Udara sore itu terasa lembap, dengan sisa-sisa embun yang masih menggantung di daun-daun di sekitar desa. Aku berjalan perlahan di jalan setapak menuju rumah Guru Bai, pria tua yang pertama kali menemukanku setelah insiden di tebing. Pria itu... entahlah, dari caranya bicara dan bertindak, dia jelas bukan orang biasa. Ada sesuatu yang dalam di matanya, seperti seseorang yang sudah melihat banyak hal dalam hidup, tapi tetap bisa tersenyum.
Mungkin itu kenapa aku merasa sedikit… nyaman di dekatnya. Bukan berarti aku percaya begitu saja, ya. Setelah semua pengkhianatan yang aku alami di kehidupan sebelumnya, sulit bagiku untuk benar-benar mempercayai orang lain. Tapi untuk saat ini… mungkin dia bisa memberiku sedikit petunjuk. Rumahnya terletak di ujung desa, agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah kayu tua dengan halaman yang penuh rerumputan liar. Tapi anehnya, tempat ini terasa damai, seperti ada aura tenang yang melingkupi. Aku mengetuk pintu pelan, mencoba sopan. Tapi, belum sempat aku mengetuk lagi, pintu itu sudah terbuka. Dan di sana, berdiri Guru Bai, dengan senyum lebar yang sedikit mengejutkanku. “Hei, Lin Feng! Aku tahu kau akan datang. Ayo, ayo masuk,” katanya sambil mengangguk-angguk. Entah kenapa, senyumnya itu selalu membuatku sedikit… ragu. Seperti dia tahu sesuatu yang aku sendiri belum tahu. “Eh, iya, terima kasih, Guru Bai.” Aku membalasnya dengan senyum canggung dan masuk ke dalam rumahnya. Di dalam, rumah ini cukup sederhana, dengan rak buku kayu yang penuh dengan kitab-kitab tua dan gulungan gulungan kertas yang tampak berdebu. Bau kayu tua dan sedikit aroma rempah-rempah menguar di ruangan itu. Kami duduk di lantai, berhadapan di atas tikar bambu yang sudah usang. Ada secangkir teh hangat di depanku, uapnya naik perlahan, membuat bau teh yang harum tercium samar-samar. “Lin Feng,” katanya tiba-tiba sambil menatapku dengan sorot mata yang dalam. “Apa kau tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?” Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. Jujur saja, aku bahkan tidak tahu dia akan memanggilku. Tapi, aku tidak mau terlihat bodoh, jadi aku mencoba menebak-nebak jawabannya. “Mungkin… Guru Bai ingin berbicara soal latihan?” jawabku, meski tidak yakin juga. Sejujurnya, aku belum tahu seberapa jauh pria tua ini mengetahui situasiku. Apakah dia tahu aku ini bukan Lin Feng yang asli? Apakah dia tahu bahwa aku memiliki kehidupan lain sebelumnya? Guru Bai tersenyum lagi, kali ini lebih halus, dan mengangguk-angguk pelan. “Ya, kurang lebih seperti itu. Tapi lebih dari itu, Lin Feng. Aku ingin kau tahu bahwa perjalananmu baru dimulai. Kau mungkin merasa lemah sekarang, tapi aku bisa melihat… ada api dalam dirimu, ada tekad yang membara. Kau ingin kuat, kan?” Aku mengangguk, meski dalam hati terasa sedikit gelisah. Dia tahu terlalu banyak, tapi aku tidak bisa memastikan seberapa banyak dia benar-benar tahu. Mungkin hanya intuisi seorang pria tua yang bijaksana? Atau ada sesuatu yang lebih? “Guru Bai,” aku memutuskan untuk berbicara jujur, “Aku ingin menjadi kuat, ya. Aku ingin… aku harus punya kekuatan, agar bisa melindungi diri sendiri, agar bisa... mencapai tujuan yang aku inginkan.” Pria tua itu tertawa kecil, dan aku bisa melihat matanya menyipit, garis-garis kerutan di wajahnya semakin terlihat. “Melindungi diri, ya?” katanya dengan nada agak menggoda. “Kadang, orang yang paling ingin melindungi diri adalah mereka yang paling terluka, Lin Feng. Apa kau… menyimpan luka di dalam hatimu?” Aku terdiam, mencoba mencerna