Isakan Kak Maya belum reda, ia bicara dengan suaminya melalui ponsel. Aku sudah di kamarku, bersama si kecil Mega yang telah terlelap.
Setelah makan malam yang sempat tertunda atas pengumuman rencana kepindahanku ke Semarang, kami kembali memutuskan untuk menyelesaikan acara makan malam keluarga yang rutin dilakukan paling tidak satu kali sebulan di rumah keluarga ini.
Kak Maya masuk ke kamarku, dia yang meminta untuk tidur denganku malam ini. Biasanya, kalau sedang berkunjung ke rumah dia akan tidur di kamarnya dahulu.
“Aku sudah tidak ingat kapan terakhir kali kita tidur bareng?” tanya Kak Maya seraya mengusap kening putri kecilnya.
“Saat Kakak sudah punya pacar saat SMA dan enggak mau aku tau rahasia Kakak,” jawabku.
Kak Maya tersenyum sejenak.
“Karena anak kecil sepertimu sangat menyebalkan kalau soal rahasia,” sambungnya yang membuatku hampir tergelak.
Jarak umur antara aku dan Kak Maya lumayan jauh, aku lahir saat ia duduk di bangku kelas dua SMP. Dan kekepoaan anak kecil usia lima tahun melihat kakaknya senyum-senyum sendiri saat membaca sesuatu dari sepucuk kertas tidak bisa dibendung.
Mulai saat itulah ia tidak mau lagi tidur bersama denganku, kemudian tahun berikutnya ia harus merantau ke kota sebelah untuk kuliah. Jadilah kami berjarak sejak saat itu, walaupun kecerewetan Kak Maya tidak pernah hilang.
“Aku akan sering-sering menghubungimu,” ucapnya sambil merebahkan diri di samping Mega.
Aku ikut merebahkan diri.
“Selama ini kurang sering apa lagi, Kak?”
“Kali ini akan lebih sering.”
“Aku akan me-nonaktifkan ponselku.”
“Itulah masalahmu, Kana. Kenapa pengaturan panggilan dan pesan ponselmu selalu kamu heningkan. Kalau kamu mengangkat panggilan dan segera membalas pesanku, aku enggak akan secerewet itu.”
“Bukan Kana lho ya yang bilang Kak Maya cerewet.”
“Aku sadar diri, kok.”
Aku tergelak dengan pengakuan blak-blakan Kak Maya, membuat si kecil Mega merengek.
“Sorry.”
“Aku akan merindukan momen seperti ini,” ucap Kak Maya pelan sambil menepuk halus bahu putrinya.
Aku hanya mengangguk, kemudian memejamkan mataku, mencoba untuk tidur.
***
Aku selesai memberesi semua barang-barang yang akan dikirim setelah aku menemukan tempat tinggal di Semarang nanti. Aku kemudian kembali ke ruang tamu, ruang paling depan rumah ini aku ingin merekam semuanya sebelum pergi.
Pada salah satu dindingnya masih ada foto pernikahan orang tuaku. Foto pernikahan yang baru terpasang setelah salah satu dari mereka pergi.
Aku kemudian beralih ke ruang tengah, ruang keluarga yang penuh dengan kenangan. Terlebih kenangan itu tersemat pada barang-barang yang masih tersisa. Pada sisi kanan ruangan ada lemari kayu besar berisi koleksi keramik Ibu.
Salah satu keramik favoritku berbentuk gelas, sepasang gelas bertuliskan kata Mama dan Papa. Dahulu, keramik-keramik itu lebih banyak, sekarang beberapa ada yang rusak, tidak sengaja pecah saat keponakanku berkunjung dan bermain di ruang keluarga yang cukup luas untuk mereka berlarian.
Beberapa gelas keramik koleksi Ibu juga ada beberapa yang aku bawa ke dapur, aku gunakan untuk minum. Dengan minum dari gelas keramik koleksi Ibu aku berharap dapat menghadirkan sosoknya yang minum teh hangat bersamaku seperti dahulu.
Aku buka lagi kamar kedua orang tuaku. Akhir-akhir ini aku sudah jarang membuka kamar mereka, ada sesak yang tak mau aku hadirkan lama-lama. Aku segera beralih saat merasakan hangat pada mataku. Aku kemudian langsung beranjak ke dapur.
