“Yang bikin Cahya bingung, Cahya sama sekali enggak punya perasaan apa-apa sama dia, Bu. Tadi sudah Cahya tolak, tapi….” Mengalirlah cerita yang tadi terjadi di rumah sakit. Gayatri mendengarkan dan sesekali mengangguk, lain kali ia menggeleng ketika merasa tindakan Arfan nekat. “Gimana ya, Bu? Cahya enggak mau menjadi zhalim karena hanya Arfan saja yang mencintai Cahya. Dan Cahya juga masih terauma dengan masa lalu, belum lagi mamanya Arfan yang tidak mau merestui hubungan anaknya dengan Cahya. Jujur Cahya pun enggan menjadi bagian dari keluarga itu, tetapi mulut ini sudah terlanjur menjawab iya.” Sulit. Ya, itu yang pertama kali muncul di kepala Gayatri ketika dimintai pendapat. Hubungan dengan cinta sebelah pihak saja sudah berat, harus di tambah dengan restu yang kemungkinan berat akan terhalang ini benar-benar pelik. Gayatri membenarkan posisi duduknya. Kemudian ia menatap wajah anak perempuannya lembut. Gayatri tersenyum kemudian mulai berbicara.“Nak, pernikahan itu bukan un
Akhir Perjuangan"Ma, kamu tidak kasihan lihat anak kita? Kamu sedih karena Arfan hendak menikahi janda? Apa yang kamu takutkan hingga kamu tak merestui pernikahan Arfan dan Cahya?" berondong Antonio saat dirinya sedang berusaha membujuk istrinya itu. Sengaja ia membawa istrinya ke rumah sakit untuk melihat wajah pucat dan badan yang mulai menyusut itu."Wanita bukan hanya Cahya, Pa! Kenapa sih, Papa nggak ngerti?" sahut Ratri tak suka dengan pertanyaan suaminya."Lalu, wanita mana yang pantas mendampingi anak kita, jika ditinggalkan Cahya saja dia sudah sakit begini? Papa tahu, Mama masih menyimpan dendam lama karena Papa menikah lagi. Tapi Papa janji, jika Mama merestui Arfan, maka Papa tidak akan kembali pada istri Papa yang tak setia itu. Papa sadar, Mama yang terbaik. Mama wanita hebat yang layak untuk disebut istri setia. Maaf kalau selama ini Papa menyakiti hati Mama. Jujur, Papa menyesal. Papa merasa ini karma dan hadirnya Cahya yang menjadi seseorang yang penting di hati anak
"Ya. Papa orang hebat, kamu juga anak hebat. Demi kalian, Mama rela. Mama ikhlas, menerima Cahya sebagai menantu. Kamu harus segera sembuh, karena setelah keluar dari rumah sakit nanti kita akan menambah Cahya untukmu bersama-sama."Arfan sangat bahagia. Ternyata perjuangannya tidak sia-sia. Dia sampai ikut menitikan air matanya. "Makasih, Ma, Pa."**Tiga hari kemudian Arfan sudah sembuh dan boleh pulang dari rumah sakit. Malm harinya keluarga Arfan termasuk papa, mama dan Hasbi sendiri datang ke rumah orang tua Cahya untuk meminang. Kalau takdir cinta sudah tertulis untuk bersatu, seperti apapun halangannya tetap akan bersatu juga. Begitu juga dengan restu dari mamanya Arfan, setelah dibujuk oleh Antonio akhirnya istrinya itu bersedia memberi restu. "Ya, Aa rindu. Aa datang," batin Arfan dalam perjalanan menuju rumah Cahya."Om ganteng banget," celetuk Naura."Iya doang. Naura bentar lagi punya Tante baru.""Tante baru?""Iya. Om mau nikah sama Tante Cahya. Naura seneng nggak?""Y
Di depan cermin besar Cahya tengah mematut diri. Wajah perempuan itu sudah selesai di rias, gaun dari bahan brukat terbaik melekat pas di tubuhnya yang ramping. Di bantu seorang asisten MUA ia memakai heels. “Masyallah, Mbak Cahya cantik sekali. Begini juga yang namanya bidadari kalah cantik, Mbak,” seloroh Tari yang ditugaskan menjemput calon pengantin. “Kamu jangan ngeledek. MUA dan semua yang aku pakai ini dari pemberian dari keluarga Arfan!”“Aku serius, kamu memang cantik banget. Suer!” Tari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. “Akhirnya kamu ketemu juga dengan laki-laki yang tulus mencintai kamu, Ya. Aku ikut seneng, selamat ya atas pernikahan kamu. Sekarang kamu udah sah jadi istrinya Arfan.” Tari dan Cahya berpelukan. Cahya merasa haru bercampur bahagia. “Makasih, Tari.”“Yuk keluar, kamu udah di tunggu banyak orang.”Hati-hati Tari membimbing Cahya keluar dari kamar hotel, membawanya ke aula yang di sana sudah hadir seluruh keluarga kedua mempela