pertanyaannya. Ya, aku punya luka. Luka yang mendalam, yang berasal dari pengkhianatan orang-orang yang seharusnya aku percaya. Tapi, apa aku benar-benar ingin mengakuinya di sini? “Aku rasa… mungkin iya,” jawabku akhirnya, agak terbata-bata. Kata-kata itu keluar dengan sedikit berat. Tapi anehnya, ada rasa lega setelah aku mengucapkannya. Seolah mengakui luka itu sendiri adalah langkah pertama untuk menyembuhkannya, meskipun aku belum benar-benar tahu bagaimana caranya. Guru Bai mengangguk pelan, seolah puas dengan jawabanku. “Bagus, Lin Feng. Orang yang menyadari luka di hatinya lebih mudah menemukan kekuatan sejati. Kekuatan sejati bukan hanya tentang otot atau teknik bertarung, kau tahu? Tapi tentang memahami dirimu sendiri.” Aku menghela napas panjang. “Ya, mungkin benar, tapi… bukankah aku juga butuh kekuatan fisik, Guru Bai? Untuk menghadapi orang-orang di luar sana, aku harus bisa bertarung. Aku harus punya tenaga.” Guru Bai tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebuah gulungan dari balik jubahnya yang lusuh. Dia meletakkannya di depan kami, lalu membuka gulungan itu perlahan. Di dalamnya, ada sketsa yang kasar, tapi cukup jelas menggambarkan diagram tubuh manusia, dengan beberapa titik yang terlihat menyala. “Ini, Lin Feng, adalah dasar dari Pembentukan Fondasi. Kalau kau ingin kuat, kau harus mulai dengan membangun fondasi yang kokoh. Di dalam tubuhmu, ada titik-titik energi yang jika dibangunkan akan memberikanmu kekuatan.” Aku menatap diagram itu dalam-dalam, mengamati titik-titik yang ditunjukkan. Dantian, titik pusat energi di bawah pusar, adalah yang utama. Tapi ada juga beberapa titik lain, di dada, di punggung, di kepala… semua terhubung oleh garis-garis tipis yang seolah membentuk jalur energi. “Mulai hari ini, Lin Feng, kau akan belajar mengarahkan energi Qi ke titik-titik ini. Ini tidak mudah, tapi kalau kau bisa melakukannya, tubuhmu akan menjadi jauh lebih kuat.” Aku menelan ludah, perasaan semangat bercampur dengan kegugupan. “Apa aku bisa melakukannya, Guru Bai?” Dia menepuk bahuku, agak keras tapi penuh kehangatan. “Tentu bisa! Kau ini keras kepala, kan? Jadi, gunakan keras kepalamu itu untuk sesuatu yang berguna.” Aku tersenyum kecil, merasa sedikit malu. Ya, mungkin aku memang keras kepala, tapi keras kepala inilah yang membuatku bertahan sejauh ini. Dan aku akan gunakan semua tekad ini untuk mencapai tujuanku. “Kau mulai dari sini,” kata Guru Bai sambil menunjuk titik di bawah pusar pada diagram. “Bayangkan kau mengumpulkan Qi dari sekitarmu, menariknya masuk ke titik ini, dan biarkan ia berkumpul di sana. Kau tidak perlu memaksanya bergerak. Hanya biarkan Qi itu berdiam di sana dan perlahan menguatkan pusat energimu.” Aku mengangguk, mencoba memahami instruksinya. Sepertinya sederhana, tapi aku tahu ini pasti sulit. Aku menutup mata, mencoba memusatkan pikiran. Seolah-olah seluruh dunia menghilang, hanya ada aku dan titik energi kecil di dalam tubuhku ini. Pelan-pelan, aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara masuk ke dalam paru-paru, dan mengarahkan Qi itu ke dantian. Rasanya masih samar, tapi ada sesuatu yang mulai bergerak di dalam sana. Sesuatu yang hangat, tapi masih lemah. “Baik, baik,” gumam Guru Bai sambil mengangguk-angguk. “Jangan terlalu cepat, Lin Feng. Perlahan saja, biarkan Qi itu mengalir seperti air yang tenang.” Aku terus fokus, mencoba merasakan aliran energi itu. Meski hanya sedikit, tapi ada rasa hangat yang mulai menyebar dari titik di bawah pusar. Dan, untuk pertama kalinya sejak aku berada