Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.
“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.
Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.
“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.
Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja aku tidak mau membuang waktu hanya untuk mencari dokter yang bisa memberikan surat keterangan dokter untuk keperluan perjalananku nanti.
“Dok, saya bisa minta resep obat saja, enggak?” pintaku.
“Saya ingin jalan-jalan dulu, Dok. Saya tidak menolak saran Dokter untuk melakukan biopsi, saya hanya ingin menundanya sedikit. Saya ingin pergi ke beberapa tempat sebelum saya melakukan pengobatan,” ungkapku.
Dokter Acha terdiam cukup lama, dia memandangku dengan tatapan ragu, sudut bibirnya membuat lengkungan keprihatinan.
“Dokter Tanto juga sudah bilang kalau kamu ingin dibuatkan rujukan ke dokter gizi.”
Aku mengangguk.
“Baiklah, Kana. Saya buatkan rujukan untuk konsultasi besok, ya. Saya juga akan resepkan obat untuk mengurangi nyeri kepalamu. Perlu diingat kondisimu tidak bisa dipaksa untuk kerja terlalu berat, terutama kerja otakmu.”
Aku mengangguk lagi dan keluar dari ruangan Dokter Acha menuju antrean pengambilan obat dan administrasi rumah sakit. Saat melakukan pembayaran, aku juga meminta informasi kepada petugas tentang perkiraan biaya pemeriksaan awal, pengobatan, dan penanganan penyakitku pada pihak rumah sakit.
***
Pembicaraan tentang pola makan sehat memang seru, tetapi saat menjalaninya akan sangat menantang. Aku sudah biasa membuat artikel tentang pola hidup dan makanan sehat saat mengelola blog Mbak Erika. Namun, untuk mencoba mempraktikan apa yang aku tulis sendiri tidak mudah. Begitu juga saat aku mulai berkonsultasi dengan Dokter Olivia, dokter ahli gizi yang disarankan Dokter Acha kepadaku.
“Untuk sementara kurangi konsumsi dagingnya, ya. Kalaupun mau banget makan daging merah, bisa kok makan sebulan sekali,” saran Dokter Olivia.
“Saya enggak terlalu suka makan daging merah, Dok. Tapi kalau konsumsi ikan perlu dibatasi juga, enggak?” tanyaku, karena aku suka makan ikan, terutama ikan laut dan seafood seperti udang dan cumi.
“Kurangin dulu deh, ya. Tapi kamu enggak harus stop makan. Ikannya dikukus, jangan digoreng atau dibakar. Perbanyak konsumsi sayur dan buah dulu, bagus lagi kalau kamu mau rutin untuk konsumsi buah beri.”
Dokter Olivia memberikan beberapa daftar bahan makanan yang perlu dimasukkan dalam menu makanan harianku, serta saran cara pengolahan bahan makanan. Pola makan ini akan sangat bermanfaat untuk menghadapi gejala-gejala kanker otak yang menghampiriku. Jadilah, setelah pulang dari rumah sakit aku langsung membeli beberapa sayuran hijau dan buah-buahan dengan warna gelap. Aku juga membeli sedikit karbohidrat non-olahan, dan kacang-kacangan.
Saat mengantre di kasir, aku mengamati setiap bahan makanan yang aku beli, serasa sedang melakukan program penurunan berat badan. Padahal berat badanku sendiri sudah turun drastis selama setengah tahun ini, sejak aku sering merasa sakit kepala, hingga akhirnya aku tahu ada tumor yang tumbuh pada otakku. Aku segera pulang ke apartemen setelah membeli stok makanan paling sehat dalam setahun terakhir ini.
***
Aku sempat beristirahat sebentar sebelum pergi menemui Dila. Aku ingin memeriksa perkembangan tulisannya, aku juga ingin membicarakan tentang penyakitku dan meminta persetujuannya membantuku bekerja selama aku pergi jalan-jalan.
Pada pertemuan malam ini kami bertemu di salah satu kafe di Jalan Singosari, terlebih Bang Nanda juga ingin ditemani minum kopi malam itu. Aku membuat janji dengan Dila lebih awal, karena aku tidak mau Bang Nanda tahu tentang sesuatu yang akan aku katakan pada Dila.
“Dila, aku punya beberapa ide konten untuk blognya Mbak Erika,” ucapku setelah kami memesan minuman.
Dila segera mengeluarkan catatannya.
“Kamu biasa nyatat di kertas, ya?” tanyaku.
“Lebih enak nyatat di buku, Mbak. Biar bisa dicoret-coret kalau ada yang kurang.”
“Emmm, oke. Langsung aja, ya. Aku mau Dila nyari keyword tentang pola makanan khusus bagi penderita penyakit tertentu. Nanti kumpulin jadi satu aja dulu, kalo sudah, aku atau Dila bisa langsung minta pendapatnya Mbak Erika. Kalau Mbak Erika sudah setuju baru Dila bikin artikelnya.”
“Siap, Mbak,” sahut Dila tanpa mengalihkan pandangan dari catatannya.
