Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.
Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.
“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.
Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.
“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.
“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan.
Aku mulai memikirkan beberapa alasan yang bisa aku ucapkan kepadanya, tetapi aku hanya menemukan jalan buntu. Kepalaku tiba-tiba terasa sakit, ada nyeri yang mulai mengganggu penglihatan, mengaburkan sedikit pandanganku.
Saat Bang Nanda kembali duduk di depanku, ada hening yang membuat kami berjarak. Ada kecanggungan yang aku rasakan di antara kami, Bang Nanda lalu menyibukkan diri dengan ponselnya. Sampai segelas kopi diantar di depan Bang Nanda tidak ada pembicaraan yang terjadi di antara kami.
Sakit di kepalaku makin menjadi, aku sempat menunduk beberapa kali, berusaha untuk menahan nyeri yang terasa seperti menghimpit kepalaku. Bang Nanda meletakkan ponselnya dengan posisi terbalik tidak jauh dari gelas kopinya, dia lalu memandangku seraya menghela napas.
“Anggap aja aku enggak dengar apa-apa. Kalau kamu merasa kurang nyaman, aku antar kamu pulang, ya,” tawar Bang Nanda.
Tentu saja aku tidak bisa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Aku masih mencoba untuk mencari alasan yang bisa aku ucapkan dengan tepat kepadanya, ada beberapa kalimat yang bisa aku pikirkan, tetapi tenggorokanku seperti tersekat untuk mengungkapkannya.
“Wajahmu pucat, Kana. Aku antar pulang, ya. Kita ngobrolnya lain kali saja,” pinta Bang Nanda.
Aku menggeleng, tidak ada kesempatan lain kali, aku harus mengucapkan sesuatu sebelum keadaannya semakin canggung.
“Kana mau cerita ke Bang Nanda kalau semuanya sudah selesai,” ungkapku, akhirnya.
Entah kalimat seperti apa itu, aku pun tidak mengerti kalimat ambigu yang baru saja aku ucapkan.
“Sudah selesai, kapan? Kapan waktu sudah selesai itu? Sudah selesai untuk apa? Atau aku masih orang asing bagimu ya, Kana?” Bang Nanda menyerbuku dengan banyak pertanyaan.
Hanya satu jawaban jujur untuk semua pertanyaan itu, aku hanya tidak mau membuat Bang Nanda kerepotan. Namun, ketidaksengajaan malam ini membuatku harus mengatakan lebih cepat tentang penyakitku kepadanya. Bang Nanda tipe pria perhatian yang bisa membuat nyaman orang-orang di sekitarnya. Bahkan bagi aku yang baru berkenalan beberapa tahun dengannya.
“Apa kamu pindah ke Semarang juga untuk berobat?” tanyanya lagi.
Aku menganggung, mencoba memberanikan diri kembali menatap matanya saat kami bicara.
“Kana … aku … aku enggak mau Bang Nanda memandangku dengan tatapan khawatir juga. Beberapa bulan terakhir, setiap aku menceritakan penyakitku, semua orang memberikan reaksi yang sama, mereka jadi memperlakukanku berlebihan,” terangku padanya, mencoba mengatakan apa yang harus aku katakan pada Bang Nanda.
“Lalu kamu mau aku bereaksi seperti apa, Kana?”
“Aku juga tidak tau, aku juga ….” Ucapanku tersendat, sakit di kepalaku makin menjadi.
Sakitnya sudah menjalar ke leher, membuatku harus memejamkan mata untuk menangani kesakitanku.
“Kana, aku antar pulang dulu, ya,” pinta Bang Nanda.
Saat membuka mata, aku lihat Bang Nanda sudah berjongkok di sampingku, dia menatapku dalam, membuatku menuruti permintaannya. Dalam mobil aku lebih sering memejamkan mataku, mencoba mengurangi rasa sakit sampai aku bisa mengusirnya dengan obat yang lupa kubawa saat pergi malam ini.
“Aku antar sampai atas, ya,” ucap Bang Nanda.
Aku membuka mata, menyadari kalau kami sudah di area parkir apartemen.
“Tidak ada tolak menolak, Kana. Kamu tunggu di sini dulu,” ucap Bang Nanda lagi.
