44""Au. Kamu tanya aja sendiri, itu mejanya ada di sebelah pojok.'Mentari dan Rio menengok ke arah meja yang ditempati oleh Silvia. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang dan hal itu tampak tidak penting bagi Cahya. Karena setelah perpisahan Cahya, ia sengaja tidak ingin memikirkan urusan mengenai Hardian dan istri barunya itu."Ngapain tuh cewek bunting jalan-jalan? Nanti pas pulang, ketemu lelembut bisa diambil tuh jabang bayi.""Hus! Dah ah, back to topic. Kenapa ngajakin kita makan malam?" tanya Mentari."Sebenarnya …"Ucapan Cahya terhenti saat ada waiters mengantar pesanan mereka. Mereka kembali serius saat sudah menyeruput minumannya."Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah serius mengenai kehidupan antah berantahmu?" seloroh Rio, membuat Mentari mencubit lengan Rio. Rio tersenyum lalu kembali fokus menunggu Cahya bercerita."Sebenarnya aku dilema.""Kenapa? Ada lelaki yang mau kamu jadikan pengganti Hardian?" tanya Mentari.Kali ini Rio yang membalas menabok paha Mentari. "Jang
Rio masih hanya memberi respon mengangguk. Ia masih memasang mode nyimak untuk pembicaraan dengan Cahya kali ini seraya menengok ke arah Silvia yang tampak sudah datang, satu orang lelaki dan ia yakin bukan Hardian. Ia mengambil gawainya dan memfoto aktivitas Silvia secara diam-diam untuk koleksi siapa tahu suatu saat nanti dibutuhkan."Jadi, mau gimana? Ambil nggak tawaran Pak Hasbi?" tanya Mentari yang kini sudah santai setelah mendengarkan cerita Cahya."Nah itu, fungsi kalian itu memberi aku masukan. Karena masalahnya, Pak Hasbi maupun Aa Arfan tahunya aku sudah menikah dan Pak Hasbi memintaku untuk mengenalkan suamiku atau meminta izin agar diperbolehkan bekerja di sana. Gimana dong?"Mentari tampak berpikir dan ia menepuk punggung Rio karena ia tampak tak fokus dengan pembicaraan ini."Heh, liatin apa sih di sana? Dengar Cahya ngomong nggak?" omel Mentari."Dengar. Mau dengar saran aku?""Apa?" tanya Cahya. Rio mematikan kameranya dan memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia menyu
45KejujuranSepulang dari Cafe dan bermusyawarah dengan para sahabatnya, Cahya kembali memikirkan saran-saran mereka. Cahya berpikir jika apa yang dikatakan oleh Rio dan Mentari ada betulnya. Jika ia memang harus jujur untuk mengetahui bagaimana respon Pak Hasbi jika tahu kenapa ia tidak bekerja lagi di sana. Tentu saja hal ini bukan ada niat untuk mengadu domba apalagi membuat Hasbi merasa benci kepada Ratri. Namun, Cahya sedang memikirkan cara bagaimana untuk mengatakan secara halus penjelasan mengenai alasannya itu.Saat baru pulang ke rumah, Cahya kaget karena mendapati sang Ibu yang ada di rumahnya."Kapan Ibu datang?" tanya Cahya."Tadi sore. Sengaja Ibu diminta Gilang untuk menemaninya mengantar uang saku untuk adikmu yang ngekos di Jakarta pusat. Katanya hari ini Gilang habis gajian, makanya dia kasih ibu dan sekalian mau mampir ke kosan adikmu.""Tumben? Lalu Ibu bisa masuk dari mana?" tanya Cahya heran karena kunci rumah ada padanya."Gilang yang tadi bukain pintu. Ibu juga
"Bu, semalam Cahya kok udah di kamar?" tanya Cahya bingung."Lah, nggak ingat kamu udah Ibu bangunkan?" tanya Gayatri."Enggak. Siapa yang bawa Cahya ke kamar?""Pangeran." Tiba-tiba Gilang muncul dari arah kamar tamu, hendak sarapan juga. "Mbak makan apa, sih? Berat beut, perasaan nggak gemuk.""Hahaha, kebanyakan dosa kali, Gil. Makanya berat," jawab Cahya asal. "Jam berapa datang?" "Pas kamu baru saja terpejam, Gilang datang. Sudah, kalian makan setelah itu kerja. Ini sudah jam 06.30. Nanti terlambat, Ibu sudah masak sayur di meja makan."Gayatri menyiapkan sarapan untuk Cahya dan Gilang sebelum mereka berangkat bekerja."Gil, kamu nginap di sini saja temani Mbakmu. Ibu mau balik ke dusun, biar adikmu nggak jauh kalau mau pulang. Kasihan kalau kelelahan kerja, nggak ada teman di rumah," titah Gayatri."Kontrakan Gilang masih setengah bulan lagi, Bu. Insyaallah nanti Gilang pindah ke sini.""Berapa biaya ngontraknya, Gil?" Cahya ikut bertanya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulu
Naura tampak girang saat Cahya menggendongnya masuk ke dalam rumah. Membantu memandikan Naura dan menyuapinya makan."Makan yang banyak, biar sehat dan cepat besar. Jadi bisa bantuin Papa kerja, Sayang. Kasihan Papa sudah tua," ucap Cahya."Kan ada Mamah. Mamah pinter kerja juga. Kenapa nggak bantuin Papa?""Hm … Mamah kan ngajar."Cahya tak ingin melanjutkan perbincangan ini dengan Naura. Dia tidak ingin larut dalam perbincangan yang menjebaknya dalam posisi sulit nanti.Naura sudah rapi dengan dres merah bercorak bunga mawar dengan tas selempang kecil yang sengaja dibawa untuk membawa beberapa lembar uang. Terlahir sebagai anak pengusaha, membuat Naura biasa diajarkan memiliki gaya yang tidak jauh dari keluarga Hasbi.Cahya mengajak Naura ke rumah sakit terlebih dahulu. Ia ingin meminta izin pada Hasbi untuk mengajak Naura jalan-jalan."Papah!" Naura berlari mendekat ke ranjang Hasbi dan Cahya membantu Naura naik ke atas ranjang."Pa, Naura sudah mandi dan makan. Dibantuin Bu Guru
47PerdebatanHasbi kembali memikirkan kata-kata Cahya barusan. Mungkinkah Ibunya yang sudah membuat Cahya pergi? Hasbi menelpon Arfan. Memintanya datang dan menanyakan apakah dia tahu hal ini atau tidak. Sore hari, Arfan datang setelah pekerjaannya di kantor selesai. "Kenapa, Kak?" tanya Arfan malas."Sudah selesai urusan di kantor?""Selesai nggak selesai, harus diselesaikan. Mengingat cafe juga harus aku urus. Kenapa meminta Arfan mampir? Mama mana? Katanya tadi sedang ke sini.""Iyakah? Pas kalau begitu.""Pas? Ada apa memangnya?" Arfan nampak penasaran dengan perkataan kakaknya. Dia duduk di samping ranjang Hasbi sambil menunggu kedatangan Ratri."Cahya tadi habis dari sini. Sekarang sudah pergi dengan mengajak Naura untuk jalan-jalan ke Ancol."Perkataan Hasbi membuat Arfan kaget dan menatap sungguh-sungguh wajah kakaknya. "Kenapa dia datang? Sudah berpisah lagi dengan suaminya?" sindir Arfan."Kamu salah, Fan. Cahya belum menikah dan alasan kenapa dia pergi meninggalkan kita
"Arfan! Jaga bicaramu. Ngomong yang sopan di depan Tiara. Tiara itu anak baik dan kamu belum mengenalnya dengan dekat. Makanya jadi buruk sangka gini," sembur Ratri."Sudahlah, Tante. Sepertinya kehadiran Tiara di sini disalah artikan. Tiara pamit saja dan semoga Mas Hasbi cepat sembuh. Permisi!"Tiara pamit dan beranjak keluar, membuat Ratri menatap kedua anaknya geram. Ratri ikut mengantar dahulu kepergian Tiara sampai ke depan dan kembali untuk memarahi kedua anaknya."Arfan, Hasbi! Kalian ini kenapa, sih? Apa susahnya bikin Mama bangga punya anak ganteng dan kaya seperti kalian. Mama ingin kalian mengenal Tiara dengan baik. Mama kenal orang tuanya. Mereka mempunya bibit bebet dan bobot yang jelas dan perbuatan kalian ini sungguh membuat Mama malu karena sudah mengajak Tiara ke sini dan dipermalukan begitu saja oleh kalian," omel Ratri."Mama ini yang kenapa. Sudah tahu kami dari dulu nggak suka dijodoh-jodohkan. Kak Hasbi saja sampai tak berbicara apapun saat Tiara memperkenalkan
47Yakin?"Mama yakin?" "Yakin.""Baiklah. Hasbi akan mencoba meminta Aryani untuk mau bekerja di rumah kita. Tapi jika nanti dia membuat Mama kecewa, jangan salahkan Hasbi karena ini murni permintaan Mama sendiri.""Nggak akan. Mama tahu mana yang baik buat kamu dan Arfan.""Baiklah. Apa boleh Hasbi bertanya?""Apa?""Kenapa Mama nggak suka Cahya? Apa Cahya melakukan kesalahan fatal dan membuat Mama kesal?"Terlihat wajah Ratri yang salah tingkah. "Oh, itu ... Mama_""Seharusnya setelah ini, Mama bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Hasbi akan meminta Aryani kerja di tempat kita, tapi jika nanti ada hal yang membuat Mama marah, jangan mencoba melukai perasaan Aryani seperti Mama menyakiti perasaan Cahya.""Apa maksud kamu? Aryani itu jelas beda jauh dengan Cahya. Aryani itu muslimah terbaik, tutur katanya lembut dan sopan, yang terpenting pandai mengambil hati Naura. Mama suka padanya.""Yakin dia masih single? Ehm, maksud Hasbi, bukan janda?""Kenapa dengan janda?" Nada suara Rat