“Untuk artikel pertama aku punya ide mau bikin pola makan untuk penderita tumor dan kanker otak. Nanti jangan langsung to do point ke pola makannya, bikin pembukaan tentang penyakitnya dulu juga boleh, jadi artikelnya bisa lebih lengkap,” sambungku.
Dila mengangguk, tangannya masih sibuk menulis di buku kecil di hadapannya. Aku menjeda ucapanku, memberikan Dila sedikit waktu untuk menyelesaikan poin yang ingin dia catat.
“Lalu, Mbak?”
“Nanti Dila bisa cari info penyakit-penyakit yang paling banyak diderita saat ini,” usulku lagi.
“Siap.”
“Udah, itu dulu untuk tugas artikelnya. Minggu ini aku akan kirim 15 artikel untuk disunting, ya.”
“Iya, Mbak.”
“Oh iya, untuk freelance bagaimana?”
“Kontennya udah siap, Mbak. Tinggal aku post pekan depan,” lapor Dila.
“Thanks, Dila. Kalau enggak kamu bantu, aku bisa makin susah tidur.”
“Makasih juga, Mbak. Aku sudah dikasih kesempatan dan wadah untuk belajar.”
“Dila, aku mau ngomong sesuatu. Semoga ini enggak memberatkan Dila, aku lagi perlu bantuan,” ucapku dengan nada bicara serius.
Dila mengangguk, “Perlu bantuan apa, Mbak? Kalau Dila bisa, aku enggak bakalan nolak kok.”
“Dila mau enggak jadi asisten pribadi aku untuk menulis. Jadi gini, untuk minggu depan Dila handle blog Mbak Erika dulu. Nanti kita belajar sama-sama gimana caranya agar Dila bisa lebih jago nulis topik lain dengan cepat tanpa terpengaruh dengan gaya bahasa artikel yang Dila suka dan bisa. Biar Dila bisa bantu aku untuk bikin artikel blog lain, jadi sekarang kerjaannya dibalik, Dila yang bikin tulisannya, untuk swasunting dan finishing-nya aku yang kerjakan.”
Aku menghentikan permintaanku pada Dila saat pelayan mengantarkan pesanan kami.
“Kalau bisa untuk bulan depan Dila sudah bisa aku percaya untuk membuat artikel. Untuk pengelolaan akun media sosial nanti akan segera aku arahkan ke freelance baru,” sambungku.
Dila terdiam sejenak, dia mengalihkan pandangan pada segelas matcha latte pesanannya.
“Aku bisa enggak ya, Mbak. Aku takut kalau nanti mengecewakan Mbak Kana,” ucap Dila dengan ekspresi ragu yang tergambar jelas di wajahnya.
“Dalam proses kita bisa bertemu dengan banyak kekecewaan, Dila. Itu yang aku tahu dan pernah alami, kalau Dila mau berkomitmen untuk belajar bersamaku, itu sudah lebih dari cukup untuk memperluas zona nyaman Dila.”
Dila mengembuskan napas, masih ada rasa kurang percaya diri dari sorot matanya.
“Aku coba ya, Mbak.” Dila akhirnya menyambut permintaanku.
“Terima kasih, Dila. Keputusanmu sangat-sangat membantuku untuk berjuang sembuh dari penyakitku,” ungkapku, mengarahkan pembicaraan inti kedua malam ini.
“Penyakit? Mbak Kana lagi sakit?” tanya Dila dengan wajah terkejut.
Aku mengangguk.
“Sakit apa …. Mbak?” tanya Dila tersendat.
“Tumor otak,” jawabku, setelah memberi jeda pada pertanyaan Dila.
Dila hanya terdiam, memandangku seperti orang-orang yang sudah tahu tentang penyakitku. Pandangan prihatin.
“Aku mau jalan-jalan, Dila. mau menikmati waktuku untuk mewujudkan sedikit impianku dahulu. Oleh karena itulah waktu kerjaku perlu sedikit dikurangi, dan karena itu juga aku perlu bantuan Dila untuk bertukar tugas,” ungkapku jujur dengan memaksakan sedikit senyum di wajah.
“Mbak akan sembuh, kan?”
“Aku mau sembuh, akan aku usahakan.”
“Mbak akan sembuh, insyaallah. Mbak Kana orang baik yang pernah aku kenal. Aku akan selalu doakan untuk kesembuhan Mbak Kana.” Respons dari Dila cukup memberikan suntikan semangat padaku malam ini.
“Aamiin, terima kasih, Dila.”
Dila segera menuntaskan minumannya, kemudian dia pamit pulang. Sebelum pergi, dia mengungkapkan sesuatu yang membuatku merasa senang karena dapat membuat orang lain senang.
“Oh iya, Mbak. Kok fee Dila minggu ini udah nambah?”
“Kan Dila udah bikin artikel sendiri bulan lalu, jadi fee-nya udah kehitung per bulan,” jelasku.
