Umi Kalsum datang bersama dokter ke dalam ruang ICU. Dokter pun langsung mengecek kondisi Vanesa. Akan tetapi hasilnya di luar harapan."Maaf , Bu. Pasien masih belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Gerakan yang Ibu rasakan tadi hanya gerakan sensorik di mana otak merespon adanya rangsangan dari lingkungan sekitar," jawab dokter."Begitu ya, Dok! Tadi saya hanya membaca Al- Qur'an di sampingnya. Apa mungkin dia mendengar saya, Dok?""Bisa jadi, Bu. Alangkah baiknya Ibu selalu berkomunikasi dengan pasien agar dia bisa merespon kejadian di sekitarnya. Kemajuan pasien ada di dirinya sendiri dan Sang Pencipta," jelas Dokter."Terima kasih atas penjelasannya, Dok. Saya mengerti.""Kalau begitu saya permisi dulu, Bu." Dokter itu pun pergi dari ruang ICU.Umi Kalsum menghela napas dalam karena harapannya tidak sesuai. "Umi akan bersabar sampai kamu sadar, Nak. Semoga Allah memberikan keajaiban untukmu."Vanesa di rawat karena mengalami koma setelah berhasil melewati masa kritis. Sekarang h
Di rumah sakit, Umi Kalsum sedang merawat Vanesa yang sudah dua minggu dirawat. Umi senantiasa memberikan pelayanan seperti, membasuh badan, mengajak berbicara, dan juga membacakan lantunan ayat suci sehabis sholat."Nak, tepat 2 Minggu kamu dirawat di sini. Apa kamu nggak ingin bangun, Nak? Umi penasaran siapa kamu? Bagaimana ceritamu sehingga bisa sampai di tempat, Umi?" Umi Kalsum berbicara sambil membasuh tangan Vanesa dengan air hangat."Umi sangat berharap sekali bisa mengobrol denganmu," ucap Umi Kalsum dengan suara lemah lembut.Setelah membasuh tangan dan kaki Umi Kalsum meletakkan kembali handuk kecil itu di atas meja. Dia duduk sambil membalas pesan di handphonenya.Tanpa disadari oleh Umi, jari Vanesa bergerak. Tak lama kemudian, dia mengeluarkan suara yang sangat pelan. Meski pelan, Umi Kalsum menyadari hal itu. Dia memperhatikan Vanesa dengan seksama."Nak, kamu sudah sadar? Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah. Aku harus panggil dokter." Umi Kalsum menekan bel yang bera
Aldo terus menaruh dendam pada Keynan. Dia akan membalasnya saat sudah bangkit nanti. Setelah lama merenung, Aldo mulai beranjak dari tempatnya. Dia ingin pergi menemui teman lama "Bi, aku pergi ke luar. Nanti bilangin ke Mama kalau sudah pulang," seru Aldo pada asistennya."Baik, Den!"Aldo ke luar dari rumah menuju ke garasi. Dia ingin naik motor sport kesayangannya dulu. "Halo boy, sudah lama sekali kita nggak bertemu ya. Ternyata kamu terawat dengan baik."Motor sport itu adalah hadiah ulang tahun dari sang ibu. Aldo sangat menyukai motor tersebut. Setelah bersiap, Aldo segera memakai jaketnya dan helm. Lalu, dia pergi menuju ke kafe langganannya dulu.Aldo menarik gas itu dengan kecepatan tinggi. Dia merasakan sedikit kedamaian dalam hatinya. Meski ada sebuah ganjalan, Aldo tetap berusaha tegar demi janjinya pada Vanesa.Sekitar dua puluh menit, Aldo sudah sampai di kafe langganannya saat remaja dulu. Dia turun dan membuka helm-nya. Setelah itu masuk ke dalam mencari temannya.Se
"Halo ... sial kenapa malah dimatikan? Aku yakin itu Vanesa, syukurlah kamu masih hidup Nes. Tapi, kenapa kamu nggak ingin aku tahu di mana keberadaanmu? Aku sangat ingin bertemu denganmu," seru Aldo dengan perasaan terpukul.Mendengar suara histeris dalam kamar membuat Mama Ratih datang. "Nak, kamu kenapa Sayang? Apa yang terjadi?""Dia masih hidup, Ma. Barusan ada orang yang meneleponku, orang itu berkata kalau Vanesa baik-baik saja. Dia menyuruhku untuk jangan khawatir. Dia juga berpesan agar aku menjadi orang baik, Ma," jelas Aldo pada ibunya."Syukurlah kalau dia baik-baik saja. Kenapa kamu tidak menghubungi dia lagi, Aldo? Kamu bisa menanyakan keberadaannya di mana?""Orang itu meneleponku dengan nomor yang di private, Ma. Dia sengaja nggak ingin memberitahuku lokasinya. Ma, kenapa dia seperti itu? Apa alasannya dia nggak mau bertemu denganku, Ma?" seru Aldo terus histeris.Mama Ratih tidak bisa berkata-kata lagi. Melihat putra kesayangannya sedang bersedih membuatnya bingung ha
