Cahya kaget karena Naura dapat mengenalinya meski dia memakai cadar dan gamis syar'i. "Naura, ini Bu Guru. Salim, Nak," titah Bibi–babysitternya."Bukan, Bi. Ini Mamah. Mamah, ini Naura. Mamah lupa?"Cahya mengusap pipi Naura dan memeluknya erat. Meski ia tidak mau menipu gadis kecil di depannya itu, tetapi ia juga tidak ingin ketahuan oleh Ratri jika bekerja di sini."Naura rindu Mamahnya ya?" tanya Cahya sengaja pura-pura tak mengenal Naura."Iya. Nau rindu. Mamah nggak pulang?""Ehm … ini sudah jam masuk kelas. Naura ikut Ibu Guru, ya?" Cahya ingin membuat babysitter Naura tidak curiga dan melapor pada Ratri. Sehingga ia meminta Naura agar ikut dia ke kelas. Naura mengangguk dan Cahya menggandengnya."Kami masuk dulu, Bu. Silahkan orang tua atau wali yang menunggu, di luar saja ya. Jadwal kelas sudah dimulai dan akan selesai dua jam kemudian. Terimakasih," sapa Cahya pada semua orangtua yang ikut mengantar anak-anaknya. Sekolah Bimbel Internasional ini terdiri dari banyak kelas d
42KacauCahya melakukan aktivitasnya sehari-hari dengan perasaan yang mulai tenang. Dia juga tidak melakukan hal yang mencurigakan bahkan sekarang semuanya semakin membaik. Dia sudah tinggal di Kencana Residen dan juga menetap seorang diri."Bu, hari ini Cahya berangkat awal. Ibu jadi pulang ke Bogor?" tanya Cahya."Jadi. Gilang bilang, dia mau cek rumah kita dan katanya ada yang mau beli.""Yakin, Bu, dijual?" tanya Cahya memastikan."Yakin, lah. Lagian, Lila dan Gilang sudah selesai sekolah. Lila bisa kuliah di Jakarta saja. Gilang sudah dapat kerja di Mangga Dua, jadi biar nggak bolak-balik kan, lebih baik dijual. Apa kita mau beli rumah yang lebih besar?" tanya Gayatri."Untuk sementara, ini dulu. Tunggu nanti semua menikah, bisa Ibu belikan rumah satu-satu pada Gilang dan Lila. Bekal nikah dan masa depan masih banyak, Ibu harus punya aset.""Lah, kalau beli rumah sekarang juga aset, Cahya. Gimana sih," pungkas Gayatri."Makanya jangan dijual rumah yang di Bogor. Nanti aja, nungg
"Tidak ada keluarga lain yang bisa membantu mengelola bisnisnya?" Pertanyaan Cahya membuat Babysitter Naura mengerutkan keningnya. "Maksud saya, apa ayah Naura ini tidak memilki asisten kerja? Naura sangat antusias jika menceritakan tokohnya yang bekerja sebagai chef. Jadi, agak aneh kedengarannya dari Chef, ke pengusaha kantoran.""Kalau hal itu, saya kurang tahu. Opahnya Naura sudah lama tidak pulang. Jadi, saya juga tidak paham dengan apa yang terjadi di dalam keluarga bos saya.""Oh, Maaf. Boleh saya menjenguk Papahnya Naura?" tanya Cahya hati-hati."Tentu saja. Dengan senang hati. Terima kasih banyak sudah mau menjenguk Tuan Hasbi dan berkunjung ke rumah sakit.""Boleh saya minta alamat rumah sakitnya? Nanti selepas mengajar barulah saya akan ke sana. Nggak apa, kan?""Oh, tentu. Seluangnya Buguru saja.""Bareng sama Naura saja, Bu Guru. Kita kan searah. Naura juga pengen jenguk Papa," sela Naura."Naura, Sayang. Buguru masih ada jam ngajar, besok aja Naura ke rumah sakitnya ya?
