Shirya tersenyum dalam hati melihat Silvia dibentak oleh Hardian. Ini lebih menantang dan seru untuk dilanjutkan karena ia merasa dibela oleh Hardian dan mendapatkan bangku kekuasaan di depan Silvia."Mas! Dia ini nggak sopan sekali. Kamu seharusnya marahin dia dan bentak dia, bukan aku!""Silvia, Mas sudah bilang kalau Bu Shirya ini tamu. Kamu harus layani dia dengan baik," terang Hardian berharap Silvia mengerti akan posisinya kali ini. Ia takut Shirya emosi dan berakibat pada pekerjaannya selama ini."Sudah, kalian lanjutkan saja drama rumah tangganya. Saya mau menginap di hotel saja. Nginap di sini nggak bikin betah, yang ada bikin ketularan gila!" ejek Shirya beranjak dan kali ini Silvia membuat perlawanan dengan menarik rambut Shirya."Kamu hanya karyawan bos! Lancang ya, bersikap seperti itu? Saya curiga kamu ini germo bos dan juga suami saya. Saya tahu tatapan genit Anda pada Mas Hardian, kamu ini wanita murahan."Shirya meringis saat rambutnya ditarik dan membuat terlepas be
41Mamah"Ya, enggak ngampus lagi?" tanya Mentari."Ngapain ke kampus?" Cahya yang sedang sibuk mempacking laundry, hanya menyahuti tanpa menengok."Siapa tahu sibuk ngampus lagi kayak kemarin-kemarin.""Nggak lah. Semuanya hanya aktivitas sesaat. Profesi utamaku, tukang laundry.""Laundry juga kalau sudah jadi bos macam kamu gini, lumayan. Ibu jadi kamu boyong ke sini?""Untuk saat ini belum. Masih nunggu rumah yang di Kencana Residance selesai renovasi. Satu minggu lagi mungkin selesai, tapi aku dulu yang menempati. Ibuku masih betah di rumahnya.""Keren Lah kamu. Tujuh bulan lebih, sudah bisa beli rumah. Aku kapan?" Mentari berbicara setengah berharap jika dirinya bisa mengikuti jejak sahabatnya itu."Bismillah, nanti pasti bisa. Rumah itu nggak terlalu besar, Tari. Type 36 kan bisa terjangkau, kalau kamu mau bisa ambil yang cicilan syariah."Cahya memang sudah merencanakan membeli rumah jauh-jauh hari, Uang hasil laundry yang sejak menikah dengan Hardian ia sisihkan dan tabung, ak
Cahya kaget karena Naura dapat mengenalinya meski dia memakai cadar dan gamis syar'i. "Naura, ini Bu Guru. Salim, Nak," titah Bibi–babysitternya."Bukan, Bi. Ini Mamah. Mamah, ini Naura. Mamah lupa?"Cahya mengusap pipi Naura dan memeluknya erat. Meski ia tidak mau menipu gadis kecil di depannya itu, tetapi ia juga tidak ingin ketahuan oleh Ratri jika bekerja di sini."Naura rindu Mamahnya ya?" tanya Cahya sengaja pura-pura tak mengenal Naura."Iya. Nau rindu. Mamah nggak pulang?""Ehm … ini sudah jam masuk kelas. Naura ikut Ibu Guru, ya?" Cahya ingin membuat babysitter Naura tidak curiga dan melapor pada Ratri. Sehingga ia meminta Naura agar ikut dia ke kelas. Naura mengangguk dan Cahya menggandengnya."Kami masuk dulu, Bu. Silahkan orang tua atau wali yang menunggu, di luar saja ya. Jadwal kelas sudah dimulai dan akan selesai dua jam kemudian. Terimakasih," sapa Cahya pada semua orangtua yang ikut mengantar anak-anaknya. Sekolah Bimbel Internasional ini terdiri dari banyak kelas d
42KacauCahya melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan perasaan yang mulai tenang. Dia juga tidak melakukan hal yang mencurigakan bahkan sekarang semuanya semakin membaik. Dia sudah tinggal di Kencana Residen dan juga menetap seorang diri."Bu, hari ini Cahya berangkat awal. Ibu jadi pulang ke Bogor?" tanya Cahya."Jadi. Gilang bilang, dia mau cek rumah kita dan katanya ada yang mau beli.""Yakin, Bu, dijual?" tanya Cahya memastikan."Yakin, lah. Lagian, Lila dan Gilang sudah selesai sekolah. Lila bisa kuliah di Jakarta saja. Gilang sudah dapat kerja di Mangga Dua, jadi biar nggak bolak-balik kan, lebih baik dijual. Apa kita mau beli rumah yang lebih besar?" tanya Gayatri."Untuk sementara, ini dulu. Tunggu nanti semua menikah, bisa Ibu belikan rumah satu-satu pada Gilang dan Lila. Bekal nikah dan masa depan masih banyak, Ibu harus punya aset.""Lah, kalau beli rumah sekarang juga aset, Cahya. Gimana sih," pungkas Gayatri."Makanya jangan dijual rumah yang di Bogor. Nanti aja, nungg
"Tidak ada keluarga lain yang bisa membantu mengelola bisnisnya?" Pertanyaan Cahya membuat Babysitter Naura mengerutkan keningnya. "Maksud saya, apa ayah Naura ini tidak memilki asisten kerja? Naura sangat antusias jika menceritakan tokohnya yang bekerja sebagai chef. Jadi, agak aneh kedengarannya dari Chef, ke pengusaha kantoran.""Kalau hal itu, saya kurang tahu. Opahnya Naura sudah lama tidak pulang. Jadi, saya juga tidak paham dengan apa yang terjadi di dalam keluarga bos saya.""Oh, Maaf. Boleh saya menjenguk Papahnya Naura?" tanya Cahya hati-hati."Tentu saja. Dengan senang hati. Terima kasih banyak sudah mau menjenguk Tuan Hasbi dan berkunjung ke rumah sakit.""Boleh saya minta alamat rumah sakitnya? Nanti selepas mengajar barulah saya akan ke sana. Nggak apa, kan?""Oh, tentu. Seluangnya Buguru saja.""Bareng sama Naura saja, Bu Guru. Kita kan searah. Naura juga pengen jenguk Papa," sela Naura."Naura, Sayang. Buguru masih ada jam ngajar, besok aja Naura ke rumah sakitnya ya?