Satu Minggu Kemudian.Keadaan Vanesa semakin membaik, dia sudah bisa turun dari ranjang sendiri. Meski begitu, Vanesa harus didampingi oleh seseorang karena kakinya masih sedikit pincang.Dokter sudah memperbolehkan untuk pulang. Hari ini juga, Vanesa akan memakai gamis dan juga niqab. Niatnya itu sudah dimantapkan dalam hati sehingga tidak ada lagi keraguan."Alhamdulillah hari ini kamu bisa pulang, Nesa. Kamu sudah siap untuk memakai hijab?" tanya Umi Kalsum.Vanesa mengangguk. "Insya Allah siap, Umi," jawabnya. "Terima kasih sudah mengizinkan saya tinggal di panti, Umi," ucap Vanesa dengan tulus."Kamu nggak perlu sungkan, panti yang Umi dirikan itu memang untuk orang yang membutuhkan bantuan. Mungkin ini sudah ditakdirkan oleh Allah. Jadi Umi harus menerimanya dengan ikhlas."Vanesa terus tersenyum senang, karena kebaikan Umi Kalsum. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang setulus Umi. Tiba-tiba dari luar, Uma masuk dengan membawa paper bag. "Assalamualaikum." Uma me
Setelah memakai gamis dan juga niqab. Vanesa turun dari ranjang, kemudian dia bersiap pulang bersama Umi Kalsum. Saat memakai gamis dan juga niqab tadi, Vanesa menangis sejadi-jadinya. Dia teringat akan dosa-dosanya selama ini.Namun, setelah yakin dan memantapkan hati. Vanesa mulai tegar, dia sudah bersiap untuk memulai lembaran baru menuju hidup yang lebih baik."Nesa, bagaimana perasaanmu?" Umi Kalsum bertanya pada Vanesa."Alhamdulillah lebih tenang, Umi. Saya merasa tidak mempunyai beban sama sekali," jawab Vanesa."Umi ikut bahagia. Soal kehamilanmu, jangan pernah kamu menyesalinya. Jaga dan rawat anak yang kamu kandung itu dengan penuh kasih sayang. Umi bilang begini karena kasihan melihat nasib anak panti yang ditelantarkan oleh orang tuanya sendiri."Vanesa menjawab, "Insya Allah, saya akan menjaganya dengan baik. Ada Umi didekat ku, jadi aku nggak akan takut.""Ya sudah, karena mobilnya telah tiba. Kita nggak usah menunggu lama lagi." Umi mengajak Vanesa untuk pulang ke ruma
Aldo tidak percaya dengan jawaban pemilik motor tersebut. "Apa kamu bilang? Sorry? Mobilku ringsek kayak gitu, kamu hanya bilang sorry? Yang benar saja.""Tenang, gue akan ganti kok. Ini gue kasih KTP, lo bisa cari gue ke rumah kalau lo nggak percaya," ucap pemilik motor tersebut yang ternyata seorang gadis."Oke, aku sita ini dulu! Sekarang aku nggak ada waktu melayani gadis arogan sepertimu! Dewi, ayo pergi!" Aldo pun masuk ke dalam kafe tersebut dengan perasaan kesal.Gadis itu melihat Aldo dengan tatapan heran. "Apa dia lagi datang bulan? Lagian gue 'kan bakal tanggung jawab. Masih saja kena omel. Sial banget gue hari ini." Gadis itu ikut masuk ke dalam kafe. Dia ingin menunggu kegiatan Aldo. Sesampainya di dalam, Aldo dan sekretarisnya langsung menemui klien untuk membahas soal bisnis."Selamat sore, Pak Andi," sapa Aldo pada kliennya."Selamat sore, Pak Aldo. Silakan duduk!"Aldo dan sekretarisnya pun duduk bersama. "Maaf jika sedikit terlambat, Pak Andi. Tadi ada sedikit kece
"Maksud Mama apa?" tanya Aldo penasaran."Anak teman Mama tadi juga bilang, kalau dia lagi sebel sama seseorang yang marah-marahin dia karena anak teman Mama tadi menabrak mobil orang itu. Apa jangan-jangan kalian ....""Mama coba ambil KTP di dalam dompetku," ucap Aldo menyuruh ibunya.Mama Ratih langsung membuka dompet Aldo, dan mengambil KTP Gladys. "Eh, ini anak teman Mama tadi, Aldo. Jadi kalian nggak sengaja ketemu, ya! Duh, lucunya."Aldo melongo melihat ekspresi Ibunya. Dia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh sang Ibu. "Ma, mikirnya nggak usah kejauhan deh! Nggak ada lucu-lucunya sama sekali pertemuan itu. Adanya bikin kesel dan bikin emosi," seru Aldo, dia masih dalam suasana hati yang buruk.Mama Ratih terus menahan senyumnya. Dia sangat senang karena pandangan Aldo sudah teralihkan dari masa lalunya."Ya, Mama harap kamu bisa membuka hati untuk orang lain, Nak. Masa iya, putra Mama jadi bujang lapuk semua. Sedih tahu jadi, Mama." Mama Ratih mulai berakting di depan A