Share

Dendam Janda, Talak Tiga
Dendam Janda, Talak Tiga
Penulis: NhelBUngsue

Part 1

Penulis: NhelBUngsue
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.

Apakah ini mimpi?

Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?

Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.

Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.

Ada apa?

Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.

Aku?

Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing. 

"Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"

Plak!

Sekarang tamparan keras mendarat di pipi Mas Dion.

"Kamu mau buat malu Bapak dan Ibu, Dion?" sekarang mertuaku mengambil alih. Sedangkan Bapak sudah terduduk di kursi.

"Maaf, Pak. Ini semua karena Bapak dan Ibu yang terus memaksa Dion untuk segera menikah, padahal Bapak tau aku hanya mencintai Sherly, Pak!"

"Apa? Sherly?! Wanita yang sudah mencampakkanmu? Dia pergi bersama laki-laki lain yang lebih kaya dari mu, sekarang setelah kamu sukses seperti ini dia ingin kembali. Tidak, Nak! Tidak! Ibu tidak setuju!" Ibu mertuaku menangis histeris.

Mas Dion tak menghiraukan sama sekali, setelah talak tiga yang dia jatuhkan padaku. Dia pergi, menggenggam tangan wanita lain didepan ku, di depan tamu undangan. Tidak memperdulikan Ibu mertua yang menangis meraung-raung memanggil namanya. Melihat langkah kaki Mas Dion yang semakin menjauh, membuat tubuhku terasa lemas, sulit sekali untuk bernafas, air mataku luruh.

Kenapa Mas Dion mencorengkan malu untuk keluargaku. Bahkan sekarang dia menyematkan status janda padaku, janda talak tiga.

Apa salahku?

Tubuh ini seketika luruh ke lantai, air mata yang sedari tadi ku tahan kini berjatuhan. Berkali-kali ku pukul dada ini agar rasa sesak hilang. 

"Sudah, Nak! Sudah!" terdengar suara Ibu di telingaku. Ibu pun tak kalah sedih, air mata yang jarang keluar kini menganak bak sungai. 

"Apa salah Zafi, Bu? Apa? Kemana malu ini akan kita bawa, Bu? Zafi menjadi janda saat pernikahan Zafi sendiri!" isakku pada Ibu. Tak ku pedulikan lagi kebaya putih yang kini membalut tubuhku. Bahkan mahkota yang tadi nya terletak di atas kepala, ku buang ke sembarang tempat.

Tiba-tiba di tengah sahut-sahutan kehebohan yang terjadi. 

"Bapak!" Ibu histeris saat melihat Bapak jatuh tersungkur. Ibu langsung menghampiri Bapak.

"Pak! Bangun, Pak! Jangan tinggalkan Ibu dan Zafi, Pak!" Ibu menggoyang-goyang badan Bapak, Bapak hanya diam. Melihat itu, aku langsung merangkak ke arah Bapak. Tak ada lagi kekuatan untuk berdiri.

"Pak, Bapak!" aku terus menangis sebelum tubuh ini menggapai Bapak. Semua tamu undangan mengerubungi kami. Seorang ustadz yang tadi menjadi saksi pernikahan ku ikut menghampiri Bapak.

"Innalilahi wa innailaihi rojiun!" seru Ustadz yang berhasil merobohkan semua tiang kekuatan yang tadi ku kumpulkan.

"Tidak, tidak mungkin! Tidak!" aku meraung. Aku peluk tubuh Bapak. Sedangkan Ibu sudah tak sadarkan diri.

"Pak! Mungkin Bapak salah, tolong di cek lagi pak. Bapak saya masih hidup, Pak!" aku memohon pada Pak Ustadz.

"Paman, ayo bawa Bapak ke Rumah Sakit Paman. Cepat tolong Bapak, Paman!" Paman Surya adik Bapak hanya diam di samping Bapak. Hanya air mata yang menggambarkan suasana hatinya saat ini.

"Siapa saja tolong Bapakku! Tolong! Tolong!" teriakku histeris. Hingga tak ada lagi kekuatan dan seketika semuanya gelap.

Aroma kayu putih tercium jelas olehku. Mencoba membuka mata perlahan. Rupanya aku sedang di kamarku, kamar yang sudah di dekor seindah mungkin. Bahkan beberapa bunga juga di taburkan di atas tempat tidur. Terngiang-ngiang sahut-sahutan orang membaca Yasin.

"Zafi, kamu sudah enakkan, Nak?" rupanya Bi Asih, istri Paman yang menemaniku sedari tadi.

Kembali air mata ini mengalir, mengingat semua kejadian yang baru terjadi. 

Mengapa semua ini harus terjadi padaku?

Mas Dion, kenapa kau begitu kejam?

Bukan malu saja yang kau toreh pada keluargaku, bahkan aku harus kehilangan Bapak atas sikap ketidak dewasaanmu.