Bang Nanda lalu mematikan mesin mobilnya, segera turun dan membukakan pintu mobil untukku. Inilah yang aku khawatirkan dari perlakuan Bang Nanda kepadaku kalau tahu lebih awal tentang penyakitku. Namun, mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mengulang waktu untuk menarik ucapan yang tidak sengaja Bang Nanda dengar.
“Ini bukan memperlakukan kamu berlebihan kok, Kana,” canda Bang Nanda dengan senyum jenakanya.
Aku hanya bisa meliriknya sekilas, kemudian mengikuti arahannya untuk segera beristirahat.
“Istirahat dulu, ya. Tenang aja, aku enggak akan memperlakukanmu berlebihan, enggak se-ekstrim tiap jam harus tau kabar kamu,” candanya lagi setelah kami sampai di depan pintu apartemenku dan dia pamit untuk pulang.
Ucapannya hanya bertahan beberapa jam, keesokan harinya Bang Nanda sudah menanyakan kabarku dan meminta jadwal kapan aku melakukan pengobatan. Dia bersikeras ingin menemaniku saat pergi ke rumah sakit.
Aku tidak bisa menolak permintaanya, maka seminggu kemudian saat aku harus berkonsultasi dengan Dokter Acha, aku harus bisa sabar menerima perlakuannya yang menurutku sedikit berlebihan.
“Bagaimana dengan sakit kepalanya, Kana?” tanya Dokter Acha pada sesi konsultasi hari ini.
“Makin sering, Dok,” sahutku.
“Kapan rencananya kamu akan mulai jalan-jalan? Berapa lama? Biar nanti saya bisa perkirakan obatnya dan akan segera saya buatkan surat keterangan dokternya.”
“Bulan depan, Dok. Enggak lebih dari dua minggu.”
“Mau jalan-jalan ke mana?” tanya Bang Nanda tiba-tiba, memotong sesi tanya jawabku dengan Dokter Acha.
“Bukannya kamu harus melakukan perawatan, kenapa malah jalan-jalan?” tanya Bang Nanda lagi.
“Sepertinya kamu belum cerita rencana jalan-jalanmu dengan pacarmu ya, Kana?”
“Dia bukan pacarku, Dok,” sanggahku.
“Dia adik ketemu gede, Dok. Enggak mungkin jadi pacar,” sanggah Bang Nanda juga.
“Kalian enggak sedang di zona abang-adek, kan?” tanya Dokter Acha seraya memicingkan matanya, menatapku dan Bang Nanda bergantian.
Bang Nanda dan aku hanya bisa tertawa dengan pertanyaan konyol Dokter Acha. Ya mungkin karena sikap Bang Nanda yang terlalu berlebihan tadi bisa membuat orang yang melihat kami jadi salah paham.
“Eh tapi, kamu ngapain jalan-jalan, Kana. Udah … berobat aja dulu baru jalan-jalan,” usul Bang Nanda setelah bisa menghilangkan tawanya.
“Tuh, Kana … diminta berobat dulu sama abang ketemu gedenya.” Dokter Acha masih ingin bercanda rupanya.
“Tetap enggak bisa, Dok. Aku sudah buat rencananya,” tolakku.
“Kok enggak bisa, kamu harus berobat dulu, Kana,” desak Bang Nanda yang sekarang sudah memegang lenganku, mencoba menghadirkan wajah memohon yang sangat susah kutolak itu.
“Tenang aja, selama Kana jalan-jalannya enggak ke hutan atau tempat sepi, melakukan perjalanan bisa jadi terapi personal yang menunjang pengobatan Kana selanjutnya,” sela Dokter Acha, mencoba menengahi perdebatan kecil dadakanku dengan Bang Nanda.
“Bisa begitu ya, Dok?” tanya Bang Nanda.
Dokter Acha mengangguk, “Atau kamu nemanin Kana jalan-jalan aja, biar enggak khawatir terus saat jauh darinya.”
Mulai lagi, Dokter Acha bisa juga kalau bercanda. Namun, bercandanya enggak main-main, membuatku segera menggelengkan kepala ke arahnya, memberikan kode kalau aku hanya ingin jalan-jalan sendiri.
