“Dek …. Kalau menurut Kana, bagaimana kalau rumah Ibu dan Ayah kita jual,” ucap Bang Ridwan saat kami sedang duduk santai di halaman belakang rumahnya.
Aku terdiam sejenak, mencoba meresapi ucapan Bang Ridwan barusan seraya menyeruput teh hangat dengan irisan lemon buatan Kak Puspa.
“Kak Diah dan Kak Maya, bagaimana?” tanyaku balik.
“Mereka tidak keberatan, Abang tinggal menunggu pendapat dari Kana aja,” jawab Bang Ridwan.
“Kana ikut keputusan Bang Ridwan, Kak Diah dan Kak Maya,” pungkasku.
Mungkin sudah saatnya melepaskan rumah penuh kenangan kami, mungkin sekarang sudah saatnya merelakan rumah kedua orang tuaku kepada pemilik barunya. Bang Ridwan, Kak Dinah, dan Kak Maya sudah punya rumah mereka masing-masing.
Aku dahulu pernah berkhayal kalau kami semua tidak akan pernah meninggalkan rumah penuh kenangan kami. Semua perjalanan hidup kami tercipta dan berawal dari rumah kedua ora
Aku tiba di Jakarta pada siang hari, sedangkan waktu keberangkatanku selanjutnya masih nanti malam, ada waktu delapan jam lebih untuk berkeliling di CGK, cukup lama untuk menjadi bosan. Namun, perasaan itu tiba-tiba menggelitikku. Aku memperbaiki posisi dudukku, mencoba mencari wajah dia yang pernah aku temui beberapa bulan lalu, berharap wajahnya menjadi salah satu wajah-wajah yang aku lihat hari ini. Perasaan putus asa membuatku sering mengkhayal, terlalu tinggi malah, karena hanya dengan cara itulah aku merasa dekat dengannya. Aku menghela napas, mengembalikan kesadaranku untuk tidak terlalu berkhayal ketinggian lagi, berharap pada hal tidak pasti hanya akan memberikan kekecawaan yang lebih banyak. Pukul tujuh malam aku berangkat menuju Singapura untuk melewati transit keduaku di sana selama 11 jam lebih sebelum pesawat terakhir membawaku ke London keesokan paginya. Perjalanan akan cukup melelahkan, tetapi cukup murah dari pilihan penerbang
Saat London masih ditemani gelap, aku sudah melangkahkan kakiku ke Stasiun London Paddington. Hari ini aku akan menuju kota yang sering dijadikan lokasi syuting film Harry Potter. Kereta yang kutumpangi melesat cepat menuju kota yang memiliki julukan city of dreaming spire, Oxford.Pada hari pertama aku hanya berkeliling di sekitar Universitas Oxford, lebih banyak termenung di depan Radcliffe Camera dengan Cannery Row yang tidak beranjak dari halaman 87 sejak kubaca tadi malam.Aku lebih terpukai dengan keramaian yang silih berganti, aku mendapatkan spot bagus untuk mengamati. Aku mendapatkan frame mangnoli, lampu taman dan puncak Radcliffe Camera di depanku, pemandangan inilah yang berhasil menyedot perhatianku daripada membaca buku dalam genggaman.Rasa terpukai kadang bisa mengalahkan semua rencana yang sudah dibuat, dan itulah yang aku lakukan hari ini. Rasa terpukau bisa sampai di kota kecil ini membuatku lebih banyak termenung, menghirup uda
Aku tetap setia mengambil keberangkatan pagi menggunakan kereta ke destinasi berikutnya. Setelah berpesan pada resepsionis kalau aku akan check out pagi buta, dalam gelap aku membereskan semua barangku. Selama pergi ke Oxford, beberapa barang memang kutitipkan di hotel, agar aku tidak perlu melakukan check in ulang.Dari Stasiun Paddington aku harus menempuh tidak kurang dari satu jam menuju Cambridge. Aku sedikit kerepotan saat membawa koper besar dan ransel ukuran sedang di punggungku, tetapi Cambridge sudah menunggu.Aku harus mampir ke kota yang memiliki universitas impianku yang kandas, setidaknya aku singgah untuk melihat tempat-tempat yang pernah memenuhi khayalan sebelum tidurku.Khayalan tanpa adanya pergerakan untuk mewujudkannya hanyalah kesia-siakan belaka. Aku menyadari kesalahanku cukup lambat, tetapi aku tidak patah semangat, lebih tepatnya aku selalu mendapatkan dukungan dari teman-teman semasa kuliah yang menganggap impian kuliah ke luar n
Hostel milik Madam Anneliese memang pilihan ‘terbaik’, aku bahkan hanya perlu jalan kaki menuju ke Dam Square. Madam Anneliese mengatakan aku bisa menyewa sepeda tidak jauh dari hostelnya, tetapi untuk sore ini aku ingin menikmati hari pertamaku di Amsterdam dengan berjalan kaki.Dari hostel Madam Anneliese aku mengambil langkah ke arah barat, setelah berjalan selama tujuh menit aku tinggal belok kiri untuk sampai ke tempat tujuan. Dam Square sudah dipenuhi dengan kerumunan manusia, kamera ponselku langsung sibuk mengambil momen keramaian di depan mata. Aku mendekat ke Royal Palace Amsterdam, kemudian membidik ke Madame Tussauds.Aku memilih mengabaikan Madame Tussauds yang mulai berpendar oleh lampu-lampu dari dalam yang mulai dihidupkan. Dari saku mantel yang kukenakan, aku mengeluarkan bungkusan kecil berisikan biji jagung yang aku dapatkan dari karyawan Madam Anneliese, kemudian aku ikut bergabung dengan beberapa pengunjung lain yang memberi makan pada
