Keesokan harinya seperti janji Bang Nanda kemarin, pukul delapan pagi dia sudah sampai di hotel tempatku dan Bang Ridwan menginap. Bang Ridwan masih duduk menikmati kopi paginya bersama sepotong roti di restoran hotel. Aku menghampiri Bang Nanda di tempat parkir dan mengajaknya untuk sarapan.
“Boleh deh, ngopi pagi dulu,” sambut Bang Nanda yang berjalan di sampingku menuju restoran hotel yang terletak di samping lobi.
Aku mengambil beberapa potong semangka dan buah melon, kemudian mengambil segelas air putih. Bang Nanda yang berdiri di sampingku dengan segelas kopi hitam mengernyitkan dahinya.
“Sehat banget menu sarapanmu, Kana,” kekeh Bang Nanda kemudian menghampiri Bang Ridwan.
“Kopi aja nih?” tanya Bang Ridwan pada Bang Nanda saat aku bergabung bersama mereka.
“Udah makan tadi, tapi kalo kopi mah enggak bisa ditolak,” jawab Bang Nanda.
“Nanti mau lihat yang mana dulu nih? Mau lihat apartemen dulu atau rumah?” Bang Nanda beralih padaku.
“Jauhan yang mana?” Aku bertanya balik.
“Jauhan rumah kalau soal jarak, tapi tenang aja, aku sudah survei, masih di tengah kota kok,” jawab Bang Nanda.
“Okay, lihat rumah dulu deh baru lihat-lihat apartemen di dekat sini.”
Aku juga sudah survei via G****e Maps, tetapi soal rincian perumahan yang aku dapatkan belum tahu pastinya. Kalau melihat jarak dari rumah sakit masih dekat apartemen yang akan kami survei hari ini, tetapi tidak ada salahnya untuk melihat-lihat dahulu rumah yang disewakan di Semarang Timur itu.
Selesai sarapan kami langsung menuju rumah yang akan disurvei. Bang Nanda juga sudah mengirim pesan kepada pemilik rumah. Saat sampai, rumah kecil dengan gaya minimalis itu tampak indah.
Aku kemudian melihat-lihat bagian dalamnya, harga yang ditawarkan juga tidak terlalu tinggi. Padahal lokasi rumahnya benar-benar masih di tengah kota dan jarak ke rumah sakit tempat rujukanku nanti juga tidak lebih dari lima belas menit.
Setelah berdiskusi dengan Bang Ridwan, Kak Dinah dan Kak Maya, tahun pertama ini aku hanya akan menyewa rumah atau apartemen, kalau dirasa nyaman barulah nanti membeli rumah atau apartemen, tergantung keuanganku nanti. Aku juga harus memikirkan biaya perjalanan yang sudah aku susun, juga biaya pengobatan yang kuperkirakan akan menguras tabungan.
Awalnya aku tertarik untuk menyewa rumah di daerah Rejosari ini, tetapi setelah melihat rumah tersebut yang lumayan luas untuk ukuran satu orang, aku membatalkannya. Aku tidak mau tinggal di tempat luas sendirian lagi, seperti yang aku jalani saat di rumah keluarga.
Aku dan Bang Ridwan dibawa Bang Nanda berkeliling di kawasan Simpang Lima. Di sana ada beberapa apartemen yang disewakan, mungkin karena di pusat kota, harga sewa yang ditawarkan cukup tinggi, menguras kantong sekali, walaupun ada diskon kalau aku membayar lunas satu tahun.
Bang Nanda kemudian mengusulkan untuk melihat satu apartemen di daerah Tegalsari, karena daftar apartemen dalam catatanku sudah habis, aku mengiyakan.
Setelah melihat beberapa tipe apartemen yang ditawarkan akhirnya aku memilih satu unit studio di lantai tujuh. Aku dan Bang Ridwan segera menyelesaikan proses penyewaan dan membayar biaya sewa untuk satu tahun.
Apartemen yang disediakan sudah siap huni, bahkan aku sudah bisa menempati apartemen baruku setelah menandatangani perjanjian dan membayar sewa hari ini.
Saat di perjalanan aku segera menghubungi Kak Dinah. Aku mengirim alamat lengkap apartemen tadi untuk keperluan pengiriman barang-barangku yang masih ditinggal di rumah. Aku juga membuka aplikasi untuk memproses tiket pesawat dan segera mengirim gambar e-tiket kepada Kak Dinah.