43"Saya mau ke depan dulu. Suami saya tadi nggak sempat masuk, jadi mau ambil barang titipan ke depan. Nitip anak saya, ya, Bu Guru," pamit Ratri."Oh, iya, Bu."Ratri keluar dari kamar inap Hasbi dan kini Cahya merasa lebih lega karena bisa berbincang santai dengan Hasbi dan Naura."Bi, tolong ajak Naura ke depan sebentar. Saya mau bicara empat mata dengan Bu Gurunya Naura," titah Hasbi."Baik, Pak."Babysitter Naura keluar dari kamar membawa Naura. Kini hanya Hasbi dan Cahya yang sedang dilanda gelisah dan takut."Ya, apa kabar?" tanya Hasbi.Cahya terpaku. Bagaimana Hasbi bisa tahu kalau dia adalah Cahya."Alhamdulillah. Bapak bisa mengenali saya?" "Tentu. Suara kamu, perhatian kamu, juga tertawamu, saya hafal semua. Kenapa pergi tidak memberi kabar? Apa saya membuat kesalahan hingga kamu pergi begitu saja tanpa berbicara apapun pada saya?"Cahya tercekat. Dia tidak mungkin mengatakan jika semua ini adalah permintaan Ratri--ibunya."Maaf."Beberapa detik terdiam, helaan napas be
Sebuah pesan masuk ke dalam gawai miliknya. Dengan malas Cahya membuka pesan tersebut dan ternyata dikirim oleh orang tanpa nama, namun ia yakin itu pesan Hasbi. Karena dari kata-kata yang ditulis, menyiratkan jika itu adalah dia.[Ya, minta pada suamimu izin untuk bekerja di rumah membantu Naura belajar. Jika diperbolehkan, saya akan memberikan banyak hadiah pada suamimu jika memang dia seorang guru juga. Sebenarnya saya masih belum yakin, apa kamu benar-benar sudah menikah atau belum. Sungguh, penasaran dan saya harap kamu mau menerima tawaran Mama untuk bekerja di sini.]Cahya semakin dilema. Ia tidak bisa membalasnya jika belum memikirkan matang-matang. Pesan Hasbi yang belum ia balas, membuat Hasbi mengirimkan pesan kembali padanya.[Mama sering pergi, begitu juga Arfan. Naura kadang mencari teman bermain. Mungkin dia kesepian dan meminta teman, makanya dia malas belajar di rumah. Tolong pikirkan, Ya. ]Pesan Hasbi yang kedua, juga Cahya abaikan. Ia masih bingung dan ragu, takut
44""Au. Kamu tanya aja sendiri, itu mejanya ada di sebelah pojok.'Mentari dan Rio menengok ke arah meja yang ditempati oleh Silvia. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang dan hal itu tampak tidak penting bagi Cahya. Karena setelah perpisahan Cahya, ia sengaja tidak ingin memikirkan urusan mengenai Hardian dan istri barunya itu."Ngapain tuh cewek bunting jalan-jalan? Nanti pas pulang, ketemu lelembut bisa diambil tuh jabang bayi.""Hus! Dah ah, back to topic. Kenapa ngajakin kita makan malam?" tanya Mentari."Sebenarnya …"Ucapan Cahya terhenti saat ada waiters mengantar pesanan mereka. Mereka kembali serius saat sudah menyeruput minumannya."Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah serius mengenai kehidupan antah berantahmu?" seloroh Rio, membuat Mentari mencubit lengan Rio. Rio tersenyum lalu kembali fokus menunggu Cahya bercerita."Sebenarnya aku dilema.""Kenapa? Ada lelaki yang mau kamu jadikan pengganti Hardian?" tanya Mentari.Kali ini Rio yang membalas menabok paha Mentari. "Jang