Share

Desember Ke-30
Desember Ke-30
Author: Aeza

Pindah

Author: Aeza
last update Last Updated: 2021-06-21 19:45:13

“Ke Semarang. Kana rencananya ingin pindah ke Semarang.”

Akhirnya aku mengatakannya juga, setelah berlatih beberapa hari mengucapkan kalimat tersebut di depan cermin, akhirnya aku mengatakannya tanpa berlinang air mata. Keputusan kali ini lebih berat, walaupun aku pergi tidak lebih jauh daripada kepindahan sementaraku empat tahun lalu.

“Sudah dapat tempat di sana?” tanya abangku.

Aku tidak berharap dia orang pertama yang menyambut pernyataanku, aku ingin dia bersikap biasa seperti yang dia lakukan kalau kami sedang melakukan pembicaraan serius. Diam dan hanya bicara kalau memang perlu bicara. Jantungku jadi berdetak sangat kencang dan tidak karuan sekarang.

“Sudah,” sahutku dengan suara dan bibir yang sedikit bergetar.

“Kamu dapat kerja di sana, Dek? Tumben enggak cerita sama kita,” sambung Kak Dinah. 

“Kana perlu persiapan yang matang untuk benar-benar pindah,” sahutku masih dengan mulut bergetar.

Aku kemudian meminum segelas air dingin di depanku, mengurasi rasa tegang yang sudah menguasai seluruh tubuhku malam ini.

“Kalau begitu kalimatnya enggak ‘Kana rencananya ingin pindah ke Semarang’ lagi, tapi sudah ‘Kana akan pindah ke Semarang’.” Bang Ridwan ternyata menatapku, dan aku baru sadar kalo posisi duduknya tidak berubah semenjak aku mengatakan ingin pindah beberapa menit yang lalu.

Kak Dinah menghentikan gerakan tangannya yang akan menyantap sate ayam, begitu juga dengan Kak Maya yang segera menghentikan kerepotannya mengatur tempat duduk batitanya yang tidak bisa diam.

“Mau jalan-jalan seperti biasa atau pindah?” Bang Ridwad bertanya dengan muka serius. 

Aku menggenggam tanganku erat, mencoba menguatkan hati untuk segera bicara pada mereka. Aku tidak mungkin menyembunyikannya terlalu lama, aku tidak bisa lagi hanya memendamnya sendiri. 

“Kana mau jalan-jalan, juga mau beli apartemen atau rumah di Semarang,” ucapku dengan mantap setelah menyampingkan rasa sakit kepala yang mulai menggoda.

“Atau kamu sudah punya calon di sana, ya, Dek?” Suami Kak Dinah mencoba bercanda, menggodaku seperti biasa. 

“Kana sendiri yang mau pindah. Kana perlu pengobatan lebih lanjut, dan Kana memilih Semarang.”

Aku mengatakan kalimat menyakitkan kedua itu dengan mulus, bahkan aku tidak ingat lagi bagaimana rasa perih yang sering aku lakukan untuk menahan agar air mataku tidak keluar.

“Pengobatan? Untuk kamu? Kamu sakit, Dek,” ucap Kak Maya. 

“Sedikit ….” Ucapanku terhenti, aku mencoba mengendalikan rasa sakit di kepala dan dadaku yang menyerang secara bersamaan saat ini.

“Bisa tinggalkan kami sebentar,” pinta Bang Ridwan kepada istri dan anaknya, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada suami Kak Dinah.

Kak Puspa–istrinya Bang Ridwan, segera mengerti, kemudian membawa kedua anaknya keluar, begitu juga dengan Bang Diki–suami Kak Dinah yang segera memberi kode pada anak semata wayangnya untuk melanjutkan menyantap sate ayam di luar ruangan seraya menggendong si kecil Mega–anak Kak Maya, karena suami Kak Maya tidak bisa ikut berkumpul malam ini.

“Kamu sakit apa, Dek?” tanya Kak Dinah segera setelah pintu samping di ruang makan tertutup.