dalam tubuh ini, aku merasakan secercah kekuatan. Tidak banyak, tapi cukup untuk membuatku merasa hidup lagi. “Bagus sekali, Lin Feng!” suara Guru Bai terdengar, dan aku membuka mata. Dia menatapku dengan senyum bangga, seolah-olah aku telah mencapai sesuatu yang luar biasa. Aku hanya mengangguk pelan, masih merasakan sisa-sisa energi itu di dalam tubuhku. Mungkin ini memang baru permulaan, tapi entah kenapa, ada rasa percaya diri yang muncul dari dalam. Meski kecil, ini adalah langkah pertama. Dan aku akan terus berjalan, selangkah demi selangkah, hingga aku mencapai puncak. “Terima kasih, Guru Bai,” kataku sambil menatapnya dengan tulus. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa… bersyukur. “Jangan berterima kasih dulu,” jawabnya sambil tertawa. “Ini baru permulaan. Latihan ini akan menjadi bagian dari hidupmu mulai sekarang.” Aku mengangguk, menyadari beban yang harus kupikul. Tapi kali ini, beban itu terasa tidak seberat yang kubayangkan. Dengan Guru Bai di sisiku, aku merasa lebih kuat. Dan aku tahu, suatu hari nanti, aku akan membuktikan bahwa aku tidak hanya bisa bertahan, tapi juga melampaui diriku sendiri.Pagi itu, matahari sudah mulai naik, menembus pepohonan di desa kecil itu. Lin Feng duduk bersila di tanah, di depan rumahnya yang sederhana. Tangan kanannya perlahan-lahan menelusuri rerumputan, sementara ia menunduk, mengamati telapak tangannya yang kosong, seolah berharap ada secercah kekuatan yang dulu pernah ia miliki kembali hadir begitu saja. Tapi yang ia rasakan sekarang hanyalah kehampaan, kelemahan yang sama sekali tidak asing lagi setelah hari-hari ini berlalu.Dalam benaknya, potongan-potongan memori masa lalu berkelebat, mengingatkan akan kejayaannya dulu sebagai Kaisar Surgawi. Ia dulu adalah penguasa yang tak tertandingi, seseorang yang ditakuti dan dihormati. Tapi kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah lama hilang. Sekarang, di tubuh barunya sebagai Lin Feng, ia hanyalah manusia biasa, seorang remaja tanpa kekuatan apa pun. Mengerikan, ya, tapi di satu sisi... entah kenapa, ada semacam tantangan yang menarik."Lin Feng!" Tiba-tiba suara nyaring memecah kesunyi
Suara gemerisik dedaunan dan hembusan angin yang dingin menusuk terasa aneh di kulitku. Rasanya… entah, asing. Seperti perasaan kedinginan yang sudah lama hilang. Perlahan, aku membuka mata, mencoba memahami situasi aneh ini. Di atas sana, awan-awan kelabu menggantung rendah, menyelubungi langit. Aku butuh beberapa detik untuk sadar kalau aku tidak lagi berada di Istana Surgawi yang penuh cahaya dan kemegahan. Tidak ada kemilau emas, tidak ada aroma dupa yang semerbak, dan… tunggu, ini… tubuhku? Seketika aku tersadar, mataku terbelalak melihat kedua tanganku. Ini… tangan siapa? Tubuhku… terasa begitu lemah, kurus, dan—oh, astaga. Aku ini apa? Anak remaja? Aku mendesah, mencoba menenangkan pikiranku yang berantakan. Tapi sulit untuk percaya bahwa aku, Kaisar Tian Yun, penguasa langit yang ditakuti, kini terperangkap dalam tubuh seorang remaja kurus yang bahkan tidak bisa berdiri tegak tanpa gemetaran. Kilatan ingatan itu mendadak datang, menghantamku seperti ombak besar. Pengkhianat