Selain ruang keluarga, dahulu kami sering berkumpul di dapur, terlebih karena Ibu sangat suka memasak. Ada hidangan yang tidak pernah lidahku lupakan, bahkan aku pernah tidak mau makan karena aku hanya ingin masakan Ibu.
Saat sakit selera makanku tidak akan hilang, tetapi satu tahun setelah Ibu pergi, flu menyerangku di musim penghujan. Aku tidak mau makan saat itu, Kak Dinah sudah berusaha mati-matian, bahkan Ayah membelikan jajanan yang sering tidak diperbolehkannya. Aku tidak berselera makan, aku hanya ingin makan sup buatan Ibu saat itu.
Aku hampir menangis saat mengingat kenangan sop hangatku, tetapi segera kutahan dengan mengalihkan diri menyeduh teh dan memutuskan menghabiskan sore terakhirku sebelum bertolak ke Semarang besok di halaman belakang.
Aku menatap angelonia yang tumbuh tidak terkendali di kebun belakang yang sudah lama tidak terurus. Seperti itulah mungkin sel-sel kurang sehat yang berkembang tidak terkendali dalam otakku.
Saat aku kembali ke rumah ini untuk yang kesekian kalinya, angelonia sudah merambat ke mana-mana. Aku hanya sempat membersihkannya sedikit, ada beberapa pekerjaan yang membuatku tidak sempat menyentuhnya lagi. Beberapa mulai layu dan kering, tetapi tidak mengganggu tunas baru untuk tumbuh dan berbunga.
Senja menyapa dengan indah sore ini, sinarnya memberikan kesan bahagia saat terpantul pada dinding rumah, tetapi tidak lagi bisa menghangatkan suasana di dalamnya.
Sejak kepergian Ayah empat tahun lalu aku lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah, hingga akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke Vancouver sebagai pengisi hari-hari yang terasa kosong.
“Kota indah itu, semoga bisa kembali lagi ke sana,” gumamku pada angin sore yang mengembuskan udara panas.
Cuaca hari ini konsisten, sejak pagi hingga sore hari cuaca tetap panas. Aku harus beberapa kali kembali ke kamar pribadiku untuk menikmati udara dingin dari kipas angin.
“Apa aku masih sempat keliling dunia seperti yang aku impikan, enggak perlu keliling dunia deh, keliling Eropa dan Asia cukup.” Aku bergumam sendiri dan tertawa sendiri.
Kemudian tawaku reda, ada semangat baru yang tiba-tiba muncul. Aku harus membaca situasiku. Aku perlu saran dari dokter baruku nanti di Semarang.
Sepertinya aku tidak akan mudah terlelap lagi malam ini, aku punya rencana baru dan harus menuliskannya agar lebih tenang. Sayangnya, semua peralatanku sudah tersimpan rapi dalam kardus-kardus cokelat yang sudah aku taruh di ruang tengah.
“Oke, Kana. Kamu bisa melakukannnya nanti saat semuanya sudah pasti. Kamu perlu bertemu dengan dokter barumu dan berkonsultasi, jangan gegabah.” Aku bergumam sekali lagi sebelum menandaskan teh tanpa gulaku sore ini.
***
Bang Ridwal akan mengantarku seperti yang ia katakan malam itu. Allisya terus merengek, sesekali memanyunkan mulutnya saat aku mencoba mendekat dan mencium pipinya.
“Lisya bisa susul kalo Tante sudah dapat tempat tinggal di sana,” bujukku sebelum mencium pipi tembebnya.
“Janji, ya! Awas kalo bohong,” sahutnya sambil menggembungkan pipinya.
“Iya janji. Nanti Alissya nyusul sama Mama, Kakak, Tante Diah, Bang Dian, Tante Maya dan Dede Mega. Jadinya rame, kan. Seru lho kalo jalan rame-rame.”
“Bener, ya!” Allisya kembali menatapku dengan matanya yang kesal-kesal manja.
“Iya, Sayang.” Dan sekali lagi aku mencium pipinya.
Aku selalu tidak bisa menolak kegemasan dari para keponakanku, walaupun sedikit usil dan kepo. Ya … sebelas dua belas lah ya sama kelakuanku waktu bocah yang penuh rasa ingin tahu yang kadang kebablasan.