“Tumor … bisa jadi kanker otak,” jawabku dengan lebih santai. 

Aku sudah melatih jawabanku, dengan sebisa mungkin mengucapkannya tanpa air mata atau sekadar rasa sedih. 

“Kapan kamu periksa? Di mana? Dengan dokter siapa?” buru Bang Ridwan.

Malam ini dia terlihat berbeda, Bang Ridwan selalu cuek, tetapi selalu bisa memahami apa yang aku mau. Dia enggak akan melarangku ini dan itu seperti yang selalu Kak Dinah dan Kak Maya lakukan. Dia khawatir, tetapi tidak langsung menghalangi keinginanku.

“Satu bulan yang lalu, di rumah sakit yang biasa,” jawabku jelas.

Jawaban yang sudah sangat jelas, di kotaku hanya ada satu rumah sakit yang memiliki alat yang bisa melakukan tes untuk penyakit yang baru kuketahui satu bulan terakhir ini. Dan kalau harus menyebutkan nama dokternya, aku tidak yakin malam ini.

Dokter yang bertemu denganku satu bulan yang lalu tidak berbeda dengan dokter yang mengungkapkan kesedihan lima tahun yang lalu. Dokter yang sama yang mengabarkan bagaimana perkembangan kanker yang diderita Ayah. Berita itu, bisa saja membendung air mataku dan Bang Ridwan, tetapi tidak untuk Kak Dinah dan Kak Maya.

“Abang akan antar Kana ke Semarang.”

“Kakak juga.”

“Mega bisa aku titip ke Mamah, aku juga bisa ikut.”

Jawaban mereka bukanlah jawaban yang aku harapkan, jawaban yang hampir menembus pertahanan air mataku. Tidak … tidak, aku tidak boleh menangis di depan mereka. 

“Kana bisa sendiri, Kana hanya ingin memastikan, sesuai dengan saran Dokter Tanto.” 

Aku kelepasan sendiri, tangis Kak Dinah dan Kak Maya tidak bisa dicegah lagi. Mereka berdua kemudian memelukku. Bang Ridwan terdiam, dia menatapku tajam dengan mata merah yang bisa jadi sama denganku karena menahan air mata.

“Abang akan bantu Dedek pindahan. Dinah dan Maya bisa menyusul kalau Kana sudah dapat tempat tinggal di sana,” ucap Bang Ridwan seperti ultimatum, kemudian ia melangkah ke arah kamar mandi dan terdengar isakan khasnya.

Aku hanya pernah dua kali melihat Bang Ridwan menangis, dahulu sekali saat Ibu pergi dan empat tahun yang lalu, saat Ayah memberikan senyum terakhirnya kepada kami di rumah ini. Aku tidak tahan lagi, aku tidak bisa menahan air mataku saat melihat atau mendengar Bang Ridwan menangis. Aku akhirnya menangis dalam pelukan Kak Dinah dan Kak Maya malam itu. 

***

Satu bulan yang lalu.

“Perlu pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah itu tumor jinak atau bukan.”

“Berapa lama?”

“Iya?”

“Berapa waktu terlama bagi pasien untuk bertahan dengan tumor di kepalanya?”

“Kita belum tau jenis dan stadium tumornya–”

“Apakah dengan obat bisa bertahan lebih lama?”

“Kita belum tahu jenis dan stadiumnya, kita tidak bisa mengambil tindakan pengobatan jika belum tau– ”

“Operasi? Apakah bisa sembuh dengan operasi?”

“Aku akan menjawabnya kalau kamu mau diperiksa lebih lanjut.”

“Dok ….”

“Kana …. Ayolah, kamu tahu pasti kalau semakin cepat kita tahu semakin cepat semuanya bisa ditangani.”

“Kamu bisa kembali lagi kapan pun, aku punya banyak kenalan untuk membantumu di rumah sakit lain dengan peralatan yang lebih baik dari rumah sakit ini. Kamu kuat Kana, seperti dulu saat aku mengenalmu.”

