"Mas....mas, mas Darwin" Ketika tanganku tidak bisa menggapai apa yang ingin kungapai, seketika mata ini mulai terbelalak. Entah kemana perginya mas Darwin. Tidak biasanya dia pergi tanpa pamit lebih dulu. Melihat jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Rasa kantuk terus memberatkan mata ini meski berulang kali berusaha membuka lebar. Setelah sekian lama akhirnya aku bisa tidur pulas tanpa ada gangguan suara denyit ranjang sebelah. Mungkin ibu Marni sedang keluar rumah atau menginap di rumah temannya. Aku tidak perduli mau dia ada atau tiada bagiku sama saja. Sudah lama aku muak dengan keberadaan beliau, bukan tanpa sebab. Pertama gara gara beliau nyawa ayah tidak tertolong, semua karena beliau bersikeras tidak mau membawa ayah ke rumah sakit dengan alasan kami tidak mempunyai cukup uang. Sedangkan pada saat itu ibu Marni punya simpanan perhiasan dari almarhumah ibu kandungku, tapi beliau tidak mau menjualnya dan malah memakainya. Yang kedua setelah kepergian ayah, beliau jadi wanita murahan. Banyak warga menggunjing perilaku ibu Marni yang kerap ketanggap basah di antar jemput beberapa pria parubaya. Sebagai seorang janda seharusnya beliau bisa menjaga diri dengan tidak keluyuran setiap hari. Banyak isu mulai bermunculan tentang pekerjaan beliau sebagai pelakor dan pekerja komersial. Aku di buat malu olehnya, ketika aku harus berhadapan langsung dengan warga sekitar. Entah harus bagaimana mengatasi sifat buruk ibu Marni itu. Padahal setiap bulan aku selalu memberinya uang untuk sekedar membalas jasanya selama ini. Dua juta dalam satu bulan terbilang cukup untuk dia hidup seorang diri. lagi pula seluruh kebutuhan rumah dan berbagai tagihan aku dan mas Darwin yang membayarnya. Jadi kalau di pikir uang ibu Marni masih utuh tidak terpotong sedikit pun.
"Mas Darwin kamu di mana....?" Tanpa tunggu lama aku pun mulai turun dari ranjang mencari keberadaan mas Darwin. "Akkkkhhh....." dengusan panjang mengusik telinga. "Stttt....pelankan suara ibu nanti kalau Rika bangun bagaimana?" Lirih Darwin sembari menghentikan gerakan tubuh. Mereka berdua saling menatap dengan puluh membasahi wajah. Butiran keringat sebesar biji jagung membasahi tubuh mereka sampai terlihat mengkilap seperti di lumuri minyak. "Dia tidak akan dengar, kamu tenang saja...." Marni mulai meraba bagian dada kemudian mencium bibir Darwin. Mereka sudah tidak punya rasa canggung sama sekali. Di mana pun tempat jika mereka ingin pasti langsung tancap gas. Darwin tidak bisa menolak kenikmatan yang Marni berikan padanya. Seorang pria jauh lebih suka jika wanitanya menawarkan diri lebih dulu, rayuan dan gaya wanita liar membuat sensasi int1m para pria meningkat drastis. "Darwin........" Marni mulai tidak bisa mengontrol diri ketika Darwin mempercepat laju tubuhnya. "Suara apa itu....?" Tanpa ragu aku pun mulai melangkahkan kaki mencari sumber suara. Dari kejauhan suara itu berasal dari dapur "Mas, apa kamu di sana...." Menyalakan lampu depan sembari mencoba melihat suara apa gerangan. Seketika suara lenguhan panjang tadi berubah hening seketika. Suara seperti gemericik air mulai terdengar. "Ibu ngapain tengah malam di dapur?"Tanyaku sembari menatap punggung ibu Marni. Marni sangat gugup takut jika perbuatan mereka tertangkap basah "Aku harus tenang. Jangan sampai terlihat gugup di depannya" Lirihnya sembari mengusap peluh. Berbalik badan "Eh kamu Rika, itu tadi ibu haus mau ambil minum. Kamu sendiri kenapa bangun tengah malam begini, memang kamu tidak ngantuk besok harus berangkat kerja lagi