Bang Ridwan kemudian memeluk istrinya dan beralih pada si sulung Alifa yang selalu sibuk dengan ponsel pintar di tangannya akhir-akhir ini. Bang Ridwan kemudian menggendong Alissya yang sudah lari dari sekapanku barusan. Aku kemudian memeluk Kak Dinah dan Kak Puspa secara bergantian.
“Tante boleh peluk enggak nih?” tanyaku pada Alifa yang sudah memasuki usia remaja labil yang kadang enggak mau dipeluk di tempat umum.
“Boleh,” sahutnya singkat.
Aku mengambil ponselnya sebentar, kemudian memeluknya erat. Dia adalah musuh pertamaku dalam keluarga. Anak bungsu versus cucu pertama, itulah hubungan kami awalnya. Seiring waktu makin banyak kemiripan yang aku temukan padanya. Perhatiannya hanya teralihkan sebentar saat bermain ponsel, selebihnya dia penyuka buku sepertiku.
“Jangan kebanyakan maen HP, Kak.”
“Tante enggak kasih izin Ifa baca novel-novel Tante sih,” sahutnya santai, kemudian mengambil kembali ponselnya.
Aku tersenyum mendengar kalimatnya. Aku pernah memperingatkannya untuk tidak sembarangan mengambil koleksi buku-bukuku di rumah. Aku tidak mungkin membiarkan rivalku dalam keluarga itu membaca buku yang bukan untuknya. Sejak dia kedapatan membaca novel fantasi berating 16 plus, aku tidak pernah lagi menaruh buku-bukuku seenak jidat di luar kamar.
Setelah berpamitan, aku dan Bang Ridwan segera check in dan melalui pemeriksan yang hanya memberikan antrean pendek. Pesawat yang akan membawa kami ke Semarang telah tiba dari Jakarta satu jam yang lalu. Tidak perlu menunggu lama di bandara kota kecilku ini, setelah masuk ruang tunggu, pemberitahuan keberangkatan ke Semarang telah menggema.
Bang Ridwan kemudian menggenggam tanganku saat pesawat lepas landas.
“Jangan sedih lagi, ya.”
Aku mengangguk sebagai jawaban atas nada cemas yang dia lontarkan barusan. Dia paling tahu bagaimana akhirnya aku bisa mengeluarkan air mataku, tidak jauh-jauh. Kaitkanlah segala sesuatu dengan Ibu, Ayah, dan Semarang. Asal bukan di depan orang banyak, terutama di depan Kak Diah dan Kak Maya, aku akan selalu menangis. Aku kebanyakan menangis sendiri, dan di saat-saat itulah Bang Ridwan selalu ada. Namun, tentu saja Bang Ridwan tidak tahu kalau dia termasuk orang yang bisa membuatku bersedih, bahkan menangis.
Kurang lebih dua jam kemudian aku dan Bang Ridwan sampai di Semarang. Banyak perubahan pada bandara ini, dahulu saat pertama kali melangkahkan kaki di Semarang, bandara ini masih kecil. Saat menunggu antrean bagasi, aku segera menghubungi Bang Nanda–teman yang aku kenal dari dunia maya karena memiliki ketertarikan yang sama dalam dunia menulis.Aku bertemu dengannya saat aku memberanikan diri untuk kembali ke Semarang setelah belasan tahun menghindari kota tersebut. Saat itu ada pelatihan kepenulisan yang diadakan di Semarang, aku kemudian mengambil kesempatan itu untuk menambah pengetahuanku tentag dunia tulis menulis.Hari pertama saat menginjakan kaki kembali di Semarang semuanya terasa baik-baik saja, juga hari kedua saat acara pelatihan kepenulisan diselenggarakan, aku masih bisa tertawa dan bercanda dengan teman yang memiliki minat yang sama dalam dunia merangkai kata.Luapan kenangan itu mulai menghampiriku pada hari ketiga. Pagi itu aku
