"Tidak ada keluarga lain yang bisa membantu mengelola bisnisnya?" Pertanyaan Cahya membuat Babysitter Naura mengerutkan keningnya. "Maksud saya, apa ayah Naura ini tidak memilki asisten kerja? Naura sangat antusias jika menceritakan tokohnya yang bekerja sebagai chef. Jadi, agak aneh kedengarannya dari Chef, ke pengusaha kantoran.""Kalau hal itu, saya kurang tahu. Opahnya Naura sudah lama tidak pulang. Jadi, saya juga tidak paham dengan apa yang terjadi di dalam keluarga bos saya.""Oh, Maaf. Boleh saya menjenguk Papahnya Naura?" tanya Cahya hati-hati."Tentu saja. Dengan senang hati. Terima kasih banyak sudah mau menjenguk Tuan Hasbi dan berkunjung ke rumah sakit.""Boleh saya minta alamat rumah sakitnya? Nanti selepas mengajar barulah saya akan ke sana. Nggak apa, kan?""Oh, tentu. Seluangnya Buguru saja.""Bareng sama Naura saja, Bu Guru. Kita kan searah. Naura juga pengen jenguk Papa," sela Naura."Naura, Sayang. Buguru masih ada jam ngajar, besok aja Naura ke rumah sakitnya ya?
43"Saya mau ke depan dulu. Suami saya tadi nggak sempat masuk, jadi mau ambil barang titipan ke depan. Nitip anak saya, ya, Bu Guru," pamit Ratri."Oh, iya, Bu."Ratri keluar dari kamar inap Hasbi dan kini Cahya merasa lebih lega karena bisa berbincang santai dengan Hasbi dan Naura."Bi, tolong ajak Naura ke depan sebentar. Saya mau bicara empat mata dengan Bu Gurunya Naura," titah Hasbi."Baik, Pak."Babysitter Naura keluar dari kamar membawa Naura. Kini hanya Hasbi dan Cahya yang sedang dilanda gelisah dan takut."Ya, apa kabar?" tanya Hasbi.Cahya terpaku. Bagaimana Hasbi bisa tahu kalau dia adalah Cahya."Alhamdulillah. Bapak bisa mengenali saya?" "Tentu. Suara kamu, perhatian kamu, juga tertawamu, saya hafal semua. Kenapa pergi tidak memberi kabar? Apa saya membuat kesalahan hingga kamu pergi begitu saja tanpa berbicara apapun pada saya?"Cahya tercekat. Dia tidak mungkin mengatakan jika semua ini adalah permintaan Ratri--ibunya."Maaf."Beberapa detik terdiam, helaan napas be
Sebuah pesan masuk ke dalam gawai miliknya. Dengan malas Cahya membuka pesan tersebut dan ternyata dikirim oleh orang tanpa nama, namun ia yakin itu pesan Hasbi. Karena dari kata-kata yang ditulis, menyiratkan jika itu adalah dia.[Ya, minta pada suamimu izin untuk bekerja di rumah membantu Naura belajar. Jika diperbolehkan, saya akan memberikan banyak hadiah pada suamimu jika memang dia seorang guru juga. Sebenarnya saya masih belum yakin, apa kamu benar-benar sudah menikah atau belum. Sungguh, penasaran dan saya harap kamu mau menerima tawaran Mama untuk bekerja di sini.]Cahya semakin dilema. Ia tidak bisa membalasnya jika belum memikirkan matang-matang. Pesan Hasbi yang belum ia balas, membuat Hasbi mengirimkan pesan kembali padanya.[Mama sering pergi, begitu juga Arfan. Naura kadang mencari teman bermain. Mungkin dia kesepian dan meminta teman, makanya dia malas belajar di rumah. Tolong pikirkan, Ya. ]Pesan Hasbi yang kedua, juga Cahya abaikan. Ia masih bingung dan ragu, takut
44""Au. Kamu tanya aja sendiri, itu mejanya ada di sebelah pojok.'Mentari dan Rio menengok ke arah meja yang ditempati oleh Silvia. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang dan hal itu tampak tidak penting bagi Cahya. Karena setelah perpisahan Cahya, ia sengaja tidak ingin memikirkan urusan mengenai Hardian dan istri barunya itu."Ngapain tuh cewek bunting jalan-jalan? Nanti pas pulang, ketemu lelembut bisa diambil tuh jabang bayi.""Hus! Dah ah, back to topic. Kenapa ngajakin kita makan malam?" tanya Mentari."Sebenarnya …"Ucapan Cahya terhenti saat ada waiters mengantar pesanan mereka. Mereka kembali serius saat sudah menyeruput minumannya."Sebenarnya kenapa? Apa ada masalah serius mengenai kehidupan antah berantahmu?" seloroh Rio, membuat Mentari mencubit lengan Rio. Rio tersenyum lalu kembali fokus menunggu Cahya bercerita."Sebenarnya aku dilema.""Kenapa? Ada lelaki yang mau kamu jadikan pengganti Hardian?" tanya Mentari.Kali ini Rio yang membalas menabok paha Mentari. "Jang