“Tapi sepertinya adek ketemu gedemu enggak mau deh,” ucap Dokter Acha seraya mengarahkan pandangan Bang Nanda kepadaku.
“Enggak ada paksa memaksa, ya. Kana pokoknya mau jalan sendiri,” tolakku langsung saat Bang Nanda memandangku.
Bang Nanda masih memelas, dan aku masih tetap pada pendirianku.
“Kenapa harus jalan sendirian sih, Kana? Kenapa enggak jalan selesai berobat dulu? Siapa yang nanti nolong kalau terjadi apa-apa ke kamu?” ucap Bang Nanda setelah menghela napas.
“Kana masih takut saat membayangkan kalau nanti melakukan pengobatan dan harus dioperasi. Aku takut membayangkan Kana yang mulai melupakan semua kenangannya.” Aku berusaha mengutarakan alasan penundaan pengobatan yang aku pilih.
“Meskipun kamu berpeluang untuk melupakan semuanya, orang-orang di sekitarmu akan terus membuat kenangan indah kalau kamu memiliki semangat untuk sembuh, Kana,” ucap Dokter Acha, yang disambut anggukkan dari Bang Nanda.
“Kana tetap ingin jalan-jalan, Dok. Oleh karena itulah Kana perlu bantuan Dokter Acha untuk memberikan surat keterangan Dokter agar bisa melakukan perjalanan. Kana janji enggak akan kelelahan dan tahu diri kapan harus beristirahat,” mohonku lagi.
Dokter Acha akhirnya mengangguk, menyetujui permintaanku. Aku masih menangkap wajah kurang setuju dari Bang Nanda atas keputusanku. Namun, dia tidak bisa mendiamkanku lama-lama, dan aku juga tidak bisa berlama-lama dalam situasi canggung tanpa adanya candaan dari Bang Nanda.
“Pokoknya nanti harus lapor tiap hari,” perintah Bang Nanda saat mobil yang ia bawa sudah memasuki tempat parkir rumah makan di daerah Kampung Kali.
“Jangan kayak Bang Ridwan, please. Kapan Kana bisa menikmati waktu jalan-jalannya kalau harus laporan ke banyak orang tiap hari,” keluhku.
“Baiklah … baiklah, secukupnya juga enggak pa-pa, deh. Daripada kamu enggak kasih kabar sama sekali,” kekeh Bang Nanda.
“Nah, gitu dong.”
Belum apa-apa aku sudah harus bikin daftar laporan perjalanan. Apa aku perlu membuat pesan otomatis? Kalau semua orang minta dikasih kabar saat aku melakukan perjalanan nanti, kapan aku bisa menikmati solo travelling-ku?
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana
Pertanyaan dari Kak Silvia masih terngiang-ngiang, bahkan sampai aku bertemu dengan Kak Jovanka di sebuah kafe di Jalan Diponegoro, di Surabaya.“Ngelamun aja nih,” sapa seseorang yang kukenali sebagai Kak Jovanka.Seperti foto yang selalu dia pasang pada profil kontaknya, dia terlihat sangat cantik dan muda, jauh lebih muda dari usia yang pernah dia ceritakan padaku.“Hai, Kak,” sambutku.“Maaf lama, tadi harus menjemput bocah di sekolah dahulu,” ungkapnya.“Enggak diajak ke sini, Kak?”“Bocahnya yang enggak mau, dia malah minta diantar ke rumah omanya, jadilah aku makin lama di jalan tadi,” urai Kak Jovanka menjelaskan keterlambatannya.Memang benar, ya. Kalau kalimat yang diucapkan oleh seorang editor itu beda, apalagi editor selevel Kak Jovanka. Walaupun tidak bisa disamaratakan, tetapi lihatlah bagaimana pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya sesuai KBBI, b
