saat di mana dedaunan mulai berjatuhan dan mengalirkan semilir angin yang sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Dewi Rukmini duduk di bagian samping pelaminan. Berjajar sedikit lebih tinggi dari para pejabat istana. Patih satu Diro Menggolo duduk di sampingnya. Terus membisikkan kalimat-kalimat penguat hati. Sementara kursi mendiang Patih dua Doso Singo, kini ditempati oleh Dimas Bagus Penggalih. Dan Patih tiga Wira Ageng kini duduk kembali di kursi yang pernah ditinggalkannya selama beberapa bulan. "Gusti Ratu harus ikhlas. Demi negri ini. Demi kedamaian rakyat," bisik Patih satu Diro Menggolo pada Sang Ratu. Dewi Rukmini mengangguk pelan. Karena mahkota emas itu masih terasa berat bertahta di kepalanya. Seulas senyum tipis dia sunggingkan di bibir indahnya.Pandangan Dewi Rukmini mengarah lurus ke depan. Di sisi seberangnya berjajar para petinggi Kerajaan Galuh. Prabu Su
"Apa yang panjenengan lakukan itu, Ibu Dewi Laraswati?" tanya Dewi Rukmini keheranan. Sepagi ini istri batu Prabu Arya Pamenang itu sudah sibuk di halaman depan puri istana. Memetik aneka bunga yang berjajar rapi di dekat tembok pagar istana. Dewi Laraswati sontak menoleh. Matanya tajam menatap manik mata Dewi Rukmini. Dari sorot matanya terlihat jelas bahwa dia tidaklah menyukai Dewi Rukmini. "Memangnya kenapa? Aku adalah istri dari Prabu Arya Pamenang. Raja di Kerajaan Sanggabumi ini. Aku berhak melakukan apapun." Dewii Laraswati berjalan mendekati Dewi Rukmini sambil melipat kedua lengannya di depan dada. Dewi Rukmini menghela nafas panjang. "Alangkah lebih bijaknya jika ibu Dewi Laraswati menanyakan beberapa hal mengenai kebiasaan yang berlaku di istana ini. Karena banyak hal di sini merupakan kebiasaan yang ditinggalksn oleh ibu saya, mendiang ibunda Dewi Gauri." "O ya? Kebiasaan apa itu?" tanya Dewi Laraswati dengan senyum yang menyungging penuh kelicikan. "Salah satunya,
Lelaki tua berjenggot panjang dan berpakaian serba putih itu berjalan perlahan melihat kesibukan para abdi dalem yang tengah mempersiapkan perhelatan akbar pernikahan Dewi Rukmini dan Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Tinggal sepekan lagi waktu perhelatan itu digelar. "Bagaimana keadaan di sini, Ki Guru Saloka? Apakah panjenengan merasakan ada hal yang kurang mengenakkan? Jika ada hal yang kurang berkenan atas pelayanan kami, kami terbuka untuk menerima segala kritik dan sarannya." Patih satu Diro Menggolo menghampiri Ki Guru Saloka yang tengah berdiri di depan para abdi dalem yng tengah menganyam daun nipah. Ki Guru Saloka tertawa mendengar perkataan Patih satu Diro Menggolo. "Hal apa lagi yang harus saya sampaikan sebagai sebuah protes, Paman Patih? Semua hal yang saya terima di sini sudah melebihi yang sewajarnya." Senyum lebar mengembang di bibir sang patih sepuh itu. Sebuah kepuasan tersendiri jika dia bisa memberikan pelayanan terbaik untuk para tetamunya. "Bi
"Apalagi yang kamu pikirkan to Nang?" tanya Patih satu Diro Menggolo pada putra semata wayangnya itu. Lengannya yang terlihat menua itu, melingkar di bahu sang putra. Patih dua Dimas Bagus Penggalih adalah hartanya yang paling berharga. "Aku hanya kuatir tak mampu membahagiakan Dewi Rukmini, Romo," jawab Patih dua Dimas Bagus Penggalih dengan suara parau. "Aku tahu bahwa hatinya bukanlah untukku. Cintanya pada Pangeran Gagat terlalu besar untuk kuusik." Patih dua Dimas Bagus Penggalih mendengus kesal. "Kenapa taqdir tak berpihak padaku, Romo? Padahal aku selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang baik di sepanjang hidupku. Apakah aku harus menjadi manusia binal juga macam Pangeran Gagat agar mampu meraih hati Dewi Rukmini seutuhnya?" Nada geram terdengar menyelimuti suara parau sang patih muda itu. "Ngomong opo to kamu ini, Nang? Bukankah Gusti Ratu sudah menjatuhkan pilihannya pada dirimu? Pilihan tanpa paksaan. Pilihan yang didasari atas kemauannya sendiri. Dengan