kan?" "Apa tadi ibu mendengar suara? Dari kamar aku mendengar ada suara dari arah sini..." Melihat sekeliling hanya ada ibu Marni saja. Beruntung Darwin sigap bersembunyi ketika melihat lampu ruang tengah menyala. Sudah di pastikan kalau sang istri terbangun. Beliau tersenyum sembari mengangkat gelas padaku "Itu tadi suara ibu hampir menjatuhkan gelas soalnya lantainya licin. Tuh lihat tadi airnya tumpah jadi licin deh lantainya...." Jawab ibu Marni. Jujur aku merasa curiga pada tingkah beliau. Ada sesuatu yang di sembunyikan dariku. "Oh ya sudah kalau begitu aku pikir ada apa. Emmmm....kalau boleh tanya apakah ibu tau di mana mas Darwin" Melihat sekeliling berharap mas Darwin muncul. Ibu Marni menggeleng kepala "Mana ibu tau bukankah tadi kalian tidur bareng? Ke kamar mandi mungkin" Ada gelagat tidak mengenakan dari wajah beliau. "Tadi Rika sudah cari di kamar mandi tapi tidak ada ....." Jawabku terus terang. Beliau menenggak segelas air mineral "Kalau begitu mana ibu tau. Paling dia cari angin ke luar kali...." "Entahlah buk, kalau begitu Rika masuk dulu mau coba telepon mas Darwin" Ku langkahkan kaki menuju kamar. Menepuk pundak Darwin "Ih kamu sih tidak pelan-pelan ibu jadi kelepasan tadi. Udah sana cepat balik kamar nanti Rika bisa curiga sama kita...." Ucap Marni sedikit berbisik. Darwin bersembunyi di bawah meja dapur tepat di samping Marni berdiri sekarang "Astaga, padahal aku belum sampai lho buk" Marni juga merasa belum mencapai puncaknya tapi sudah harus berakhir "Sama ibu juga begitu tapi kita harus waspada takutnya Rika curiga sama kita. Lebih baik kamu cepat masuk kamar jangan buat istrimu berpikir macam-macam" Cup... Dengan lancang Darwin mencium kening Marni sembari meremas bagian sensitive "Besok akan kubuat ibu lemas di atas ranjang" "Ih nakal deh kamu" mencubit hidung Darwin. Darwin pun segera merapihkan rambut serta baju yang di kenakan. Bersiap merangkai kata supaya tidak timbul rasa curiga "Sayang, kamu belum tidur?" "Kemana saja kamu, mas? Aku mencarimu kemana mana" Melihat keringat di dahi mas Darwin otak kotorku mulai bergerilya. Di tengah malam begini suamiku keluar tanpa sepengetahuanku di tambah lagi suara pekik ibu Marni barusan membuatku merasa takut. Meski status mereka menantu dan mertua tapi ikatan itu hanya sebatas saja, karena ibu Marni hanya ibu angkatku. Sewaktu waktu dia bisa menjadi musuh dalam selimut. Ku tatap netra mas Darwin. Kenapa mas Darwin berkeringat seperti itu di malam hari? Apakah terjadi sesuatu padanya atau hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan. Mas Darwin duduk di sampingku sembari melingkarkan tangan "Pasti kamu cemas ya mencariku, maaf sayang tadi mas keluar sebentar cari..." Tangan kirinya meraih sesuatu dari saku celana "Tara....cari ini khusus biar malam ini tahan lama" Sebuah alat kontrasepsi pria. "Jadi mas sampai keringetan begitu cuma mau beli ini saja...." Mas Darwin tersenyum lalu perlahan ia mendorong tubuhku sampai kami terbaring di atas ranjang. "Apakah kamu tidak keberatan menghabiskan malam bersamaku, sayang" Mas Darwin begitu pandai membuatku tersipu. Sambil tersipu aku anggukkan kepala. Perlahan mas Darwin mulai membuka pakaianku "Begitu indah ciptaan tuhan ini" Rayunya sembari melancarkan aksi. "Sialan, dia malah main sama Rika" Kesal Marni. Sejak tadi Marni berada di depan pintu sembari mengintip aktivitas di dalam kamar. Dari celah kecil pada pintu kamar membuat Marni melihat jelas pemandangan di dalamnya. "Kalau dia bisa menuntaskan dengan Rika maka aku pun juga