Rio masih hanya memberi respon mengangguk. Ia masih memasang mode nyimak untuk pembicaraan dengan Cahya kali ini seraya menengok ke arah Silvia yang tampak sudah datang, satu orang lelaki dan ia yakin bukan Hardian. Ia mengambil gawainya dan memfoto aktivitas Silvia secara diam-diam untuk koleksi siapa tahu suatu saat nanti dibutuhkan."Jadi, mau gimana? Ambil nggak tawaran Pak Hasbi?" tanya Mentari yang kini sudah santai setelah mendengarkan cerita Cahya."Nah itu, fungsi kalian itu memberi aku masukan. Karena masalahnya, Pak Hasbi maupun Aa Arfan tahunya aku sudah menikah dan Pak Hasbi memintaku untuk mengenalkan suamiku atau meminta izin agar diperbolehkan bekerja di sana. Gimana dong?"Mentari tampak berpikir dan ia menepuk punggung Rio karena ia tampak tak fokus dengan pembicaraan ini."Heh, liatin apa sih di sana? Dengar Cahya ngomong nggak?" omel Mentari."Dengar. Mau dengar saran aku?""Apa?" tanya Cahya. Rio mematikan kameranya dan memasukkan gawainya ke dalam saku. Ia menyu
45KejujuranSepulang dari Cafe dan bermusyawarah dengan para sahabatnya, Cahya kembali memikirkan saran-saran mereka. Cahya berpikir jika apa yang dikatakan oleh Rio dan Mentari ada betulnya. Jika ia memang harus jujur untuk mengetahui bagaimana respon Pak Hasbi jika tahu kenapa ia tidak bekerja lagi di sana. Tentu saja hal ini bukan ada niat untuk mengadu domba apalagi membuat Hasbi merasa benci kepada Ratri. Namun, Cahya sedang memikirkan cara bagaimana untuk mengatakan secara halus penjelasan mengenai alasannya itu.Saat baru pulang ke rumah, Cahya kaget karena mendapati sang Ibu yang ada di rumahnya."Kapan Ibu datang?" tanya Cahya."Tadi sore. Sengaja Ibu diminta Gilang untuk menemaninya mengantar uang saku untuk adikmu yang ngekos di Jakarta pusat. Katanya hari ini Gilang habis gajian, makanya dia kasih ibu dan sekalian mau mampir ke kosan adikmu.""Tumben? Lalu Ibu bisa masuk dari mana?" tanya Cahya heran karena kunci rumah ada padanya."Gilang yang tadi bukain pintu. Ibu juga
"Bu, semalam Cahya kok udah di kamar?" tanya Cahya bingung."Lah, nggak ingat kamu udah Ibu bangunkan?" tanya Gayatri."Enggak. Siapa yang bawa Cahya ke kamar?""Pangeran." Tiba-tiba Gilang muncul dari arah kamar tamu, hendak sarapan juga. "Mbak makan apa, sih? Berat beut, perasaan nggak gemuk.""Hahaha, kebanyakan dosa kali, Gil. Makanya berat," jawab Cahya asal. "Jam berapa datang?" "Pas kamu baru saja terpejam, Gilang datang. Sudah, kalian makan setelah itu kerja. Ini sudah jam 06.30. Nanti terlambat, Ibu sudah masak sayur di meja makan."Gayatri menyiapkan sarapan untuk Cahya dan Gilang sebelum mereka berangkat bekerja."Gil, kamu nginap di sini saja temani Mbakmu. Ibu mau balik ke dusun, biar adikmu nggak jauh kalau mau pulang. Kasihan kalau kelelahan kerja, nggak ada teman di rumah," titah Gayatri."Kontrakan Gilang masih setengah bulan lagi, Bu. Insyaallah nanti Gilang pindah ke sini.""Berapa biaya ngontraknya, Gil?" Cahya ikut bertanya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulu
Naura tampak girang saat Cahya menggendongnya masuk ke dalam rumah. Membantu memandikan Naura dan menyuapinya makan."Makan yang banyak, biar sehat dan cepat besar. Jadi bisa bantuin Papa kerja, Sayang. Kasihan Papa sudah tua," ucap Cahya."Kan ada Mamah. Mamah pinter kerja juga. Kenapa nggak bantuin Papa?""Hm … Mamah kan ngajar."Cahya tak ingin melanjutkan perbincangan ini dengan Naura. Dia tidak ingin larut dalam perbincangan yang menjebaknya dalam posisi sulit nanti.Naura sudah rapi dengan dres merah bercorak bunga mawar dengan tas selempang kecil yang sengaja dibawa untuk membawa beberapa lembar uang. Terlahir sebagai anak pengusaha, membuat Naura biasa diajarkan memiliki gaya yang tidak jauh dari keluarga Hasbi.Cahya mengajak Naura ke rumah sakit terlebih dahulu. Ia ingin meminta izin pada Hasbi untuk mengajak Naura jalan-jalan."Papah!" Naura berlari mendekat ke ranjang Hasbi dan Cahya membantu Naura naik ke atas ranjang."Pa, Naura sudah mandi dan makan. Dibantuin Bu Guru