Di lain tempat, tepatnya di dalam ruang keputren, terlihat seorang wanita paruh baya memasuki ruang utama keputren. Melangkah sedikit bergegas, seakan ingin mengejar sesuatu. Ya! Wanita paruh baya itu adalah Bik Nara. Dia memang ingin berlari mengejar. Mengejar kerinduannya pada junjungan tercinta, sang ratu Dewi Rukmini. Dia kini telah tiba di depan kamar yang dituju. Kamar yang selama 20 tahun menjadi kamarnya juga. Kamar di mana dia mengabdikan separuh hidupnya bagi sang junjungan. Mengasuh, membesarkan, merawat, dan mendampinginya layaknya perlakuan seorang ibu pada anaknya. Daun pintu kamar itu tidak terkunci. Terbentang lebar memperlihatkan isi seluruh kamar itu. Semuanya masih tetap dalam keadaan yang sama. mendiang Dewi Gauri-lah yang menyusun semua tatanan dalam kamar Dewi Rukmini itu. Dan Dewi Rukmini sudah berulang kali berpesan pada Bik Nara, agar tidak mengubah setiap jengkal tatanan dalam kamarnya. Karena aroma tubuh dan sentuhan tubuh ibunya, masih akan
"Mimpi tentang kekuasaan." Jawaban Ki Guru Saloka itu menyentak kesadaran Patih satu Diro Menggolo. Hal yang pernah terlintas di pemikirannya juga. Kecurigaannya terhadap kehendak Pangeran Gagat, ketika menyatakan keinginannya pada Prabu Arya Pamenang untuk melakukan pendekatan pada Dewi Rukmini. Sementara Ki Jalapati hanya diam tepekur. Selama dia mengenal sosok Pangeran Gagat, kesan baik yang timbul dalam hatinya. Dan dia melihat ada niat hati yang tulus dari Pangeran Gagat kepada Dewi Rukmini. Tapi, Ki Jalapati juga menyadari bahwa pasti ada banyak hal yng belum dia pahami dari sosok sang pangeran muda itu. "Saya sempat menduga ke arah sana juga, Ki Guru Saloka. Sewaktu Pangeran Gagat menghadap Prabu Arya Pamenang dan mengemukakan keinginannya untuk mengenal Dewi Rukmini secara lebih dekat." Patih satu Diro Menggolo menghela nafas panjang. Sekilas terbersit kekuatirannya akan keselamatan sang putra, Patih dua Dimas Bagus Penggalih. Mengenai Patih dua Dimas Bagus Pen
"Ah, mana mungkin aku melupakan anak asuhku yang satu ini? Yang paling bandel tapi paling setia terhadap tanah Sanggabumi. Bagaimana ilmu yang kamu dapatkan di sana, Nanda Bejo?" Tanp ada jengah sedikit pun, Prabu Arya Pamenang langsung memeluk Bejo, pasangan Kalong yang bertugas menjadi pengawal pribadi Dewi Rukmini selama ini. Perjalanan sang ratu menuju desa Karangkitri bersama Kalong, Bejo, dan Bik Nara, pada akhirnya memisahkan mereka berempat. Hanya Bejo yang terus mengikuti hingga Dewi Rukmini menjalani satu tahun berguru di padepokan Songgolangit. Tapi pelukan Prabu Arya Pamenang pada Bejo segera dia lepaskan begitu menyadari ada seseorang yang agung berdiri di belakang Bejo. Dengan sikap takdzim, Prabu Arya Pamenang bergegas menghampiri dan mencium tangan seseorang itu. Ki Guru Saloka. Tokoh ilmu knuragan dan kebatinan yang sangat disegani. Setiap pimpinan kerajaan manapun pasti akan mengenal Ki Guru Saloka. Seorang pinisepuh yang sangat berwibawa dan memi