“Aku akan memikirkannya, Dok.”

“Kembalilah lebih cepat, aku akan berusaha sebisaku untuk membatumu.”

***

Dua pekan kemudian.

“Amnesia, hilang ingatan, apakah itu mungkin terjadi setelah operasi?” 

Aku menanyakan pada Dokter Tanto tentang efek samping dari operasi pengangkatan tumor otak yang telah berubah menjadi kanker. Aku membaca artikel di internet dan menemukan beberapa informasi yang sangat menakutkan.

“Seharusnya kamu bertanya padaku terlebih dahulu, Kana. Dari mana kamu dapat informasi itu?”

“Internet.”

“Tidak salah juga, tetapi kemungkinan itu sangat kecil. Pengobatan tumor otak tidak selalu berakhir dengan operasi. Ada berbagai macam pengobatan tergantung tipe dan stadium tumor di otakmu.”

“Apakah Dokter bisa memberiku obat saja?”

“Kana–”

“Rasa sakitnya mengganggu sekali, Dok. Apakah ada obat yang bisa membantu untuk mengurangi sakitnya? Aku akan terima saran Dokter kalau waktunya sudah tiba.”

“Aku akan resepkan obat untukmu, Kana. Kamu sudah mengambil keputusan?” Dokter Tanto bertanya dengan raut wajah yang sama seperti dua pekan lalu.

“Bisa jadi gaya hidupku kurang sehat selama ini, Dok. Aku akan coba mengatur pola makan dan tidurku. Aku akan coba tahan rasa sakit di kepalaku.”

“Akan aku buatkan rujukan ke dokter gizi untuk pekan depan, juga–” usul Dokter Tanto padaku.

“Di Semarang,” potongku.

Aku sudah memutuskan, aku akan pindah ke Semarang. Aku akan berusaha untuk sembuh di sana. Walaupun ada sedikit kenangan kurang mengenakkan, bukan berarti aku harus menghidar selamanya. Ibu dan Ayah juga berjuang di sana, aku pun juga. Aku akan berusaha sebisaku untuk sembuh, seperti yang aku inginkan.

“Di Semarang,” ulangku lagi setelah tidak ada jawaban dari Dokter Tanto.

“Baiklah. Aku percaya kamu akan sembuh Kana. Aku bisa melihat semangatmu untuk sembuh, itu bisa jadi obat terbaik yang bisa kamu miliki.”

Seperti yang selalu ia lakukan dahulu pada Ayah, ia bukan saja memberikan pengobatan secara medis, Dokter Tanto juga menyuntikkan semangat untuk sembuh walaupun kesembuhan terasa tidak mungkin. 

“Terima kasih, Dok.”

Dokter Tanto menganggung, kemudian menuliskan resep obat yang kuminta. Dia menyarankan untuk satu kali pertemuan lagi dengannya sebelum aku pindah. Aku mengiyakan, aku perlu bantuan Dokter Tanto untuk mengurus keperluan pemeriksaan lanjutanku di Semarang nanti. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Desember Ke-30   Pamit

    Isakan Kak Maya belum reda, ia bicara dengan suaminya melalui ponsel. Aku sudah di kamarku, bersama si kecil Mega yang telah terlelap.Setelah makan malam yang sempat tertunda atas pengumuman rencana kepindahanku ke Semarang, kami kembali memutuskan untuk menyelesaikan acara makan malam keluarga yang rutin dilakukan paling tidak satu kali sebulan di rumah keluarga ini.Kak Maya masuk ke kamarku, dia yang meminta untuk tidur denganku malam ini. Biasanya, kalau sedang berkunjung ke rumah dia akan tidur di kamarnya dahulu.“Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali kita tidur bareng?” tanya Kak Maya seraya mengusap kening putri kecilnya.“Saat Kakak sudah punya pacar saat SMA dan enggak mau aku tau rahasia Kakak,” jawabku.Kak Maya tersenyum sejenak.“Karena anak kecil sepertimu sangat menyebalkan kalau soal rahasia,” sambungnya yang membuatku hampir tergelak.Jarak umur antara aku dan Kak Maya l

