Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan.
Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.
Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bisa aku terima hari ini.
***
Keesokan harinya, kami pergi ke apartemenku untuk menaruh beberapa barang yang dibelikan Kak Dinah dan Kak Maya untukku. Perjalanan kami lanjutkan ke Klenteng Sam Poo Kong, kemudian singgah di salah satu warung Soto Bangkong di dekat rumah sakit tempat Ibu dahulu pernah dirawat.
“Dulu sering makan di sini kalo lagi ganti giliran jaga sama Ayah,” cerita Kak Dinah yang matanya sudah akan menitikkan air mata.
Bukan hanya aku yang sentimental dengan kenangan tentang Ibu dan Ayah, kedua kakakku malah lebih parah kalau dibawa membahas tentang kenangan kedua orang tua kami, mereka lebih mudah memperlihatkan kesedihan dan air mata di depan umum.
Merasa cukup kenyang dengan Soto Bangkong, kami lalu pergi ke Lawang Sewu dan mampir ke salah satu toko lumpia untuk mengisi perut lagi sebelum menikmati sore di kawasan Kota Lama. Bagunan di daerah Kota Lama Semarang tidak pernah bosan untuk dilihat lagi dan lagi, ada keindahan dan daya tarik yang tidak bisa ditolak dari bangunan-bangunan tuanya.
Kami segera pulang setelah menyantap makan malam di salah satu rumah makan. Kami perlu isirahat sebelum besok melanjutkan perjalanan ke Magelang.
***
Pukul sepuluh pagi shuttle bus yang akan membawa kami ke Magelang sudah tiba, kami segera meluncur ke Magelang untuk melihat Candi Borobudur. Dahulu, saat aku bisa kembali ke Semarang, aku belum sempat ke Borobudur, selain waktunya yang aku buat tidak sempat, aku juga tidak berani sendirian menelusuri jejak kenanganku di sana.
Dua jam perjalanan tidak terasa ketika pergi bersama keempat keponakanku, aku tetap terjaga bersama mereka hingga kami sampai di Magelang. Bang Ridwan lebih sering berbicara dengan supir. Aku beberapa kali menawarkan diri untuk mengasuh Mega, tetapi Kak Maya menolak, seolah tidak mau membuatku kelelahan.
“Tenang aja, Mega kalau jalan rame-rame gini enggak banyak rewelnya kok,” ucap Kak Maya saat aku menawarkan diri untuk yang kelima kalinya.
Kak Dinah dan Kak Puspa lebih banyak tertidur, karena mereka berdua telah menelan obat anti mabuk beberapa menit sebelum kami meninggalkan Semarang.
“Wawww, Mah … lihat deh! Kita sudah sampai,” seru Dian saat puncak Candi Borobudur terlihat dari kejauhan.
Dian berteriak girang, membangunkan Kak Dinah dan Kak Puspa yang masih terlelap karena pengaruh obat anti mabuk.
“Biasa aja sih,” sahut Alifa.
“Apanya yang biasa, besar banget candinya. Bang … Bang lihat deh,” seru Allisya yang sudah menempel pada kaca jendela shuttle bus seraya menunjuk ke arah Borobudur.
Aku mengikuti arah yang Allisya hebohkan, walaupun masih cukup jauh, bangunan megah Borobudur tidak bisa terbantahkan. Aku saat pertama kali melihatnya juga heboh bersama salah satu sepupuku. Aku dan salah seorang sepupuku bahkan pernah terpisah dari rombongan, dan masih tertawa girang saat kami diantar menemui orang tua kami yang menunggu dengan wajah cemas.
Lima menit kemudian shuttle bus yang mengantar kami tiba di salah satu hotel yang terletak tidak jauh dari area Candi Borobudur. Aku sengaja memilih hotel tersebut agar kami bisa menikmati keindahan Borobudur dengan lebih dekat. Beruntungnya, supir yang mengantar kami sekeluarga ke Magelang menawarkan diri untuk mengantar hingga pintu masuk kawasan Candi Borobudur.
“Sekalian mau istirahat juga, Pak,” ucapnya pada Bang Ridwan.
“Kalau gitu kita makan siang barengan aja ya, Mas,” pinta Kak Dinah.
Tidak ada waktu istirahat untuk liburan kali ini, kami langsung menuju Borobudur setelah mengantar barang ke hotel dan menyantap makan siang. Bang Ridwan sudah akan memberikan uang tambahan kepada supir suttle bus yang telah berbaik hati mengantarkan kami, tetapi dia menolak.
“Enggak usah, Pak. Tadi saya makan juga sudah dibayarin, jadi enggak enak saya.”
“Terima kasih banyak, Mas,” ucap Bang Ridwan beberapa kali kepada supir.
Siang itu tidak terlalu terik, walaupun cukup panas untuk menelusuri kawasan depan candi yang luas. Belum sampai ke anak tangga pertama, Kak Diah, Kak Puspa dan Kak Maya yang menggendong Mega sudah kelelahan. Mereka bertiga lalu meminta untuk beristirahat sebentar.
Bagi ketiga keponakanku yang sudah aktif tidak ada yang namanya lelah, mereka kemudian menarikku untuk segera naik. Kak Puspa sudah akan memarahi kedua anaknya agar tidak membuatku lelah, tetapi aku segera mengiyakan keinginan para keponakanku.
Akhirnya Bang Ridwan juga ikut bersamaku untuk meneruskan perjalanan. Sekarang kami kembali bersama ke candi Buddha terbesar ini, jadi aku tidak akan merasa kesepian dan harus mengenang perjalanan masa kecilku sendirian.
“Dedek enggak lelah, ya?” tanya Bang Ridwan.
“Enggak lelah, kok. Ini yang namanya vitamin liburan,” sahutku bercanda.