"Bi, kenapa semua ini harus terjadi pada Zafi, Bi?" 

"Sudah, Nak. Lebih baik begini. Allah tunjukkan siapa sebenarnya Dion kepadamu, meskipun sedikit terlambat. Sekarang kamu harus kuat dan sabar, ya. Ingat Ibumu, Nak." Bibi terus mengelus punggung tanganku. Mata Bibi memerah dan sembab. 

Benar kata Bibi, meskipun sedikit terlambat. Aku bisa mengetahui semuanya, meskipun aku harus kehilangan Bapak.

"Mari, Bi. Kita temani Ibu!" aku berdiri dari pembaringan diikuti Bibi.

Saat keluar kamar, aku melihat Ibu yang masih duduk di samping Bapak. Bahkan baju kebaya yang dikenakan Ibu belum lagi terganti. Melihat ini semua, seketika perih kembali menghujam hati. Aku menghapus air mata dan menghampiri Ibu.

"Bu." aku duduk di samping Ibu.

"Zafi, Bapak Nak, Bapak!" Ibu kembali menangis, aku memeluk Ibu.

"Ibu kuat, Bu. Zafi ada bersama Ibu!" aku hanya mampu berucap, sedangkan aku tak memiliki kekuatan seperti yang aku ucapkan pada Ibu.

"Mbak, jenazah Mas Hanan mau segera dimandikan Mbak." terdengar lirih suara Paman yang meminta izin pada Ibu.

"Biar gak kesorean Mbak, karena lebih cepat lebih baik". Lagi Paman hanya mampu berbisik sambil merunduk. Paman Surya adik Bapak satu-satunya, mereka hanya dua orang kakak-beradik. Nenek dan Kakek sudah lama berpulang.

"Baiklah, Sur. Selenggarakan lah!" perintah Ibu.

Para tetangga mulai mengangkat jenazah Bapak, tadinya mereka membantu untuk kelancaran acara pernikahan dalam sekejap mata berubah menjadi acara pemakaman. 

"Apa Ibu mau ikut memandikan, Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Ibu tak sanggup, Nak!" 

"Kalau begitu Ibu duduk di sini saja ya. Zafi mau ikut memandikan Bapak!" Ibu hanya mengangguk.

Aku berjalan menuju tempat Bapak di mandikan, hanya ini kesempatan terakhir yang aku miliki. 

"Jangan sampai air mata mengenai jenazah ya, Nak!" titah seorang ustadz.

"Insya Allah, Pak." aku mulai ikut menyiram tubuh Bapak dengan perlahan. Aku bersihkan semua bagian tubuh Bapak dengan lembut, sesekali menjauh agar air mata tak mengenai Bapak. Masih teringat jelas percakapan kami tadi malam 

******

"Kamu jadi istri orang harus nurut ya, Nak! Jangan membantah suamimu. Ridho suami adalah surga bagimu!" nasehat Bapak sebelum aku tidur malam. 

"Insyaallah, Pak." jawabku sambil merunduk.

"Kamu satu-satunya anak Bapak dan Ibu, jika sesuatu yang buruk menimpamu, Nak. Kembali lah pada kami. Kami akan selalu menerima bagaimanapun keadaanmu, Nak!"

******

Sekarang semua hanya tinggal kenangan. Jika saja ku tahu pernikahan ini membuatku kehilangan Bapak, seumur hidup tak akan ku jalani.

"Hati-hati bajumu, Nak!" ucap Paman saat melihat beberapa percikan air mengenai baju yang awalnya di gunakan untuk pernikahanku. 

"Biar saja Paman. Baju ini sudah tidak ada gunanya!"

Iya, baju yang ku design jauh-jauh hari sudah tidak ada gunanya. Setelah proses memandikan selesai, langsung di kafani dan di sholat kan. Hari ini hari yang sangat berat, dimana hari ini Bapak mengantarkan ku ke pelaminan dan aku mengantar Bapak kepemakaman.

 

Bab terkait

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 2

    Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 3

    Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 4

    Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 5

    "Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di

Bab terbaru

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 5

    "Aku juga tak sengaja memfotonya!"Sherly berkeringat dingin, bibirnya seakan terkatup rapat."Benar begitu, Sher?" bentak Dion."B-Bohong, Mas. Mana ada seperti itu!" elak Sherly. Aku terkekeh dalam hati, baru seperti ini saja Sherly sudah seperti kelimpungan."Tentu saja bohong, aku cuma bercanda, Mas. Bisa saja itu mirip dengan istrimu." tawa ku perlahan untuk mencairkan suasana yang mulai memanas."Lagian mana mungkin kamu seperti itu kan, Mba?" ucapku dan melihat Sherly."Iya, tentu saja! Hehehe." Sherly menghapus keringat di dahinya."Ya sudah, Mas. Aku pamit dulu, lain kali kita lihat brosur eklusifnya!" mengedipkan mata dan keluar dari ruang kantor Dion.Jelas ku dengar mereka kini tengah bertengkar, ada kesenangan tersendiri yang ku dapatkan dari pertengkaran mereka. Setidaknya pondasi rumah tangga mereka akan goyah. Aku tiba di parkiran mobil di