    Last Updated : 2021-06-22
  • Desember Ke-30   Jangan Nangis Lagi, Ya

    Kurang lebih dua jam kemudian aku dan Bang Ridwan sampai di Semarang. Banyak perubahan pada bandara ini, dahulu saat pertama kali melangkahkan kaki di Semarang, bandara ini masih kecil. Saat menunggu antrean bagasi, aku segera menghubungi Bang Nanda–teman yang aku kenal dari dunia maya karena memiliki ketertarikan yang sama dalam dunia menulis.Aku bertemu dengannya saat aku memberanikan diri untuk kembali ke Semarang setelah belasan tahun menghindari kota tersebut. Saat itu ada pelatihan kepenulisan yang diadakan di Semarang, aku kemudian mengambil kesempatan itu untuk menambah pengetahuanku tentag dunia tulis menulis.Hari pertama saat menginjakan kaki kembali di Semarang semuanya terasa baik-baik saja, juga hari kedua saat acara pelatihan kepenulisan diselenggarakan, aku masih bisa tertawa dan bercanda dengan teman yang memiliki minat yang sama dalam dunia merangkai kata.Luapan kenangan itu mulai menghampiriku pada hari ketiga. Pagi itu aku

    Last Updated : 2021-06-23
  • Desember Ke-30   Memilih Hunian Baru

    Keesokan harinya seperti janji Bang Nanda kemarin, pukul delapan pagi dia sudah sampai di hotel tempatku dan Bang Ridwan menginap. Bang Ridwan masih duduk menikmati kopi paginya bersama sepotong roti di restoran hotel. Aku menghampiri Bang Nanda di tempat parkir dan mengajaknya untuk sarapan.“Boleh deh, ngopi pagi dulu,” sambut Bang Nanda yang berjalan di sampingku menuju restoran hotel yang terletak di samping lobi.Aku mengambil beberapa potong semangka dan buah melon, kemudian mengambil segelas air putih. Bang Nanda yang berdiri di sampingku dengan segelas kopi hitam mengernyitkan dahinya.“Sehat banget menu sarapanmu, Kana,” kekeh Bang Nanda kemudian menghampiri Bang Ridwan.“Kopi aja nih?” tanya Bang Ridwan pada Bang Nanda saat aku bergabung bersama mereka.“Udah makan tadi, tapi kalo kopi mah enggak bisa ditolak,” jawab Bang Nanda.“Nanti mau lihat yang mana dulu nih? Mau lih

    Last Updated : 2021-06-24
  • Desember Ke-30   Menelusuri Jejak Kenangan

    Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan.Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bi

    Last Updated : 2021-06-25
  • Desember Ke-30   Kejutan Akhir Tahun

    Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar.Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk men

    Last Updated : 2021-06-26
  • Desember Ke-30   Perlu Bantuan

    Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja ak

    Last Updated : 2021-06-27
  • Desember Ke-30   Pengakuan

    Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan

    Last Updated : 2021-06-28
  • Desember Ke-30   Insiden Transit

    Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t

    Last Updated : 2021-06-30

Latest chapter

  • Desember Ke-30   Ayah di Mana?

    “Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N

  • Desember Ke-30   Percakapan Paling Misterius

    Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,

  • Desember Ke-30   Kepura-puraan Aroon

    “Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku

  • Desember Ke-30   Kembar Beda Zaman

    Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli

  • Desember Ke-30   Menulis Kenangan

    “Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark

  • Desember Ke-30   Teman Sekamar

    Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan

  • Desember Ke-30   Mantra Sederhana dari Aroon

    “Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.

  • Desember Ke-30   Aku Perlu Genggaman Tanganmu

    Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann

  • Desember Ke-30   Tatapan Hangat

    Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,

DMCA.com Protection Status