"Aku juga tak sengaja memfotonya!"
Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion. "B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas.
"Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya.
"Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion. Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di depan showroom milik Dion. Ketika hendak membuka mobil, seseorang mencekal lenganku. Ketika aku berbalik arah, ku dapati sosok Sherly yang tengah menatap nyalang padaku."Apa maksud kamu bicara seperti itu di depan suamiku, hah?! Dasar pelakor!" Pelakor? Apa itu tidak salah, aku menepis tangan Sherly, menyandarkan bobot tubuh di mobil, dan memandang enteng Sherly yang tengah tersulut emosi.
"Bukankah benar yang aku katakan?" ucapku tenang.
"Jangan memfitnah sembarangan! Aku bisa saja membuatmu membusuk di penjara karena pencemaran nama baik!""Ah, penjara?! Aku takut! Takut sekali! Tapi bohong! Hahaha!" melihatku yang terus memperoloknya, Sherly hendak melayangkan tangan padaku. Tetapi aku tidak lengah sedikitpun, sebelum tangannya menyentuh pipiku, aku lebih dulu menahannya.
"Jangan main kekerasan! Bisa saja kamu yang mendekam di penjara karena perkara ini!" ancam ku. Wajah Sherly memerah menahan emosi, dia melepaskan tanganku dengan kasar."Apa yang kau mau, hah?! Kau mau uang? Sebutkan nilainya, dan jangan ganggu kehidupan rumah tanggaku!" "Uang? Aku suka uang, bahkan sangat suka! Tetapi jika itu uangmu! Kalau dari suamimu, tentu aku bisa mendapatkan tanpa persetujuanmu! Tetapi aku lupa, kamu kan tidak mampu memberiku uang. Kamu hanya dari kelas rendah, yang sedang berusaha menutupinya dengan kekayaan suamimu? Bukan begitu Nyonya Sherly?!" tangannya mengepal erat. Kenapa wanita yang lumayan cantik ini mudah sekali tersulut emosi, aku takut nanti dia bakalan cepat tua."Jangan bawa-bawa keluargaku!" bentaknya.
"Kenapa? Karena mereka hanya mengetahui jika kamu perempuan baik-baik? Perempuan yang penurut pada suaminya dan hanya melakukan perintah suaminya?" aku sudah seperti dukun di sini. Mengetahui banyak hal yang membuat lawan ku tak bisa berkutik.
"Cepat katakan apa mau mu! Aku tidak ingin berurusan dengan perempuan gila seperti mu!"
"Gila?! Iya, aku memang gila. Bahkan sudah hampir masuk rumah sakit jiwa. Kenapa? Kau tak suka?!" ada yang tersentil di dalam sini ketika Sherly menyebutku gila.
"Dasar perempuan gila! Awas saja kalau kau macam-macam denganku, kau akan tahu akibatnya!" ancamnya padaku.
"Jangan mengancamku jika kau tak ingin kembali ke asalmu lebih cepat!" tegasku. "Aku hanya sedang melakukan permainan, dan sasaranku adalah kau!" aku menatapnya tajam."Kau salah orang jika ingin menjadikan aku sasaran permainanmu!"
"Kenapa?! Apa kau takut?!"
"Kau tak tahu apa-apa tentangku!" tegasnya.
"Tentu aku tahu!" aku membuka pintu mobil, mengambil selembar foto yang sempat di serahkan oleh Najwa dan menyerahkan pada Sherly.
"Bagaimana?" Kini wajah Sherly berubah 180°. Keringat mengucur di dahinya. Tentu saja, dia tengah melihat dirinya sedang bemesraan di depan hotel dengan laki-laki yang bukan suaminya.
"Apa maumu?" kini dia melunak. Ah, tidak asik! Padahal tadi dia sangat keras kepala, bahkan mengancamku dengan penjara.
"Keinginanku tidak banyak, tapi aku tak yakin kau bisa mengabulkannya!" aku mulai bernegosiasi.
"Sebutkan! Aku pasti akan mengabulkannya!""Aku ingin kau bercerai dengan Mas Dion!" ucapku tegas!
"Apa?! Apa kau sudah gila?!" "Lagi-lagi aku kau sebut gila, padahal tadi kau yang bertanya tentang keinginanku. Seakan ingin bernegosiasi. Sudahlah, kau membuang waktuku saja. Tunggu saja kehancuranmu!" aku masuk mobil, meninggalkan Sherly yang masih mematung dengan memegang lembaran foto yang ku beri sebagai hadian pertama."Siapa kau sebenarnya?!" Sherly terus menggedor pintu mobilku. Aku membuka mata, sedikit mendongak menatapnnya."Apa kau benar-benar ingin tahu?" tanyaku serius.
"Aku Zafi, Zafira Hanan! Mantan istri Mas Dion yang memilihmu lima tahun lalu. Sekarang aku datang kembali, melakukan apa yang pernah kau lakukan padaku!" Sherly menatap tak percaya, aku tak peduli. Ku nyalakan mobil dan meninggalkannya.☘
POV Sherly.
"Aku Zafi, Zafira Hanan! Mantan istri Mas Dion yang memilihmu lima tahun lalu. Sekarang aku datang kembali, melakukan apa yang pernah kau lakukan padaku!" aku tersentak mendengar kata-kata perempuan yang sebentar ini berdebat denganku.
Jadi dia mantan istri Mas Dion yang ditinggalkan tak beberapa setelah ijab kabul di lakukan? Karena kedatanganku, Mas Dion memilih meninggalkan wanita pilihan orang tuanya. Bahkan aku sampai sekarang tidak pernah mendapatkan restu dari mertuaku. Semenjak peristiwa lima tahun silam, Mas Dion meminta kami menghilang bak di telan bumi, tak pernah mengunjungi mertuaku atau hanya sekedar bertukar kabar.
