Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak.
"Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu.
"Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami.
"Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya."
"Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.
Setelah memastikan mereka tak ada di sini. Sesak yang dari tadi ku tahan, kini ku lepaskan. Aku menangis sejadi-jadinya di makam Bapak. Entah berapa jam aku menangis, aku hanya merasa kepala kian berat.
"Pak, yang tenang ya! Zafi akan kuat demi Ibu, Pak"
"Semoga apapun pilihan dari Mas Dion, akan menjadi baik untuknya, Pak.""Zafi akan coba ikhlas, Pak.""Hanya saja tidak ada maaf untuknya.""Zafi!" suara seseorang mengejutkanku. Paman berjalan setengah berlari ke arahku."Ibumu kuatir, sudah hampir dua jam kamu disini, Nak. Hari juga sudah mau magrib!" ucap Paman terengah-engah.
"Maafkan Zafi, Paman""Tidak apa, ayo kita pulang. Kasihan Ibumu!" aku mengikuti langkah Paman kemudian menaiki motor menuju rumah.Sesampainya di halaman, kembali tubuh ini terhenyak. Tenda yang tadi digunakan untuk tamu undangan berganti dengan tenda untuk orang yang datang melayat.
"Kak Zafi!" Irene saudara sepupuku datang dan menghambur ke pelukanku."Kakak yang sabar ya, Kak. Irene sangat prihatin dengan semua yang menimpa Kakak." ucapnya terisak.
"Mas Dion benar-benar brengsek, Kak. Dia sudah mencampakkan wanita hebat seperti Kakak!" isaknya dalam pelukku.
"Sudah Irene, Insya Allah Kakak kuat. Tapi Kakak minta, kamu jangan sebut lagi nama Dion di depan Kakak!" ucapku tegas.
"Maafkan Irene, Kak." dia mulai melepaskan pelukan.
"Kalian disini?" Bibi menghampiri kami."Zafi, bersihkan badanmu, Nak! Selepas magrib akan ada orang datang untuk tahlilan." perintah Bibi padaku."Baik, Bi. Ibu dimana, Bi?"
"Ibumu di kamar, Nak. Bibi minta istirahat. Kasihan Ibumu." jawab Bibi dengan mata berkaca-kaca."Terimakasih, Bi. Zafi pamit dulu ya!" ucapku pada Bibi."Iya, Nak." aku kembali melangkah kaki ke dalam rumah. Teringat setiap momen yang baru saja terjadi.
Masih banyak pelayat yang duduk di dalam rumah. Di depan ruangan tamu yang cukup besar, terpampang tulisan Zafi dan Dion yang sudah di dekorasi seindah mungkin. Melihat itu ingin rasanya ku musnahkan segalanya, tetapi aku masih bisa menahan meski bersusah payah. Langkah ini mulai memasuki kamar, aku mengunci pintu dari dalam. Pernak pernik di dinding, bahkan foto prewedding juga terpampang. Aku mengambil foto tersebut dan,
Prang!
Semuanya hancur berantakan. Aku berteriak sekeras-kerasnya. Aku beruntung saat meminta untuk mendesign kamar ini menjadi ruangan kedap suara.
****
"Pak, kamar Zafi dibuat kedap suara ya, Pak." pintaku saat Bapak hendak merehab beberapa bagian rumah.
"Kenapa, Nak?"
"Bapak kan tau Zafi hobi bernyanyi, Zafi takut suara Zafi bisa terdengar oleh tetangga." ucapku manja.
"Lo, kan bagus, Nak. Biar tetangga pada ada hiburan."
"Tapi suara Zafi kan cempreng, Pak." rajukku lagi.
"Iya, Sayang. Kamu tenang saja ya!" Bapak mencium pucuk kepalaku.****
Bapak!
Bapak!Hu hu hu
Aku berteriak seperti dan menangis seperti orang gila. Iya, jika dilihat aku sekarang seperti orang gila. Make-up yang sudah hancur serta pakaian yang tak lagi seperti layak pakai. Tadinya aku akan menjadi ratu sehari, tetapi itu cuma mimpi.
"Zafi, Zafi! Buka pintunya, Nak!" Terdengar gedoran pintu dari arah luar. Sebelum membuka pintu, aku melihat ke cermin. Ah, cermin kenapa engkau tak bisa sedikit berbohong. Aku benar-benar seperti orang gila sekarang.
"Zafi. ibumu nak!"Mendengar kata Ibu aku langsung membukakan pintu kamar.