bisa" Segera kembali ke kamar lalu menghubungi Dono. Tak berapa lama Dono pun datang. Mereka langsung berpacu dalam kenikmatan. Denyit ranjang Marni kembali terdengar kencang. "Aku sangat mencintaimu, Marni" Baru beberapa menit saja Dono sudah KO. Dia tergeletak di samping Marni. "Ih kok cuma sebentar sih..."Protes Marni. Dono berusaha membuka mata namun tidak bisa. Beberapa waktu lalu Dono dan kawan kawan sedang pesta miras jadi kepalanya masih keliyengan. "Aku capek mau tidur dulu ya, sayang" Dengan suara orang mabuk pada umumnya. Dengan wajah cemberut Marni membelakangi Dono "Dasar pak tua baru lima menit saja sudah tepar....""Marni.........keluar kamu....Marni" Pagi hari selah seorang warga berteriak kencang di depan rumah. Ada gerangan apa sehingga membuat mereka berbondong-bondong datang ke rumah kami dengan cara tidak sopan. "Sayang, kenapa di luar ribut sekali?" Mas Darwin yang baru saja selesai mandi langsung menghampiriku."Entahlah, mas. Ayo kita lihat....." Seketika kami keluar kamar. Mengintip dari celah jendela ruang tamu "Mas, kenapa di luar ada banyak orang (Kami saling melempar pandang) kira-kira ada apa, ya?" Dari balik tirai jendela kami melihat sekumpulan warga berdiri sambil mengacungkan tongkat yang terbuat dari kayu. Mereka nampak begitu anarkis dengan terus berteriak memanggil nama Ibu Marni. Kebanyakan kaum ibu terus meneriaki nama ibu Marni. Entah kesalahan seperti apa yang telah beliau perbuat sampai para warga berkumpul depan rumah dengan menampilkan wajah kesal.Mas Darwin ikut mengintip "Lebih baik kita jangan keluar dulu tunggu sampai mereka pulang""Marni....keluar kamu jang
"Jadi kamu juga mau mengusir ibumu dari rumah ini? Apa kamu tidak mau menjelaskan pada mereka bahwa ibu akan tetap tinggal di rumah ini sesuai pesan terakhir bapakmu? Apa kamu lupa, atau kamu memang ingin ibu keluar dari rumah ini, iya begitu?" ibu Marni menatapku penuh emosi. Matanya seolah tidak terima atas tuntutan warga sekitar. Sejak sidang pagi tadi aku hanya terdiam tanpa bicara sedikit pun padanya. Sungguh, aku pun tidak menyangka begitu tega ibu tiriku merebut suami orang, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Selama ini benar isu di luar sana bahwa ibu tiriku bukan wanita baik-baik. Sudah banyak orang memberitahu padaku akan tabiat buruk bu Marni, tapi sama sekali tidak ku hiraukan. Cinta kasih ku pada beliau begutu tulus dan besar sehingga mataku di buatnya buta, telinga serasa tuli, dan hati seakan mati rasa. Jujur aku begitu bodoh sampai tidak mengenali siapa ibu tiriku sebenarnya. "Seharusnya kamu membela ibu bukan malah diam sepertin patung, ingat ya tanpa aku mungkin k
Tok, tok...."Masuk...." seorang pria berkaca mata melihat seseorang membuka pintu. Menurunkan kaca mata seraya berkata "Pak Darwin? ada hal penting apa sepagi ini menghadap saya?" Dengan wajah di buat seolah merintih kesakitan "Sebelumnya saya minta maaf pak, sepertinya saya tidak dapat mengjar hari ini karena tiba-tiba saja badan terasa tidak enak. Kalau bapak berkenan saya mau minta ijin pulang lebih awal soalnya kepala saya migran, pak." Berharap bapak kepala sekolah percaya dengan aktingnya. Meski bukan hal baru baginya tetapi ijin kepala sekolah sangat di butuhkan.Melepas kaca mata sembari memicingkan mata "Saya lihat akhir-akhir ini pak Darwin kerap minta ijin dengan alasan sakit, apakah itu suatu kebetulan atau ada unsur kesengajaan?" Beberapa hari ini memang Darwin kerap minya ijin dengan alasan sakit. Sekali dua kali tidak menimbulkan kecurigaan, untuk selebihnya timbul rasa curiga.Memijat kepala "Saya tidak berbohong, memang saya pusing, pak. Tapi jika bapak tidak member