Aku berjalan perlahan di jalan tanah yang sempit, mencoba meresapi setiap langkah dengan tubuh baruku ini. Kaki terasa lemah, nyaris tak bertenaga. Rasanya seperti membawa beban berat di kedua kaki—padahal dulu aku biasa melayang di angkasa, melampaui awan, melawan badai tanpa takut. Sekarang? Jalan di jalan tanah saja terasa berat.Matahari siang bersinar terik, tapi hawa dingin masih terasa menyelimuti Desa Lin. Desa kecil ini jauh berbeda dari istana megah yang biasa aku tinggali, yang penuh dengan lampu-lampu kristal dan jubah-jubah emas. Di sini hanya ada rumah-rumah kayu reyot, ladang kosong, dan orang-orang desa dengan wajah yang entah kenapa terasa lebih… asli. Lebih jujur, mungkin?Ya, mereka mungkin tidak memiliki kekuatan atau kemewahan, tapi ada sesuatu dalam mata mereka. Semacam kepolosan yang sudah lama hilang dari dunia tempatku berasal.Aku berjalan sambil merenung, mencoba mengingat kehidupan Lin Feng sebelum aku mengambil alih tubuhnya. Samar-samar, kenangan tentang
Langit masih mendung, dengan sisa-sisa hujan menetes pelan dari daun-daun di atas kepalaku. Tanah di bawah kakiku sudah berubah jadi lumpur, licin dan basah. Aku berjalan pelan, berusaha agar tidak terpeleset, sambil sesekali melihat ke langit yang kelabu. Suara gemericik air dari pepohonan terdengar samar, seperti bisikan lembut di tengah kesunyian.“Aneh… ya, kok rasanya aku masih di sini,” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Tubuh ini… rasanya lemah, tapi bukan cuma itu. Entah kenapa aku merasa ada beban aneh di dada, semacam perasaan sesak yang sulit dijelaskan. Mungkin karena aku masih terbawa dengan kenangan dari kehidupan lamaku. Rasanya baru kemarin aku hidup sebagai Kaisar Surgawi, sosok yang ditakuti dan dihormati. Dan sekarang? Aku ini cuma Lin Feng, seorang remaja yang nyaris mati dibunuh saudaranya sendiri. Dunia benar-benar… absurd.Aku memejamkan mata sebentar, dan, ya ampun, mendadak semuanya datang kembali. Kilasan-kilasan wajah Lian Xue muncul di kepalaku—sen
Pagi itu, sinar matahari yang menyelinap masuk dari jendela kecil menerpa wajahku. Cahaya itu hangat, tapi entah kenapa malah membuatku mengerang pelan. Sakit kepala ini... ya ampun, seperti ditampar bolak-balik semalaman. Aku memegang kepalaku, mencoba meredakan denyutan di pelipis. Ini gara-gara apa, sih?Oh. Benar. Malam tadi, aku menghabiskan waktu mencoba merasakan energi Qi yang tersisa di dalam tubuh ini. Cuma sisa-sisa kecil, tapi sepertinya aku agak keterusan… ya, gimana ya, namanya juga aku terlalu bersemangat. Sudah lama aku nggak menyentuh energi murni. Jadi begitu merasakannya lagi, ada rasa kangen yang aneh. Seperti orang kelaparan yang dikasih roti cuma sepotong, bawaannya malah pengin lebih.Aku menarik napas dalam-dalam, duduk bersila di atas lantai kayu yang dingin. Lantai ini... keras, dingin, dan sedikit berdebu. Tapi yah, apa boleh buat, kan? Mau seenak apapun hidupku dulu sebagai Kaisar Surgawi, sekarang aku cuma punya ini. Tubuh lemah seorang anak manusia, tanpa
Udara sore itu terasa lembap, dengan sisa-sisa embun yang masih menggantung di daun-daun di sekitar desa. Aku berjalan perlahan di jalan setapak menuju rumah Guru Bai, pria tua yang pertama kali menemukanku setelah insiden di tebing. Pria itu... entahlah, dari caranya bicara dan bertindak, dia jelas bukan orang biasa. Ada sesuatu yang dalam di matanya, seperti seseorang yang sudah melihat banyak hal dalam hidup, tapi tetap bisa tersenyum.Mungkin itu kenapa aku merasa sedikit… nyaman di dekatnya. Bukan berarti aku percaya begitu saja, ya. Setelah semua pengkhianatan yang aku alami di kehidupan sebelumnya, sulit bagiku untuk benar-benar mempercayai orang lain. Tapi untuk saat ini… mungkin dia bisa memberiku sedikit petunjuk.Rumahnya terletak di ujung desa, agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah kayu tua dengan halaman yang penuh rerumputan liar. Tapi anehnya, tempat ini terasa damai, seperti ada aura tenang yang melingkupi.Aku mengetuk pintu pelan, mencoba sopan. Tapi, be