"Astagfirullah. Apa yang terjadi, Nak?" Bi Asih histeris melihat bentuk kamar ku yang sudah seperti kapal pecah."Ibu kenapa, Bi?" aku mengalihkan perhatian Bi Asih."Itu, Ibumu pingsan Nak." mendengar penuturan Bi Asih aku langsung berlari menuju kamar Ibu, tidak ku pedulikan beberapa tamu yang hadir untuk acara tahlilan. Disamping Ibu terlihat Paman dan Irene serta beberapa tetangga yang langsung memberi ku jalan."Bu, bangun Bu." aku menggoyang tubuh Ibu. Ibu yang hanya diam tak bersuara dan tiba-tiba kejang."Paman, segera bawa Ibu ke rumah sakit Paman!" titahku.
Tanpa ba bi bu. Paman menggendong Ibu kedalam mobilku.
"Irene ikut Kakak ya, biar Umi yang handle semua tamu di rumah." pinta Irene padaku, aku hanya mengangguk.
Paman meletakkan Ibu di kursi penumpang dengan aku menjadi penyangga kepala Ibu. Paman yang mengambil alih kemudi sedang Irene duduk si sebelahnya. Perjalanan 30 menit kerumah sakit terasa sangat lama. Berkali-kali aku minta Paman untuk lebih ngebut membawa mobil, dan entah berapa kali Paman melanggar lalu lintas. Sampai akhirnya pelataran parkir rumah sakit terlihat juga."Tolong, ada pasien yang butuh pertolongan!" teriak Paman di pintu unit gawat darurat. Beberapa perawat segera membawa brankar. Paman menggendong Ibu keluar dari mobil dan meletakan Ibu di atas brankar. Segera kami berlari memasuki ruang UGD, Dokter yang berjaga malam langsung menghampiri.
Serangkaian pemeriksan dilakukan, sampai alat pengejut jantung ditempelkan ke dada Ibu. Aku yang melihat semua itu tidak bisa lagi berkata apa. Air mataku luruh, sekelebat pikiran buruk lalu lalang di pikiranku.
"Tidak-tidak!" aku berbicara sendiri.
"Bapak dengan keluarga pasien?" seorang perawat menghampiri Pamanku.
"Iya ,dok!"
"Maaf pak, kami tidak bisa menolong Ibu. Perkiraan Dokter, Ibu sudah meninggal beberapa menit yang lalu!"
Mendengar penjelasan Suster, aku langsung menghambur memeluk Ibu. Ku goyang-goyang tubuh Ibu dan terus berteriak.
"Ibu! Bangun, Bu! Kenapa Ibu tinggalkan Zafi sendirian menghadapi semua ini, Bu?" isakku. Irene mencoba memelukku tetapi aku terus meronta.
"Istighfar, Kak!" Irene juga ikut menangis melihat kondisiku. Aku yang sudah tidak bisa menopang bobot tubuhku, kemudian ambruk. Entah berapa kali aku pingsan. Terakhir kali aku sadar, aku sedang di ruangan serba putih dengan jarum infus di tanganku. Bau obat-obatan menyeruak di hidungku.
"Kak!" terdengar pelan suara Irene saat mataku sudah terbuka. Aku melihat ke arahnya, wajah putih itu sudah memerah karena tak bisa menahan tangis. Bahkan mata bulat ini kini tengah sembab.
"Berapa lama Kakak tidak sadarkan diri, Ren?"
"Sudah hampir seharian, Kak!" jawab Irene sambil mengelus tanganku.
"Bagaimana dengan Ibu, Ren?" aku bertanya dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.
"Semuanya sudah di urus sama Papa, Kak. Dua jam lagi Bibi akan di kebumikan." jelas Irene.
Lagi, aku tersedu. Kenapa semua ini harus menimpaku? Di hari yang seharusnya aku bahagia, malah berganti dengan derai air mata. Gara-gara laki-laki yang bernama Dion, aku harus kehilangan kedua orang tua. Dion, kamu harus merasakan bagaimana pedihnya kehilangan seperti apa yang tengah ku rasakan kini. Cepat atau lambat, aku akan mendatangimu kembali. Pada saat itu, kamu akan bersujud di kakiku. Tanganku mengepal erat, sakit kehilangan yang kurasa kini, menumbuhkan rasa dendam yang telah terpatri di hati."Antar aku kepemakaman Ibu, Ren!" perintahku pada Irene. Aku mencabut paksa infus yang ada di tangan hingga darah berceceran.
"Tapi, Kak!" aku menatap nyalang Irene hingga dia tak bisa menolak perintahku.
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya
"Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M
"Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di
Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M