43"Saya mau ke depan dulu. Suami saya tadi nggak sempat masuk, jadi mau ambil barang titipan ke depan. Nitip anak saya, ya, Bu Guru," pamit Ratri."Oh, iya, Bu."Ratri keluar dari kamar inap Hasbi dan kini Cahya merasa lebih lega karena bisa berbincang santai dengan Hasbi dan Naura."Bi, tolong ajak Naura ke depan sebentar. Saya mau bicara empat mata dengan Bu Gurunya Naura," titah Hasbi."Baik, Pak."Babysitter Naura keluar dari kamar membawa Naura. Kini hanya Hasbi dan Cahya yang sedang dilanda gelisah dan takut."Ya, apa kabar?" tanya Hasbi.Cahya terpaku. Bagaimana Hasbi bisa tahu kalau dia adalah Cahya."Alhamdulillah. Bapak bisa mengenali saya?" "Tentu. Suara kamu, perhatian kamu, juga tertawamu, saya hafal semua. Kenapa pergi tidak memberi kabar? Apa saya membuat kesalahan hingga kamu pergi begitu saja tanpa berbicara apapun pada saya?"Cahya tercekat. Dia tidak mungkin mengatakan jika semua ini adalah permintaan Ratri--ibunya."Maaf."Beberapa detik terdiam, helaan napas be
Sebuah pesan masuk ke dalam gawai miliknya. Dengan malas Cahya membuka pesan tersebut dan ternyata dikirim oleh orang tanpa nama, namun ia yakin itu pesan Hasbi. Karena dari kata-kata yang ditulis, menyiratkan jika itu adalah dia.[Ya, minta pada suamimu izin untuk bekerja di rumah membantu Naura belajar. Jika diperbolehkan, saya akan memberikan banyak hadiah pada suamimu jika memang dia seorang guru juga. Sebenarnya saya masih belum yakin, apa kamu benar-benar sudah menikah atau belum. Sungguh, penasaran dan saya harap kamu mau menerima tawaran Mama untuk bekerja di sini.]Cahya semakin dilema. Ia tidak bisa membalasnya jika belum memikirkan matang-matang. Pesan Hasbi yang belum ia balas, membuat Hasbi mengirimkan pesan kembali padanya.[Mama sering pergi, begitu juga Arfan. Naura kadang mencari teman bermain. Mungkin dia kesepian dan meminta teman, makanya dia malas belajar di rumah. Tolong pikirkan, Ya. ]Pesan Hasbi yang kedua, juga Cahya abaikan. Ia masih bingung dan ragu, takut
44""Au. Kamu tanya aja sendiri, itu mejanya ada di sebelah pojok.'Mentari dan Rio menengok ke arah meja yang ditempati oleh Silvia. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang dan hal itu tampak tidak penting bagi Cahya. Karena setelah perpisahan Cahya, ia sengaja tidak ingin memikirkan urusan mengenai Hardian dan istri barunya itu."Ngapain tuh cewek bunting jalan-jalan? Nanti pas pulang, ketemu lelembut bisa diambil tuh jabang bayi.""Hus! Dah ah, back to topic. Kenapa ngajakin kita makan malam?" tanya Mentari."Sebenarnya …"Ucapan Cahya terhenti saat ada waiters mengantar pesanan mereka. Mereka kembali serius saat sudah menyeruput minumannya."Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah serius mengenai kehidupan antah berantahmu?" seloroh Rio, membuat Mentari mencubit lengan Rio. Rio tersenyum lalu kembali fokus menunggu Cahya bercerita."Sebenarnya aku dilema.""Kenapa? Ada lelaki yang mau kamu jadikan pengganti Hardian?" tanya Mentari.Kali ini Rio yang membalas menabok paha Mentari. "Jang
Rio masih hanya memberi respon mengangguk. Ia masih memasang mode nyimak untuk pembicaraan dengan Cahya kali ini seraya menengok ke arah Silvia yang tampak sudah datang, satu orang lelaki dan ia yakin bukan Hardian. Ia mengambil gawainya dan memfoto aktivitas Silvia secara diam-diam untuk koleksi siapa tahu suatu saat nanti dibutuhkan."Jadi, mau gimana? Ambil nggak tawaran Pak Hasbi?" tanya Mentari yang kini sudah santai setelah mendengarkan cerita Cahya."Nah itu, fungsi kalian itu memberi aku masukan. Karena masalahnya, Pak Hasbi maupun Aa Arfan tahunya aku sudah menikah dan Pak Hasbi memintaku untuk mengenalkan suamiku atau meminta izin agar diperbolehkan bekerja di sana. Gimana dong?"Mentari tampak berpikir dan ia menepuk punggung Rio karena ia tampak tak fokus dengan pembicaraan ini."Heh, liatin apa sih di sana? Dengar Cahya ngomong nggak?" omel Mentari."Dengar. Mau dengar saran aku?""Apa?" tanya Cahya. Rio mematikan kameranya dan memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia menyu