Aku jadi bersemangat sekarang, karena mereka akan segera menyusul ke semarang besok siang, tetapi tiba-tiba kepalaku jadi sakit. Rasa sakitnya membuatku menjatuhkan ponsel dari tangan dan membuat Bang Ridwan menoleh.
“Kamu enggak mabuk kan, Kana?” tanya Bang Nanda.
Saat mengangkat kepala kembali aku temukan wajah khawatir Bang Ridwan.
“Kana enggak pa-pa, pusing dikit aja,” jawabku seraya membalas tatapan khawatir Bang Ridwan, juga segera melirik ke arah Bang Nanda yang melihatku melalui rear-vision mirror.
“Kalo gitu aku antar ke hotel dulu deh, ya,” saran Bang Nanda.
“Enggak pa-pa, kok. Kana ikut dong, masa ditinggal sendirian di hotel, merana banget jadinya,” pintaku.
Bang Nanda tertawa, dan Bang Ridwan mau tak mau ikut tersenyum mendengar ucapanku.
“Okay, nanti pesan yang sehat-sehat aja deh, ada pilihan selain kopi kok. Atau cokelat hangatnya aja, kata temanku enak lho,” sambung Bang Nanda.
Aku menganggung sambil menahan nyeri di kepala dan mengalihkan diri dengan melihat jalanan yang sedikit padat di kawasan Kota Lama sore ini. Bang Nanda lalu memarkirkan mobil dan kami bertiga berjalan menuju sebuah kafe dengan nuansa rustic ala Eropa.
Aku sudah tertarik untuk memesan affogato–menu dengan single espresso dan es krim vanilla, aku bisa menyantap es krim vanillanya, untuk single espresso-nya bisa aku hibahkan ke Bang Ridwan. Namun sayang, Bang Ridwan sudah pasang tampang melarang, aku akhirnya hanya memesan jus jeruk dan croissant. Mendengar keputusan akhirku itu senyum Bang Ridwan terlukis kembali pada wajahnya.
Malam itu kami habisnya di kawasan Kota Lama, topik pembicaraan lebih banyak membahas tentang keperluan yang harus aku siapkan. Mulai dari mobilitasku selama di Semarang, Bang Nanda sudah menawarkan diri untuk antar jemput, tetapi aku menolak dengan halus karena aku masih bisa menggunakan layanan taksi online yang tentunya mudah didapatkan di kota besar seperti Semarang.
Aku tidak mungkin menjadikan Bang Nanda supir pribadi dadakanku, dia punya kesibukan dan pekerjaan yang harus dikerjakan, akan sangat merepotkan dirinya kalau mau ke mana-mana aku harus diantar.
***
Keesokan harinya Bang Nanda masih menyempatkan diri untuk menemani kami pergi ke tempat penyewaan mobil, setelah itu dia pamit untuk bekerja.
“Jangan sungkan-sungkan telepon aku, Kana. Kerjaanku santai kok, kamu tau lah,” ucap Bang Nanda sebelum kami berpisah di tempat rental mobil.
Aku mengangguk, kemudian Bang Ridwan berpamitan dengan Bang Ridwan. Setelah menyelesaikan keperluan menyewa mobil, aku dan Bang Ridwan segera kembali ke hotel. Dua koper besarku perlu diantar ke apartemen baru agar kamar di hotel bisa lebih luas saat kedatangan Kak Dinah, Kak Maya, Kak Puspa beserta para keponakanku. Selesai dengan koper-koper besar, aku dan Bang Ridwan segera meluncur ke bandara.
Liburan akhir tahun ini sepertinya akan seru, Bang Ridwan kemarin malam mengusulkan liburan tambahan, dari Semarang kami akan melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta. Aku malam tadi jadi tidak bisa tidur nyenyak, selain karena berburu kamar hotel murah di area Borobudur dan Yogyakarta nanti, sudah jadi kebiasaanku kalau sedang senang-senangnya, maka mata ini tidak akan mudah terlelap.
“Sudah bereskan, ya. Maaf, Dek, jadi dadakan. Abang mikirnya mumpung di Semarang, jadi sekalian aja kita ke Yogya.”
“Kana senang kok.”
“Jadwal pemeriksaan ulangmu bagaimana?” tanya Bang Ridwan saat kami telah memasuki tempat parkir bandara.