Keesokan harinya seperti janji Bang Nanda kemarin, pukul delapan pagi dia sudah sampai di hotel tempatku dan Bang Ridwan menginap. Bang Ridwan masih duduk menikmati kopi paginya bersama sepotong roti di restoran hotel. Aku menghampiri Bang Nanda di tempat parkir dan mengajaknya untuk sarapan.“Boleh deh, ngopi pagi dulu,” sambut Bang Nanda yang berjalan di sampingku menuju restoran hotel yang terletak di samping lobi.Aku mengambil beberapa potong semangka dan buah melon, kemudian mengambil segelas air putih. Bang Nanda yang berdiri di sampingku dengan segelas kopi hitam mengernyitkan dahinya.“Sehat banget menu sarapanmu, Kana,” kekeh Bang Nanda kemudian menghampiri Bang Ridwan.“Kopi aja nih?” tanya Bang Ridwan pada Bang Nanda saat aku bergabung bersama mereka.“Udah makan tadi, tapi kalo kopi mah enggak bisa ditolak,” jawab Bang Nanda.“Nanti mau lihat yang mana dulu nih? Mau lih
Kami hanya menaruh barang-barang di kamar ketika sampai di hotel, karena keinginan ketiga keponakanku tidak bisa ditolak lagi, mereka sudah ingin cepat-cepat diajak jalan. Setelah dibujuk agar lebih tenang untuk ukuran anak-anak dan remaja, barulah kami melanjutkan perjalanan.Bang Ridwan memutuskan membawa kami ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Simpang Lima. Terlebih karena Kak Dinah dan Kak Maya memaksa memilihkan barang-barang untuk tempat tinggal baruku nanti. Sebenarnya tidak banyak yang perlu dibeli, karena aku sendiri juga membawa barang-barang dari rumah di Kalimantan.Setelah lelah bermain dan berkeliling pusat perbelanjaan, akhirnya ketiga keponakanku mau diajak pulang. Lagi pula, kasihan si kecil Mega yang sudah rewel. Malam ini aku tidur dengan Allisya dan Alifa, mereka terlelap lebih dahulu setelah mandi dan mengganti pakaian. Sebelum menyusul mereka tidur, aku membuat catatan kecil pada ponselku. Mencoba menuliskan rasa syukur yang masih bi
Tidak ke Yogyakarta namanya kalau tidak menelusuri jalanan Malioboro. Bang Ridwan membawa kami ke jantung Kota Yogyakarta itu untuk menikmati makan malam di warung lesehan, mencicipi gudeg yang kata Kak Puspa bikin kangen. Makin malam, jalan makin ramai, karena jalan makin penuh dengan pengunjung yang juga sedang menikmati liburan akhir tahun mereka, kami memilih untuk tidak berlama-lama. Selain itu, masih ada destinasi lain yang harus dikunjungi, jadi kami perlu menghemat tenaga agar tidak kelelahan.Pagi-pagi Bang Ridwan telah menghilang untuk mencari tempat penyewaan mobil. Dia paling tahu soal Yogyakarta, karena pernah kuliah selama dua tahun di sini. Dari melihat Bang Ridwan inilah aku juga jadi termotivasi untuk melanjutkan pendidikanku hingga ke jenjang master. Ada kesenangan tersendiri saat kembali disibukkan dengan kegiatan belajar.Pukul tujuh lewat Bang Ridwan telah siap dengan mobil sewaannya, kami berencana akan pergi ke Pantai Parangtritis untuk men
Aku bertemu dengan Dokter Acha untuk melakukan pemeriksaan ulang di Semarang. Sesuai saran Dokter Tanto, aku bisa memercayakan proses pengobatanku pada dokter cantik di depanku ini.“Diameternya masih tidak terlalu besar, tapi dari letaknya bisa saja mengganggu fungsi kelenjar pineal-mu. Apa kamu punya gangguan susah tidur?” tanyanya saat menunjukkan hasil CT Scan otakku.Aku mengangguk, membenarkan ucapan Dokter Acha tentang gangguan tidurku.“Aku belum bisa mengambil tindakan lebih lanjut, kamu masih perlu melakukan biopsi. Operasi kecil untuk mengambil bagian tumor di otakmu, untuk memastikan jenis tumor dan stadiumnya. Bagaimana? Mau segera aku buatkan jadwalnya?” usul Dokter Acha.Aku terdiam sebentar, mencoba memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginanku, aku sedikit gugup, takut dia akan menolaknya. Sebenarnya, kalaupun Dokter Acha tidak bersedia, aku masih bisa memeriksakan diri ke dokter lain di Semarang, hanya saja ak