Pertemuanku dengan Kak Jonvanka memang singkat, tetapi berharga. Pertemuan yang diawali dengan ketidaksengajaan kadang membawaku menjadi akrab dengan orang baru, dengan caranya masing-masing. Seperti halnya pertemuanku dengan Bang Nanda dan Dila, pertemuan dengan Kak Jovanka tindak akan menjadi pertemuan sementara, tetapi menjadi pertemuan yang berharga.Sekarang aku harus bergegas, pesawat yang akan membawaku kembali ke Semarang kurang dari tiga jam lagi. Setelah kembali ke hotel, aku segera membereskan barang-barang yang masih berantakan. Aku kemudian segera check out sebelum batas menginapku habis.“Maaf, Kak. Pesanan kamar Kakak masih satu hari lagi. Mohon maaf, Kak. Kalau mau dibatalkan sekarang, tidak ada biaya pembatalannya.”Aku kaget dengan penjelasan dari resepsionis. Dia kemudian memberikan informasi dari pemesanan online-ku. Sepertinya aku kurang cermat saat memasukkan tanggal untuk membuat pesanan hotel.“I
“Dek …. Kalau menurut Kana, bagaimana kalau rumah Ibu dan Ayah kita jual,” ucap Bang Ridwan saat kami sedang duduk santai di halaman belakang rumahnya.Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi ucapan Bang Ridwan barusan seraya menyeruput teh hangat dengan irisan lemon buatan Kak Puspa.“Kak Diah dan Kak Maya, bagaimana?” tanyaku balik.“Mereka tidak keberatan, Abang tinggal menunggu pendapat dari Kana aja,” jawab Bang Ridwan.“Kana ikut keputusan Bang Ridwan, Kak Diah dan Kak Maya,” pungkasku.Mungkin sudah saatnya melepaskan rumah penuh kenangan kami, mungkin sekarang sudah saatnya merelakan rumah kedua orang tuaku kepada pemilik barunya. Bang Ridwan, Kak Dinah, dan Kak Maya sudah punya rumah mereka masing-masing.Aku dahulu pernah berkhayal kalau kami semua tidak akan pernah meninggalkan rumah penuh kenangan kami. Semua perjalanan hidup kami tercipta dan berawal dari rumah kedua ora
Aku tiba di Jakarta pada siang hari, sedangkan waktu keberangkatanku selanjutnya masih nanti malam, ada waktu delapan jam lebih untuk berkeliling di CGK, cukup lama untuk menjadi bosan. Namun, perasaan itu tiba-tiba menggelitikku. Aku memperbaiki posisi dudukku, mencoba mencari wajah dia yang pernah aku temui beberapa bulan lalu, berharap wajahnya menjadi salah satu wajah-wajah yang aku lihat hari ini. Perasaan putus asa membuatku sering mengkhayal, terlalu tinggi malah, karena hanya dengan cara itulah aku merasa dekat dengannya. Aku menghela napas, mengembalikan kesadaranku untuk tidak terlalu berkhayal ketinggian lagi, berharap pada hal tidak pasti hanya akan memberikan kekecawaan yang lebih banyak. Pukul tujuh malam aku berangkat menuju Singapura untuk melewati transit keduaku di sana selama 11 jam lebih sebelum pesawat terakhir membawaku ke London keesokan paginya. Perjalanan akan cukup melelahkan, tetapi cukup murah dari pilihan penerbang
Saat London masih ditemani gelap, aku sudah melangkahkan kakiku ke Stasiun London Paddington. Hari ini aku akan menuju kota yang sering dijadikan lokasi syuting film Harry Potter. Kereta yang kutumpangi melesat cepat menuju kota yang memiliki julukan city of dreaming spire, Oxford.Pada hari pertama aku hanya berkeliling di sekitar Universitas Oxford, lebih banyak termenung di depan Radcliffe Camera dengan Cannery Row yang tidak beranjak dari halaman 87 sejak kubaca tadi malam.Aku lebih terpukai dengan keramaian yang silih berganti, aku mendapatkan spot bagus untuk mengamati. Aku mendapatkan frame mangnoli, lampu taman dan puncak Radcliffe Camera di depanku, pemandangan inilah yang berhasil menyedot perhatianku daripada membaca buku dalam genggaman.Rasa terpukai kadang bisa mengalahkan semua rencana yang sudah dibuat, dan itulah yang aku lakukan hari ini. Rasa terpukau bisa sampai di kota kecil ini membuatku lebih banyak termenung, menghirup uda
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,