“Kana belum bikin janji. Nanti kalau liburan dan beberes apartemennya sudah selesai baru Kana bikin janji. Tenang aja, Bang, obat dari Dokter Tanto cukup buat satu bulan kok.”
Aku mencoba menenangkan Bang Ridwan yang sering memperlihatkan wajah khawatirnya saat menemukanku menahan rasa sakit di kepala.
Aku dan Bang Ridwan segera menuju ke area kedatangan, dari jauh aku dapat menangkap kehebohan Allisya dan Dian. Di belakang mereka ada Alifa, Kak Puspa, Kak Maya dengan Mega dalam gendongannya, dan Kak Dinah yang berjalan di samping seorang porter yang membantu membawakan barang bawaan mereka semua.
Allisya berlari ke arahku saat matanya melihat kehadiranku dan Bang Ridwan. Dia memelukku erat, terlihat sekali kalau keponakanku yang satu ini sangat gembira. Wajahnya sangat berseri-seri, mungkin karena ini baru pertama kalinya dia bisa mengingat sedang liburan ke luar pulau, padahal saat kecil dia sudah pernah jalan-jalan ke pulau Jawa saat menghadiri kelulusan Bang Ridwan.
“Kata Tante Diah, Bang Dian malam tadi enggak bisa tidur loh, Tante,” oceh Allisya di sampingku.
“Siapa yang nanya, Allisya. Kamu juga enggak bisa tidur,” sahut Alifa.
“Kakak sampai ikutan enggak tidur nyenyak tadi malam,” sambung Alifa lagi.
“Udah ah, mau liburan masih sempat aja berantemnya.” Kak Puspa menengahi Allisya dan Alifa yang sudah siap akan adu mulut.
Dua puluh menit kemudian barulah kami pergi dari bandara, setelah berdiskusi panjang dan alot dengan ketiga keponakanku, terutama Allisya dan Dian yang tetap ngotot ingin beli minuman dan makanan ringan di bandara. Keributan yang nantinya akan sangat aku rindukan dari mereka.
Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan.Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bi
Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar.Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk men
Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja ak
Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
Aku hanya berbaring seharian di tempat tidur setelah kembali dari Vancouver. Aku sudah menumpuk terlalu banyak pekerjaan yang aku abaikan sama sekali selama di Vancouver. Aku ingin segera menuntaskan pekerjaan tertundaku, tetapi Dokter Acha lebih dahulu memintaku melakukan pemeriksaan.Ditambah lagi ada Bang Nanda yang jadi lebih siaga. Aku jadi khawatir dengan hubungan Bang Nanda bersama wanita yang pernah dia ceritakan padaku, aku jadi tidak enak menerima perlakuan terlalu berlebihan darinya.“Bang, nanti Kana bisa pergi sendiri kok. Bang Nanda enggak perlu setiap saat menemani Kana, ya,” pintaku saat kami menuju rumah sakit.Bang Nanda hanya mengangguk, dia terlihat murung hari ini. Entah apa yang mengganggu pikirannya hari ini, padahal dia selalu ceria saat bertemu denganku.Dokter Acha kemudian segera memeriksa kondisiku, menyarankan agar aku istirahat total untuk dua minggu ke depan. Dia juga memintaku untuk tidak mengabaikan menu makana
Pertanyaan dari Kak Silvia masih terngiang-ngiang, bahkan sampai aku bertemu dengan Kak Jovanka di sebuah kafe di Jalan Diponegoro, di Surabaya.“Ngelamun aja nih,” sapa seseorang yang kukenali sebagai Kak Jovanka.Seperti foto yang selalu dia pasang pada profil kontaknya, dia terlihat sangat cantik dan muda, jauh lebih muda dari usia yang pernah dia ceritakan padaku.“Hai, Kak,” sambutku.“Maaf lama, tadi harus menjemput bocah di sekolah dahulu,” ungkapnya.“Enggak diajak ke sini, Kak?”“Bocahnya yang enggak mau, dia malah minta diantar ke rumah omanya, jadilah aku makin lama di jalan tadi,” urai Kak Jovanka menjelaskan keterlambatannya.Memang benar, ya. Kalau kalimat yang diucapkan oleh seorang editor itu beda, apalagi editor selevel Kak Jovanka. Walaupun tidak bisa disamaratakan, tetapi lihatlah bagaimana pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya sesuai KBBI, b
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,