Aku melirik penunjuk waktu pada ponsel, jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bang Nanda minta ditemani minum kopi sekitar jam setengah sepuluh malam, setelah dia selesai kerja. Aku segera mengirim pesan padanya kalau aku sudah tiba di kafe tempat kami janjian.Beberapa menit kemudian chat-ku dibaca Bang Nanda, tetapi tidak ada balasan. Mungkin dia sedang di jalan, aku menyeruput minumanku yang mulai dingin. Terdengar suara kursi digeser di belakangku, kemudian Bang Nanda muncul di hadapanku dan mengisi kursi yang tadi Dila tempati. Aku sedikit terkejut dengan kedatangannya.“Aku termasuk orang yang akan kamu kasih tau tentang penyakitmu, enggak?” tanya Bang Nanda serius.Aku masih terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku tidak bisa langsung menjawab pertanyaannya.“Sepertinya bukan,” jawab Bang Nanda sendiri.“Aku pesan kopi dulu, ya,” lanjutnya lagi, kemudian berdiri untuk membuat pesanan
Aku memulai perjalanan ke Vancouver pada akhir bulan Februari. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana beberapa bunga sudah mulai mengintip malu di sela-sela hujan yang mengguyur Vancouver di bulan Februari. Lamunanku buyar saat Bang Nanda meletakkan sepiring tahu gimbal di depanku.Bang Nanda satu bulan ini lebih cerewet daripada Bang Ridwan dan kedua kakakku. Dia hampir setiap pagi menanyakan kabarku, dan selalu sudah siap di parkiran apartemen kalau aku akan pergi ke suatu tempat.Dia juga setiap minggu selalu menemaniku berbelanja, dia tidak lagi mengejek makanan sehatku, karena aku juga akan memaksanya untuk memakan menu harianku yang rata-rata mentah.Kecerewetannya bertambah saat aku sudah memberitahunya tanggal keberangkatanku ke Vancouver. Seperti hari ini, dia beberapa kali memintaku memeriksa informasi rumah sakit terdekat di Vancouver nanti, mengingatkanku untuk selalu berada di keramaian, padahal aku ingin menenangkan diri, ingin mencari tempat yang t
Vancouver adalah kota yang bisa memberikanku dua pemandangan sekaligus, laut dan pegunungan. Aku sangat suka laut, mungkin karena aku tinggal di daerah pesisir, laut selalu membuatku rindu. Saat menyapa laut, aku bisa berubah menjadi anak kecil yang kegirangan mengejar dan berlari bersama ombak yang menyapu bibir pantai.Setelah mengobrol cukup lama dengan Prof. David, aku dan Kate hanya sempat melihat-lihat perpustakaan utama kampus. Perpustakan ini memiliki banyak koleksi novel, yang hanya sempat kubaca beberapa. Saat otakku sudah mengepul untuk tugas dan penelitian, aku menyempatkan diri untuk membaca satu novel dalam sebulan untuk menyeimbangkan pikiranku.Di perpustakan ini juga aku mencari inspirasi dan tambahan referensi dalam membuat beberapa artikel untuk keperluan klien-klienku. Berbekal rasa ingin tahu, aku mencoba membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang jarang aku masukkan dalam daftar bacaanku. Hal ini aku lakukan untuk memperkaya artikel yang
“Jangan lupa berdoa sebelum masuk ruangan operasi, Dek. Setelah dibius juga, sampai kesadaranmu hilang, tetap baca doa,” pesan Kak Dinah melalui panggilan video.“Iya, Kak,” sahutku saat masih di ruang rawat inap.“Semoga operasinya lancar, Tante,” seru Allisya saat panggilan video beralih ke nomor pribadi Kak Puspa.“Sampai ketemu dua hari lagi, Tante. Mega akan menyusul ke Semarang, ya,” ujar Kak Maya seraya melambaikan tangan Mega yang berada dalam pangkuannya.Panggilan video berakhir satu per satu, kursi roda yang kududuki mulai didorong oleh Bang Ridwan menuju ruang operasi.Jadwal operasiku pukul sebelas pagi, saat jam besuk sudah berjalan selama satu jam. Jadi, Bang Nanda dan Dila tidak harus berebut untuk masuk menemuiku. Mereka berdua sudah menunggu di depan bangunan operasi, lalu memelukku bergantian.“Tenang, aku sudah dapat izin dari Bang Nanda dan istriku,” ujar Bang N