45KejujuranSepulang dari Cafe dan bermusyawarah dengan para sahabatnya, Cahya kembali memikirkan saran-saran mereka. Cahya berpikir jika apa yang dikatakan oleh Rio dan Mentari ada betulnya. Jika ia memang harus jujur untuk mengetahui bagaimana respon Pak Hasbi jika tahu kenapa ia tidak bekerja lagi di sana. Tentu saja hal ini bukan ada niat untuk mengadu domba apalagi membuat Hasbi merasa benci kepada Ratri. Namun, Cahya sedang memikirkan cara bagaimana untuk mengatakan secara halus penjelasan mengenai alasannya itu.Saat baru pulang ke rumah, Cahya kaget karena mendapati sang Ibu yang ada di rumahnya."Kapan Ibu datang?" tanya Cahya."Tadi sore. Sengaja Ibu diminta Gilang untuk menemaninya mengantar uang saku untuk adikmu yang ngekos di Jakarta pusat. Katanya hari ini Gilang habis gajian, makanya dia kasih ibu dan sekalian mau mampir ke kosan adikmu.""Tumben? Lalu Ibu bisa masuk dari mana?" tanya Cahya heran karena kunci rumah ada padanya."Gilang yang tadi bukain pintu. Ibu juga
Hardian turun dari pelaminan. Dia langsung keluar dari gedung pesta yang digunakan untuk acara resepsi Arfan dan Cahya. Dia langsung kembali setelah urusannya selesai karena memang dia tidak berniat untuk merusak pernikahan Cahya maupun Arfan. Meski Hardian merasakan rasa yang menyakitkan, tetapi Ini semua adalah hasil dari apa yang sudah ia berbuat di masa lalu saat bersama Cahya."Jangan cemburu, A. Cahya gak mengundangnya," bisik Cahya saat mereka masih menyalami beberapa tamu namun wajah Arfan terlihat berubah dingin."Aku tahu, tapi kedatangannya merusak moodku," ucap Arfan kesal.Hiburan yang membuat acara pesta bertambah begitu meriah, menandakan resepsi Arfan dan cahaya sukses dan membuat semua yang hadir ikut merasakan kebahagiaan pengantin baru itu. Kini, acara telah usai dan keluarga sudah kembali ke rumah masing-masing. Tinggallah Arfan dan Cahya, yang akhirnya memilih menginap di hotel tempat mereka melakukan resepsi."Langsung tidur aja, ya? Capek kan?" tanya Cahya senga
Di depan cermin besar Cahya tengah mematut diri. Wajah perempuan itu sudah selesai di rias, gaun dari bahan brukat terbaik melekat pas di tubuhnya yang ramping. Di bantu seorang asisten MUA ia memakai heels. “Masyallah, Mbak Cahya cantik sekali. Begini juga yang namanya bidadari kalah cantik, Mbak,” seloroh Tari yang ditugaskan menjemput calon pengantin. “Kamu jangan ngeledek. MUA dan semua yang aku pakai ini dari pemberian dari keluarga Arfan!”“Aku serius, kamu memang cantik banget. Suer!” Tari mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V. “Akhirnya kamu ketemu juga dengan laki-laki yang tulus mencintai kamu, Ya. Aku ikut seneng, selamat ya atas pernikahan kamu. Sekarang kamu udah sah jadi istrinya Arfan.” Tari dan Cahya berpelukan. Cahya merasa haru bercampur bahagia. “Makasih, Tari.”“Yuk keluar, kamu udah di tunggu banyak orang.”Hati-hati Tari membimbing Cahya keluar dari kamar hotel, membawanya ke aula yang di sana sudah hadir seluruh keluarga kedua mempela
