Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.
Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak.
"Maaf, Mba! Saya jalan pake kaki, gak pake mata! Ini kartu nama saya, silahkan kirim noreknya. Saya akan transfer untuk ganti rugi." menyodorkan kartu nama kemudian melenggang pergi tanpa melihat kembali kebelakang.
Aku benar-benar kesal, ini bukan masalah hpnya. Tetapi tentang data yang ada di dalamnya. Untung saja foto-foto kemarin aku simpan di hp khusus. Kembali melangkah ke parkiran, mengambil mobil dan melajukan kendaraan menuju rumah sakit yang berjarak setengah jam dari apartemen.
🌱Pelataran parkir rumah sakit sudah terlihat, aku segera turun dari mobil. Ketika hendak menemui Dokter Cintia, aku seperti melihat seseorang yang aku kenal.
Benar!Itu Sherly.Kenapa dia pergi ke Dokter kandungan?Apakah dia tengah hamil. Rasa penasaran ini akan aku jawab nanti. Berhubung Dokter yang di temui Sherly sahabat ku waktu SMA."Bagaimana kalau kita coba untuk turunkan dosis, Dok?" tanyaku pada Dokter Cintia.
"Aku belum menyarankan, karena kamu masih sangat butuh obat dengan dosis yang tinggi ini. Aku tidak mau kejadian beberapa tahun silam kembali terjadi." aku menghela nafas mengingat peristiwa itu.
Flash back on
Pagi ini, aku hendak menemui seorang rekan bisnis yang tengah aku geluti. Setelah memakai pakaian terbaik, aku melenggang menuju kantor. Ketika kami akan bertemu, di luar dugaan. Rekan bisnisku mengirim asistennya di karenakan dia ada urusan mendadak. Karena menyangkut urusan keberlangsungan bisnis, aku menerima saja. Hingga semuanya di mulai saat kami kenalan."Saya Dion, Bu. Di utus Pak Herman untuk datang ke sini." mendengar nama yang di sebutkannya, emosi ku memuncak. Ingin menjambak, memukul, dan membunuh pria yang bernama Dion. Aku bangkit dari kursi dan menamparnya"Maaf, Bu! Apa salah saya?" dia tidak terima dengan perlakuan ku.
"Salah kamu? Kamu nanya sama saya apa kesalahanmu? Baiklah, akan aku tegaskan! Kesalahan kamu adalah kenapa kamu harus bernama DION, Hah?! DION, laki-laki yang menjatuhkan talak tiga setelah ijab kabul, mencoreng malu di depan orang tuaku. Hingga karena tak sanggup menahan malu, mereka meregang nyawa meninggalkan aku seorang diri! Kamu paham?!""Tapi saya bukan Dion yang Ibu maksud." ucapnya membela diri
"Aku tak peduli, sekarang keluar! KELUAR!" aku memukul pria yang ada di depanku itu, menjambak rambutnya. Susah payah Najwa menenangkan ku, hingga satu suntikan obat dengan dosis tinggi bisa membuatku tenang dan tertidur.Perjanjian kerja sama kami di batalkan, bahkan aku harus menanggung malu untuk waktu yang sangat lama.
Flash back off"Tapi saya sudah berdamai dengan masa lalu, Dok. Kemarin juga saya menemui pria yang bernama Dion. Saya lebih legowo, menerima dengan ikhlas apa yang sudah menimpa saya." akhirnya Dokter Cintia menyetujui untuk mengurangi dosis obat untukku.Aku pamit pada Dokter Cintia, menemui sahabat lama untuk menghilangkan rasa penasaranku.
"Bu Zafi." sapa asisten Nina ramah. Aku tersenyum.
"Ingin bertemu Dokter Nina?" tanyanya."Iya, Sus. Apa Nina tengah sibuk?""Jadwal praktek baru saja selesai. Jadi Ibu bisa menemui Dokter Nina.". setelah mengucap terima kasih. Aku menuju ruangan Nina.🌱
"Hai, cantik!" sapaku saat sudah memasuki ruangan Nina. Gadis yang memakai baju kebesaran serta jilbab hitam yang dia kenakan tersenyum padaku."Ya Allah, Zafi! Ayo duduk!" dia mengambil sebuah kursi untukku. Kami duduk saling berhadapan."Gimana, sehat?" tanyanya."Ya, seperti ini lah!" jawabku seadanya."Aku minta maaf tak bisa hadir saat musibah itu menimpamu." raut wajahnya penuh penyesalan."Tidak masalah, Nin. Aku ke sini hanya ingin tahu sesuatu, itupun jika kamu tidak keberatan." ucapku jujur "Apa?" aku pun menceritakan semuanya pada Nina. "Oh, Sherly? Sherly Amanda? Benar dia pasienku, ke sini untuk suntik KB per tiga bulan. Kenapa?" Jadi dia KB?Pantas saja tidak hamil.Kenapa?Apa karena pria itu?Ah, aku mendapat informasi yang bagus lagi.☘
"Bagaimana?" tanyaku pada Najwa setelah sampai di kantor. Najwa menyerahkan beberapa lembar foto yang memperlihatkan Sherly dan Dion di dalamnya.
"Hmm jadi dia sering pergi ke hotel dengan lelaki lain?"
"Benar sekali!" jawab Najwa bersemangat.