Pernikahan yang kami lakukan dua bulan setelah perceraian Mas Dion dengan istrinya, hanya di hadiri oleh pihak keluargaku. Pernah Bapak dan Ibu bertanya kenapa besannya tidak datang.
"Bapak dan Ibu sangat sibuk, Pak. Kapan-kapan aku minta mereka main ke sini di sela kesibukan mereka" jawab Mas Dion kala itu.
Bapak dan Ibu tak lagi bertanya, apalagi setelah Mas Dion membelikan sebuah rumah yang layak huni untuk mereka. Juga membiayai semua biaya pendidikan adikku yang berjumlah tiga orang. Begitu juga dengan pengobatan Bapak yang menderita gagal ginjal. Hanya Ibu yang mengetahui semua rahasiaku, dan Ibu tidak protes. Tetapi kami merahasiakan dari Bapak.
Tak pernah lagi aku mendengar keluh kesah mereka tentang kekurangan uang atau makanan. Setiap mereka menelpon, hanya ucapan terima kasih yang mereka lontarkan. Bersyukur memiliki menantu yang sangat baik seperti suamiku, Mas Dion.
Berbeda denganku, meski sekarang hidup bergelimang harta. Tetap saja, hubungan yang ku jalin ketika meninggalkan Mas Dion dulu dengan seorang laki-laki masih berjalan hingga kini. Darinya aku mendapat perhatian yang kurang ku dapatkan dari Mas Dion. Mas Dion hanya sibuk kerja, kerja, dan kerja. Fokus untuk mengembangkan usaha miliknya.
Di hari libur, Mas Dion juga masih berkutat dengan di depan laptop. Sesekali aku menghampiri, tetapi Mas Dion sangat dingin semenjak satu tahun terakhir. Alasannya karena aku belum juga memberikan keturunan untuknya. Tentu saja! Aku menggunakan KB suntik, untuk menghambat kehamilan. Kalau aku hamil, bagaimana dengan pacarku Fajar.
["Hallo, Yank!"] ucapku kala panggilan telah terhubung dengan Fajar.
["Iya, Sayang! Ada apa? Kau merindukanku lagi?"] tanya Fajar di seberang sana.["Hubungan kita terancam. Mantan istri suamiku kembali!"] ujarku langsung to the point.["Jika dia kembali, bukan hubungan kita yang terancam! Tapi hubunganmu!"] jelas suara di seberang sana. Ah, kenapa dia tak mengerti arah tujuan pembicaraanku.
["Mantan istri suamiku mengetahui hubungan kita! Jika suamiku tahu, aku bisa di ceraikan. Kau tak akan dapat apa-apa lagi dariku!"] cecar ku pada manusia lemot ini.
["Jadi kau mau apa?"]
["Habisi dia!"]
["Apa kau gila?"]
["Apa kau ingin hidup miskin?"]["Tentu saja tidak!"]["Kalau tidak, cukup kau lakukan saja perintahku. Jangan banyak bacot!"]["Baiklah sayang. Segera tunjukan padaku siapa orangnya!"]["Dari tadi gitu kek! Kita ketemu di Café Embun setengah jam lagi. Kita akan bahas segalanya di sana!"]
Tut!Telpon ku matikan, gegas menggambil mobil menuju Café Embun.🌱
"Siapa orangnya?" tanya Fajar tanpa basa basi. Aku segera menyodorkan hp, di sana tertera foto Zafi, mantan istri Mas Dion yang ku dapat dari media sosial miliknya."Cantik!" ucapnya sambil memperhatikan benda persegi itu. Dasar buaya, tidak bisa melihat yang bening sedikitpun.
"Dalam dua hari ini aku harus mendapatkan kabar baik!" aku merebut paksa ponsel milikku.
"Oke sayang! Tetapi aku perlu isi tenaga terlebih dahulu" Fajar mengedipkan mata genit ke arahku. Pipiku langsung merah merona.
"Sekarang!" ucapku malu. Fajar mengangguk. Kami berjalan beriringan meninggalkan Café. Sesekali aku menyandarkan kepala di bahu Fajar."Kalian di sini?" suara seseorang menghentikan langkahku. Menoleh kebelakang, segera ku lepaskan genggam tanganku pada lengan Fajar.
"Zafi? Ngapain kamu di sini?"
"Lo, kenapa? Ini kan tempat umum!" jawab perempuan itu santai. Aku tidak suka sekali melihatnya seperti ini.
"Kalau di lihat langsung bolehlah dari pada di foto!" ucapnya sambil memperhatikan Fajar."Jadi ini perempuan yang kamu maksud?" tanya Fajar padaku. Aku mengangguk.
"Dilihat aslinya jauh lebih cantik!" puji Fajar di depanku."Ah, bisa aja kamu Mas! Kirim salam buat istrimu dirumah!" perempuan itu melenggang meninggalkan kami.
Istri?Istri siapa yang di maksud oleh Zafi.Aku menoleh ke arah Fajar, dia tampak tak tenang. Seperti menyembunyikan sesuatu. Apa benar Fajar memiliki seorang istri. "Ayuk jalan! Kok bengong!" Fajar mengalihkan perhatian ku yang berfokus padanya."Apa kau punya istri?"
"Tidak, Sayang. Hanya kau satu-satunya, percayalah!" dia meyakinkan ku. Benar juga kata Fajar, mana mungkin dia sudah punya istri. Jelas dia sudah bersamaku selama ini.
Dasar Zafi, perempuan gila. Bisanya cuma fitnah saja."Siap-siap, Sherly!"
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M
Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya
"Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di
Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M