“Oh … udah kehitung ya ternyata. Aku kaget lho, Mbak. Terus aku langsung kasihkan ke Ibu. Fee mingguan sebelum-sebelumnya sudah alhamdulillah banget, pas dapat yang bulanan kemarin aku jadi senang, akhirnya bisa ngerasain gaji bulanan kayak orang-orang juga,” ungkap Dila dengan wajah yang sedikit malu.
“Iya, nanti salam buat ibu Dila, ya. Pulangnya hati-hati, chat kalo sudah sampai,” pintaku.
“Siap, Bos. Dila pamit, ya.”
Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana
Pertanyaan dari Kak Silvia masih terngiang-ngiang, bahkan sampai aku bertemu dengan Kak Jovanka di sebuah kafe di Jalan Diponegoro, di Surabaya.“Ngelamun aja nih,” sapa seseorang yang kukenali sebagai Kak Jovanka.Seperti foto yang selalu dia pasang pada profil kontaknya, dia terlihat sangat cantik dan muda, jauh lebih muda dari usia yang pernah dia ceritakan padaku.“Hai, Kak,” sambutku.“Maaf lama, tadi harus menjemput bocah di sekolah dahulu,” ungkapnya.“Enggak diajak ke sini, Kak?”“Bocahnya yang enggak mau, dia malah minta diantar ke rumah omanya, jadilah aku makin lama di jalan tadi,” urai Kak Jovanka menjelaskan keterlambatannya.Memang benar, ya. Kalau kalimat yang diucapkan oleh seorang editor itu beda, apalagi editor selevel Kak Jovanka. Walaupun tidak bisa disamaratakan, tetapi lihatlah bagaimana pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya sesuai KBBI, b
Pertemuanku dengan Kak Jonvanka memang singkat, tetapi berharga. Pertemuan yang diawali dengan ketidaksengajaan kadang membawaku menjadi akrab dengan orang baru, dengan caranya masing-masing. Seperti halnya pertemuanku dengan Bang Nanda dan Dila, pertemuan dengan Kak Jovanka tindak akan menjadi pertemuan sementara, tetapi menjadi pertemuan yang berharga.Sekarang aku harus bergegas, pesawat yang akan membawaku kembali ke Semarang kurang dari tiga jam lagi. Setelah kembali ke hotel, aku segera membereskan barang-barang yang masih berantakan. Aku kemudian segera check out sebelum batas menginapku habis.“Maaf, Kak. Pesanan kamar Kakak masih satu hari lagi. Mohon maaf, Kak. Kalau mau dibatalkan sekarang, tidak ada biaya pembatalannya.”Aku kaget dengan penjelasan dari resepsionis. Dia kemudian memberikan informasi dari pemesanan online-ku. Sepertinya aku kurang cermat saat memasukkan tanggal untuk membuat pesanan hotel.“I
“Dek …. Kalau menurut Kana, bagaimana kalau rumah Ibu dan Ayah kita jual,” ucap Bang Ridwan saat kami sedang duduk santai di halaman belakang rumahnya.Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi ucapan Bang Ridwan barusan seraya menyeruput teh hangat dengan irisan lemon buatan Kak Puspa.“Kak Diah dan Kak Maya, bagaimana?” tanyaku balik.“Mereka tidak keberatan, Abang tinggal menunggu pendapat dari Kana aja,” jawab Bang Ridwan.“Kana ikut keputusan Bang Ridwan, Kak Diah dan Kak Maya,” pungkasku.Mungkin sudah saatnya melepaskan rumah penuh kenangan kami, mungkin sekarang sudah saatnya merelakan rumah kedua orang tuaku kepada pemilik barunya. Bang Ridwan, Kak Dinah, dan Kak Maya sudah punya rumah mereka masing-masing.Aku dahulu pernah berkhayal kalau kami semua tidak akan pernah meninggalkan rumah penuh kenangan kami. Semua perjalanan hidup kami tercipta dan berawal dari rumah kedua ora
Aku tiba di Jakarta pada siang hari, sedangkan waktu keberangkatanku selanjutnya masih nanti malam, ada waktu delapan jam lebih untuk berkeliling di CGK, cukup lama untuk menjadi bosan. Namun, perasaan itu tiba-tiba menggelitikku. Aku memperbaiki posisi dudukku, mencoba mencari wajah dia yang pernah aku temui beberapa bulan lalu, berharap wajahnya menjadi salah satu wajah-wajah yang aku lihat hari ini. Perasaan putus asa membuatku sering mengkhayal, terlalu tinggi malah, karena hanya dengan cara itulah aku merasa dekat dengannya. Aku menghela napas, mengembalikan kesadaranku untuk tidak terlalu berkhayal ketinggian lagi, berharap pada hal tidak pasti hanya akan memberikan kekecawaan yang lebih banyak. Pukul tujuh malam aku berangkat menuju Singapura untuk melewati transit keduaku di sana selama 11 jam lebih sebelum pesawat terakhir membawaku ke London keesokan paginya. Perjalanan akan cukup melelahkan, tetapi cukup murah dari pilihan penerbang
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,