Naura tampak girang saat Cahya menggendongnya masuk ke dalam rumah. Membantu memandikan Naura dan menyuapinya makan."Makan yang banyak, biar sehat dan cepat besar. Jadi bisa bantuin Papa kerja, Sayang. Kasihan Papa sudah tua," ucap Cahya."Kan ada Mamah. Mamah pinter kerja juga. Kenapa nggak bantuin Papa?""Hm … Mamah kan ngajar."Cahya tak ingin melanjutkan perbincangan ini dengan Naura. Dia tidak ingin larut dalam perbincangan yang menjebaknya dalam posisi sulit nanti.Naura sudah rapi dengan dres merah bercorak bunga mawar dengan tas selempang kecil yang sengaja dibawa untuk membawa beberapa lembar uang. Terlahir sebagai anak pengusaha, membuat Naura biasa diajarkan memiliki gaya yang tidak jauh dari keluarga Hasbi.Cahya mengajak Naura ke rumah sakit terlebih dahulu. Ia ingin meminta izin pada Hasbi untuk mengajak Naura jalan-jalan."Papah!" Naura berlari mendekat ke ranjang Hasbi dan Cahya membantu Naura naik ke atas ranjang."Pa, Naura sudah mandi dan makan. Dibantuin Bu Guru
47PerdebatanHasbi kembali memikirkan kata-kata Cahya barusan. Mungkinkah Ibunya yang sudah membuat Cahya pergi? Hasbi menelpon Arfan. Memintanya datang dan menanyakan apakah dia tahu hal ini atau tidak. Sore hari, Arfan datang setelah pekerjaannya di kantor selesai. "Kenapa, Kak?" tanya Arfan malas."Sudah selesai urusan di kantor?""Selesai nggak selesai, harus diselesaikan. Mengingat cafe juga harus aku urus. Kenapa meminta Arfan mampir? Mama mana? Katanya tadi sedang ke sini.""Iyakah? Pas kalau begitu.""Pas? Ada apa memangnya?" Arfan nampak penasaran dengan perkataan kakaknya. Dia duduk di samping ranjang Hasbi sambil menunggu kedatangan Ratri."Cahya tadi habis dari sini. Sekarang sudah pergi dengan mengajak Naura untuk jalan-jalan ke Ancol."Perkataan Hasbi membuat Arfan kaget dan menatap sungguh-sungguh wajah kakaknya. "Kenapa dia datang? Sudah berpisah lagi dengan suaminya?" sindir Arfan."Kamu salah, Fan. Cahya belum menikah dan alasan kenapa dia pergi meninggalkan kita
"Arfan! Jaga bicaramu. Ngomong yang sopan di depan Tiara. Tiara itu anak baik dan kamu belum mengenalnya dengan dekat. Makanya jadi buruk sangka gini," sembur Ratri."Sudahlah, Tante. Sepertinya kehadiran Tiara di sini disalah artikan. Tiara pamit saja dan semoga Mas Hasbi cepat sembuh. Permisi!"Tiara pamit dan beranjak keluar, membuat Ratri menatap kedua anaknya geram. Ratri ikut mengantar dahulu kepergian Tiara sampai ke depan dan kembali untuk memarahi kedua anaknya."Arfan, Hasbi! Kalian ini kenapa, sih? Apa susahnya bikin Mama bangga punya anak ganteng dan kaya seperti kalian. Mama ingin kalian mengenal Tiara dengan baik. Mama kenal orang tuanya. Mereka mempunya bibit bebet dan bobot yang jelas dan perbuatan kalian ini sungguh membuat Mama malu karena sudah mengajak Tiara ke sini dan dipermalukan begitu saja oleh kalian," omel Ratri."Mama ini yang kenapa. Sudah tahu kami dari dulu nggak suka dijodoh-jodohkan. Kak Hasbi saja sampai tak berbicara apapun saat Tiara memperkenalkan
47Yakin?"Mama yakin?" "Yakin.""Baiklah. Hasbi akan mencoba meminta Aryani untuk mau bekerja di rumah kita. Tapi jika nanti dia membuat Mama kecewa, jangan salahkan Hasbi karena ini murni permintaan Mama sendiri.""Nggak akan. Mama tahu mana yang baik buat kamu dan Arfan.""Baiklah. Apa boleh Hasbi bertanya?""Apa?""Kenapa Mama nggak suka Cahya? Apa Cahya melakukan kesalahan fatal dan membuat Mama kesal?"Terlihat wajah Ratri yang salah tingkah. "Oh, itu ... Mama_""Seharusnya setelah ini, Mama bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Hasbi akan meminta Aryani kerja di tempat kita, tapi jika nanti ada hal yang membuat Mama marah, jangan mencoba melukai perasaan Aryani seperti Mama menyakiti perasaan Cahya.""Apa maksud kamu? Aryani itu jelas beda jauh dengan Cahya. Aryani itu muslimah terbaik, tutur katanya lembut dan sopan, yang terpenting pandai mengambil hati Naura. Mama suka padanya.""Yakin dia masih single? Ehm, maksud Hasbi, bukan janda?""Kenapa dengan janda?" Nada suara Rat