Aku harus merogok kocek lebih dalam, biaya pengiriman tiga kali lipat dari harga tiga karung umbi tulip yang akan aku kirim ke Indonesia. Namun, tidak apalah, daripada tidak terkirim dan aku bingung mau diapakan ketiga keranjang yang memenuhi tanganku sekarang. Aku tidak mungkin memberikannya pada Madam Anneliese yang katanya sudah biasa dengan kehadiran tulip, Emma juga menggeleng saat kutawari beberapa bibit tulip untuknya.Aku berpamitan dengan Madam Anneliese dan Emma setelah mengurus pengiriman bibit tulip tadi. Madam Anneliese berbaik hati memberikanku bekal pai apel, anggur hijau segar dan mengisi botol minumku dengan jus jeruk.“Aku juga ingin keliling Eropa suatu saat nanti,” ucap Emma yang terdengar seperti sebuah doa di telingaku.Aku mengaminkan doanya, dan berharap dia juga bisa berkunjung ke Indonesia.Tidak menunggu lama, lima menit setelah sampai di stasiun sentral Amsterdam, kereta yang akan membawaku ke Berlin segera bergerak
Coksa bilang akan menambah satu hari waktunya di Stuttgart sebelum kembali berburu Little Woman cetakan pertama. Dan sekarang, Coksa mengajakku sarapan bersama sebelum dia mengantarku ke stasiun.Tadi malam, saat membereskan barang-barangku di hotel, aku teringat lemon gin yang aku beli di Cambridge, daripada nantinya gin tersebut berakhir sebagai pajangan, aku memilih untuk memberikannya kepada Coksa.“Ini untukmu,” ucapku saat aku dan Coksa sudah menyantap habis Kartoffelsalat.Coksa mengernyitkan dahi, kemudian menaikan alis dan menatapku lama.“Kamu membeli gin?” tanyanya dengan tatapan curiga yang dibuat-buat.“Iya. Ada yang salah? tanyaku balik.“Tidak, hanya saja … menurutku kamu bukan tipe penyuka minuman beralkohol,” tebak Coksa.“Aku memang tidak minum alkohol,” akuku.“Kalau kamu memang tidak minum alkohol, kenapa malah beli gin?” tanya Coksa, s
Kota impianku selanjutnya adalah Luzern, aku berangkat dari stasiun utama Zurich dengan menggunakan kereta gantung jam 08:10 pagi. Empat puluh menit kemudian aku tiba di stasiun sentral Luzern, dari stasiun aku hanya perlu berjalan kaki kurang dari lima menit untuk sampai ke Danau Luzern yang terkenal dengan jembatan kunonya. Jembatan kayu yang sudah ada sejak abad keempat belas–Kapelbrucke.Di samping Kapelbrucke berdiri kokoh menara air tradisional yang berdiri di tengah-tengah Sungai Reuss yang berhimpitan dengan jembatan.Aku menarik pelan koperku, mencoba melewati Kapelbrucke dengan khidmat. Setelah berada di seberang aku segera mengantar koper dan perintilan lainnya yang menempel di tubuhku ke hotel. Aku segera melanjutkan perjalanan ke Lowendenkemal, ikon Kota Luzern yang menurutku sangat mirip dengan Aslan dari cerita Negeri Narnia.Patung singa yang dipahat pada permukaan batu itu berpose terebah di seberang sana, aku berdiri di samping danau keci
Sedikit merasa mengenaskan di kota romantis Paris, aku sedikit terhibur dengan kehadiran pesan email dari Coksa. Coksa membalas sapaanku melalui surat elektronik dengan memberitahukan lokasinya sekarang.Kalimat yang membuat perasaanku campur aduk adalah pernyataannya akan sesuatu. Hal yang akan dia ceritakan seperti janjinya saat terakhir kami bertemu.Malam ini Coksa ingin bertemu di Champ de Mars. Saat tiba di hotel, aku membongkar koperku, mencari baju yang sedikit lebih cantik, dan aku menyerah dengan pilihan baju serbaguna yang aku siapkan dalam perjalanan panjangku kali ini.Pada akhirnya aku hanya mengenakan celana dan kemeja seperti biasa, dengan pilihan warna yang selalu gelap. Agar tampilanku tidak terlihat murung, aku mencoba memadankan pakaian gelapku dengan syal bermotif bunga, satu-satunya item yang memiliki nuansa yang semarak.Aku sudah sangat bersemangat ketika menemui Coksa di Champ de Mars, tetapi saat momen itu tiba, wajah Coksa terli
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,