Hardian turun dari pelaminan. Dia langsung keluar dari gedung pesta yang digunakan untuk acara resepsi Arfan dan Cahya. Dia langsung kembali setelah urusannya selesai karena memang dia tidak berniat untuk merusak pernikahan Cahya maupun Arfan. Meski Hardian merasakan rasa yang menyakitkan, tetapi Ini semua adalah hasil dari apa yang sudah ia berbuat di masa lalu saat bersama Cahya."Jangan cemburu, A. Cahya gak mengundangnya," bisik Cahya saat mereka masih menyalami beberapa tamu namun wajah Arfan terlihat berubah dingin."Aku tahu, tapi kedatangannya merusak moodku," ucap Arfan kesal.Hiburan yang membuat acara pesta bertambah begitu meriah, menandakan resepsi Arfan dan cahaya sukses dan membuat semua yang hadir ikut merasakan kebahagiaan pengantin baru itu. Kini, acara telah usai dan keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah Arfan dan Cahya, yang akhirnya memilih menginap di hotel tempat mereka melakukan resepsi."Langsung tidur aja, ya? Capek kan?" tanya Cahya senga
1Cahya mengintip dari jendela. Mobil suaminya sudah masuk ke halaman rumahnya. Gegas ia turun dan ingin menyambut kepulangan suaminya dengan suka cita. Seminggu sudah suaminya pergi ke luar kota untuk dinas pekerjaannya. Cahya pun senang karena akhirnya rindu itu terobati kala sang suami pulang tanpa mengabari.Suara bel pintu membuat Cahya berlari dan membuka dengan segera. "Assalamu_"Cahya tercekat kala mendapati suaminya pulang dengan membawa seorang wanita pingsan yang dibopongnya."Waalikumsalam. Siapkan kamar tamu, Ya," ujar Hardian.Cahya gegas membuka pintu kamar tamu, tanpa ingin bertanya dahulu siapa wanita itu. Setelah memastikan wanita itu beristirahat di kamar, Hardian mengajak Cahya keluar."Maaf, Sayang. Kamu pasti kaget waktu Mas bawa Silvia ke rumah. Dia anak tetangga Ibu yang tinggal di kampung. Tadi Mas lihat dia mau bunuh diri dan melompat ke jembatan. Waktu Mas lihat, tadinya Mas kira dia mau ngapain. Tahu-tahu dia ternyata menyusul kekasihnya dan yang lebih me
Silvia menyeka air matanya dan tersenyum. Dia memikirkan cara agar Hardian mau menemaninya lebih lama. Sungguh kehamilannya ini, membuat ia kehabisan akal dan memilih menggunakan simpati mantan kekasihnya itu demi bisa membuatnya bernasib lebih baik."Mas, kepalaku pusing," keluh Silvia. "Kayak ada pakunya di sini," tunjuk Silvia dan berdrama seperti memijat kepalanya."Sini, aku bantu pijatkan."Hardian duduk agak mendekat dan memijat dengan pelan kepala Silvia. Silvia membuat suara seperti sedang keenakan saat dipijat dan itu membuat Hardian sedikit merasa terpacu. Terlebih tangan Silvia yang mulai nakal dan sekilas menyentuh bagian Hardian yang tampak menegang."Maaf," ucap Silvia sengaja."O-h, nggak apa. Sudah enakkan?" tanya Hardian."Belum. Malah kayak masuk angin. Mungkin minta dikerok. Mas ada minyak angin? Silvi minta gosokkan ke punggung. Nanti bagian depan Silvi yang balurin. Nggak enak banget badannya," rintih Silvia.Hardian sedikit ragu. Namun, lagi-lagi wajah memelas S
2"Pagi, Mbak Cahya. Saya Silvi," sambut wanita yang dibawa Hardian tadi malam."Pagi. Suami saya dah cerita tentang kamu. Saya turut prihatin, ya, atas apa yang menimpamu dan bayimu. Kamu dah enakan?" "Alhamdulillah. Biar Silvi bantu masak ya?" tawar Silvi."Boleh. Kamu bisa masak apa?""Apa aja Silvi bisa. Asal jangan goreng ikan," ucap Silvi tersenyum."Kenapa? Takut kena minyak?" tanya Cahya."Hehehe. Iya soalnya aku pernah punya pengalaman buruk dengan minyak dan ikan sehingga membuat luka bakar yang sama saat ini tidak bisa hilang. Nih!" tunjuk Silvi pada lehernya.Silvia melihat ada bekas luka minyak memang di sana. Namun Ia juga menangkap sebuah bekas luka merah seperti gigitan manusia atau cupang yang biasa dilakukan oleh pasangan."Yang itu kenapa?" tanya Cahya menunjuk bekas merah di lehernya."Oh, ini. Semalam saya digigit kecoa kayaknya. Nggak sakit sih, hanya sedikit gatel dan aku garuk ternyata jadi merah," kilahnya.Cahya mengamuk percaya saja apa yang Silvia katakan