Sebulan kemudian...Marni mulai kerap bertemu dengan Darwin di tempat umum. Kali ini Marni meminta Darwin untuk menemaninya belanja di sebuah pusat perbelanjaan terbesar di tengah kota. Mereka nampak tidak segan memamerkan kedekatan yang terjalin setelah beberapa bulan berpeluh bersama. Entah sihir dan jampi-jampi seperti apa sehingga membuat Darwin begitu bern4fsu pada Marni. Hampir setiap pertemuan pasti akan mereka gunakan peluang dengan sebaik mungkin. Hasrat menggebu memupuk puluhan dosa. Tidak hanya sekali bercInta namun bisa satu, dua hingga, tiga kali dalam sekali pertemuan. Tergantung mood masing-masing. Terkadang badan lelah menjadi faktor utama ej4kulas1 dini. Belum lagi ketika harus memenuhi kewajiban atas istri tentu Darwin butuh banyak waktu memulihkan tenaga. Sepanjang jalan mereka lalui bersama saling bercanda sampai menjurus hal sensitif. Mereka nampak begitu senang. Sering kali membahas adegan ranjang model seperti apa lagi yang akan mereka perankan nantinya, sunggu
"Mas....kamu habis belanja, ya? Sebanyak itu?" Baru saja mas Darwin masuk rumah mataku mulai tertuju pada beberapa paper bag di tangannya. Tidak biasanya suamiku itu belanja sendirian. Bahkan jarang sekali dia mau belanja barang sebanyak itu. Ku letakkan sebuah majalah yang baru tadi aku beli di jalan ketika perjalanan pulang, lalu menghampirinya. Melihat wajah mas Darwin sepertinya dia sedang banyak pikiran.Meletakkan paper bag sembari menghempaskan tubuh "Sebentar lagi adalah hari guru, jadi mas berniat beli kemeja baru untuk di kenakan pas peringatan hari guru nanti. Kamu tau sendiri kan semua muridku begitu totalitas memperingati hari besar guru, jadi mau tidak mau harus tampil sempurna." Ucap Darwin berdalih dari kenyataan."Tapi kok tumben tidak mengajak ku?" Menarik nafas berat "Bukannya kamu selalu sibuk setiap hari? mana ada waktu menemani suami belanja," Mendengar ucapan mas Darwin, aku pun jadi merasa bersalah. Memang ku akui akhir-akhir ini banyak sekali tugas kantor me
"Ini lipstik dan parfum milik siapa, mas?" Ku tatap mata suamiku ketika dia baru saja keluar dari kamar mandi. Tangannya masih memegang handuk setelah keramas. Gerindil air masih membasah sebagain wajah. Hati terasa gusar, bagaimana kalau memang kecurigaanku benar? mungkinkah suamiku ada main dengan ibu tiriku? apakah mungkin suamiku tega menyakiti hati ku? dan masih banyak lagi pertanyaan di dalam hati ini. Darwin melihat lipstik dan parfum milik Marni terbawa olehnya, raut wajah gugup terlihat jelas "Oh itu, jelas untuk kamu, sayang. kalau bukan untukmu lalu untuk siapa lagi...." Dengan santai mas Darwin menjawabku. Namun, dari cara bagaimana reaksinya ada hal anahe di matanya."Untukku? Apa kamu yakin, mas?" Berusaha mengulik kebenaran dari balik matanya. Seketika melihat reaksi mas Darwin yang langsung membuang muka dengan menggaruk kepala jelas dia sedang berbohong. Empat tahun sudah kami menjalin cinta, jadi sekecil apa pun reaksi Mas Darwin dalam mengekspresikan mimik wajah da