Aku kembali dengan membawa rasa perih yang kubuat sendiri.Satu minggu setelah kembali ke Semarang, aku kembali berkonsultasi dengan Dokter Acha. Setelah memastikan semua kenangan yang kujaga selama ini sudah terketik rapi, aku segera melakukan pembicaraan mengenai tanggal pasti kapan operasiku akan dilaksanakan.Aku sudah memberi tahu keluargaku di Kalimantan. Bang Ridwan memastikan dia menemaniku satu pekan sebelum operasi dan satu pekan pasca operasi nanti.Ada satu informasi yang membuatku sedikit terguncang, satu bulan sebelum operasi aku menanyakan sesuatu kepada Dokter Acha, mengonfirmasi informasi yang kubaca di mesin pencarian.“Apa itu bisa terjadi, Dok?” tanyaku di akhir sesi konsultasi.“Bisa saja, banyak kemungkinan yang bisa menjadi efek samping setelah operasimu nanti, tapi tenang saja, Kana. Peralatan medis sekarang makin canggih, kita juga akan melakukan treatment sebelum prosedur utama dilakukan di ruang operasi,
“Matamu jeli sekali, Kana. Bagaimana kamu menyadari wajah tokoh sejarah tersebut, menurutku fotonya tidak banyak.”Setelah situasi kikuk tadi pagi, aku dan Aroon kembali berinteraksi seperti biasa. Seolah pelukan kami tadi hanya sesuatu yang lewat saja.“Entahlah, aku tiba-tiba tertarik dengan tatapan hangatnya. Fotonya banyak kok di internet.”“Kamu jatuh cinta padanya, ya,” kekeh Aroon, sepertinya ingin bercanda.“Bisa dianggap aku penggemarnya, aku bahkan menyimpan foto-fotonya di laptopku,” ceritaku apa adanya.Aroon melongo, tatapannya seolah tidak percaya dengan kelakuanku.“Menyimpan foto-fotonya. Kamu penggemar fanatik,” tebak Aroon.“Tidak juga, aku senang aja lihat wajahnya, bisa membuatku lancar menulis,” ungkapku.“Mau kukasih foto-fotoku,” tawar Aroon dengan senyum yang tidak dapat aku artikan.“No,no, jangan manawariku
Bandara selalu menjadi tempat yang sibuk, apalagi bandara internasional yang memiliki jadwal penerbangan hampir dua puluh empat jam. Aku baru saja menginjakan kaki kembali ke Bangkok, tetapi rasa rindu yang tidak biasa itu sudah hadir. Apalagi aku tidak tahu apakah masih bisa bertemu dengannya lagi setelah beberapa pesan singkat terakhirku yang tidak mendapatkan balasan. “Kenapa aku jadi sangat ingin bertemu dengan Aroon? Apa ini bisa disebut sebagai rindu?” Aku kembali pergi ke Lifenovel di Bangkok seperti jadwal yang diberikan. Sudah tidak banyak yang dilakukan sebenarnya, jadwal tayang novelku dalam bahasa Thailand juga akan berakhir. Sepulang dari kantor cabang Lifenovel di Bangkok, aku memutuskan untuk mencari makan di luar. Di taman asri di bawah jembatan dekat kediamanku di Bangkok, aku melihat sosok Aroon. Aroon terlihat sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita. Aku mengambil jarak aman, menyantap makan siang sederhana yang kubeli
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa kalau seperti ini,” keluhku di depan Laptop.Meskipun Aroon tidak mengatakan tidak ada apa-apa, kurasa dia tetap tersinggung dengan pemberianku. Hampir dua minggu kami tidak bertemu, aku kembali mengalami insomnia.Seperti malam ini, mataku kembali sudah diajak beristirahat, jadi aku memutuskan untuk menambah beberapa bab untuk novel terbaruku.Aroon mengatakan kalau dia ada jadwal menemani wisatawan asing ke beberapa tempat wisata di luar Bangkok. Saat aku tanya pergi ke mana, Aroon mengalihkan pembicaraan.“Ya, kurasa itu caranya untuk menghindariku.”Aku kembali bangun dengan kepala pusing keesokan harinya. Aku masih tetap rutin menenggak obat yang diresepkan. Aku juga masih mendapatkan saran yang sama dari dokter Acha.[Lakukan pemeriksaan kalau sudah balik ke Indonesia, ya, Kana.]Dokter Acha masih tetap menyarankan tindakan operasi. Dia tidak pernah bosan menanyakan kabark