"Ya. Papa orang hebat, kamu juga anak hebat. Demi kalian, Mama rela. Mama ikhlas, menerima Cahya sebagai menantu. Kamu harus segera sembuh, karena setelah keluar dari rumah sakit nanti kita akan menambah Cahya untukmu bersama-sama."Arfan sangat bahagia. Ternyata perjuangannya tidak sia-sia. Dia sampai ikut menitikan air matanya. "Makasih, Ma, Pa."**Tiga hari kemudian Arfan sudah sembuh dan boleh pulang dari rumah sakit. Malm harinya keluarga Arfan termasuk papa, mama dan Hasbi sendiri datang ke rumah orang tua Cahya untuk meminang. Kalau takdir cinta sudah tertulis untuk bersatu, seperti apapun halangannya tetap akan bersatu juga. Begitu juga dengan restu dari mamanya Arfan, setelah dibujuk oleh Antonio akhirnya istrinya itu bersedia memberi restu. "Ya, Aa rindu. Aa datang," batin Arfan dalam perjalanan menuju rumah Cahya."Om ganteng banget," celetuk Naura."Iya doang. Naura bentar lagi punya Tante baru.""Tante baru?""Iya. Om mau nikah sama Tante Cahya. Naura seneng nggak?""Y
Akhir Perjuangan"Ma, kamu tidak kasihan lihat anak kita? Kamu sedih karena Arfan hendak menikahi janda? Apa yang kamu takutkan hingga kamu tak merestui pernikahan Arfan dan Cahya?" berondong Antonio saat dirinya sedang berusaha membujuk istrinya itu. Sengaja ia membawa istrinya ke rumah sakit untuk melihat wajah pucat dan badan yang mulai menyusut itu."Wanita bukan hanya Cahya, Pa! Kenapa sih, Papa nggak ngerti?" sahut Ratri tak suka dengan pertanyaan suaminya."Lalu, wanita mana yang pantas mendampingi anak kita, jika ditinggalkan Cahya saja dia sudah sakit begini? Papa tahu, Mama masih menyimpan dendam lama karena Papa menikah lagi. Tapi Papa janji, jika Mama merestui Arfan, maka Papa tidak akan kembali pada istri Papa yang tak setia itu. Papa sadar, Mama yang terbaik. Mama wanita hebat yang layak untuk disebut istri setia. Maaf kalau selama ini Papa menyakiti hati Mama. Jujur, Papa menyesal. Papa merasa ini karma dan hadirnya Cahya yang menjadi seseorang yang penting di hati anak
“Yang bikin Cahya bingung, Cahya sama sekali enggak punya perasaan apa-apa sama dia, Bu. Tadi sudah Cahya tolak, tapi….” Mengalirlah cerita yang tadi terjadi di rumah sakit. Gayatri mendengarkan dan sesekali mengangguk, lain kali ia menggeleng ketika merasa tindakan Arfan nekat. “Gimana ya, Bu? Cahya enggak mau menjadi zhalim karena hanya Arfan saja yang mencintai Cahya. Dan Cahya juga masih terauma dengan masa lalu, belum lagi mamanya Arfan yang tidak mau merestui hubungan anaknya dengan Cahya. Jujur Cahya pun enggan menjadi bagian dari keluarga itu, tetapi mulut ini sudah terlanjur menjawab iya.” Sulit. Ya, itu yang pertama kali muncul di kepala Gayatri ketika dimintai pendapat. Hubungan dengan cinta sebelah pihak saja sudah berat, harus di tambah dengan restu yang kemungkinan berat akan terhalang ini benar-benar pelik. Gayatri membenarkan posisi duduknya. Kemudian ia menatap wajah anak perempuannya lembut. Gayatri tersenyum kemudian mulai berbicara.“Nak, pernikahan itu bukan un
“Astagfirullah. Cahya kamu dari mana saja, Nak. Kenapa hujan-hujanan?” Gayatri yang sedari tadi cemas menunggu kepulangan sang anak sangat kaget saat akhirnya menyambut kedatangan Cahya. Anak perempuannya itu pulang dengan pakaian basah kuyup, ia tidak mendapati siapapun bersama Cahya. Sebab memang Cahya pulang seorang diri. “Masuk. Ibu sudah siapkan air hangat. Ya ampun, kenapa tidak menunggu hujan reda. Kalau begini kamu bisa masuk angin! Mandilah dulu, Ibu bikinkan susu jahe hangat.” Cahya tidak banyak bicara, ia menuruti perintah Gayatri. Cahya segera membersihkan diri, air hangat yang digunakan mandi lumayan membuat dirinya merasa lebih rileks. Setelah mandi dan berganti pakaian, Gayatri menyusul anaknya ke kamar. Secangkir susu cahe hangat ia hidangkan untuk sang anak. “Di minum susu jahenya, mumpung masih hangat.”Cahya menerima minuman hangat itu dan menyeruputnya sedikit. Aroma jahe yang lembut dan sensai hangat meluncur melewati tenggorokannya, berakhir di dalam perut.