Hari ini adalah hari libur. Aku sengaja bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan beberes rumah. Tak berapa lama kemudian aku mendengar suara ibu Marni di luar, sepertinya beliau sedang bicara dengan seseorang. Tanpa tunggu lama ku ayunkan kaki menghampiri sumber suara. Mau apa lagi beliau datang mungkinkah masih ingin membuat keributan lagi? sungguh tidak mengerti ada seorang wanita bermuka tebal sepertinya."Ibu...." Ucapku membuat ibu Marni dan mas Darwin menoleh. Tatapanku tertuju pada tangan mas Darwin yang memegang pergelangan tangan ibu tiriku. Seketika Mas Darwin melepaskan tangan beliau lalu berjalan menghampiriku "Begini sayang tadi ibu Marni maksa mau ketemu kamu, terus aku memberi pengertian untuk tidak datang kesini karena warga masih sangat membencinya. Tadi mas hanya ingin ibu kembali pulang, sebelum warga mulai berdatangan kemari...." Ucap Mas Darwin setengah gugup.Ibu Marni menghampiri kami sembari melempar senyum "Benar kata anak mantuku. Memang ibu salah kalau
"Mau kemana bu Marni?" Seorang pengendara motor tiba-tiba saja berhenti tepan di hadapan Marni, ia lalu menggoda Marni yang tengah berdiri di tepi jalan, menunggu ojek online. Pria bertato itu tidak lain adalah Ridho. Dengan menatap Marni dari ujung kepal hingga ujung kaki, siulan si pria jalanan mulai terdengar tish. Pakaian ketat melekat di badan sintal Marni membuat setiap mata melongo. Bodi Marni jauh lebih bagus di banding wanita seusianya "Bolehlah aku mengantar kamu, sayang" bisik Ridho menawarkan diri. Gelagat kurang baik jelas terlihat dari sorot matanya."Baby...." Kembali ia menggoda seraya mencoel dagu Marni.Marni hanya diam seolah tidak melihat Ridho. Perilaku Ridho membuatnya kesal karena Ridho telah membobol dari depan dan belak4ng sampai ia merasa trauma dengannya. Melihatnya saja tubuh sudah gemetaran apa lagi harus melakukan lagi dan lagi. Lain dengan Darwin yang menawarkan kenikmatan sewajarnya juga tidak neko-neko. Ridho adalah pemuda brandalan suka dengan hal men
Bagaimana cara menjelaskan semua pada putraku, sungguh tidak bisa melihat harapannya hancur begitu saja. Mata yang tadi di penuhi kebahagiaan seketika sirna penuh air mata. Kaki mulai melemas menitikkan air mata sembari ku raih pusara mas Darwin "Bagaimana caraku menjelaskan semua pada Aska, mas? Andai bisa ku putar waktu aku tidak ingin kau pergi dengan cara seperti ini. Sekarang Aku harus bagaimana? Kenapa harus kamu? Kenapa bukan orang lain saja yang mendonorkan jantung untuk Aska, kenap harus kamu, kenapa? Setelah semua kejadian ini bagaimana caraku menghindari tatapan putraku sendiri, mungkin setelah ini dia akan sangat membenciku. Hati ku sakit melihatnya hancur. Aku takut, mas. Bagaimana jika dia membenci ku setelah ini? Sungguh aku tidak sanggup di benci olehnya," Wajah tertunduk lesu tidak tau harus berbuat apa. Semua memang salah ku, seharunya tidak pernah memberi jarak pada mereka supaya semua tidak seperti sekarang."Kebaikan mu akan selalu ku ingat dalam seumur hidup, tap
Dua hari kemudian.Sesuai janji ku pada Aska, tepatnya selasa pagi kami mengajaknya bertemu dengan Mas Darwin. Meski seluruh dunia mengetahui bahwa orang mati tidak bisa bangkit kembali ke dunia manusia. Aku menyadari bahwa harapan besar mereka bertemu sangatlah mustahil. Setiap saat hati terasa gelisah takut putraku kecewa atas kenyataan pahit ini, semua memang bukan mau ku, semua atas keputusan mas Darwin sendiri, sejauh kebencianku terhadapnya sedikit pun tidak pernah menganggapnya benar, sehingga pada saat dia memberikan jantungnya pada putra kandungnya sendiri, di situlah baru aku menyadari bahwa seburuk apa pun seorang mantan suami dia tetap ayah terbaik bagi anak-anak. Sejauh apa pun sakit hati membawa kita, hubungan yang sudah terjalin tidak akan pernah terhapus oleh banyaknya dosa. Masa lalu tetap meninggalkan kenangan walau tidak untuk di perjuangkan. Wahai mantan jadilah masa lalu terbaik jangan kotori masa lalu seseorang dengan penuh kebencian. Merasa jatuh cinta dan menci