Bang Ridwan lalu mencubit pipiku, tanpa kuduga dia merangkulkan lengannya ke bahuku. Aku sedikit terkejut dengan perlakuannya akhir-akhir ini, dia jadi lebih sering memperhatikanku, menanyakan kabarku bahkan setelah kami bertemu sehari sebelumnya.
Kalau dahulu jangan ditanya, satu kali sebulan sudah cukup banginya menanyakan kabarku. Pertanyaan Bang Ridwan saat menghubungiku tidak akan jauh dari bagaimana perasaanku menjalani apa yang sudah kupilih dan uang. Dia selalu bertanya apa aku perlu uang tambahan. Pertanyaan yang selalu aku suka, karena aku lebih suka ‘mentahan’ daripada barang yang kadang malah tidak terlalu kugunakan.
Ponsel Bang Ridwan bergetar saat kami sampai pada tingkatan teratas Borobudur, Kak Puspa memberi tahu kalau akan segera menyusul. Allisya dan Dian sudah berlarian dan saling mengintip di antara stupa.
Bang Ridwan bergabung bersama mereka, sekaligus meminta mereka untuk tidak berpencar terlalu jauh. Bisa kena marah para ibu kalau mereka hilang dari pengawasan Bang Ridwan. Aku mendekati Alifa yang asyik mengambil gambar pemandangan.
“Mau Tante fotokan,” tawarku.
“Alifa sukanya ngambil foto, Tante. Enggak suka difoto,” tolak Alifa.
Aku tertawa geli mendengar jawabannya, makin banyak saja kesamaannya denganku.
“Please, Tante, jangan bilang kalau kita samaan lagi,” mohon Alifa yang sekarang sudah membidik kamera ponselnya ke arahku.
Aku segera beranjak untuk mengambil ponsel Alifa untuk melihat hasil bidikannya.
“Tenang aja, Tante. Hasil bidikan Alifa estetik kok,” ucapnya lagi.
Aku tidak bisa membantah ucapannya saat melihat hasil potret Alifa.
“Foto berdua, yuk!” ajakku.
Alifa mengangguk dan kami segera berswafoto, tak lama kemudian Allisya dan Dian bergabung. Mereka berdua jadi heboh juga ingin ikut berswafoto. Bang Ridwan menawarkan diri untuk memotret kami berempat, kemudian meminta Alifa yang paling bisa diandalkan untuk mengabadikan gambarku dan Bang Ridwan di Borobudur.
Beberapa saat kemudian, Kak Dinah, Kak Puspa, Kak Maya dan Mega bergabung. Bang Ridwan kemudian meminta salah satu pengunjung untuk mengambil potret kami di tingkat tertinggi dari Borobudur. Membuat satu kenangan indah di penghujung tahun.
***
Akibat terlalu bersemangat saat menjelajahi Borobudur kemarin, hari ini ketiga keponakanku hanya bermain ponsel dalam perjalanan kami ke Yogyakarta, sesekali kulihat Alifa mengurut betisnya. Kak Diah dan Kak Puspa tidak minum obat anti mabuk mereka lagi hari ini, takut kebablasan tidur di jalan. Dalam perjalanan ke Yogyakarta aku lebih sering berbincang dengan mereka.
Walaupun terlihat cuek, tetapi aku tahu Alifa menguping pembicaraan kami. Setelah tiba di Yogyakarta siang hari, kami memilih untuk pergi ke tempat makan dan kembali ke hotel untuk mengistirahatkan diri sebelum memulai perjalanan nanti malam.
Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar.Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk men
Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja ak
Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana
Pertanyaan dari Kak Silvia masih terngiang-ngiang, bahkan sampai aku bertemu dengan Kak Jovanka di sebuah kafe di Jalan Diponegoro, di Surabaya.“Ngelamun aja nih,” sapa seseorang yang kukenali sebagai Kak Jovanka.Seperti foto yang selalu dia pasang pada profil kontaknya, dia terlihat sangat cantik dan muda, jauh lebih muda dari usia yang pernah dia ceritakan padaku.“Hai, Kak,” sambutku.“Maaf lama, tadi harus menjemput bocah di sekolah dahulu,” ungkapnya.“Enggak diajak ke sini, Kak?”“Bocahnya yang enggak mau, dia malah minta diantar ke rumah omanya, jadilah aku makin lama di jalan tadi,” urai Kak Jovanka menjelaskan keterlambatannya.Memang benar, ya. Kalau kalimat yang diucapkan oleh seorang editor itu beda, apalagi editor selevel Kak Jovanka. Walaupun tidak bisa disamaratakan, tetapi lihatlah bagaimana pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya sesuai KBBI, b
Pertemuanku dengan Kak Jonvanka memang singkat, tetapi berharga. Pertemuan yang diawali dengan ketidaksengajaan kadang membawaku menjadi akrab dengan orang baru, dengan caranya masing-masing. Seperti halnya pertemuanku dengan Bang Nanda dan Dila, pertemuan dengan Kak Jovanka tindak akan menjadi pertemuan sementara, tetapi menjadi pertemuan yang berharga.Sekarang aku harus bergegas, pesawat yang akan membawaku kembali ke Semarang kurang dari tiga jam lagi. Setelah kembali ke hotel, aku segera membereskan barang-barang yang masih berantakan. Aku kemudian segera check out sebelum batas menginapku habis.“Maaf, Kak. Pesanan kamar Kakak masih satu hari lagi. Mohon maaf, Kak. Kalau mau dibatalkan sekarang, tidak ada biaya pembatalannya.”Aku kaget dengan penjelasan dari resepsionis. Dia kemudian memberikan informasi dari pemesanan online-ku. Sepertinya aku kurang cermat saat memasukkan tanggal untuk membuat pesanan hotel.“I
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,