Pagi itu, matahari sudah mulai naik, menembus pepohonan di desa kecil itu. Lin Feng duduk bersila di tanah, di depan rumahnya yang sederhana. Tangan kanannya perlahan-lahan menelusuri rerumputan, sementara ia menunduk, mengamati telapak tangannya yang kosong, seolah berharap ada secercah kekuatan yang dulu pernah ia miliki kembali hadir begitu saja. Tapi yang ia rasakan sekarang hanyalah kehampaan, kelemahan yang sama sekali tidak asing lagi setelah hari-hari ini berlalu.Dalam benaknya, potongan-potongan memori masa lalu berkelebat, mengingatkan akan kejayaannya dulu sebagai Kaisar Surgawi. Ia dulu adalah penguasa yang tak tertandingi, seseorang yang ditakuti dan dihormati. Tapi kini, semua itu terasa seperti mimpi yang sudah lama hilang. Sekarang, di tubuh barunya sebagai Lin Feng, ia hanyalah manusia biasa, seorang remaja tanpa kekuatan apa pun. Mengerikan, ya, tapi di satu sisi... entah kenapa, ada semacam tantangan yang menarik."Lin Feng!" Tiba-tiba suara nyaring memecah kesunyi
Udara sore itu terasa lembap, dengan sisa-sisa embun yang masih menggantung di daun-daun di sekitar desa. Aku berjalan perlahan di jalan setapak menuju rumah Guru Bai, pria tua yang pertama kali menemukanku setelah insiden di tebing. Pria itu... entahlah, dari caranya bicara dan bertindak, dia jelas bukan orang biasa. Ada sesuatu yang dalam di matanya, seperti seseorang yang sudah melihat banyak hal dalam hidup, tapi tetap bisa tersenyum. Mungkin itu kenapa aku merasa sedikit… nyaman di dekatnya. Bukan berarti aku percaya begitu saja, ya. Setelah semua pengkhianatan yang aku alami di kehidupan sebelumnya, sulit bagiku untuk benar-benar mempercayai orang lain. Tapi untuk saat ini… mungkin dia bisa memberiku sedikit petunjuk. Rumahnya terletak di ujung desa, agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah kayu tua dengan halaman yang penuh rerumputan liar. Tapi anehnya, tempat ini terasa damai, seperti ada aura tenang yang melingkupi. Aku mengetuk pintu pelan, mencoba sopan. Tapi,
Udara sore itu terasa lembap, dengan sisa-sisa embun yang masih menggantung di daun-daun di sekitar desa. Aku berjalan perlahan di jalan setapak menuju rumah Guru Bai, pria tua yang pertama kali menemukanku setelah insiden di tebing. Pria itu... entahlah, dari caranya bicara dan bertindak, dia jelas bukan orang biasa. Ada sesuatu yang dalam di matanya, seperti seseorang yang sudah melihat banyak hal dalam hidup, tapi tetap bisa tersenyum.Mungkin itu kenapa aku merasa sedikit… nyaman di dekatnya. Bukan berarti aku percaya begitu saja, ya. Setelah semua pengkhianatan yang aku alami di kehidupan sebelumnya, sulit bagiku untuk benar-benar mempercayai orang lain. Tapi untuk saat ini… mungkin dia bisa memberiku sedikit petunjuk.Rumahnya terletak di ujung desa, agak jauh dari rumah-rumah penduduk lainnya. Rumah kayu tua dengan halaman yang penuh rerumputan liar. Tapi anehnya, tempat ini terasa damai, seperti ada aura tenang yang melingkupi.Aku mengetuk pintu pelan, mencoba sopan. Tapi, be