Tinggal dua pekan lagi. Tak terelakkan kesibukn yang ada dalam istana Sanggabumi. Rombongan pedati yang ditarik lembu seakan tak putus datang masuk ke dalam halaman istana. Persembahan dari 18 desa yang berada dalam wilayh kekuasaan Kerajaan Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tertegun melihat antusiame rakyatnya yng luar biasa. Matanya membentuk selaput bening yang siap meluap kapan saja hati tak mampu mencegahnya. "Ini dari rkyatku?" tanya Prabu Arya Pamenang pada Patih tiga Rangga Aditya, seakan tak percaya dengan apa yang terpampang di hdapannya. Aneka bahan makanan telah diusung para prajurit untuk dimasukkan ke dalam lumbung istana. Dan ternyata lumbung sebesar dan seluas itu tak lagi mampu menampungnya. "Benar, Gusti Prabu. Ini semua hadiah dari beberapa desa yang ada di Sanggabumi." Patih tiga Rangga Aditya sedikit membungkukkan badan keada Prabu Arya Pamenang. Senyum bngga yang hanya tipis mengulas, terukir indah di bibir pangeran muda dari negri Galuh itu. "K
Senopati Satria Cakra mengajak Patih dua Dimas Bagus Penggalih untuk duduk di anak tangga pendopo puri istana. "Ada yang ingin aku bicarakan, Dinda Patih." "Aku siap mendengarkan, Paman." Patih dua Dimas Bagus Penggalih duduk di samping sang senopati dengan wajah tertunduk dalam. "Tadi pagi Gusti Prabu memanggilku. Membicarakan tentang persiapan pernikahanmu dengan Gusti Ratu. Gusti Prabu menunjukku sebagai pemimpin pelaksana. Dalam waktu persiapan satu bulan ... sebenarnya terlalu berat buatku, Dinda Patih. Aku harus bagaimana?" Senopati Satria Cakra mengusap kasar mukanya. Dengan menaikkan alis mata, terlihat bawa dia sangat kebingungan. Senyum Patih dua Dimas Bagus Penggalih mengembang tipis. Sembari menepuk punggung sang senopati, dia berujar lirih,"Tidak perlu bingung, Kanda Senopati. Panjenengan atur saja dari sisi keamanannya. Untuk ritualnya, romoku yang akan mengaturnya. Bukankah saat pernikahan Prabu Arya Pamenang dengan mendiang Dewi Gauri, juga romoku yang
Mata pedang itu berkilat begitu tajam ketika sosok Patih dua Dimas Bagus Penggalih melintas di hadapannya. Sosok patih muda yang tampan dan berpembawaan tenang. Ah, tidak terlalu tampan sebenarnya, tapi memiliki pesona yang sangat memikat karena kharisma yang dipancarkannya begitu kuat. Lelaki bermata pedang itu mendengus kesal. Segala ambisi dan harapannya musnah karena kehdiran Patih dua Dimas Bagus Penggalih yang selalu menjegal langkahnya. Dan lelaki bermata pedang itu sangat tidak menyukainya. "Bagaimana, sahabatku Pangeran Gagat? Apakah ada yang ingin panjenengan sampaikan padaku?" Sapaan halus Patih dua Dimas Bagus Penggalih itu mengagetkan Pangeran Gagat. Sore itu, kala petang hampir menjelang, Pangeran Gagat tengah duduk di anak tangga pendopo kesatrian. Mengatur nafas setelah lelah bekerja menjalankan tugas hukumannya. Setiap sore dia harus membersihkan kandang kuda sekaligus memberinya makan. Dua ratus ekor kuda! Sebuah jumlah yang fantastis. Dan saat ini Pa
Prabu Arya Pamenang duduk di atas singgasananya dengan begitu gagah. Aura kewibawaannya memancar begitu kuat. Beberapa helai rambut putih yang menghiasi rambutnya justru terlihat bagai sebuah sinar keperakan yang memperkuat karismanya. Hari ini adalah hari penentuan hukuman atas perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Pangeran Gagat dan Dewi Ayu Candra. Suara isak sang putti tak mampu meluluhkan hati sang penguasa Sanggabumi. Prabu Arya Pamenang tetap bersikeras untuk menghukum Dewi Ayu Candra dan Pangeran Gagat. "Tidak ada tawar menawar lagi dalam keputusan yang sudah kubuat," ujar Prabu Arya Pamenang dengan suara baritonnya yang terdengar berat dan dalam. "Saya mohon kebijaksanaan panjenengan, Gusti Prabu. Saya mengaku salah," mohon Pangeran Gagat. Jiwa ksatria sang pangeran ternyata masih kuat bercokol di kepribadiannya. Dia mengakui semua kesalahannya. Sungguh berbeda dengan Dewi Ayu Candra yang masih terus berusaha mengelak dan menimpakan semua kesalahan pada