49Kembali Bekerja"Kenapa nggak minta jemput di rumahmu?" tanya Arfan saat ia diminta kakaknya untuk menjemput Cahya di tempat laundry."Nggak usah. Di sini aja. Soalnya mobil ini mau dipakai buat antar jemput laundry. Kita langsung berangkat saja karena ini sudah siang," ucap Cahya."Ok."Arfan sangat bersemangat hari ini untuk bekerja di kantor kakaknya. Banyak kesempatan yang ia dapatkan setelah mengetahui Cahya bekerja di kantor bersamanya."Makasih, ya."Ucapan Arfan membuat Cahya menengok. "Buat apa makasih? Aku nggak memberikan apapun pada Aa.""Eh ... kata siapa? Kamu udah belikan aku banyak kejutan dari kemarin. Mau tahu?""Apa?""Yang pertama, kamu udah kasih hadiah gelang yang dititipkan pada Naura. Yang kedua, kamu udah kasih kesempatan aku buat jadi bagian dari hidupmu. Yang ketiga, aku sudah izinkan menjadi partner sekaligus kamu sudah berkenan untuk bekerja kembali di kantor sehingga aku bisa sedikit bernafas lega karena berkurangnya beban dan tekanan pekerjaan di kant
50Akhir?"Mas, kamu ke mana aja? Kenapa tak pernah pulang ke rumah?" tanya Silvia saat Hardian tidak pernah pulang sejak malam pertengkarannya saat itu. Nyatanya, Hardian lebih memilih hidup dengan wanita yang umurnya lebih tua dibandingkan dengan usia Hardian sekarang. Berulang kali dia mencoba menghubungi namun tetap Hardian tidak mau mengangkatnya. Dengan langkah cepat, ia menemui Hardian dan memintanya untuk pulang."Kamu kenapa menyusul ke sini? Pulang! Jangan membuat pekerjaan Mas berantakan. Bahaya kalau Shirya tahu kamu ke kantornya."Hardian merasa takut karena Silvia bisa tahu alamat kantornya bekerja. Sengaja ia tidak pulang karena sedang membujuk Shirya untuk mau memaafkannya kembali. Namun, baru hendak akan mendapatkan kembali kepercayaan Shirya, kedatangan Silvia justru membuatnya was-was karena dia sudah mengatakan pada Shirya jika dirinya sudah bercerai dengan Silvia.Hardian membawa Silvia keluar kantor dan menyeretnya masuk ke dalam mobil."Kenapa kamu datang? Kam
48Pertemuan"Makasih, kamu sudah mau menemuiku dan menerima permintaan maafku," ucap Silvia saat mereka sudah bertemu di dalam dan saling menjabat tangan. Cahya datang seorang diri karena ia ingin melihat keseriusan Silvia dalam meminta maaf."Saya rasa kamu belum mendengar secara langsung, apa saya mau memaafkan kami atau tidak setelah apa yang kamu lakukan pada saya saat itu. Tapi, semuanya sudah terjadi dan saya senang karena kamu sudah sadar. Ternyata memang karma sudah terbayar tunai. Sudah hampir melahirkan?" tanya Cahya."Ya. Bulan ini perkiraannya," jawab Silvia menunduk."Mana Hardian? Tidak bersamamu datang?" Cahya menengok ke kanan dan kiri mencari keberadaan mantan suaminya itu."Dia tidak pernah pulang."Jawaban Silvia membuat Cahya terpaku, menatap iba pada wanita yang sudah merebut suaminya itu."Kok bisa? Kamu berbuat salah dan membuatnya marah?" tanya Cahya penasaran.Percakapan mereka terhenti saat seorang waiters mengantarkan pesanan minuman mereka. "Ini salahku.
"Coba dekatkan diri pada Sang Pencipta. Kamu tahu, tidak ada sesuatu hal yang berat dan masalah yang sulit jika kita mengadukan segalanya kepada Sang Pencipta. Saya juga sedang mencobanya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Bukan begitu?" Silvia tersenyum dan mengangguk. Dia mengeluarkan kotak merah dan memberikan barang itu kepada Cahya."Ini barangmu. Aku temukan di koper Mas Hardian saat baru pulang hari itu. Aku pikir, itu barang berharga milikmu yang selalu dibawa ia ke mana saja. Dia lupa memasukkannya kembali dan sebaiknya kamu simpan karena aku tak tahu, apa kamu dan Mas Hardian masih ada rasa atau tidak. Anggap itu kenang-kenangan kalian. Aku nggak begitu sedih jika kamu mau menerimanya karena aku sudah tidak harus lagi melihatnya berada di dalam koper Mas Hardian."Cahya melihat kotak merah itu. Bayangan masalalu indah bersama Hardiah menghampiri. kotak beludru itu adalah hadiah pernikahan mereka yang pertama. Berisi kalung bertuliskan huruf HC yang di ukir di