“Aku tahu kamu datang ke mari karena di suruh oleh Kak Hasbi, kan? Maafkan Aku karena malah membuatmu repot-repot menjenguk. Tapi, kalau boleh jujur aku memang sangat mengharapkan kedatanganmu, Ya.”“Untuk apa?” tanya Cahya cepat.“Untuk mengungkapkan perasaan aku ini. Aku mencintai kamu, Ya. Cinta sejak pertama memandang kamu.”Pengakuan Arfan sontak membuat Cahya mendongakkan kepala, menatap dengan kening mengernyit. Apa-apaan ini? Batinnya. Meski ia sering mendengar Arfan mengatakan hal ini, namun ia merasa berbeda dengan saat Arfan mengatakannya sekarang. Ia menyusuri lewat tatapan mata, berharap menemukan kebohongan. Namun, ia tidak berhasil menemukan itu, semua yang ia lihat adalah nyata. Mata sayu Arfan memancarkan sesuatu yang sangat kuat. “Cahya mungkin bagimu aku terlalu pengecut sebagai lelaki, hingga untuk menyatakan cinta pun harus menunggu kamu yang datang. Tapi, yang perlu kamu ketahui. Cinta Aa benar-benar tulus, aku tidak ingin menyesal dan mati sebelum mengungkapkan
Kedatangan Hasbi semata bertujuan untuk memberitahukan keadaan Arfan kepada Cahya. Setelah sesaat memberi waktu untuk putrinya bercengkerama dengan Cahya, ia pamit pulang. Sebelum pergi sekali lagi Hasbi meminta untuk Cahya sudi meluangkan waktu menjenguk Arfan. Setelah kepergian Hasbi kini Cahya duduk seorang diri di depan kios. Otaknya berfikir keras, ia bingung harus datang ke rumah sakit atau tidak? Selema ini ia sengaja menghindar dari keluarga Hasbi sebab tidak ingin dianggap biang masalah, usahanya pergi dan melupakan kedua pria itu berhasil dan pernyataan cinta Arfan yang diwakili oleh Hasbi barusan malah membuatnya bingung.Benarkah Arfan menyimpan rasa itu? Benarkah ia sakit sebab cintanya padaku tidak mendapat restu? Benarkah seorang Arfan jatuh cinta pada Cahya? Tanya Cahya dalam hati pada dirinya sendiri. Kemudian bibirnya melengkung, tersenyum. Jangan ke-PD-an Cahya, bisa saja ini hanya sandiara dan pemanis bibir mereka. Ingat siapa kamu! Bercerminlah sebelum memimpikan
Siang ini pekerjaan di londry sangat banyak. Beberapa hari belakangan cuaca memang sedang tidak bersahabat, mendung dan hujan tiba-tiba saja turun diluar prediksi. Situasi demikian membawa rejeki tersendiri untuk usaha Cahya. Banyak orang yang memilih menggunakan jasa londry untuk membersihkan pakaian. Lebih praktis, sebab kebanyakan mereka hanya memiliki mesin cuci rumahan walaupun pakaian yang sudah di keringkan masih perlu waktu untuk diangin-anginkan agar kering. Sedangkan Cahya, ia memiliki mesin cuci yang lebih canggih. Pakaian yang dimasukkan dalam keadaan kotor akan di keluarkan dalam keadaan bersih dan kering. Selanjutnya hanya perlu di setrika dan di lipat rapi."Tari, perasaan hari ini gak enak banget ya?" tanya Cahya yang sedang membantu Mentari melabeli beberapa pesanan laundry para pelanggan."Tanya perasaan aku? Aku mah, setiap hari perasaannya juga nggak enak. Soalnya nggak punya Ayang," jawab Mentari asal."Aku lagi tanya perasaanku. Bukan kamu, Ce Eunah.""Lah, diki