Satu minggu kemudian kondisi Aska perlahan mulai membaik. Hari ini Dokter memberi kabar gembira bahwa putra kami sudah di perbolehkan pulang. Dengan kondisi Aska sekarang tentunya ia banyak di batasi oleh dokter, sebelum benar-benar sembuh ia tidak boleh keluar rumah bahkan sekedar sekolah pun belum di ijinkan. Sebagai seorang ibu jelas hati sangat bahagia sekaligus cemas, bagaimana jika Aska bosan ingin bertemu teman-temannya? tidak mungkin dia terus di rumah sepanjang hari di tambah lagi kami juga banyak kerjaan pasti dia sangat kesepian."Jangan lupa di minum obatnya, kamu tidak boleh terlalu beraktifitas dulu. Sementara waktu kamu duduk di kursi roda dulu, baru setelah selesai kamu bisa kembali bersekolah." Jelas Dokter.Mengulurkan tangan "Kami sangat berterima kasih atas segalanya, Dok. Kalau begitu kami pamit pulang"Usai menebus obat kami pun pulang. Sepanjang jalan pukang entah kenap Aska terus diam tanpa kata. Mungkinkah dia memikirkan sesuatu? Coba ku tanyakan pelan padanya
"Sayang coba lihat itu....." Mas Candra menunjuk sebrang jalan di mana seorang wanita berlari tertatih tanpa busana. Rambut terurai lusuh membuatku sulit mengenalinya, namun setelah mengamati seksama ternyata wanita itu adalah ibu Marni. Tidak jauh dari tempat beliau terlihat dua pria mengejarnya. Pria itu nampak begitu sangar berpenampilan preman dan bertubuh tinggi besar."Mas, itu ibu Marni....." Tanpa ragu kami pun menepi berusaha mengejar beliau sebisa dan sekuat kami. Sempai pada akhirnya bu Marni terjatuh, kedua pria berpenampilan preman tadi berusaha memaksa Bu Marni.Melihat beliau meronta dengan kondisi seperti itu tentu kedua pria itu bukan orang baik "Tolong......maling....." Mencari cara untuk meminta bantuan warga dan orang sekitar dengan berteriak maling. Benar saja beberapa orang berbondong ke arah kami lalu mengejar kedua pria tersebut. Awalnya mereka hendak membawa Ibu Marni, namun karena langkah kaki beliau tertatih membuat mereka memutuskan meninggalkan begitu saja
"Tidak, jangan, pergi kalian...Tolong..." Marni berteriak kencang ketika ada beberapa preman mengejarnya. Ketika duduk di tepi jalan tiba-tiba tiga orang berpakaian preman menghampiri lalu menyeretnya ke dalam mobil. Sembari meronta Marni terus berharap ada salah satu orang baik bisa menolongnya, namun siapa sangka tidak ada satu pun orang perduli. Mungkin bisa di katakan hukum karma masih berlaku padanya. Salah seorang pria berkulit hitam mata besar langsung membungkam mulutnya sampai tak bersuara. Sesekali terdengar suara dering ponsel dari salah satu preman."Kita sudah berhasil, bos." ucapnya sembari tersenyum girang ke arah Marni.Sejak memutuskan pergi dari Darwin, kini kehidupan Marni semakin sulit. Setiap hari berjalan lontang-lantung tanpa tujuan, semua tempat telah ia datangi demi mencari kerja atau sekedar numpang berteduh, namun hampir semua orang menolak, siapa yang mau menerima orang dengan penampilan compang-camping dan rambut kusut seperti tidak pernah di sisir. Banyak