Selama dua bulan hidupku sangat tenang. Meskipun tidak bisa dikatakan sehat, tetapi jam tidur malamku mulai membaik. Semua itu berkat bantuan Aroon.“Mau jalan akhir pekan ini,” ajak Aroon.“Jalan ke mana?” tanyaku.“Di sekitar sini aja. Mau ke Sanam Luang. Jalan-jalan pagi di sana sangat aku rekomendasikan,” usul Aroon.Aku mengambil ponsel, mengetikkan ‘Sanam Luang’ paa mesin pencarian. Aku memang sudah tinggal di Bangkok hampir empat bulan, tetapi belum terlalu familiar dengan tempat wisata di ibu kota negara Thailand ini.“Dekat dengan Grand Palace, ya,” ujarku tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel.“Dekat dengan Wat Phra Kaew dan Wat Pho juga. Mau ke sana sekalian,” usul Aroon lagi.“Boleh,” jawabku.Aroon mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut.Besok paginya Aroon membawaku mengitari Sanam Luang dengan berjalan
“Apa ini cukup?” tanya Aroon yang duduk di sampingku.Aku mengangguk cepat dengan wajah senang yang tidak bisa kusembunyikan. Tangan Aroon menggenggam tangangku hangat. Pesawat yang kami tumpangi baru saja lepas landas.Aku memang perlu tangan Aroon agar bisa terlelap dengan nyaman. Namun, aku tidak menolak uluran tangannya yang terbuka sejak Arron menerima permintaan konyolku tadi malam.Setelah tiba di Bangkok, aku tidak ragu lagi untuk meminta kontak Aroon.“Lucu sekali,” komentar Aroon, “apa tanganku benar-benar manjur.”Aroon memperhatikan tangannya, lalu beralih padaku.“Lebih manjur daripada obat yang dokterku resepkan.”Terdengar aneh memang, ketika aku mengatakan kalau ini sebuah takdir. Untungnya Aroon tidak mentertawakan ucapanku, tetapi wajahny sudah cukup menggambarkan kalau omonganku tidak masuk akal baginya.“Seberapa parah insomniamu?” tanya Aroon.
Sepertinya aku terlalu terobsesi untuk bertemu dengan penumpang pria di kereta malam waktu itu, sampai-sampai aku harus bermimpi tentangnya.Pukul lima subuh sopir bus segera memberikan sinyal melalui klakson bagi para penumpang untuk naik, perjalanan akan dilanjutkan kembali. Aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku, mengatur detak jantung yang sedikit berdebar mengingat wajah pria dalam mimpiku tadi.Sebuah suara menganggu telingaku, kehadiran seorang pria yang duduk di bangku sebelahku kembali menyamarkan kenyataan.“Mau kue, kamu tadi tidak turun, kan?” tawarnya seraya menyerahkan dua bungkus kue.Aku melirik ke bangku penumpang lain, mencari pembenaran kalau aku sedang tidak berkhayal.“Atau mau yang lain? Aku tadi juga mengambil beberapa biskuit, kamu mau?” tanyanya lagi.Aku menggeleng pelan, seraya mencubit tangan kiriku. Sakit. Berarti aku sedang tidak bermimpi, kalau begitu aku benar-benar bertemu dengann
Perjalanan liburanku ke Chiang Mai sudah di depan mata. Aku sudah menaiki bus yang membawaku ke bagian utara Thailand tepat pukul tujuh malam waktu setempat.Selama di perjalanan, aku sibuk mencari informasi tambahan untuk tempat-tempat yang belum aku sambangi saat kunjungan pertamaku di Chiang Mai. Aku mencari rekomendasi dari blog-blog perjalanan. Ulasan para travel blogger bisa sangat membantu untuk orang awam sepertiku.Rekomendasi agen bus yang aku tumpangi ini juga berasal dari salah satu blogger asal Indonesai. Harga tiket bus memang lumayan menguras tabungan. Aku perlu mengeluarkan sekitar delapan ratusan TBH hanya untuk sekali jalan. Untungnya, fasilitas yang diberikan memang sesuai.Bus hanya diisi oleh dua puluh kursi, dengan perjalanan malam selama sepuluh jam, pilihan transportasi satu ini bisa jadi pertimbangan. Setelah kelelahan mempersiapkan keberangkatan ke Chiang Mai, akhirnya tubuhku minta diistirahatkan.Saat bus meninggalkan Bangkok,