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 4

    Hari ini jadwalku mengunjungi Dokter Psikiater. Depresi yang ku alami semenjak lima tahun silam, lebih tepatnya semenjak Dion menceraikan ku dengan talak tiga. Hingga tak lama kepergian Bapak dan Ibuku membuatku benar-benar hancur. Berulang kali percobaan bunuh diri ku lakukan, karena keputusan asaan yang melanda. Bahkan dosis obat yang ku gunakan masih tinggi.Keluar dari apartemen, langsung menuju lift untuk mencapai lantai dasar. Setelahnya pergi ke parkiran untuk mengambil mobil. Belum sampai di parkiran, seseorang menabrak ku cukup keras, hingga gawai yang tadi ku mainkan jatuh ke lantai."Kalau jalan pake mata dong, Mas!" ucapku setelah mengetahui pelakunya seorang laki-laki. "Jadi rusak kan hp saya!" aku menyodorkan hp ku, sedangkan dia hanya santai, membuka kaca mata hitam yang bertengger di hidung mancungnya. Setelah itu memasukkan tangan ke saku, dan menatap datar pada layar ponselku yang rusak."Maaf, Mba! Saya

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 3

    Irene membopong tubuhku menelusuri lorong rumah sakit."Maaf, pasiennya mau di bawa kemana?" seorang Suster menghentikan langkah kami."Saya mau ke pemakaman Ibu saya, Sus." jawabku."Tetapi kondisi Ibu masih belum stabil, jika Ibu paksakan kami takut terjadi hal yang tak diinginkan.""Gak usah kuatir, Sus. Saya siap menerima konsekuensinya. Saya gak punya banyak waktu, jadi jangan halangi saya!" ucapku tegas."Tunggu sebentar ya, Bu. Saya panggil Dokter dulu untuk memastikan kondisi Ibu!" Suster itu melenggang meninggalkan aku dan Irene."Ayo, Ren!""Tapi, Kak. Kita tunggu Suster dulu ya" pinta Irene dengan sedikit mengiba."Kita gak punya banyak waktu! Kakak gak mau pas sampai nanti hanya melihat gundukan tanah kuburan Ibu. Kamu bisa mengerti perasaan Kakak?" Irene akhirnya menurut.Sebuah mobil sudah menunggu di pelataran parkir. Tidak beberapa lama mel

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 2

    Semua orang mulai beranjak dari pemakaman. Aku masih betah berdiri di samping makam Bapak."Bu, Ibu pulanglah dulu. Zafi masih ingin di sini." ucapku pada Ibu yang masih sesegukan."Tapi Ibu juga ingin di sini, Fi." jawab Ibu sambil mengelus papan yang bertuliskan nama Bapak."Tapi Ibu butuh istirahat, Bu. Beberapa hari ini Ibu sangat sibuk menyiapkan pernikahan Zafi. Zafi mohon, Bu." isakku sambil memegangi erat tangan Ibu."Zafi gak mau kehilangan Ibu!" air mata lagi-lagi lolos. Ibu memelukku erat. Bibi bergantian mengelus punggung kami."Baiklah, Zafi. Jangan lama-lama disini, Nak. Ibu kuatir denganmu!" Ibu mengalah."Iya, Bu." aku tersenyum."Bi, titip Ibu ya.""Iya, Zafi. Jangan lama-lama, Nak." ucap Bibi sembari menghapus air mata. Aku hanya tersenyum melihat Ibu dan Bibi mulai menjauh dari makam Bapak.Setelah memastikan mereka tak

  • Dendam Janda, Talak Tiga   Part 1

    "Zafira Hanan! Hari ini, aku talak kamu, aku talak kamu, aku talak kamu!" kata-kata dari Mas Dion terdengar nyaring di telingaku.Apakah ini mimpi?Bukankah baru beberapa menit ini ijab kabul dilaksanakan?Bukankah riasan pengantin masih belum pudar, bahkan henna di tangan masih tergambar jelas.Hidangan untuk tamu undangan belum tersentuh.Ada apa?Riuh terdengar orang bersautan atas talak tiga yang di ucapkan oleh lelaki yang sebentar ini bergelar suamiku.Aku?Bumi ini seperti berputar lebih cepat, tak ada pegangan membuatku seperti terombang-ambing."Ada apa, Dion?" jelas getar suara Bapak yang sebentar ini menjabat tangan untuk pemindahan tanggung jawabku."Maaf, Pak. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya tidak mencintai Zafi, Pak. Wanita yang saya cintai ada di sini. Sekali lagi maaf, Pak!"Plak!Sekarang tamparan keras mendarat di pipi M

DMCA.com Protection Status