Operasi berlangsung cukup lama. Setiap detik do'a tak pernah terputus. Mas Candra selalu berada di sampingku berusaha membuatku tenang. Meski ku tau di dalam hati terdalam ia juga rapuh. Aska memang bukan darah dagingnya, tapi dia yang selama ini mencintai, merawat, dan berperan layaknya seorang ayah. Wajar jika hatinya rapuh sama peperti itu pula hati ini."Jangan cemas putraku sangat hebat, dia pasti bisa melewati semua ini." Lirih mas Candra meyakinkan ku. Kalau boleh jujur suamiku tidak sekuat itu, tanpa sadar sejak tadi ku perhatikan ia menyeka air mata. Memaksa kuat sebisa mungkin supaya tidak membuatku semakin lemah.Sembari bersandar pada bahu mas Candra "Semua salahku, mas." Tiap kali mengingat bagaimana kami bertengkar sebelum akhirnya Aska berlari dariku. Andai bisa aku bersedia bertukar posisi, asal putraku baik-baik saja.Genggaman tangan semakin erat kurasakan "Jangan salahkan diri sendiri, kalau tau akan terjadi hal seburuk ini, maka aku pun tidak akan pernah mengajak k
Brug....."Aska...." Menjerit sekencang mungkin. Dunia seakan berhenti berputar. Gelap terasa menutup hati. Tidak sekali pun terpikir akan terjadi musibah besar pada putraku."Tidak....." Air mata terurai lepas. Jerit tangis mulai mengalihkan banyak pasang mata.Betapa hancur hati ini melihat pemandangan mengerikan baru menimpa putraku. Ketika ia hendak menyebrang dari arah berlawanan ada truk kontainer melintas kencang, sampai akhirnya menghantam putraku. Tubuhnya terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Mata ini menyaksikan darah bercucuran sampai tubuh serasa lemas tak bertenaga. Kaki sulit di gerakkan. Tatapanku terus tertuju pada Aska yang sudah tidak sadarkan diri."Ya Tuhan....Aska." Di susul teriakan mas Candra.Air mataku pecah ketika kerumunan orang menutupi pandangan. Mas Candra lantas menghampiriku. Memelukku lalu membawaku ke sebrang jalan."Mas anak kita, mas. Dia...." Mulut bergetar hebat sampai tak sanggup lagi berkata-kata.Tatapan mas Candra tidak seperti biasa
Beberapa hari kemudian.Bertepatan hari libur kami sekeluarga menyempatkan waktu jogging, demi kesehatan bersama. Mentari mulai menyapu wajah. Sesekali menyeka keringat "Rasanya matahari pagi begitu terik seperti membakar kulit..." Ucapku sembari terus berlari kecil.Cuaca pagi begitu cerah. Langit membiru di sertai gumpalan awan putih. Suara bising kendaraan sedikit menggangu pendengaran, wajar saja hari libur banyak orang keluar rumah sekedar cari makan, jalan-jalan, dan lain sebagainya.Mas Candra menolehku "Baru berapa putran sudah mengeluh. Kasihan matahari jadi takut sama keluhanmu...." Celetuknya semakin mempercepat laju kaki."Ih kok malah ngejek sih, awas kamu mas...." Kami bermain kejar kucing tikus seperti masa kanak-kanak.Tanpa sengaja aku melihat Aska tengah duduk dengan seseorang. Topi bulat warna coklat kusam menghalangi wajah pria di samping putraku itu. Kebetulan hari minggu kami sekeluarga selalu meluangkan waktu berolahraga. Tadinya Aska ikut jogging tapi entah ken
Tengah hari terlihat Darwin berdiri sembari melihat sebrang jalan. Jam sekolah segera berakhir, ia terus menunggu meski terik membakar kulit. Berulang kali menyeka keringat dengan pandangan terfokus pada sekolah tersebut. Ia tidak berniat berdagang di area sekolah hanya sekedar menunggu seseorang. Melihat jalanan semakin ramai kendaraan berlalu-lalang ia memilih duduk sejenak. Matahari siang sangat panas sekali, keringat bercucuran membasahi wajah. Berulang kaki mengibas topi bututnya untuk mendapat angin.Dari jauh salah seorang pedangan melihatnya. "Itu bukannya tukang jagung serut itu bro...." Bertanya pada salah seorang pedangan juga."Iya. Mau apa dia kemari, kepala sekolah tidak mengijinkan dia berjualan di sini masih mau nekat juga tuh orang...." Sambung salah seorang.Kebetukan pak satpam sedang jajan cilok lalu melihat ke tepi jalan "Sebenarnya dia sudah bisa berjualan di sini bersama kalian, tapi dia menolak. Dua minggu lalu dia menolong salah satu murid di sini, mungkin kal