"Lo harus bisa menemukan kapan lagi jadwal dia datang ke tempat-tempat seperti ini. Gue mau buat olahraga jantung mantan suami gue." aku menyeringai, ingin melihat hancurnya Dion yang memilih perempuan bernama Sherly, padahal pernah meninggalkannya untuk lelaki lain."Siap, lo tenang aja! Semuanya bisa gue handle!"
"Jadi Dion juga masih menjalankan usaha showroom mobil?"
"Betul, bro. Bahkan sudah banyak cabangnya"
"Gue akan ke kantor pusatnya sekarang!"
"Mau ngapain lo?" Najwa bingung.
"Mau cari muka gue! Ya mau godain dia lah" jawabku ketus."Nanti lo di cap pelakor lo!" aku tertawa mendengar ucapan Najwa.
"Pelakor? Dulu gue istri sah, gak salah dong gue silaturahmi dengan mantan suami gue!""Bilang aja lo mau bikin perhitungan!" lagi aku tertawa mendengar ocehan asisten sekaligus sahabat ku itu."Lo urus urusan kantor, dan jangan lupa lo juga urus urusan Sherly." aku berdiri mengambil tas dan kunci mobil.
"Satu lagi, kayaknya orang tua Sherly harus tahu juga deh! Cari alamat mereka, yes!" Najwa hanya mengoceh mendengar semua perintahku.Sebelum masuk mobil, aku kembali memperhatikan kantorku. Kantor yang sekarang sudah berlantai 10, di sini aku melanjutkan usaha Bapak di tengah kegilaan yang menimpaku. Betapa hebatnya aku!🌱
Aku sampai di sebuah showroom mobil terbesar di kotaku. Memarkirkan mobil, memperbaiki penampilan. Seketika aku melihat Dion yang tengah sibuk melayani pelanggannya. Kamu memang pekerja keras, Dion. Tak pantas memang wanita itu ada di sampingmu! Aku keluar mobil dan memakai kaca mata hitam. Mendekati Dion dengan berlagak tidak mengenalnya. Ketika aku berjalan di depannya, Dion langsung melihat ke arahku."Zafi!" panggilannya. Aku menoleh, dan membuka kaca mata milikku."Eh, Mas Dion. Kamu ngapain di sini, Mas?" tanyaku, tak lupa memasang wajah tercantik. Dion meminta karyawannya untuk melanjutkan melayani pelanggan, kemudian menghampiri ku."Aku pemilik showroom ini, Fi. Apa kamu lupa?"
"Oh iya!" aku tertawa sambil menutup mulut.
"Selamat lo, Mas. Sekarang showroom kamu sudah berkembang pesat!""Terima kasih, Fi. By the way, kamu mau ngapain kesini?"
"Rencananya mau lihat mobil sih, Mas. Eh, jadinya malah lihat kamu." lagi aku tersenyum. Senyum yang dulu bisa membuatnya melupakan Sherly.
"Kamu bisa aja. Mampir dulu yuk ke kantor, nanti aku bisa kasih brosur eklusif untuk kamu." aku mengangguk mengikuti langkah Dion menuju kantornya yang ada di lantai dua.
Aku duduk di sofa empuk milik Dion. Dion datang membawa dua cangkir kopi dingin.
"Diminum dulu." Dion menyodorkan kopi."Terima kasih, Mas." Dion senyum."Mas! Mas!" dari arah luar terdengar seorang wanita yang tengah berteriak. Dion menghela nafas kasar, menyenderkan tubuhnya di sofa. Tak lama pintu di buka."Kamu apa-apaan, Mas!" pekik Sherly yang melihatku duduk di dekat suaminya. Sherly menutup pintu dengan membanting, melangkah ke arah Dion yang hanya menatap datar wajah istrinya itu."Jelaskan padaku siapa dia, Mas! Jadi ini alasanmu tidak mengangkat telpon dariku?" cecar Sherly. Lagi, Dion menghela nafas kasar."Ada apa? Mau minta transfer lagi?" ujar Dion tanpa ekspresi."Iya emang, Mas. Tapi gak gini juga! Ngapain kamu berduan dengan wanita ini di dalam kantor!".
"Kamu juga! Dasar gak punya malu, kamu gak tahu kalau Dion ini sudah punya istri?" sekarang dia menghardik ku.
"Pergi kamu dari sini!" usirnya padaku."Ngapain kamu usir dia? Dia tamuku!" ucap Dion ketus.
"Tapi, Mas!" "Gak ada tapi-tapian! Sekarang keluar!" usir Dion. Apakah benar Sherly tidak mengenalku, dan apa rumah tangganya memang seperti ini.Aku merasa di atas angin mendapat pembelaan dari Dion. Aku tersenyum sinis melihat Sherly yang sudah melotot ke arahku."Oke, aku akan keluar! Sekarang transfer dulu uangnya!" bentak Sherly pada Dion."Apakah uang dari laki-laki yang bersamamu di hotel tidak cukup?" pertanyaan ku membuat perempuan bertubuh sintal ini terdiam. Wajahnya mendadak pucat pasi.
"A-apa maksudmu, Fi?" tanya Dion.
"Tidak, Mas. Aku hanya pernah melihat perempuan ini bersama laki-laki lain masuk ke dalam hotel. Aku pikir dia bukan istrimu." ucapku santai."Aku juga tak sengaja memfotonya!"
"Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M
Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
"Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di
Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya
Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel
Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak
"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M