Pagi itu, sinar matahari yang menyelinap masuk dari jendela kecil menerpa wajahku. Cahaya itu hangat, tapi entah kenapa malah membuatku mengerang pelan. Sakit kepala ini... ya ampun, seperti ditampar bolak-balik semalaman. Aku memegang kepalaku, mencoba meredakan denyutan di pelipis. Ini gara-gara apa, sih?Oh. Benar. Malam tadi, aku menghabiskan waktu mencoba merasakan energi Qi yang tersisa di dalam tubuh ini. Cuma sisa-sisa kecil, tapi sepertinya aku agak keterusan… ya, gimana ya, namanya juga aku terlalu bersemangat. Sudah lama aku nggak menyentuh energi murni. Jadi begitu merasakannya lagi, ada rasa kangen yang aneh. Seperti orang kelaparan yang dikasih roti cuma sepotong, bawaannya malah pengin lebih.Aku menarik napas dalam-dalam, duduk bersila di atas lantai kayu yang dingin. Lantai ini... keras, dingin, dan sedikit berdebu. Tapi yah, apa boleh buat, kan? Mau seenak apapun hidupku dulu sebagai Kaisar Surgawi, sekarang aku cuma punya ini. Tubuh lemah seorang anak manusia, tanpa
Langit masih mendung, dengan sisa-sisa hujan menetes pelan dari daun-daun di atas kepalaku. Tanah di bawah kakiku sudah berubah jadi lumpur, licin dan basah. Aku berjalan pelan, berusaha agar tidak terpeleset, sambil sesekali melihat ke langit yang kelabu. Suara gemericik air dari pepohonan terdengar samar, seperti bisikan lembut di tengah kesunyian.“Aneh… ya, kok rasanya aku masih di sini,” gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Tubuh ini… rasanya lemah, tapi bukan cuma itu. Entah kenapa aku merasa ada beban aneh di dada, semacam perasaan sesak yang sulit dijelaskan. Mungkin karena aku masih terbawa dengan kenangan dari kehidupan lamaku. Rasanya baru kemarin aku hidup sebagai Kaisar Surgawi, sosok yang ditakuti dan dihormati. Dan sekarang? Aku ini cuma Lin Feng, seorang remaja yang nyaris mati dibunuh saudaranya sendiri. Dunia benar-benar… absurd.Aku memejamkan mata sebentar, dan, ya ampun, mendadak semuanya datang kembali. Kilasan-kilasan wajah Lian Xue muncul di kepalaku—sen
Aku berjalan perlahan di jalan tanah yang sempit, mencoba meresapi setiap langkah dengan tubuh baruku ini. Kaki terasa lemah, nyaris tak bertenaga. Rasanya seperti membawa beban berat di kedua kaki—padahal dulu aku biasa melayang di angkasa, melampaui awan, melawan badai tanpa takut. Sekarang? Jalan di jalan tanah saja terasa berat.Matahari siang bersinar terik, tapi hawa dingin masih terasa menyelimuti Desa Lin. Desa kecil ini jauh berbeda dari istana megah yang biasa aku tinggali, yang penuh dengan lampu-lampu kristal dan jubah-jubah emas. Di sini hanya ada rumah-rumah kayu reyot, ladang kosong, dan orang-orang desa dengan wajah yang entah kenapa terasa lebih… asli. Lebih jujur, mungkin?Ya, mereka mungkin tidak memiliki kekuatan atau kemewahan, tapi ada sesuatu dalam mata mereka. Semacam kepolosan yang sudah lama hilang dari dunia tempatku berasal.Aku berjalan sambil merenung, mencoba mengingat kehidupan Lin Feng sebelum aku mengambil alih tubuhnya. Samar-samar, kenangan tentang
Suara gemerisik dedaunan dan hembusan angin yang dingin menusuk terasa aneh di kulitku. Rasanya… entah, asing. Seperti perasaan kedinginan yang sudah lama hilang. Perlahan, aku membuka mata, mencoba memahami situasi aneh ini. Di atas sana, awan-awan kelabu menggantung rendah, menyelubungi langit. Aku butuh beberapa detik untuk sadar kalau aku tidak lagi berada di Istana Surgawi yang penuh cahaya dan kemegahan. Tidak ada kemilau emas, tidak ada aroma dupa yang semerbak, dan… tunggu, ini… tubuhku? Seketika aku tersadar, mataku terbelalak melihat kedua tanganku. Ini… tangan siapa? Tubuhku… terasa begitu lemah, kurus, dan—oh, astaga. Aku ini apa? Anak remaja? Aku mendesah, mencoba menenangkan pikiranku yang berantakan. Tapi sulit untuk percaya bahwa aku, Kaisar Tian Yun, penguasa langit yang ditakuti, kini terperangkap dalam tubuh seorang remaja kurus yang bahkan tidak bisa berdiri tegak tanpa gemetaran. Kilatan ingatan itu mendadak datang, menghantamku seperti ombak besar. Pengkhianat